Mitos dan Fakta Kerusakan Dini Jalan

KERUSAKAN DINI JALAN: MITOS DAN FAKTA
D.I. Prihantony*
Sebagaimana selalu disebut dalam teori pembangunan bahwa jalan
adalah urat nadi perekonomian. Karena saking memahami teori ini, maka
masyarakat kita akan sangat reaktif terhadap kondisi jalan. Masyarakat
akan bersuara lantang jika menemui jalan yang jelek, apalagi jika
pemerintah dianggap lamban menanganinya. Masyarakat juga tidak akan
peduli dengan segala macam soal keterbatasan anggaran dan tetek
bengek proses pentahapan pembangunan yang biasanya disampaikan
oleh pemerintah sebagai respon.
Inilah mitos yang berkembang ditengah masyarakat kita terhadap
infrastruktur jalan. Masyarakat beranggapan bahwa jalan harus dapat
bertahan dengan kondisi baik sampai dengan batas umur rencananya. Jika
jalan itu rusak sebelum umur rencananya habis, maka pasti telah terjadi
penyelewengan dalam proses pembangunannya. Penyelewengan itu
dapat berupa mengurangi mutu bahan yang dipakai, mengurangi kadar
campuran aspal atau mengurangi ketebalan lapisan aspal dari yang
seharusnya.
Padahal banyak fakta lain dibalik rusaknya sebuah ruas jalan yang tidak
seluruhnya diketahui oleh masyarakat. Fakta bahwa memang ada
sebagian pemangku kepentingan yang terindikasi bertindak curang demi

memperkaya diri sendiri tidak bisa dinafikan. Tetapi fakta lainnya adalah
bahwa hanya orang-orang yang pendek akal yang berani melakukan hal
itu pada saat ini. Betapa tidak, dengan sistem audit mutu yang ada
sekarang maka setiap tahapan pekerjaan konstruksi jalan sudah dipetakan
di dalam suatu sistem NSPM (Norma, Standar, Pedoman dan Manual).
Ditambah lagi dengan peralatan pengujian mutu yang sudah semakin
canggih maka hampir tidak ada ruang gerak lagi bagi para pelaku
kecurangan.
Pengujian
laboratorium
akan
dengan
gampang
mengetahuinya. Apalagi dengan kuatnya kontrol sosial dari masyarakat
serta tajamnya mata aparat penegak hukum terhadap indikasi
penyelewengan, maka tindakan seperti itu adalah tindakan konyol.
Fakta selanjutnya adalah bahwa sebenarnya penyebab kerusakan jalan itu
dapat terjadi pada setiap tahap pekerjaan, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, operasional dan pemeliharaan. Masing-masingnya dapat
berdiri sendiri atau menjadi kombinasi. Ini tentu berbeda dengan asumsi

masyarakat bahwa kerusakan jalan pasti disebabkan oleh pelaksanaan
yang asal jadi saja.

Pada tahapan perencanaan pekerjaan misalnya, ketidakjelian perencana
dalam memperkirakan dan menghitung pengaruh air terhadap konstruksi
jalan akan memperpendek umur rencana jalan. Air disini dapat berupa
ketinggian muka air tanah terhadap badan jalan atau air permukaan yang
datang setelah hujan. Air tanah yang terlalu dekat ke badan jalan akan
dengan cepat merusak lapisan pondasi jalan yang pada saatnya akan
merubahnya menjadi lumpur dan membuat lubang. Begitupun limpasan
air permukaan yang tidak terkendali akan menggerus apapun yang
dilewatinya, termasuk badan jalan. Karena itu perencana yang hanya
berfokus kepada struktur perkerasan jalan saja tanpa memperhatikan
drainase permukaan dan bawah permukaan hanya akan menimbulkan
bom waktu terhadap kerusakan jalan.
Pada tahapan pelaksanaan pekerjaan, sudah kita singgung bahwa saat ini
sudah tidak ada ruang bagi pelaku pekerjaaan jalan untuk bermain-main
dengan dimensi serta kualitas dan kuantitas bahan. Lantas apa yang
membuat jalan cepat rusak? Ketidakpatuhan terhadap tuntunan
spesifikasi teknis.

Sebagaimana diketahui bahwa spesifikasi teknis dibuat sebagai guideline
bagi pelaksana pekerjaan dalam upaya pencapaian mutu yang diinginkan.
Secara umum spesifikasi teknis terdiri atas 3 (tiga) hal yaitu bahan,
peralatan dan prosedur kerja. Hal ini menunjukkan bahwa mutu suatu
pekerjaan konstruksi jalan tidak hanya bergantung kepada kualitas dan
kuantitas bahan yang dipakai tetapi juga kepada peralatan yang
digunakan dan tata cara pelaksanaan pekerjaannya. Sepanjang ketiganya
benar, maka mutu hasil pekerjaan akan sesuai dengan yang diharapkan.
Tapi jika salah satunya tidak benar, maka jangan harap mutu akan
tercapai.
Ketidakpahaman atau ketidakpatuhan terhadap prosedur kerja adalah
penyebab utama permasalahan konstruksi jalan di belakang hari. Lebih
celaka lagi jika ada kesengajaan melompati tahapan-tahapan prosedur
pekerjaan dengan alasan apapun, seperti dikejar deadline kontrak.
Misalnya pengaspalan dilakukan pada saat kepadatan agregat belum
memenuhi persyaratan untuk dilapisi dengan aspal. Atau suhu aspal pada
saat penghamparan tidak terjaga. Atau juga kondisi peralatan yang sudah
tidak layak pakai. Atau peralatan yang digunakan tidak sesuai dengan
kebutuhan baik dari sisi jumlah maupun jenisnya. Hal-hal seperti ini akan
mempengaruhi kualitas hasil pekerjaan dan memperpendek umur

konstruksi jalan.
Pada tahapan operasional, masalah utama yang dihadapi konstruksi jalan
adalah kelebihan beban (overloaded). Sebagaimana diketahui bahwa jalan

di negara kita hanya didisain untuk mampu menahan Muatan Sumbu
Terberat (MST) standar sebesar 8,16 ton. MST disini dihitung pada as
belakang truk dengan roda ganda dimana dimensi kendaraannya masih
standar pabrik.
Kalau kita lihat dijalanan, sebagian besar truk yang berseliweran memiliki
dimensi bak yang sudah tidak standar lagi. Ada yang diperpanjang,
diperlebar atau dipertinggi. Maksudnya tentu agar dapat memuat muatan
lebih banyak. Dalam kondisi demikian, maka MST truk tersebut akan
melebihi MST standar yang menjadi acuan dalam mendisain struktur
perkerasan jalan.
Dalam situasi seperti itu, maka daya rusak kendaraan tersebut (Vehicle
Damage Factor/VDF) terhadap konstruksi jalan juga akan meningkat.
Celakanya, peningkatan VDF tidak bersifat linear terhadap peningkatan
beban kendaraan melainkan bersifat eksponensial pangkat empat. Artinya
bahwa seandainya ada truk yang membawa muatan 2 kali dari MST, maka
daya rusaknya meningkat bukan 2 kali tetapi 2x2x2x2 atau 16 kali!

Makanya tidak heran jika umur konstruksi jalan juga akan menyusut 16
kali dari umur rencana. Jadi jika semula umur jalan direncanakan selama
10 tahun maka kini hanya tinggal 1/16 nya atau 0,625 tahun saja.
Sulitnya di negara kita adalah bahwa instansi yang berwenang di bidang
pembangunan infrastruktur jalan berbeda dengan instansi yang
berwenang dalam hal pengaturan transportasi darat. Dalam hal ini
Kementerian PU dan Kementerian Perhubungan. Seyogyanya kendaraan
yang kedapatan membawa muatan lebih di jembatan timbang tidak
diizinkan untuk melanjutkan perjalanan. Namun hal ini jika dilakukan
secara ketat juga akan menimbulkan masalah baru. Pertama, dengan
kapasitas angkut yang sedikit maka harga komoditas yang diangkut lewat
darat otomatis juga akan meningkat. Kedua, perlu disediakan lahan untuk
menampung bongkaran kelebihan muatan yang ditemukan di jembatan
timbang.
Kalau begitu, kenapa tidak konstruksi jalannya saja yang ditingkatkan
sesuai dengan kondisi kendaraan yang lewat? Secara teknis hal ini bisa
dilakukan tetapi akan berakibat langsung terhadap kenaikan biaya
konstruksi jalan secara signifikan. Karenanya pertimbangan kondisi
keuangan pemerintah-lah yang berpengaruh dalam penentuan MST
standar yang digunakan di negara ini. Besaran MST standar akan

berpengaruh langsung terhadap biaya yang akan dikeluarkan pemerintah
dalam konstruksi jalan.
Sementara itu jika MST standar ditingkatkan diyakini juga akan
mendorong para pengusaha untuk menggunakan jenis truk yang lebih

besar lagi. Pengalaman menunjukkan bahwa semakin mulus dan lebar
sebuah jalan maka ukuran truk yang lewat akan semakin meraksasa. Hal
ini karena Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian
sebagai instansi yang berwenang dalam menerbitkan izin impor atau izin
produksi truk tidak mengenal istilah MST, tetapi Horse Power (HP). Jadi
lagi-lagi ada yang tidak sinkron. Dalam kabut lingkaran setan
pembahasan yang tak pernah putus ini, truk dengan kelebihan muatan
tetap berjalan dan memperpendek umur kostruksi jalan raya kita.
Pada tahapan pemeliharaan, yang biasanya sejalan dengan tahapan
operasional jalan, ada masalah klasik yang dihadapi pengelola jalan.
Dengan masih banyaknya kondisi jalan yang perlu dibangun dan
ditingkatkan kondisinya, maka pemeliharaan jalan tidak menjadi prioritas
utama dalam penganggaran pemerintah.
Idealnya seluruh ruas jalan yang ada mesti dipelihara secara rutin setiap
tahun dan dilakukan pelapisan ulang (overlay) setiap 5 tahun agar tetap

dapat menjaga fungsi layanan jalan dalam mencapai umur rencana.
Kegiatannya berupa penutupan retak, penambalan lubang, pemeliharaan
ketinggian dan kemiringan bahu jalan serta pemeliharaan kelancaran
saluran samping dan gorong-gorong. Namun keterbatasan anggaran
pemerintah membuat kondisi ideal tersebut belum bisa dicapai pada saat
ini. Akibatnya kembali ke soal pendeknya usia jalan.
Itulah sekelumit beberapa fakta dibalik kerusakan dini jalan yang mungkin
selama ini belum banyak diketahui oleh masyarakat. Ternyata lubang
yang ada di tengah jalan itu tidak sesederhana kelihatannya.

*Kasi Pembinaan Peralatan Dinas Prasjaltarkim Prov. Sumbar
*