BAB II PENGATURAN KEKAYAAN BADAN USAHA MILIK NEGERA SEBAGAI BENTUK KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN A. Landasan Filosofis Pembentukan Badan Usaha Milik Negara - Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Perkara Perdata Terhadap Aset BUMN

BAB II PENGATURAN KEKAYAAN BADAN USAHA MILIK NEGERA SEBAGAI BENTUK KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN A. Landasan Filosofis Pembentukan Badan Usaha Milik Negara

  38 Secara filosofis , politik hukum pemerintah dalam bidang ekonomi adalah

  untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sesuai dengan cita cita nasional . Cita-cita bangsa Indonesia yang mendasar tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 Alenia 4. Secara eksplisit cita-cita bangsa Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut;

  “… Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,.…” (Pembukaan UUD 1945 Alinea 4).

  39 Cita-cita ini diderivasikan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menggariskan

  makna sejahtera sebagai sejahtera secara merata, artinya bahwa setiap individu bangsa Indonesia berhak menikmati hidup yang sejahtera.

  “…Pasal 33: 38 Politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang

  

seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. M Solly Lubis,

Sisten nasional (Bandung : Mandar Maju, 2002) hal 117 39 Derivasi adalah menurunkan sejumlah asas dari rumusan pancasila itu untuk dijadikan

  Ayat 1: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

  Ayat 2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

  Ayat 3: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

  Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 Alenia 4 dan Pasal 33 ayat 2 dan 3 merupakan dasar Konstitusi bagi Negara Indonesia menyatakan dirinya sebagai

  40 paham Negara Kesejahteraan dalam Perjalanan

  negara kesejahteraan (welfare state) ,

  

sejarahnya lahir dari mazhab Merkantilisme, ideologi Sosialisme, dan evolusi Kapitalisme

  dimana kesejahteraan rakyat merupakan tujuan utama dari pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara.

  Negara (sistem kepemimpinan) harus dibentuk secara demokratis, melalui kelembagaan politik yang demokratis. Biasanya, ekonomi-politik selalu dikaitkan dengan sistem masyarakat yang demokratis. Dengan demikian, negara punya peran dan tanggung jawab normatif dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi. Negara dan pemerintah yang terbentuk secara demokratis, akan menjadi jembatan di mana setiap warganya bertindak secara kolektif melalui 40 Negara hukum dalam konteks welfare state yakni negara dalam hal ini pemerintah

  

memiliki freies ermessen atau pouvoir discretionnare yaitu kemerdekaan yang dimiliki pemerintah

untuk turut serta dalam kehidupan sosial ekonomi dan keleluasaan untuk tidak terlalu terikat pada

produk legsilasi parlemen. Dalam gagasan welfare state terntara negara memiliki kewenagan yang

relatif besar, ketimbang format negara yang bersifat negara hukum formal. Selai itu dalam welfare sate

yang terpenting adalah negara semakin otonom untuk mengatur dan mengarahkan fungsi dan peran

negara bagi kesejahteraan masyarakat. H. kaelan M.S, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan kelembagaan negara untuk memanfaatkan segala potensi, untuk kepentingan masyarakat. Dalam bidang ekonomi dibentuklah perusahaan negara, yang lebih

  41 populer dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

  Salah satu tanggung jawab pemerintah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat itu adalah dalam bidang perekonomian rakyat. Sebagaimana

  42

  dikemukakan Didik J.Rachbini bahwa dalam sistem ekonomi yang kompleks, para pelaku ekonomi tidak hanya terbatas pada swasta, melainkan pemerintah berperan dalam mengatur agar sistem ekonomi berjalan dengan baik. Pemerintah tampil sebagai pengatur yang baik (regulator), agar system ekonomi berkembang harmonis sesuai dengan realita sosial.

  Namun demikian, ternyata pemerintah merasa tidak cukup hanya sebagai regulator sistem ekonomi, dimana pemerintah juga terlibat lansung dalam bidang perekonomian. Negara (pemerintah) ikut menjadi pengusaha di samping orang/badan swasta. Implementasi dari pemerintah pengusaha itu diwujudkan dalam bentuk Perusahaan Negara atau yang sekarang lebih populer disebut “Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”. Menurut Robert Fabrikan dalam T.Mulya Lubis dan Richard M.

  43 Buxbaum dikutip dari Katon Y Stefanus BUMN tidak lain dari pada bentuk

  kebijaksanaan pemerintah dalam mencoba menciptakan atau mempertahankan keseimbangan kasar antara sektor swasta dan sektor pemerintah. Dalam hal 41 42 Ibrahim R. Op. Cit. hal. 104 Didik J.Rachbini, Posisi Pasar dan Negara, Majalah Gatra No.17 Tahun I, 11 Maret 1995,

  hlm V. 43 Katon Y Stefanus, Deregulasi Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Terhadap BUMN

dalam SF.Marbun dkk (Ed), Dimensi-dimensi Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:UII Press, demikian, BUMN diharapkan berperan sebagai faset perekonomian negara dan faset aparatur perekonomian negara.Pada fungsi pembangunan, negara salah satunya melakukan kegiatan ekonomi. Namun pengelolaan cabang produksi yang penting dan penguasaan kekayaan oleh negara, tidak harus diusahakan oleh Badan Usaha Milik Negara Perjan, Perum, dan Persero), sebagai perwujudan kegiatan ekonomi oleh negara. Sebab, sebagai pelaku pembangunan ekonomi nasional adalah Pemerintah,

44 Swasta dan Koperasi.

  45 Mengenai Perusahaan Negara, W. Friedmann membedakan menjadi tiga

  bentuk: 1)

  Department government enterprise, perusahaan negara merupakan

  bagian integral dari suatu departemen pemerintahan, bergerak dalam bidang public utilities.

  2) Statutory public corporations, perusahaan negara yang sebenarnya hampir sama dengan department government enterprise, hanya dalam hal manajemen lebih otonom dan bidang usahanya tetap public utilities.

  3) Coommercial companies, perusahaan negara yang merupakan campuran dengan swasta dan berlaku hukum privat.

  Di Indonesia sejarah pembentukan Perusahaan Negara dimulai dengan pembentukan VOC suatu trust oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang tujuan

  44 45 Tap MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN, Bab IV, bagian F poin 20.

  W. Friedmann, Law In a Changing Society, Columbia University Press, New York, 1972,

  46

  utamanya ádalah untuk melaksanakan usaha dagang di Indonesia. Pembentukan

  VOC tersebut merupakan bukti sejarah tentang keterlibatan negara dalam ekonomi dan berhubungan dengan perkembangan ekonomi Eropa Barat.

  Tumbuhnya Perusahaan Negara pasca kemerdekaan merupakan reaksi terhadap situasi Kolonial, dimana meskipun telah merdeka perusahaan-perusahaan Belanda dan asing masih terus beropersi di Indonesia hingga dilakukan tindakan Nasionalisasi berdasarkan Undang-Undang No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan milik Belanda di Indonesia dan untuk mengelola ex .

  Perusahaan-Perusahaan milik Belanda tersebut dibentuk Perusahaan Negara.

  Di Negara- negara dunia ketiga, lahirnya Perusahaan Negara selain dikembalikan dengan alasan ideologis dan paham ekonomi, juga merupakan

  47 kelanjutan dari sistem ekonomi kolonial yang dinasionalisasikan.

  Tanpa mengenyampingkan fenomena keikutsertaan pemerintah secara langsung dalam bidang perekonomian, pengertian terhadap BUMN itu sendiri mengalami perubahan konsepsi dari waktu ke waktu, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

  1. Dalam UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Perpu. No. 1 tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara menjadi Undang-Undang , disebutkan 46 : BUMN adalah seluruh bentuk usaha negara yang seluruhnya atau sebagian

  Sumantoro, Aspek-aspek Hukum Badan Usaha Milik Negara, BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1987, hal. 17 47 Nasyith Majidi, Sistem Evaluasi Kinerja BUMN Perbandingan Indonesia dan Malaysia,

  modalnya dimiliki oleh Negara/Pemerintah dan dipisahkan dari kekayaan negara.

  2. Dalam Instruksi Presiden No.5 Tahun 1988 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan BUMN adalah ; a)

  Badan Usaha yang sepenuhnya dimiliki oleh negara;

  b) Badan Usaha yang tidak seluruhnya dimiliki negara, tetapi statusnya disamakan dengan BUMN, yaitu:

  1) BUMN yang merupakan patungan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah.

  2) BUMN yang merupakan patungan antara Pemerintah dengan BUMN lainnya.

  3) BUMN yang merupakan Badan usaha patungan antara

  Pemerintah dengan swasta nasional/Asing, dimana negara memiliki saham mayoritas (minimal 51 persen). Sedangkan anak perusahaan BUMN akan menjadi bagian dari kekayaan BUMN apabila sebagian besar sahamnya (minimal 51 persen) atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN.

  3. Dalam UU No.19 Tahun 2003 disebutkan; BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimilki oleh negara melalui penyertaan secara lansung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

  Pengertian BUMN yang diberikan peraturan perundang-undangan di atas adanya UU No. 19 Tahun 1960 adanya bermacam-macam bentuk usaha negara , maka setelah ditetapkan UU No.19 Tahun 1960 semua badan usaha milik negara yang ada waktu itu diberi nama Perusahaan Negara. Dalam konteks ini , UU No.19 Tahun 1960 tidak begitu mementingkan bentuk-bentuk badan usaha negara, tetapi yang lebih dipentingkan adalah kedudukan badan hukumnya yang diperoleh dengan Peraturan Pemerintah (PP).

  Kemudian terjadi penertiban badan-badan usaha milik negara berdasarkan instruksi Presiden No.17 Tahun 1967, dimana bagi badan usaha yang dianggap sudah tidak dapat lagi diteruskan eksistensinya karena tidak memenuhi syarat sebagai suatu badan usaha yang sehat atau fungsinya sudah tidak sesuai dengan keadaan, diusahakan pembubarannya. Bagi badan usaha yang lemah dan bergerak dibidang yang sama diusahakan perbaikannya dengan cara penggabungan.

  Bagi badan-badan usaha milik negara yang dinilai masih memiliki prospek diarahkan pengalihan bentuknya menjadi salah satu dari tiga bentuk BUMN yang baru, yakni Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Untuk memberi dasar perundangan bagi ketiga bentuk BUMN itu diterbitkanlah UU No. 9 Tahun 1969. Dengan demikian Badan-badan Usaha Milik Negara yang sebelumnya semua diberi nama Perusahaan Negara yang tidak mempersoalkan bentuknya, maka sejak tahun 1969 hanya ada tiga bentu BUMN yakni; Perjan, Perum dan Persero. Baik Perjan maupun Perum seluruh modalnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham-saham. Tahun 1969 itu berupa perusahaan negara yang modalnya tidak seluruhnya dimiliki negara. Konsepsi Perusahaan Negara dalam bentuk Persero ini menampakkan wajahnya yang lain dari konsepsi Perusahaan Negara sebagaimana diatur dalam UU No.19 Tahun 1960.

  Ketiga bentuk usaha-usaha negara itu (diluar bentuk usaha negara yang berbentuk Bank Umum Milik Pemerintah dan Pertamina), maka tugas pokok Perjan adalah melakukan tugas-tugas perusahaan sekaligus tugas pemerintahan yang tercermin dalam susunan organisasi Departemen, dengan sifat usahanya adalah pelayanan publik (public service). Barang atau jasa yang dihasilkan Perjan merupakan kewajiban pemerintah dalam rangka pelayanan masyarakat karena barang dan jasa itu besar dan penting artinya bagi kehidupan masyarakat banyak. Bidang usahanya merupakan monopoli pemerintah dan tidak menarik minat swasta, karena usahanya mempunyai rate of return yang kecil sedangkan investasi dan resikonya besar.

  Sementara itu Perum bertugas melayani kepentingan umum dan sekaligus untuk memupuk keuntungan dan bergerak dibidang yang oleh pemerintah dianggap vital. Perum pada umumnya menjalankan tugas perusahaan akan tetapi dapat dibebani tugas pemerintahan, di Departemen tidak ada lagi unit organisasi yang menjalankan tugas pemerintahan yang telah diserahkan kepada Perum.

  Tidak demikian halnya dengan Persero, dimana persero melakukan usaha perusahaan yang bisa dilakukan oleh swasta dan semata-mata bukan menjadi tugas bukan merupakan kewajiban negara untuk menghasilkannya. Bidang usaha harus dapat memberikan keuntungan finasial kepada negara baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Persero pada prinsipnya tidak diberi hak monopoli atau perlakuan khusus lainnya oleh pemerintah.

  48 Beberapa perbedaan pokok dalam tugas, fungsi dan sifat usaha dari ketiga

  bentuk BUMN di atas, jika dibandingkan dengan peranan BUMN di Indonesia berdasarkan PP No.3 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan PP No.28 Tahun 1983, maka peran BUMN (Perjan, Perum dan Persero) adalah sebagai berikut : 1. memberikan sumbangan untuk mengembangkan perekonomian negara disamping menambah perekonomian negara;

  2. mengadakan pemupukkan keuntungan/pendapatan; 3. memberikan pemanfaatan umum baik berupa barang maupun jasa kepada masyarakat umum;

  4. menjadi pioneer dalam hal kegiatan usaha yang belum dapat diusahan sector swasta dan koperasi;

  5. melengkapi kegiatan swasta dan koperasi dalam hal penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak;

  6. memberikan bimbingan kepada sector swasta khususnya pengusaha bermodal kecil dan sector koperasi;

  7. melaksanakan dan menunjang pelaksanaan program pemerintah dibidang ekonomi dan pembangunan pada umumnya. Sementara itu bandingkan pula 48 dengan tugas-tugas BUMN sebagaimana dituangkan dalam Instruksi Presiden No. 5 Tahun 1988, yakni antara lain:

  a) mengadakan barang yang karena pertimbangan keamanan dan kerahasiaan harus dikuasai negara;

  b) didirikan atas pertimbangan untuk melaksanakan kebijakan pemerintahan tertentu dan atau strategis;

  c) didirikan dengan tujuan untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat;

  d) didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus dimilki dan dikelola oleh pemerintah;

  e) usaha-usaha yang bersifat komersial seperti yang dilakukan swasta. Mencermati peran, tugas, fungsi dan sifat usaha BUMN dan pekembangannya itu, maka pada prinsipnya kehadiran BUMN di Indonesia selain sebagai faset perekonomian negara, sekaligus berperan sebagai perusahaan biasa yang mencari keuntungan yang sebesar-besanya. Bahkan BUMN mempunyai ruang gerak dan jangkauan yang lebih luas dari pada perusahaan swasta. Secara substantif dan berdasarkan kewenangan dalam menentukan bidang-bidang ekonomi yang menguasai atau menyangkut kepentingan umum/masyarakat banyak, disamping melakukan usaha yang bersifat komersial seperti yang dilakukan swasta.

  Kehadiran BUMN di Indonesia sesungguhnya bukan sekedar melengkapi kegiatan swasta dan koperasi dan peran BUMN lebih dari perusahaan biasa. Hal ini pemerintah tampil sebagai pengatur yang baik (regulator), agar system ekonomi berkembang harmonis sesuai dengan realita social ? Dan . apakah benar BUMN tidak lain dari pada bentuk kebijaksanaan pemerintah dalam mencoba menciptakan atau

  49

  mempertahankan keseimbangan pasar antara sektor swasta dan sektor pemerintah ? Apa pun jawaban atas pertanyaan tadi, factanya, bahwa BUMN ( baik

  Perjan, Perum maupun Persero) yang memiliki peran luar biasa itu hanya memberikan kontibusi yang relatif kecil bagi APBN. Indikasi yang dilontarkan sejumlah pengamat ekonomi benar, bahwa belum terciptanya akuntabilitas dan tranparansi dalam pengelolaan BUMN atau pengelolaan BUMN belum dilandaskan pada Good Corporate Governance. Disisi lain yang BUMN hidup “tidak sehat” tidak terlepas dari besarnya intervensi pemerintah dalam pengelolaan BUMN dan BUMN dijadikan “sapi perahan” partai politik. Mekanisme pengelolaan BUMN tidak diserahkan pada mekanisme pasar. Dengan begitu dapat dipahami, mengapa peran

  50 BUMN selama ini tidak optimal guna mewujudkan kesejahteraan rakyat.

  Keberadaan BUMN dikaitkan dengan pembangunan ekonomi masa kini, seyogianya harus kembali melihat hukum sebagaimana diajarkan Weber. Weber telah memperingatkan bahwa pembangunan ekonomi harus berlandaskan hukum

  51 yang rasional. 49 Lihat Noer Soetrisno. Privatisasi BUMN dalam rangka Pemberdayaan rakyat (Infokop No Tahun XX 2005 50 51 Ibid, hal 2 Bismar Nasution, Pidato Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum

  

Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang Disampaikan di Hadapan Rapat

Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara, di Gelanggang Mahasiswa USU, Medan, Sabtu, 17 April

  Dengan hukum modern atau rasional itu akan dapat dilakukan pengorganisasian pembangunan ekonomi. Sebab salah satu dari ciri hukum modern adalah penggunaan hukum secara aktif dan sadar untuk mencapai tujuan-tujuan

  52

  tertentu. Pembahasan mengenai pengelolaan BUMN juga memerlukan pendekatan hukum secara aktif agar tujuan di bentuknya BUMN memberikan manfaat pada masyarakat , cara pendekatan tersebut diharapkan akan menciptakan penerapan keadilan dan kewajaran dan secara proporcional dan dapat pula memberikan manfaat pada masyarakat, sebagaimana yang disimpulkan Adam Smith, bahwa man

  53

continually standing in need of the assistance of others. , akan tetapi pengkajian

  hukum untuk mengatur pembangunan ekonomi tidak boleh hanya melihat substansi hukum, tetapi harus juga mengkaji aparatur hukum dan budaya hukum (legal

  54 culture ).

B. Landasan Yuridis Pembentukan BUMN 1. Undang Undang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN

  Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menetapkan bahwa pendirian BUMN diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan 52 David M. Trubek, Op. Cit., hal. 4-5. Lihat juga. Lawrence M. Friedman, The Republic of Choice Law, Authority, and Culture, (Massachusetts: Harvard University Press, 1990), hal. 97. 53 R.L. Meek, Adam Smith Lectures on Jurisprudence, (Indianapolis: Liberty Fund, 1982), hal. 347. 54 Budaya hukum adalah persepsi masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum, pandangan,

nilai, ide, dan pengharapan-pengharapan mereka terhadap hukum. Lawrence M. Friedman, American

  Menteri Keuangan. BUMN yang berbentuk Persero, organnya adalah RUPS, Komisaris, dan Direksi. Sedangkan untuk Perum, organnya adalah RUPS, Dewan Pengawas, dan Direksi.

  Selanjutnya sesuai dengan Pasal 2 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah (1) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional dan penerimaan negara; (2) mengejar keuntungan; (3) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; (4) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta atau koperasi; dan (5) turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.

  Berdasarkan prinsip-prinsip korporasi, Pemerintah juga dapat memberikan penugasan penugasan khusus kepada BUMN, namun harus mendapatkan persetujuan dari RUPS/Menteri, dan penugasan khusus tersebut dapat ditetapkan melalui

  55 peraturan perundang-undangan.

  Kepemilikan negara atas BUMN menurut badan hukumnya terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu: Persero, Perusahaan Umum (Perum), Perusahaan Jawatan

  56 (Perjan), dan Patungan Minoritas.

  Lahirnya UU nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN melahirkan sejumlah

  57

  perubahan mendasar terhadap eksistensi BUMN di Indonesia, antara lain; 55 Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan, BUMN INDONESIA: Isu, Kebijakan, dan Strategi,

  (Jakarta: Gramedia, 2006), hal. 129-143 56

  

Pertama, UU No.19 Tahun 2003 hanya mengenal dua bentuk BUMN, yakni

  Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum (Perum). Dengan demikian, BUMN dalam bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) akan dibubarkan yang akan ditetapkan Peraturan Pemerintah. Dalam hubungan ini fungsi kemanfaatan (pelayanan) umum yang selama ini menjadi tugas Perjan, akan diberikan penugasan khusus oleh pemerintah kepada Persero atau Perum. Pemberian penugasan khusus fungsi kemanfaatan umum itu kepada Persero maupun Perum harus dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan RUPS/Menteri.

  

Kedua, jika dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya kedudukan dan tugas

  Perum melayani kepentingan umum dan sekaligus untuk memupuk keuntungan dan bergerak dibidang yang oleh pemerintah dianggap vital. Dan disamping menjalankan tugas perusahaan, Perum dapat pula dibebani tugas pemerintahan. Tidak demikian halnya dengan UU No.19 Tahun 2003 , maksud dan tujuan Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat (Good Corporate Governance) .

  Dari konsepsi UU No.19 Tahun 2003 mengenai maksud dan tujuan Perum, maka bidang usaha yang dikelola Perum tidak lagi dibatasi oleh adanya sifat vital 57 Boy Yendra Tamin , REFORMASI BUMN VIDE UU NOMOR 19 TAHUN 2003; Suatu

  kajian kritis Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Paadang terhadap bidang yang menjadi usahanya. Ruang gerak Perum menjadi lebih fleksibel, dengan catatan asal penyedian barang dan jasa yang dilakukan Perum harganya terjangkau oleh masyarakat, tetapi tetap didasarkan pada prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat (Good Corporate Governance).

  

Ketiga, jika dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya Persero melakukan

  usaha perusahaan yang bisa dilakukan swasta dan bukan semata-mata tugas pemerintah. Barang-barang yang dihasilkan perusahaan bukan merupakan kewajiban negara untuk menghasilkannya. Berdasarkan UU UU No.19 Tahun 2003 , maksud dan tujuan BUMN tidak lagi diformulasikan dalam perspektif pemikiran pemerintah dan swasta. Persero dalam perspektif UU UU No.19 Tahun 2003 tidak ubahnya seperti pada perusahaan swasta. Persero diproyeksikan harus mampu bersaing dengan perusahaan milik swasta. Persero harus mampu menyediakan barang/jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat. Tujuan ini tentu tidak dapat dipisahkan dari maksud dan tujuan persero mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai dan kinerja perusahaan sebagaimana pada perusahaan milik swasta, pasal 11 UU No.19 Tahun 2003 juga menentukan berlakunya bagi BUMN segala ketentuan dam prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam UU No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

  

Keempat, jika dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya , Direksi Perum

  diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul menteri yang bersangkutan, maka berdasarkan UU No.19 Tahun 2003 pengangkatan dan pemberhentian Direksi Perum undangan. Sedangkan bagi Pesero, dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya pengangkatan dan pemberhentian Direktur Utama dan Direktur Persero oleh Menteri Keuangan selaku RUPS berdasarkan usul menteri. Sedangkan menurut UU No.19 Tahun 2003 pengangkatan pemberhentian Direksi dilakukan oleh RUPS dan dalam hal Menteri bertindak sebagai RUPS pengangkatan dan pemberhentian Direksi ditetapkan oleh Menteri.

  

Kelima, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelumnya anggota

  Direksi Perum dan Persero diangkat berdasarkan syarat-syarat kemampuan dan keahlian dalam bidang pengelolaan (manajemen) perusahaan, memenuhi syarat lainnya yang diperlukan untuk menunjang kemajuan perusahaan yang dipimpinnya dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disisi lain dalam hal Menteri berpendapat bahwa calon-calon anggota direksi persero yang diusulkan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan, maka Menteri Keuangan meminta kepada Menteri Teknis agar diusulkan calon-calon lain. Berbeda halnya dengan UU No.19 Tahun 2003, pengangkatan anggota Direksi Persero dan Perum dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan. Pola pengangkatan direksi serupa ini tidak dijumpai dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya.

  Calon anggota Direksi yang dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan oleh UU No.19 Tahun 2003 diwajibkan menandatangani kontrak manajemen sebelum ditetapkan pengangkatannya sebagai anggota Direksi. Mekanisme ini juga tidak dijumpai dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya.

  Jika diteliti UU No.19 Tahun 2003 , maka maksud dan tujuan pendirian BUMN tersebut menjadi tidak sama penekanannya antara Persero dan Perum. Dalam konteks ini maksud dan tujuan pendirian Persero adalah menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat dan mencari keuntungan guna meningkatkan nilai dan kinerja perusahaan. Sedangkan maksud dan tujuan pendirian Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dengan demikian, tujuan utama dari Persero maupun Perum pada prinsipnya adalah mengejar keuntungan, sekalipun usaha yang dilakukan bertujuan untuk kemanfaatan umum .

  Oleh sebab itu, kelahiran UU No.19 Tahun 2003 meletakkan dasar perubahan yang fundamental terhadap eksistensi BUMN di Indonesia yang selama ini senantiasa dikonsepsikan sebagai implementasi negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Dengan dihapusnya Perjan oleh UU No.19 Tahun 2003, maka substansi negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan mengalami pembaharuan. Sekaligus bisa jadi mengalami degradasi apabila ternyata kemudian dalam prakteknya, Persero dan Perum dengan berbagai dalih atau alasan enggan menerima penugasan khusus dari pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum. Dalam hubungan inilah keberadaan Perjan haruslah dilihat dalam perspektif tugas public service yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam melaksanakan tugas public service rakyat, dimana aspek mengejar keuntungan tidak begitu dipentingkan karena sudah menjadi tanggung jawab pemerintah , jadi penghapusan Perjan semestinya tidak boleh hanya dilihat hanya karena Perjan sulit menjadi unit usaha yang kompetetif. Hal itu disebabkan perusahaan jawatan tersebut disubsidi pemerintah dan karyawannya berstatus pegawai negeri sipil. Inilah salah satu sisi penting yang luput dari pertimbangan pembentuk UU No.19 Tahun 2003 dan atas penghapusan Perjan pemerintah mencarikan berkewajiban untuk mencari solusi dan mengambil kebijakan yang tepat atas dampak dihapuskannya Perjan.

  Kecenderungan dari pendirian BUMN dibawah UU No.19 Tahun 2003 tampaknya mengacu atau mengarah pada keberadaan BUMN di negara-negara maju yang sekarang berbentuk perusahaan Multinasional. Hal ini sejalan dengan apa yang

  58

  dikemukakan Robert Fabrikan bahwa pada negara-negara maju kebanyakan perusahaan negara (BUMN) merupakan hasil kesepakatan umum dan lebih penting lagi adalah pemahaman bahwa sektor-sektor perekonomian itu mempunyai arti strategis yang memerlukan keikutsertaan pemerintah secara lansung. Hanya saja aspek strategis BUMN itu dalam No.19 Tahun 2003 tidak menjadi ukuran. Intinya apakah BUMN (terutama Persero) akan bergerak disemua sector perekonomian strategis atau tidak hal tersebut tergantung pada bidang usahanya.

  Konsepsi pendirian BUMN yang demikian, tidak bisa lain memang, pemerintah harus melepaskan kecenderungan intervensinya dalam pengelolaan 58 Katon Y Stefanus, Deregulasi Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Terhadap BUMN BUMN. Pengelolaan BUMN harus diletakkan di atas sendi-sendi Good Coporate

  

Governance , sehingga kian menumbuhkan keyakinan kita bagi tercapainya

  optimalisasi peran BUMN untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diinginkan UU BUMN Secara umum BUMN dapat dikelompokkan sebagai BUMN Pionir, BUMN

  Strategis, BUMN PSO (Public Service Obligation), dan BUMN yang melaksanakan

  59

  bisnis murni. BUMN Pionir adalah jenis BUMN perintis yang belum dapat dilaksanakan oleh swasta namun sangat dibutuhkan oleh masyarakat. BUMN strategis adalah jenis BUMN yang menyangkut kepentingan negara, seperti pertahanan dan keamanan negara. BUMN PSO adalah jenis BUMN pada bidang jasa

  

dan pelayanan masyarakat yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketiga jenisBUMN

merupakan BUMN pada sektor non-kompetitif. Sedangkan BUMN yang melaksanakan bisnis

murni adalah jenis BUMN yang berorientasi keuntungan (profit) dan merupakan BUMN

pada sektor kompetitif. Sektor kompetitif adalah sektor yang dapat diperdagangkan, misalnya

industri, penerbangan (airlines), budidaya pertanian (agriculture), dan kegiatan

pendistribusian. Sektor ini sangat memungkinkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi

  60 secara cepat dan berarti, sepanjang tidak terdapat distorsi ekonomi secara luas.

59 Mas Achmad Daniri, .Aspek Governance Badan Usaha Milik Negara., http://www.

  governance-indonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=63&Itemid=2

  60 Bismar Nasution, Privatisasi: Menjual atau Menyehatkan. Makalah disampaikan pada

Seminar Program dan Kebijakan Kementerian BUMN 2004 dengan topik: .Restrukturisasi dan

Privatisasi BUMN, Manfaat dan Tantangannya dalam Upaya Meningkatkan Kinerja BUMN. , tanggal

4 September 2004, di Ruang IMTGT Biro Rektor Universitas Sumatera Utara, Medan. Lihat juga

2. Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2005 Tentang Pendirian, Pengurusan,

  Pengawasan, Dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara

  Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2005 mengatur hubungan antara Menteri, Menteri Keuangan dan Menteri Teknis dalam hal pendirian, pengurusan, pengawasan dan pembubaran BUMN.

  Ketentuan Pasal 4 Ayat (1) nenyebutkan bahwa Pendirian BUMN meliputi:

  a. pembentukan Perum atau Persero baru;

  b. perubahan bentuk unit instansi pemerintah menjadi BUMN;

  c. perubahan bentuk badan hukum BUMN; atau d. pembentukan BUMN sebagai akibat dari peleburan Persero dan Perum.

  Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan Pendirian Persero dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perseroan Terbatas.

  Ketentuan tersebut menunjuk Undang Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai dasar dari pembentukan BUMN Persero.

  Namun terdapat pengecualian yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 mengenai pendirian Perseroan, ketentuan Pasal 7 ayat (7) huruf a UU No. 40 Tahun 2007 menyebutkan bahwa ketentuan yang mewajibkan perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) , dan ketentuan dalam ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi perseroan yang merupakan Badan Usaha Milik Negara , terhadap Badan Usaha Milik Negara dibenarkan kepemilikan tunggal atas saham oleh Pemerintah .

  Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perseroan Terbatas yang sebahagian sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Indonsia , kewenangan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara adalah sebagai pemegang saham atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

  61 C.

   Pengaturan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan

  Landasan hukum yang digunakan dalam pelaksanaan dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan adalah sebagai berikut :

  1. Pasal 23 dan Pasal 33 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  2. UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara 3.

  UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN 4. Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

  5. UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas .

  6. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2001 Tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4305); 61 Pasal 1 huruf (a) PP No. 64 tahun 2001 tentang pengalihan kedudukan, tugas dan

  

wewenang Menteri Keuangan pada perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum(Perum) dan

  7. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 Tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan,

  Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tatacara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara

  10. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara.

  ayaan egara Yang Dipisahkan

  Ruang lingkup pelaksanaan dan pengelolaan kekayaan negara meliputi:

  1. Penyertaan Modal Negara (PMN) Pengelolaan kekayaan negara dimulai sejak adanya usul inisiatif baik yang diajukan oleh Menteri Negara BUMN, Menteri Keuangan atau Menteri Teknis, yang meliputi: a.

  PMN dalam rangka pendirian BUMN.

  b.

  PMN dalam rangka Penambahan Modal pada BUMN.

  c.

  PMN dalam rangka Public Service Obligation (PSO), meskipun tidak selalu PSO yang diserahkan Pemerintah kepada BUMN dilaksanakan dengan bentuk

  PMN, karena peraturan perundang undangan memungkinkan dilakukannya PSO dengan cara memberikan konpensasi.

  d.

  PMN dalam rangka pengurangan Modal, dimana dana yang diperoleh dari pengurangan modal Pemerintah pada BUMN ini digunakan untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau digunakan untuk penyertaan modal atau tambahan PMN pada tahun anggaran yang sama .

  2. Privatisasi BUMN a.

   Initial Public Offering b.

  Secondary Public Offering; c. Right Issue.

  3. Divestasi BUMN a.

  Divestasi pada BUMN Lain b.

  Divestasi pada Strategic Partner; c. Divestasi pada Pemerintah Daerah.

  4. Kekayaan Awal pada Badan Hukum Milik Negara

  a. Kekayaan Awal pada Perguruan Tinggi

  b. Kekayaan Awal pada Badan Pelaksana Migas 5. Kekayaan Awal pada Badan Pelaksana Harian Migas.

  Adapun tujuan dari dilakukan penyertaan modal Negara dari Pemerintah Republik Indonesia kepada BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya yaitu: 1.

  Optimalisasi Barang Milik Negara;

2. Mendirikan, mengembangkan/meningkatkan kinerja BUMN, BUMD, dan Badan Hukum lainnya.

  Sedangkan pertimbangan dilakukannya penyertaan modal Negara dari Pemerintah Republik Indonesia kepada BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya yaitu: 1.

  Dalam rangka pendirian dan/atau mengembangkan/meningkatkan kinerja BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya; 2. Dalam rangka mendukung BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya untuk menjalankan tugas Kewajiban Pelayanan Umum yang diberikan oleh

  Pemerintah; 3. Yang diusulkan merupakan proyek selesai kementerian/lembaga yang dari awal pengadaannya telah diprogramkan untuk diserahkan pengelolaannya pada

  BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya; 4. Kekayaan negara yang tidak dipisahkan tersebut menjadi lebih optimal apabila dikelola oleh BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya.

  Sumber penyertaan modal Negara dapat berasal dari : 1.

  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Kekayaan Negara yang tidak Dipisahkan, berupa : a. APBN Tunai

  b. Proyek Selesai

  c. Piutang Negara

  d. Aset Negara Lainnya

  3. Sumber Lainnya.

  Penyertaan modal negara adalah pengalihan kepemilikan Barang Milik Negara yang semula merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara/Daerah.

  Tujuan dilakukannya Penyertaan Modal Negara adalah, agar Barang Milik Negara dijadikan Penyertaan Modal Pemerintah Pusat dalam rangka pendirian, pengembangan, dan peningkatan kinerja Badan Usaha Milik Negara/Daerah atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara/Daerah.

  Barang Milik Negara yang dari awal pengadaannya sesuai dokumen penganggaran diperuntukkan bagi Badan Usaha Milik Negara/Daerah atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara/Daerah dalam rangka penugasan pemerintah dengan pertimbangan Barang Milik Negara tersebut akan lebih optimal apabila dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara/Daerah atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara/Daerah, baik yang sudah ada maupun yang akan dibentuk.

  Barang Milik Negara yang dapat dilakukan Penyertaan Modal Pemerintah: 1. tanah dan atau bangunan yang berada pada Pengelola Barang .

  2. tanah dan atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan sebagai modal pemerintah pusat sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggarannya .

  Pihak-pihak yang dapat melaksanakan penyertaan modal pemerintah pusat adalah: a. Pengelola Barang, untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengelola Barang.

  b. Pengguna Barang, dengan persetujuan Pengelola Barang untuk: 1)

  Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan sebagai modal pemerintah pusat sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran;

  2) Barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan.

  c. Pihak-pihak yang dapat menerima penyertaan modal pemerintah pusat 1)

  Badan Usaha Milik Negara, 2)

  Badan Usaha Milik Daerah, 3) Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara/Daerah.

  Tata cara pelaksanaan penyertaan modal pemerintah pusat yaitu Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan pada Pengguna Barang yang dari awal pengadaannya, sebagaimana tercantum dalam dokumen penganggarannya, direncanakan untuk disertakan sebagai penyertaan modal pemerintah pusat. Pengguna Barang membentuk tim internal yang bertugas antara lain:

  a) menyiapkan kelengkapan data administrasi sekurang-kurangnya meliputi:

  1. dokumen anggarannya.

  2. nilai realisasi pelaksanaan anggaran, 3. hasil audit aparat pengawas fungsional pemerintah, 4. berita acara serah terima pengelolaan sementara dari Pengguna Barang kepada penerima penyertaan modal pemerintah pusat.

  b). melakukan pengkajian.

  c) menyampaikan laporan hasil kerja tim kepada Pengguna Barang.

  Selanjutnya Pengguna Barang mengajukan usulan kepada Pengelola Barang dengan disertai: a) penjelasan/pertimbangan mengenai usul dimaksud, b) kelengkapan data administrasi tersebut dalam butir a.1), c) hasil kajian tim internal. Pengelola Barang melakukan pengkajian mengenai kelayakan usul Pengguna

  Barang. Dalam hal berdasarkan kajian tersebut pada butir c, Pengelola Barang menganggap usulan tersebut layak, Pengelola Barang menerbitkan surat persetujuan penyertaan modal pemerintah pusat dimaksud dan menyiapkan rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal tersebut. Persetujuan tersebut dalam butir d mencantumkan nilai Barang Milik Negara yang akan dijadikan penyertaan modal pemerintah pusat, yang perhitungannya didasarkan realisasi pelaksanaan anggaran setelah mempertimbangkan hasil audit. Dalam hal nilai penyertaan modal dimaksud di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Pengelola Barang mengajukan permintaan persetujuan kepada Presiden disertai dengan rancangan peraturan

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang penetapan penyertaan modal pemerintah pusat, Pengguna Barang melakukan serah terima barang dengan penerima penyertaan modal pemerintah pusat yang dituangkan dalam berita acara serah terima barang. Pengguna Barang menerbitkan keputusan penghapusan Barang Milik Negara dari Daftar Barang Pengguna dan Pengelola Barang menerbitkan keputusan penghapusan Barang Milik Negara dari Daftar Barang Milik Negara berdasarkan berita acara serah terima barang tersebut Barang Milik Negara berupa tanah dan atau bangunan yang berada pada Pengelola Barang. Pengelola Barang mengkaji perlunya penyertaan modal pemerintah pusat sesuai dengan tujuan dan pertimbangan penyertaan modal sebagaimana dimaksud Romawi II dan III dengan melibatkan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan Kementerian Negara/Lembaga yang bertanggungjawab di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara/Daerah. Usulan penyertaan modal dapat diajukan Pengguna Barang kepada Pengelola Barang.

  Dalam mengajukan usulan tersebut pada butir b, Pengguna Barang harus menyampaikan perhitungan kuantitatif yang mencantumkan perbandingan keuntungan bagi pemerintah atas penyertaan modal dengan salah satu cara lain dalam pemanfaatan Barang Milik Negara. Pengelola Barang mengkaji kelayakan usulan Pengguna Barang untuk menentukan disetujui atau tidaknya usulan dimaksud. Dalam hal usulan tidak disetujui, Pengelola Barang memberitahukan kepada Pengguna Barang disertai alasannya. Dalam hal usulan disetujui, Pengelola Barang membentuk tim yang anggotanya terdiri dari Pengelola Barang, wakil dari instansi yang melibatkan wakil dari instansi teknis yang berkompeten dan wakil dari calon penerima penyertaan modal.

  Tim bertugas untuk melakukan penelitian atas tanah dan/atau bangunan yang akan dijadikan penyertaan modal, serta menyiapkan hal-hal yang bersifat teknis dalam pelaksanaan penyertaan modal tersebut. Pengelola Barang menugaskan penilai untuk melakukan perhitungan nilai tanah dan/atau bangunan yang akan dijadikan penyertaan modal. Penilai menyampaikan laporan hasil penilaian kepada Pengelola Barang melalui Tim. Tim menyampaikan kepada Pengelola Barang laporan hasil pelaksanaan tugas termasuk usulan nilai Barang Milik Negara yang akan disertakan sebagai modal berdasarkan laporan hasil penilaian. Berdasarkan laporan tim, Pengelola Barang menetapkan nilai Barang Milik Negara yang akan disertakan sebagai modal menyusun rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal.

  Dalam hal penyertaan modal tersebut memerlukan persetujuan DPR, maka: 1.

  Pengelola Barang mengajukan permohonan persetujuan kepada DPR; 2. berdasarkan surat persetujuan dari DPR, Pengelola Barang mengajukan rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal pemerintah kepada Presiden untuk ditetapkan. Dalam hal nilai penyertaan modal di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Pengelola Barang mengajukan permintaan persetujuan kepada

  Presiden disertai rancangan peraturan pemerintah mengenai penetapan modal negara untuk ditetapkan Presiden.