Keanekaragaman Jenis dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

  Hutan Mangrove

  Hutan mangrove merupakan formasi hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah landai di muara sungai dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh karena kawasan hutan mangrove secara rutin digenangi oleh pasang air laut, maka lingkungan (tanah dan air) hutan mangrove bersifat salin dan tanahnya jenuh air. Vegetasi yang hidup di lingkungan salin, baik lingkungan tersebut kering maupun basah, disebut halopyta (Onrizal, 2005).

  Hutan mangrove banyak memberikan manfaat kepada kehidupan manusia baik secara langsung ataupun tidak langsung. Salah satu bentuk potensi yang jarang di perhitungkan adalah kemampuannya menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar baik pada vegetasi (biomasa) maupun bahan organik lain yang terdapat pada ekosistem mangrove. Kerusakan vegetasi mangrove akan menurunkan kemampuan alamiahnya untuk menyerap dan menyimpan karbon.Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas dan tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

  Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai di daerah tropis dan sub tropis (FAO, 2005).

  Menurut Hamilton dan Snedaker (1984) mangrove tumbuh subur di daerah muara sungai atau estuari yang merupakan daerah tujuan akhir dari partikel- partikel organik ataupun endapan lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibar adanya erosi. Kesuburan daerah ini juga ditentukan oleh adanya pasang surut yang mentransportasi nutrient. Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora,

  

Bruguiera , Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras,

Aegiatilis , Snaeda, dan Conocarpus.

  Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia : a.

  Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp.

  Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.

  b.

  Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.

  c.

  Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.

  d.

Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya

  Pada dasarnya konsep keanekaragaman secara umum dapat dibagi kedalam dua komponen yaitu banyaknya jenis (Species richness) atau dapat juga disebut kekayaan jenis dan distribusi individu dalam tiap jenisnya (Eveness) yang seringkali disebut equitability atau gabungan keduanya atau disebut juga keanekaragaman (diversity) (Morrison et al., 1992). Pengukuran distribusi individu dalam tiap jenis menjadi penting, karena dapat terjadi pada dua tempat yang sama keanekaragaman jenisnya tetapi sebaran individu dalam tiap jenisnya berbeda maka kedua tempat tersebut dapat sangat berbeda.

  Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan didalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuhan-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Muller-Dombois, 1974), sedangkan komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa faktor, seperti: flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain-lain), waktu dan kesempatan.

  Mangrove mempunyai komposisi vegetasi tertentu, pembentuk kelompok vegetasi ini adalah berbagai spesies tanaman mangrove yang dapat beradaptasi secara fisiologis terhadap lingkungan yang khas, yaitu salinitas tinggi, sedang atau rendah, tipe tanah yang didominasi lumpur, pasir atau lumpur berpasir, dan terpengaruh pasang surut sehingga terbentuk zonasi ( Onrizal, 2005)

  Kelimpahan jenis ditentukan berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara, 1998).

  Ekosistem mangrove merupakan daerah peralihan antara laut dan darat, dan mempunyai sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya fluktuasi beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan salinitas. Oleh karena itu, jenis-jenis tumbuhan dan binatang yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor tersebutlah yang dapat bertahan dan berkembang. Kenyataan ini menyebabkan keanekaragaman jenis biota mangrove kecil, akan tetapi kepadatan populasi masing-masing umumnya besar (Kartawinata et al,1979).

  Mangrove di Indonesia mempunyai keragaman jenis yang tinggi yaitu memiliki 89 jenis tumbuhan yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987).

  Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies, dan sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitasnya itu disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies yang dominan (Irwanto, 2006).

  Jenis yang dominan mempunyai produktivitas yang besar, dan dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan yang perlu diketahui adalah diameter batangnya. Keberadaan jenis dominan pada lokasi penelitian menjadi suatu indikator bahwa komunitas tersebut berada pada habitat yang sesuai dan mendukung pertumbuhannya. Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi hutan mangrove adalah pasang surut air laut, salinitas, kondisi subrat tempat tumbuh dan keterbukaan terhadap hempasan gelombang. Dengan adanya kondisi yang berpengaruh tersebut hutan mangrove beradaptasi dalam hal ; sistem akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem peakaran; sistem perkembangan buah (vivipar, kriptovivipar dan biji normal); pola zonasi pertumbuhan dan komposisi mangrove (Onrizal, 2005).

  Vegetasi mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang hidup di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob (Snedaker, 1978). Mangrove adalah jenis tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang terletak diantara pasang tertinggi sampai daerah yang mendekati ketinggian rata-rata air laut, atau lebih tinggi dari permukaan laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis (Aksornkoae, 1993).

  Hutan mangrove banyak menghasilkan bahan organik yang telah mengalami proses dekomposisi dan merupakan sumber makanan yang dibutuhkan oleh fauna invertebrata antara lain jenis kepiting . Bahan organik dari pohon- pohon dan pertumbuhan akar di bawah permukaan merupakan sumber karbon organik dalam bentuk endapan pada ekosistem mangrove.

  Selain menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity) , ekosistem mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah (genetic pool) untuk mendukung keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Habitat mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground) bagi biota air dan sebagai tempat mengasuh dan membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground) dan tempat berlindung yang aman bagi berbagai juvenil dan larva ikan serta kerang (shellfish) dari predator (Irwanto, 2006).

  Mangrove membentuk struktur akar yang khas, yang disebut akar udara (aerial roots). Akar udara adalah akar yang terkena udara secara langsung, selama beberapa waktu dalam sehari atau bahkan sepanjang hari, struktur perakaran tersebut merupakan kunci yang penting untuk membedakan jenis. Selanjutnya Kitamura, (2003), menyatakan bahwa struktur perakaran mangrove dapat dibagi menjadi 6 kategori yaitu : akar tunjang, akar nafas, akar lutut, akar banir dan tanpa akar udara.

  Dalam perputaran iklim, hutan memiliki peran ganda. Deforestasi dan degradasi hutan melepas karbon yang tersimpan dalam pohon atau lahan gambut.

  Diperkirakan jumlah emisinya mencapai antara 17-20 persen total emisi gas rumah kaca dunia, lebih besar daripada emisi sektor transportasi global. Selain itu, hutan yang sehat menyerap karbon dioksida dari atmosfer untuk membantu proses fotosintesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 15 persen dari 32 miliar ton karbon dioksida yang dihasilkan setiap tahun oleh kegiatan manusia diserap oleh hutan (Kristensen et al., 2008).

  Peran hutan menjadi lebih penting lagi dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Hutan menutupi antara 86 – 93 juta hektar, atau hampir setengah total wilayah darat negara ini. Menurut data terakhir Kementerian Kehutanan, Indonesia kehilangan 1.18 juta hektar hutan setiap tahunnya. Deforestasi dan perubahan tata guna lahan, termasuk lahan gambut, menghasilkan sekitar 60 persen total emisi Indonesia (Dirjen RLPS, 2006).

  Struktur emisi seperti ini membuat Indonesia memilih penanganan deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu cara utama mengurangi emisi dan menghadapi perubahan iklim. Hal ini sesuai dengan kesepakatan global untuk memasukkan skema REDD, yaitu insentif positif bagi negara berkembang yang melindungi hutannya, dalam perjanjian yang akan berlaku sesudah Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012.

  Berdasarkan data Direktorat Jendral Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial (2006) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 1999 diperkirakan mencapai 8.60 juta hektar akan tetapi sekitar 5.30 juta hektar dalam keadaan rusak. Data FAO (2007) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3,062,300 ha atau 19% dari luas hutan Mangrove di dunia dan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%).

  Ekosistem mangrove mampu menyimpan karbon organik dalam jumlah yang besar dan pada beberapa ekosistem mangrove, ditemukan bahwa sedimen yang kaya organik berada pada beberapa meter kedalaman. Besarnya karbon tersimpan tergantung kepada kondisi lingkungan. Kenaikan produksi utama karbon berhubungan dengan usia tegakan, besarnya tingkatan efisiensi karbon yang tersimpan di sedimen mangrove (Rahayu et al., 2009).

  Untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya nyata yang harus segera dilakukan pada saat ini adalah meningkatkan penyerapan karbon atau menurunkan emisi karbon (Lasco, 2002). Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan cadangan karbon yang telah ada melalui pengelolaan hutan lindung, pengendalian deforestasi, penerapan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b) meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c) mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbarui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi.

  Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan (a) meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh, karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah menanam dan memelihara pohon (Lasco, 2002).

  Suatu lahan mangrove dapat dikategorikan sebagai lahan kritis, apabila lahan tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi, baik sebagai fungsi produksi, fungsi perlindungan maupun fungsi pelestarian alam. Berdasarkan hasil-hasil kajian sebelumnya, kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh faktor biofisik lingkungan dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Berdasarkan cara pengumpulan data, penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dapat dilakukan dengan tiga cara (Dirjen RLPS, 1997), yaitu: a.

  Penilaian dengan menggunakan teknologi GIS (Geographic Information System) dan indera (citra satelit).

  b.

  Penilaian secara langsung di lapangan (terestris).

  c.

  Kriteria-kriteria penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove berdasarkan faktor sosial ekonomi.

  Biomassa

  Biomassa merupakan hasil fotosintesis berupa selulosa, lignin, gula bersama dengan lemak, pati, protein, damar, fenol dan berbagai senyawa lainnya.

  Begitu pula unsur hara, nitrogen, fosfor, kalium dan berbagai unsur lain yang dibutuhkan tumbuhan melalui perakaran. Biomassa inilah yang merupakan kebutuhan makhluk di atas bumi melalui mata rantai antara binatang dan manusia dalam proses kebutuhan CO yang diikat dan O yang dilepas. Di permukaan bumi

  2

  2

  ini, kurang lebih terdapat 90% biomassa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan/cabang, daun, akar, dan sampah hutan (serasah), hewan dan jasad renik (Arief, 2001)

  Produksi Biomassa merupakan proses yang ditetapkan secara khusus melalui keseimbangan antara karbon yang diambil melalui proses fotosintesis dan proses hilangnya karbon melalui resfirasi. Karbon merupakan produk dari produksi biomassa yang dibentuk dikurangi dengan total yang hilang melalui jaringan akar halus, daun, dan cabang serta karena adanya penyakit, sisanya tergabung dalam struktur yang tersimpan di dalam pohon. Penyerapan air dan elemen penting lainnya akan berpengaruh terhadap keseimbangan karbon dan pengalokasian karbon (Johnsen et al. , 2001).

  Biomassa dapat menstimulasikan penyerapan karbon melalui proses fotosintesis dan penghilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih di simpan dalam organ tumbuhan. Fungsi dan model biomassa direpresentasikan melalui persamaan dengan tinggi dan diameter pohon (Boer et al., 1996).

  Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan karbon lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun, cabang, ranting, bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran). Cadangan karbon di bawah permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati, organisme tanah dan bahan organik tanah. Pemanenan hasil kayu (kayu bangunan, pulp, arang atau kayu bakar), resin, buah-buahan, daun untuk makanan ternak menyebabkan berkurangnya cadangan karbon dalam skala plot, tetapi belum tentu demikian jika kita perhitungkan dalam skala global. Demikian juga halnya dengan hilangnya bahan organik tanah melalui erosi (Rahayu et al., 2009) Biomassa atau phytomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) persatuan unit area pada suatu waktu. Biomassa bisa dinyatakan dalam ukuran berat, seperti berat kering dalam gram atau dalam kalori. Karena kandungan air pada setiap pohon berbeda, maka biomassa diukur

  2

  berdasarkan berat kering. Unit satuan biomassa adalah gr m atau kg per ha atau ton per ha , sedangkan laju produksi biomassa adalah laju akumulasi biomassa dalam kurun waktu tertentu, sehingga unit satuannya juga menyatakan persatuan waktu, misalnya kg per ha per tahun (Barbour et al., 1987).

  Serasah adalah bahan organik dari bagian pohon yang mati yang jatuh di lantai hutan (daun, ranting dan alat reproduksi, dan produksi serasah adalah berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah pada suatu waktu. Pada hutan bakau besarnya prduksi serasah dipengaruhi oleh (1) besarnya diameter pohon, (2) produksi daun-daun baru sebagai adaftasi dari salinitas yang tinggi akibat pengaruh pasang surut air laut, (3) keterbukaan dari pasang surut dimana makin terbuka makin optimal (Kusmana et al., 2008).

  Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan di bawah permukaan tanah (below

  

ground biomass ). Atau dapat dinyatakan bahwa biomassa di atas permukaan tanah

  adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu yang dikaitkan dengan fungsi sistim produktifitas, usia tegakan, dan penyebaran organik (Kusmana et al., 1992).

  Menurut Chapman (1976) sebelumnya telah mengelompokkan metode pendugaan biomassa di atas permukaan tanah ke dalam dua kategori, yaitu (1) metode pemanenan, yang terdiri atas (a) metode pemanenan individu tanaman, (b) metode pemanenan kuadrat dan (c) metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata dan (2) metode pendugaan tidak langsung yang terdiri atas (a) metode hubungan alometrik, yakni dengan mencari korelasi yang paling baik antara dimensi pohon dan biomassanya, dan (b) crop meter, yakni dengan cara menggunakan seperangkat elektroda yang kedua kutubnya di letakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu.

  Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis tegakannya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah. Biomasa pohon (dalam berat kering) dihitung menggunakan "allometric equation " berdasarkan pada diameter batang setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah (Rahayu, et al., 2007).

  Potensi tumbuhan di hutan mangrove umumnya lebih tinggi dan lebih cepat, sehingga dapat mempercepat akumulasi karbon di dalam tanaman. Vegetasi hutan mempunyai kemampuan untuk menyerap CO

  2 . Hutan mampu menyerap karbon

  melalui (1) pertambahan bersih dari biomassa karbon dan inventarisasi tegakan, (2) penyerapan melalui tegakan hutan (Faeth dan Livenash ,1994 dalam Yasri).

  Jumlah karbon yang diserap oleh hutan akan ditentukan oleh : (1) jumlah karbon pada biomassa tegakan, (2) jumlah karbon yang tersisa di bawah permukaan tanah pada akhir rotasi, dan (3) jumlah karbon yang disimpan di dalam produk yang terbentuk dari pemanenan kayu (Johnson et al., 2001 dalam Yasri).

Dokumen yang terkait

Pendugaan Cadangan Karbon dan Emisi Gas CO2 Pada Perubahan Tutupan Lahan Hutan Mangrove Sekunder dan Permukiman Di Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

2 94 136

Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak Silvofishery Di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

3 77 76

Keanekaragaman Jenis dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

4 50 60

Kelimpahan dan Keanekaragaman Kepiting Bakau (Scylla spp.) pada Hutan Mangrove di Kawasan Sungai Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat

4 119 57

Studi Keanekaragaman Mangrove Berdasarkan Tingkat Salinitas Air Laut di Desa Selotong Kecamatan Sicanggang Kabupaten Langkat.

10 81 46

Analisa Keanekaragaman Jenis Pohon Hutan Mangrove di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara

11 74 65

Pengaruh Agro Industri Terhadap Kerusakan Hutan Mangrove Dan Pendapatan Masyarakat (Studi Kasus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat)

0 25 94

Pendugaan Cadangan Karbon dan Emisi Gas CO2 Pada Perubahan Tutupan Lahan Hutan Mangrove Sekunder dan Permukiman Di Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

0 0 9

Pendugaan Cadangan Karbon dan Emisi Gas CO2 Pada Perubahan Tutupan Lahan Hutan Mangrove Sekunder dan Permukiman Di Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

0 0 12

Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak Silvofishery Di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

0 4 15