BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis 2.1.1. Pasar Modal - Pengaruh Faktor Makro Ekonomi dan Faktor Fundamental Terhadap Harga Saham Perusahaan Asuransi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Teoritis

2.1.1. Pasar Modal

  Menurut Silvanita (2009:3), pasar modal merupakan pasar keuangan yang mentransaksikan sekuritas instrumen yang memiliki waktu jatuh tempo lebih dari satu tahun. Instrumen pasar modal adalah: corporate stock, corporate bonds, U.S.

  government securities, state and local government bond.

  Manfaat pasar modal diantaranya (Darmaji dan Fakhruddin, 2006:3): 1. Menyediakan sumber pendanaan atau pembiayaan (jangka panjang) bagi dunia usaha, sekaligus memungkinkan alokasi sumber dana secara optimal.

  2. Memberikan wahana investasi bagi investor sekaligus memungkinkan upaya diverifikasi.

  3. Menyediakan indikator utama bagi tren ekonomi negara.

  4. Memungkinkan penyebaran kepemilikan perusahaan sampai lapisan masyarakat menengah.

  5. Menciptakan lapangan kerja/ profesi yang menarik.

  6. Memberikan kesempatan memiliki perusahaan yang sehat dengan prospek yang menarik.

  7. Alternatif investasi yang memberikan potensi keuntungan dengan risiko yang bisa diperhitungkan melalui keterbukaan, likuiditas, dan diversifikasi investasi.

  8. Membina iklim keterbukaan bagi dunia usaha dan memberikan akses kontrol sosial.

  9. Mendorong pengolaan perusahan dengan iklim terbuka, pemanfaatan manajemen profesional, dan penciptaan iklim berusaha yang sehat.

2.1.2. Saham

  Saham adalah tanda bukti memiliki perusahaan di mana pemiliknya disebut juga juga sebagai pemegang saham (Samsul, 2006:45). Saham terdiri atas dua, yaitu: 1.

  Saham preferen (preferrend stock) Saham preferen adalah saham yang mempunyai kombinasi karakteristik gabungan dari obligasi maupun saham biasa karena saham preferen memberikan pendapatan yang tetap seperti obligasi dan juga mendapatkan hak kepemilikan seperti pada saham biasa. (Tandelilin, 2001:18) Menurut Koch (2008:130), ciri-ciri dari saham preferen adalah:

  Memiliki dividen lebih tinggi

  • Didahulukan saat likuidasi
  • Tidak memiliki hak residual
  • Menurut Mishkin (dalam Silvanita, 2009:105), pemegang saham preferen berbeda dengan pemegang saham biasa dalam beberapa hal, yaitu: 1)

  Pemegang saham preferen memperoleh dividen tetap (fixed dividend) 2)

  Harga dari saham preferen relatif stabil 3)

  Pemegang saham preferen tidak selalu menggunakan hak suaranya kecuali perusahaan gagal membayar dividennya

  4) Pemegang saham preferen mendapat prioritas klaim terhadap aset dibandingkan pemegang saham biasa, tetapi setelah pemegang obligasi.

  2. Saham biasa (common stock) Saham biasa adalah sekuritas yang menunjukkan bahwa pemegang saham biasa tersebut mempunyai hak kepemilikan atas aset-aset perusahaan (Tandelilin, 2001:18). Menurut Anoraga dan Pakarti (2006:54), saham biasa adalah saham yang tidak memperoleh hak istimewa. Pemegang saham biasa mempunyai hak untuk memperoleh dividen sepanjang perseroan memperoleh keuntungan. Pemilik saham mempunyai hak suara pada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya (one share one vote).

  Menurut Anoraga dan Pakarti (2006:54), dengan memiliki saham suatu perusahaan maka manfaat yang diperoleh di antaranya sebagai berikut:

  1. Dividen, bagian dari keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada pemilik saham.

  2. Capital gain, keuntungan yang diperoleh dari selisih harga jual dan belinya.

  3. manfaat non-finansial yaitu timbulnya kebanggaan dan kekuasaan memperoleh hak suara dalam menentukan jalannya perusahaan.

  Bagi pihak yang memiliki saham akan memperoleh beberapa keuntungan sebagai bentuk kewajiban yang harus diterima, yaitu (Fahmi, 2012:275-276):

  1. memperoleh dividen yang akan diberikan pada setiap akhir tahun.

  2. Memperoleh capital gain, yaitu keuntungan pada saat saham yang dimiliki tersebut dijual kembali pada harga yang lebih mahal.

  3. Memiliki hak suara suara bagi pemegang saham jenis common stock (saham biasa).

  Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2006:8-9), ditinjau dari kinerja perdagangannya, maka saham dapat dikategorikan:

  1. Blue chips: yaitu saham biasa dari suatu perusahaan yang memiliki reputasi yang tinggi, sebagai pemimpin di industri sejenis, memiliki pendapatan yang stabil dan konsisten dalam membayar dividen.

  2. Income stock: yaitu saham dari suatu emiten yang memiliki kemampuan membayar dividen lebih tinggi dari dividen rata-rata yang dibayarkan pada tahun sebelumnya.

  3. Growth stock (well known): yaitu saham dari emiten yang memiliki pertumbuhan pendapatan yang tinggi, sebagai pemimpin di industri sejenis yang mempunyai reputasi tinggi.

  4. Speculative stock: yaitu saham suatu perusahaan yang tidak bisa secara konsisten memperoleh penghasilan dari tahun ke tahun, namun memiliki kemungkinan penghasilan yang tinggi di masa mendatang, meskipun belum pasti.

5. Cyclical stock: yaitu saham yang tidak terpengaruh oleh kondisi ekonomi makro ataupun situasi bisnis secara umum.

  Menurut Fahmi (2012:277), ada beberapa alasan yang menjelaskan mengapa suatu perusahaan memutuskan untuk menerbitkan dan menjual saham, yaitu: 1.

  Membutuhkan dana dalam jumlah yang besar dan pihak perbankan tidak mampu untuk memberikan pinjamna karena berbagai alasan seperti tingginya risiko yang akan dialami jika terjadi kemacetan.

  2. Keinginan perusahaan untuk mempublikasikan kinerja perusahaan secara lebih sistematis.

  3. Menginginkan harga sahan perusahaan terus naikdan terus diminati oleh konsumen secara luas, sehingga ini nantinya akan memberi efek kuat bagi perusahaan seperti rasa percay diri di kalangan manajemen perusahaan.

  4. Mampu memperkecil risiko yang timbul karena permasalahan risiko diselesaikan dengan pembagian dividen.

  Adapun para pelaku di pasar saham disamping perusahaan yang bersangkutan juga turut melibatkan pihak lain, yaitu (Fahmi, 2012:278):

  1. Emiten, yaitu perusahaan yang terlibat dalam menjual sahamnya di pasar modal.

  2. Underwriter atau penjamin, yaitu yang menjamin perusahaan dalam menjual sahamnya di pasar modal.

  3. Broker atau pialang, yaitu perantara antara pembeli dan penjual sekunder.

2.1.3. Harga Saham

  Harga pasar saham akan sangat berarti bagi perusahaan karena harga tersebut akan menetukan besarnya nilai perusahaan. (Tandelilin, 2001:19) Pada monitor-monitor yang memantau perdangangan saham, tertera beberapa istilah harga saham, yaitu (Darmadji, 2006:131) :

  1. Previous Price menunjukkan harga pada penutupan hari sebelumnya.

  2. Open atau Opening Price menujukkan harga pertama kali pada saat pembukaan sesi I perdagangan, yaitu jam 09.30 pagi.

  3. High atau Highest Price menunjukkan harga tertinggi atas suatu saham yang terjadi sepanjang perdangangan pada hari tersebut.

  4. Low atau Lowest Price menunjukkan harga terendah atas suatu saham yang terjadi sepanjang perdangangan pada hari tersebut.

  5. Last Price menunjukkan harga terakhir yang terjadi atas suatu saham.

  6. Change menunjukkan selisih antara harga pembukaan dengan harga yang terjadi.

  7. Close atau Closing Price menunjukkan harga penutupan suatu saham pada saat akhir sesi II, yaitu jam 16.00 sore.

  Berdasarkan fungsinya, nilai suatu saham dibagi atas tiga jenis, yaitu sebagai berikut (Anoraga dan Pakarti, 2006:58-59):

  1. Par Value (Nilai Nominal)/Stated Value /Face Value Nilai yang tercantum pada saham untuk tujuan akuntasi. Nilai nominal ini tidak digunakan untuk mengukur sesuatu. Dalam pencatatan akuntansi nilai nominal dicatat sebagai modal ekuitas perseroan di dalam neraca.

  2. Base Price (Harga Dasar) Harga dasar akan berubah sesuai dengan aksi emiten. Pada saham baru, harga dasar merupakan harga perdananya.

  3. Market Price

  Market price merupakan harga pada pasar riil, dan merupakan harga yang

  paling mudah ditentukan karena merupakan harga dari suatu saham pada pasar yang sedang berlangsung atau jika pasar sudah tutup, maka harga pasar adalah harga penutupannya (closing price). Ada beberapa kondisi dan situasi yang menentukan suatu saham tersebut akan mengalami fluktuasi, yaitu (Fahmi, 2012:276-277):

  1. Kondisi mikro dan makro ekonomi.

  2. Kebijakan perusahaan dalam memutuskan untuk ekspansi, seperti membuka kantor cabang, kantor cabang pembantu baik yang dibuka di domestik maupun luar negeri.

  3. Pergantian direksi secara tiba-tiba.

  4. Adanya direksi atau pihak komisaris perusahaan yang terlibat tindak pidana dan kasusnya sudah masuk ke pengadilan.

  5. Kinerja perusahaan yang terus mengalami penurunan dalam setiap waktunya.

  6. Risiko sistematis, yaitu suatu bentuk risiko yang terjadi secara menyeluruh dan telah ikut menyebabkan perusahaan terlibat.

  7. Efek dari psikologi pasar yang ternyata mampu menekan kondisi teknikal jual beli saham.

2.1.4. Faktor Makro

  Menurut Murhadi (2009:19), Ada beberapa variabel/indikator makro ekonomi yang mempengaruhi pergerakan harga saham seperti Gross Domestic

  

Product (GDP)/Produk Domestik Bruto (PDB), interest rate/tingkat suku bunga,

  inflasi, exchange rate/nilai tukar, oil prices and commodity prices, hedging, busines cycle /siklus bisnis dan lainnya.

  Sedangkan menurut Harianto dan Sudomo (2001:9), ukuran aktivitas ekonomi yang biasa digunakan adalah Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat inflasi, tingkat bunga, tingkat pengangguran, dan nilai tukar Rupiah.

2.1.4.1. Suku Bunga

  Menurut Harianto dan Sudomo (2001:19-20), tingkat bunga adalah ukuran keuntungan investasi yang dapat diperoleh oleh pemodal dan juga merupakan ukuran biaya modal yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk menggunakan dana dari pemodal. Sedangkan menurut Samuelson dan Nordhaus (2004:190), suku bunga adalah jumlah bunga yang dibayarkan per unit waktu yang disebut sebagai persentase dari jumlah yang dipinjamkan.

  Faktor-faktor penting yang menentukan tingkat suku bunga adalah (Bodie et.al, 2006:180):

  1. Suplai dana dari para penabung terutama sektor rumah tangga.

  2. Permintaan terhadap dana dari sektor bisnis untuk keperluan pembiayaan investasi dalam bentuk pabrik, peralatan dan persediaan.

  3. Penawaran dan permintaan bersih pemerintah terhadap dana yang terlihat dari tindakan-tindakan bank sentral.

2.1.4.2. Inflasi

  Menurut Mankiw (2006:75), inflasi adalah kenaikan dalam tingkat harga rata–rata, dan harga adalah tingkat dimana uang dipertukarkan untuk mendapatkan barang dan jasa. Sedangkan menurut Putong dan Andjaswati (2010:133), inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum secara terus menerus.

  Inflasi adalah ukuran ekonomi yang memberikan gambaran tentang peningkatan harga rata-rata barang dan jasa yang diproduksi oleh sistem perekonomian. (Harianto dan Sudomo, 2001: 18-19)

  Menurut Putong dan Andjaswati (2010:138-139), inflasi dibagi atas: 1. Menurut sifatnya, dibagi menjadi 4 kategori: a.

  Inflasi merayap/ rendah yaitu inflasi yang besarnya kurang dari 10% per tahun b.

  Inflasi menengah besarnya antara 10 - 30% pertahun yang ditandai dengan naiknya harga-harga secara cepat dan relatif besar.

  c.

  Inflasi berat, yaitu inflasi yang besarnya antara 30 - 100% pertahun.

  Dalam kondisi ini harga-harga secara umum naik.

  d.

  Inflasi sangat tinggi yaitu inflasi yang ditandai oleh naiknya harga secara drastis hingga mencapai 4 digit (di atas 100%). Pada kondisi ini masyarakat tidak ingin lagi menyimpan uang karena nilainya merosot sangat tajam sehingga lebih baik ditukarkan dengan barang.

  2. Berdasarkan sebabnya a.

  Demand pull inflation. Inflasi ini timbul karena adanya permintaan keseluruhan yang tinggi disatu pihak, dipihak lain kondisi produksi telah mencapai kesempatan kerja penuh. Untuk mengatasinya diperlukan adanya pembukaan kapasitas produksi baru dengan penambahan tenaga kerja baru.

  b.

  Cost push inflation. Inflasi ini disebabkan turunnya produksi karena naiknya biaya produksi yang dapat terjadi karena tidak efisiennya perusahaan, nilai kurs mata uang negara yang bersangkutan jatuh/ menurun, dan sebagainya.

  3. Berdasarkan asalnya a.

  Inflasi yang berasal dari dalam negeri yang timbul karena terjadinya defisit dalam pembiayaan dan belanja negara yang terlihat pada anggaran belanja negara. Untuk mengatasinya biasa pemerintah mencetak uang baru.

  b.

  Inflasi yang berasal dari luar negeri. Karena negara yang menjadi mitra dagang suatu negara mengalami inflasi yang tinggi, maka harga barang dan ongkos produksi relatif mahal sehingga bila terpaksa, negara lain harus mengimpor barang tersebut maka harga jual di dalam negeri tentu akan bertambah mahal.

2.1.4.3. Kurs

  Nilai tukar atau kurs valuta asing menunjukkan harga atau nilai mata uang suatu negara dinyatakan dalam nilai mata uang negara lain. Nilai tukar valuta asing dapat juga didefinisikan sebagai jumlah uang domestik yang dibutuhkan, yaitu banyaknya Rupiah yang dibutuhkan untuk memperoleh satu unit mata uang asing. (Supriana, 2008:201)

  Menurut Supriana (2008:201), ada dua cara untuk menyatakan kurs, yaitu: 1. Model Eropa yang sering disebut dengan indirect quote.

  Penetapan kursnya dilakukan berdasarkan pada beberapa unit mata uang asing yang dibutuhkan untuk membeli satu unit mata uang dalam negeri.

  2. Model Amerika yang sering disebut direct quote.

  Model ini menjelaskan beberapa unit Rupiah yang dibutuhkan untuk membeli satu unit US Dollar. Kurs ini merupakan kurs yang biasa dipakai di Indonesia. Cara lainnya dalam menentukan niali tukar valuta asing adalah: 1. Berdasarkan permintaan dan penawaran mata uang asing pasar bebas.

  2. Ditentukan oleh pemerintah.

  Nilai tukar valuta asing dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (Supriana, 2008:202-204): 1.

  Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate) Dalam sistem ini, niali tukar ditentukan oleh pemerintah. Pemerintah melakukan intervensi dalam menentukan nilai tukar valuta asing.

  Tujuannya adalah untuk memastikan nilai tukar yang terjadi tidak memberikan pengaruh buruk terhadap perekonomian.

  Apabila harga suatu mata uang domestik yang ditetapakan oleh pemerintah lebih rendah dari nilai tukar pasar bebas, maka mata uang domestik dinilai terlalu rendah (undervalued currency). Sedangkan apabila harga mata uang domestik yang ditetapakan oleh pemerintah lebih tinggi dari yang ditentukan oleh pasar bebas, maka mata uang tersebut dinamakan mata uang yang dinilai terlalu tinggi (overvalued currency).

  Sistem nilai tukar tetap membutuhkan cadangan devisa yang sangat besar karena Bank Sentral harus berukang kali mengintervensi pasar agar nilai tukar berada pada posisi yang dikehendaki.

2. Sistem Nilai Tukar Mengambang (Flexible Exchange Rate)

  Dalam sistem ini, nilai tukar ditentukan oleh besarnya jumlah permintaaan dan jumlah penawaran. Sistem ini tidak membutuhkan cadangan devisa dan Bank Sentral juga tidak perlu mengintervensi pasar karena kurs valuta asing ditetapkan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran mata uang yang bersangkutan.

  Semakin tinggi harga suatu mata uang, semakin sedikit permintaan mata uang tersebut. sebaliknya semakin rendah harga suatu mata uang semakin besar permintaan terhadap maat uang tersebut. Menurut Supriana (2008:204-205), terdapat 6 sistem nilai tukar yang dipakai oleh banyak negara di dunia, yaitu:

  1. Sistem Fixed (Pegged), dimana otoritas moneter selalu mengintervensi pasar untuk mempertahankan nilai tukar mata uang sendiri terhadap satu mata uang asing tertentu. Intervensi tersebut memerlukan cadangan devisa yang relatif besar.

  2. Sistem Adjustable Peg, dimana otoritas moneter terikat untuk mempertahankan nilai tukar valuta asing. Namun otoritas moneter berhak mengubah kurs apabila terjadi perubahan kebijakan.

  3. Sistem Crawling Peg, dimana otoritas moneter menguatkan mata uang dalam negeri terhadap satu atau beberapa mata uang asing. Nilai tukar valuta asing dalam sistem ini diubah secara periodik dan berangsur-angsur dalam persentase yang kecil.

  4. Sistem Managed Float, dimana otoritas moneter tidak terikat untuk mempertahankan nilai tukar valuta asing tertentu. Namin otoritas moneter secara kontinu mengintervensi pasar berdasarkan pertimbangan- pertimbangan tertentu, misalnya karena cadangan devisa yang menipis.

  5. Sistem Wider Band, dimana otoritas moneter membiarkan nilai tukar valuta asing mengambang atau berfluktuasi diantara dua titik tertinggi atau terendah, misalnya di antara Rp. 4.000 – Rp. 3.000 US Dollar. Jika keadaan perekonomian menyebabkan kurs bergerak melampaui dua titik tersebut, maka otoritas moneter akan mengintervensi pasar dengan cara membeli atau menjual Rupiah atau US Dollar.

2.1.5. Faktor Fundamental

  Faktor fundamental sering dipakai sebagai salah satu faktor yang dipergunakan dalam menganalisis harga saham. Analisis fundamental didasarkan pada premis bahwa sekuritas mempunyai nilai intrinsik atau nilai sesungguhnya yang dapat diestimasi oleh seorang investor. Bagi seorang investor, analisis fundamental berguna untuk dapat memperkirakan nilai intrinsik suatu saham

  (Fahmi, 2006:31). Menurut Jogiyanto (2003:89), analisis fundamental adalah analisis untuk menghitung nilai intrinsik saham dengan menggunakan data keuangan perusahaan.

  Menurut Siswoyo (2011:3-4), analisis fundamental memperhitungkan berbagai faktor yang dapat mempengatuhi perekonomian, baik perekonomian secara makro maupun mikro. Secara makro seperti kondisi perekonomian global, perekonomian suatu negara, adanya krisis atau masalah perekonomian dalam suatu negara dan sebagainya. Secara mikro, dengan mempelajari laporan keuangan perusahaan, menganalisis kebijakan perusahaan dan sebagainya.

  Anoraga dan Pakarti (2006:109) menyatakan bahwa analisis fundamental menyangkut analisis tentang kekuatan dan kelemahan perusahaan, bagimana kegiatan operasionalnya, dan juga bagaimana prospeknya di masa yang akan datang.

  Fungsi analisis fundamental adalah untuk mendapat informasi apakah suatu saham layak untuk dibeli dan dipertahankan dalam jangka panjang atau tidak. Tujuan analisis fundametal adalah untuk memilih saham-saham yang baik untuk berinvestai. (Widoatmodjo, 2012:132)

2.1.5.1. Price Earning Ratio (PER)

  PER menunjukkan rasio dari harga saham terhadap earnings. Rasio ini menunjukkan berapa besar investor menilai harga dari saham terhadap kelipatan dari earnings. (Jogiyanto, 2003:105). Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2006:198), PER menggambarkan apresiasi pasar terhadap kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Bagi investor, semakin kecil PER suatu saham, semakin bagus, karena saham tersebut termasuk dalam kategori murah.

  Rumusnya adalah:

  harga pasar saham

  PER = ( Jogiyanto, 2003:105)

  laba bersih

  2.1.5.2. Return on Investment (ROI)

  ROI merupakan rasio yang menunjukkan hasil atas jumlah aktiva yang digunakan dalam perusahaan. ROI juga merupakan suatu ukuran tentang efektivitas manajemen dalam mengelola investasinya (Kasmir, 2013:114). Menurut Sartono (2010:123), ROI menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari aktivitas yang dipergunakan.

  Rumusnya adalah:

  laba setelah bunga dan pajak

  ROI = (Kasmir, 2013:114)

  total aset

  2.1.5.3. Debt to Equity Ratio (DER)

  DER merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utang dengan ekuitas. Rasio ini berguna untuk mengetahui jumlah dana yang disediakan peminjam dengan pemilik perusahaan. (Kasmir, 2013:112). Semakin tinggi rasio ini maka semakin besar risiko yang dihadapi, dan investor akan meminta tingkat keuntungan yang semakin tinggi. Rasio yang tinggi juga menunjukkan proporsi modal sendiri yang redah untuk membiayai aktiva. (Sartono, 2010:121) Rumusnya adalah:

  total hutang

  DER (Kasmir, 2013:112)

  = ekuitas

2.2. Penelitian Terdahulu

  DER dan BETA berpengaruh negatif dan signifikan terhadap harga saham EPS dan PER berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham

  IHSG

  IHSG Secara parsial, hanya variabel kurs yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IHSG Inflasi,suku bunga, kurs, dan pertumbuhan PDB secara simultan berpengaruh signifikan terhadap

  Variabel Independen: 1. inflasi 2. suku bunga 3. kurs 4.pertumbuhan PDB Variabel dependen:

  Analisis Regresi Linear Berganda

  Pengaruh Inflasi, Suku Bunga, Kurs, dan Pertumbuhan PDB Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

  Kewal (2012)

  IHSG Secara parsial hanya nilai tukar yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IHSG Inflasi, suku bunga, nilai tukar, dan jumlah uang yang beredar secara simultan berpengaruh terhadap IHSG

  Variabel Independen: 1. inflasi 2. suku bunga 3. nilai tukar 4. jumlah uang beredar Variabel dependen:

  Analisis Regresi Linear Berganda

  Pengaruh Fundamental Ekonomi Makro Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Pada Bursa Efek Indonesia Periode 2002- 2011

  Wijaya (2013)

  Penelitian terdahulu disajikan dalam Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

  5. PER

  4. EPS

  3. DER

  2. ROE

  1. ROA

  Variabel independen :

  Model regresi data panel

  Analisis Fundamental dan Resiko Sistematis terhadap Harga Saham Perbankan yang Terdaftar pada Indeks LQ45

  Hasil Penelitian Amanda dan Pratomo (2013)

  Variabel yang Diteliti

  Judul Metode Analisis

  Peneliti (Tahun)

  6. BETA Variabel dependen: harga saham Priatinah dan Kusuma (2012)

  Pengaruh

  Share secara parsial

  Nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IHSG Suku Bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IHSG

  Variabel independen : 1. nilai tukar uang 2. suku bunga 3. tingkat inflasi Variabel dependen: 1. volume perdagangan saham 2. harga saham (IHSG)

  Hierarky Mutiple Regres- sion Analysis

  Pengaruh Faktor Makro Ekonomi Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan dengan Volume Perdagangan Sebagai Variabel Intervening (Studi Kasus di BEJ Periode Januari 2004 – Desember 2008) pengujian asumsi regresi dilanjutk an

  Murni (2010)

  simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Harga Saham

  per Share secara

  dan Dividen

  Return on Investment , Earning per Share

  berpengaruh positif dan signifikan terhadap Harga Saham

  dan Dividen per

  Return on Investment

  Return on Investment, Earning per Share

  3. DPS Variabel dependen: harga saham

  2. EPS

  1. ROI

  Variabel independen :

  Analisis Regresi Linear Berganda

  Terhadap Harga Saham Perusahaan Pertambangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2008– 2010

  Dividen per Share (DPS)

  (EPS), dan

  per Share

  (ROI), Earning

  Amanda dan Pratomo (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Fundamental dan Resiko Sistematis terhadap Harga Saham Perbankan yang Terdaftar pada Indeks LQ45”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DER dan BETA berpengaruh negatif dan signifikan terhadap harga saham sedangkan EPS dan PER berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham.

  Wijaya (2013) dalam penelitiannya yang berjudul ”Pengaruh Fundamental Ekonomi Makro Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Pada Bursa Efek Indonesia Periode 2002-2011”. Hasil penelitian ini menunjukkan secara simultan variabel Inflasi, suku bunga, nilai tukar, dan jumlah uang yang beredar berpengaruh terhadap IHSG. Secara parsial menunjukkan bahwa hanya variabel nilai tukar yang berpengauh negatif dan signifikan terhadap IHSG.

  Kewal (2012) dalam penelitiannya berjudul “Pengaruh Inflasi, Suku Bunga, Kurs, dan Pertumbuhan PDB Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan”.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa Inflasi,suku bunga, kurs, dan pertumbuhan PDB secara simultan berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Secara parsial hanya variabel kurs yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IHSG.

  Prabandaru dan Kusuma (2012) melakukan penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Return on Investment (ROI), Earning per Share (EPS), dan Dividen

  

per Share (DPS) Terhadap Harga Saham Perusahaan Pertambangan yang

  Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2008–2010”. Hasil penelitian ini menunjukkan secara simultan variabel Return on Investment, Earning per Share dan Dividen per Share berpengaruh positif dan signifikan terhadap Harga Saham. Secara parsial menunjukkan bahwa variabel Return on Investment, Earning per

  

Share dan Dividen per Share berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga

saham.

  Murni (2010) dalam penelitiannnya yang berjudul “Pengaruh Faktor Makro Ekonomi Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan dengan Volume Perdagangan Sebagai Variabel Intervening (Studi Kasus di BEJ Periode Januari 2004 – Desember 2008)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nilai tukar dan Suku Bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IHSG.

2.3. Kerangka Konseptual

  Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara nilai tukar dan harga saham di pasar modal. Efek positif yang terjadi terlihat pada depresiasi mata uang Rupiah terhadap harga saham. Pada jangka pendek, Rupiah cukup terdepresiasi pada saat pemerintah mengambil kebijakan menaikkan suku bunga dengan tujuan untuk menahan jatuhnya nilai rupiah. Tapi dengan tingginya suku bunga, sangat mungkin dapat mengakibatkan turunnya present value dari future cash flow perusahaan, sehingga mengakibatkan harga saham menjadi jatuh (Fahmi, 2006:32). Suku bunga mempengaruhi harga saham karena pengaruhnya terhadap laba. Penjualan saham sebagai tanggapan atas naiknya suku bunga akan menekan harga saham (Brigham dan Houston, 2001:161). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap harga saham.

  Inflasi adalah kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk-produk secara keseluruhan. Inflasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan penurunan daya beli uang (purchasing power of money). Di samping itu, inflasi yang tinggi juga bisa mengurangi tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor dari investasinya. Sebaliknya jika tingkat inflasi suatu negara mengalami penurunan, maka hal ini akan merupakan sinyal yang positif bagi investor seiring dengan turunnya risiko daya beli uang dan risiko penurunan pendapatan riil (Tandelilin, 2001:212-213). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap harga saham.

  Nilai tukar atau kurs valuta asing menunjukkan harga atau nilai mata uang suatu negara dinyatakan dalam nilai mata uang negara lain. Peningkatan yang terus menerus terjadi pada harga saham akan membantu terdorongnya mata uang domestik pada pasar modal domestik. Tindakan investor asing akan membeli mata uang domestik untuk diinvestasikan pada pasar modal yang mengalami bullish (Naik) dan tekanan ini akan menyebabkan terapresiasinya mata uang domestik dalam jangka panjang. Meningkatnya nilai tukar mempunyai efek positif pada harga saham secara keseluruhan dalam jangka pendek (Fahmi, 2006:31). Maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kurs berpengaruh negatif terhadap harga saham

  Price Earning Ratio (PER) menunjukkan rasio dari harga saham terhadap

earnings. PER yang tinggi adalah baik bagi suatu perusahaan, karena

  menunjukkan bahwa publik yang berinvestasi menganggap perusahaan itu dalam kondisi yang menguntungkan. Suatu penurunan yang terus-menerus dalam rasio PER mencerminkan turunnya kepercayaan investor atas potensi pertumbuhan dari perusahaan itu (Siegel et.al, 2006:357). Dengan turunnya kepercayaan investor atas potensi pertumbuhan perusahaan, maka investor tidak akan berinvestasi pada saham perusahaan tersebut. Hal ini akan menyebabkan harga saham perusahaan tersebut jatuh. Maka dapat disimpulkan bahwa PER berpengaruh positif terhadap harga saham.

  Return on Investment (ROI) merupakan rasio yang mengukur kemampuan

  perusahaan memperoleh laba bersih dari jumlah dana yang diinvestasikan perusahaan. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan bahwa perusahaan mampu memanfaatkan aset yang dimiliki untuk memperoleh laba bersih perusahaan (Sitanggang, 2012:30-31). Perolehan laba bersih yang tinggi akan menarik investor untuk berinvestasi pada saham suatu perusahaan. Sesuai dengan hukum permintaan yang menyatakan bila permintaan naik maka harga akan naik, maka harga saham akan meningkat seiring dengan bertambahnya permintaan investor akan saham perusahaan tersebut. Maka dapat disimpulkan, ROI berpengaruh positif terhadap harga saham.

  Debt to Equity Ratio (DER) merupakan rasio antara total hutang dengan

  total ekuitas dalam perusahaan yang memberikan gambaran perbandingan antara total hutang dengan modal sendiri perusahaan. Semakin besar rasio ini berarti semakin besar peranan hutang dalam membiayai aset perusahaan dan sebaliknya (Sitanggang, 2012:25-26). DER yang rendah berarti perusahaan dalam kegiatan operasionalnya lebih sedikit menggunakan hutang. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan investor terhadap saham perusahaan tersebut karena resiko perusahaan tersebut bangkrut karena tidak dapat membayar hutang menjadi lebih kecil. Dengan meningkatnya kepercayaan investor, maka harga saham perusahaan tersebut akan cenderung meningkat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa DER berpengaruh negatif terhadap harga saham.

  Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat disusun kerangka konseptual yang menggambarkan pengaruh makro ekonomi dan fundamental terhadap harga saham seperti pada Gambar 2.1 berikut ini.

  Sumber: Sitanggang (2012), Fahmi (2006)

  

,

  Tandelilin (2001), Siegel et.al (2006)

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual

  Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka konseptual diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : Faktor makro ekonomi yang terdiri dari suku bunga, inflasi dan kurs dan faktor fundamental yang terdiri dari Price Earning Ratio (PER), Return on

  Investment (ROI), dan Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh signifikan

  terhadap harga saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia Suku Bunga

  Inflasi Kurs

  PER ROI DER Harga Saham