Kajian Perbandingan Tingkat Kemiskinan pada Nelayan dan Petani (Studi Kasus : Desa Pekan Tanjung Beringin Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai)

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Nelayan
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki pantai terpanjang di dunia, dengan
garis pantai lebih dari 81.000 km. Dari 67.439 desa di Indonesia, kurang lebih
9261 desa dikategorikan sebagai daerah pesisir. Sebagian besar penduduknya
miskin. Desa-desa pesisir adalah kantong-kantong kemiskinan struktural yang
potensial (Kusnadi, 2002).
Sektor kelautan dan perikanan merupakan merupakan salah satu sektor ekonomi
yang memiliki peranan dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam
penyediaan bahan pangan protein, perolehan devisa, dan penyediaan lapangan
kerja. Pada saat krisis ekonomi, peranan sektor ekonomi perikanan semakin
signifikan, terutama dalam hal mendatangkan devisa. Akan tetapi ironisnya sektor
perikanan selama ini belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan
kalangan pengusaha, padahal bila sektor perikanan dikelola secara serius akan
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pembangunan ekonomi nasional
serta dapat mengentaskan kemiskinan masyarakat Indonesia terutama masyarakat

nelayan dan petani (Mulyadi, 2005).
Provinsi dengan jumlah nelayan paling banyak di Indonesia ialah Provinsi Jawa
Timur (mencapai lebih dari 334.000 nelayan), diikuti Jawa Tengah (lebih dari
203.000 nelayan) dan Jawa Barat (sekitar 183.000 nelayan). Sulawesi Selatan,

8

Universitas Sumatera Utara

9

Sumatera Utara, dan Aceh berturut-turut menjadi provinsi dengan jumlah nelayan
ke-4, ke-5, dan ke-6 di Indonesia (Harmadi, 2014).
Pada dasarnya, penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan dapat ditinjau dari
tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau
peralatan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring, dan
perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam nelayan
pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Kedua, ditinjau dari tingkat skala
investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori
nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang

diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan
kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap
yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi dalam nelayan modern dan nelayan
tradisional (Kusnadi, 2002).
Nelayan dapat dibagi menjadi beberapa kategori menurut kepemilikan kapalnya
(Mubyarto, 1984), yaitu :
1. Nelayan pemilik, nelayan yang memiliki kapal perahu atau kapal
penangkap ikan dan dia sendiri ikut serta atau tidak ikut ke laut untuk
memperoleh hasil laut.
2. Nelayan juragan, nelayan yang membawa kapal orang lain tetapi ia tidak
memiliki kapal.
3. Nelayan buruh, nelayan yang hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja
tanpa memiliki perahu penangkap ikan.

Universitas Sumatera Utara

10

Menurut Tarigan (2007), berdasarkan perahu/kapal penangkap ikan, nelayan
pemilik dibagi menjadi nelayan tradisional dan nelayan bermotor. Nelayan

tradisional memakai perahu tanpa mesin/motor. Bila perahu mempunyai mesin
yang ditempel di luar perahu disebut perahu motor tempel, bila perahu /kapal
mempunyai mesin di dalam kapal maka disebut kapal motor. Berdasarkan
besarnya mesin yang digunakan diukur dengan GT (Gross Ton), kapal motor
dibagi menjadi:
1. Kapal kecil, yaitu < 5 GT – 10 GT
2. Kapal sedang, yaitu 10 GT – 30 GT
3. Kapal besar, yaitu > 30 GT
Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multi dimensi dan disebabkan oleh tidak
terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat tersebut. Di samping itu, kurangnya
kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan
permodalan, budaya, dan gaya hidup. Adanya keterbatasan modal yang dimiliki
nelayan skala kecil menyebabkan terjadi kecenderungan nelayan terikat pinjaman
dengan pelepas uang (pedagang), bahkan hubungan antara pedagang ikan dan
nelayan cenderung bersifat eksploitatif (Qoid dan Setiawan, dkk. 1993).
2.1.2 Petani
Menurut Kusnadi (1996) petani adalah seseorang yang mempunyai profesi
bercocok tanam (menanam tumbuh-tumbuhan) dengan maksud tumbuh-tumbuhan
dapat berkembang biak menjadi lebih banyak serta dapat dipungut hasilnya,tujuan
menanam tumbuh-tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup yaitu dapat

dimakan manusia dan hewan peliharaannya.

Universitas Sumatera Utara

11

Gambaran untuk melihat tingkat kesejahteraan petani dapat ditunjukkan pada
hasil Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP 2013) yang
dirilis BPS pada Juli 2014. BPS mencatat pendapatan rumah tangga tani dari
usaha sektor pertanian rata-rata hanya Rp 12,4 juta per tahun atau Rp 1 juta per
bulan. Itu artinya, petani mengalami kesulitan untuk mencapai kesejahteraan
apabila hanya mengandalkan usaha tani pada sisi budidaya saja (Direktorat
Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2015).
Petani berlahan sempit dapat diidentikkan dengan petani miskin di pedesaan.
Artinya, rumah tangga petani berlahan sempit dan rumah tangga petani yang tidak
mempunyai lahan merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang hidup di
bawah garis kemiskinan. Anggota masyarakat lapisan bawah ini disertai oleh
berbagai keterbatasan, antara lain aksesibilitas terhadap peluang-peluang ekonomi
sebagai sumber pendapatan (Nurmanaf,dkk. 2002).
Menurut Sastraatmadja (2010), berdasarkan kepemilikan tanah, petani dibedakan

menjadi beberapa kelompok yaitu :
1. Petani buruh, adalah petani yang sama sekali tidak memiliki lahan sawah.
2. Petani gurem, adalah petani yang memiliki lahan sawah 0,1 sd 0,5 hektar.
3. Petani kecil, adalah petani yang memiliki lahan sawah 0,51 sd 1 hektar.
4. Petani besar, adalah petani yang memiliki lahan sawah lebih dari satu hektar.
Klasifikasi petani berdasarkan status sosial ekonomi di pedesaan yaitu :
1. Petani tanpa lahan dan modal. Petani ini paling miskin, paling rentan, dan
hanya memiliki tenaga kerja.

Universitas Sumatera Utara

12

2. Petani punya lahan sempit tanpa modal. Petani ini hanya memiliki lahan tempat
berdiri rumah/gubuknya. Dia tidak dapat mengusahakan tanaman secara memadai.
3. Petani punya lahan sedang tanpa modal. Petani ini masih rendah produksinya
karena tanpa modal dia susah berusaha. Petani semacam ini dapat dikembangkan
dengan memberikan bantuan modal dan penyuluhan.
4. Petani punya lahan cukup dan modal cukup. Jenis petani ini hanya
membutuhkan penyuluhan/inovasi baru untuk mengembangkan usahataninya.


Kelompok penduduk miskin yang berada pada masyarakat pedesaan dan
perkotaan pada umumnya dapat digolongkan pada buruh tani, petani gurem,
pedagang kecil, nelayan, pengrajin kecil, buruh, pedagang kaki lima, pemulung,
pengemis dan pengangguran. Kelompok miskin akan menimbulkan problem yang
berkelanjutan bagi kemiskinan kultural dan struktural apabila tidak ditangani
secara serius terutama generasi berikutnya (Supriatna, 2000).
2.2 Penelitian Terdahulu
Musawwir (2007) dalam tesis yang berjudul Analisis Masalah Kemiskinan
Nelayan Tradisionaldi Desa Padang Panjang Kecamatan Susoh Kabupaten
Aceh Barat Daya menyatakan bahwa salah satu komunitas bangsa Indonesia yan
teridentifikasi miskin saat ini adalah nelayan, dimana sedikitnya 14,58 juta jiwa
atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta jiwa jumlah nelayan di Indonesia masih
berada dibawah garis kemiskinan. Di Desa Padang Panjang terdapat 62 jiwa atau
37,1 persen penduduknya bekerja sebagai nelayan, terdapat 51 orang kepala
keluarga bekerja sebagai nelayan tradisional yang tergolong ke dalam kelompok
masyarakat miskin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan nelayan di

Universitas Sumatera Utara


13

Desa Padang Panjangdisebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor kualitas sumber
daya manusia, faktor ekonomi, dan faktor kelembagaan.
Saskia (2004) dalam tesis yang berjudul Analisis Masalah Kemiskinan dan
Ketimpangan Pendapatan Nelayan di Kelurahan Bagan Deli menunjukkan
bahwa proporsi nelayan miskin sangat besar pada nelayan buruh sebanyak 34 KK
(72,3%) atau 230 jiwa, nelayan perahu 3KK (6,8%), atau 19 jiwa dan nelayan
motor 7 KK( 15,9%) atau 60 jiwa. Nelayan yang tergolong miskin 44 KK ini
berasal dari Kelurahan Bahari sebanyak 23 KK dan Kelurahan Bagan Deli
sebanyak 21 KK. Ketimpangan pendapatan di dua kelurahan penelitian secara
keseluruhan atau over-all sampling adalah sedang menurut ukuran Bank Dunia
dan tergolong agak tinggi menurut ukuran Gini Ratio. Nilai GR adalah 0,41 dan
40% kelompok nelayan berpendapatan rendah menerima 15,2 dari income
keseluruhan nelayan.
Ginting (2004) dalam tesis yang berjudul Analisis Faktor Penyebab
Pendapatan Petani Miskin di Kecamatan Deli Tua menunjukkan bahwa
kemiskinan petani merupakan fenomena yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor tersebut adalah; (a) luas penguasaan lahan, dimana besar kecilnya lahan
yang dikuasai petani sangat menentukan untuk terlepas atau tidaknya rumah

tangga petani dari kemiskinan. Semakin luas lahan yang dikuasai semakin kecil
kemungkinan petani berada dalam kemiskinan. Demikian pula sebaliknya,
semakin kecil (sempit) lahan yang dikuasai akan semakin rentan petani tersebut
untuk berada dalam kemiskinan; (b) tingkat pendidikan; (c) besar kecilnya jumlah

Universitas Sumatera Utara

14

tanggungan keluarga; (d) akses terhadap lembaga keuangan, dan; (e) alternatif
usaha.
Halim (2012) dalam Skripsi yang berjudul Distribusi Pendapatan dan Tingkat
Pendapatan Petani Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin Kecamatan
Sumbul Kabupaten Dairi menunjukkan bahwa sumber pendapatan petani kopi
arabika diluar usahatani kopi arabika memberikan kontribusi terbesar terhadapat
total pendapatan petani kopi arabika, yakni sebesar 65,68%. Tingkat ketimpangan
petani kopi arabika berdasarkan nilai Gini Ratio sebesar 0,36 berada dalam
kategori menengah. Sedangkan berdasarkan kriteria World Bank berada dalam
kategori rendah. Selain itu, proporsi petani kopi miskin menurut Sajogyo (1988)
sebanyak 21,43% sedangkan menurut BPS (2010) sebanyak 16,67%.

2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Kemiskinan
Kemiskinan secara asal penyebabnya terbagi menjadi dua macam. Pertama adalah
kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor
adat atau budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau
sekelompok masyarakat tertentu sehingga membuatnya tetap melekat dengan
kemiskinan. Kemiskinan seperti ini bisa dihilangkan atau sedikitnya bisa
dikurangi dengan mengabaikan faktor-faktor yang menghalanginya untuk
melakukan perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kedua adalah
kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang terjadi akibat ketidakberdayaan
seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem atau tatanan
sosial yang tidak adil, karenanya mereka berada pada posisi tawar yang sangat

Universitas Sumatera Utara

15

lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan dan membebaskan diri
mereka sendiri dari perangkap kemiskinan (Badan Pusat Statistik, 2012).
Untuk


memahami

lebih

jauh

tentang

kemiskinan,

Friedmann

(1992)

mengemukakan beberapa kosa kata dalam kajian kemiskinan seperti berikut :
1. Poverty line (garis kemiskinan). Yaitu tungkat konsumsi rumah tangga
minimum yang dapat diterima secara sosial. Ia biasanya dihitung
berdasarkan income yang dua pertiganya digunakan untuk “keranjang
pangan” yang dihitung oleh ahli statistik kesejahteraan sebagai persediaan

kalori dan protein utama yang paling murah.
2. Absolute and relative poverty (kemiskinan absolut dan relatif).
Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang jatuh dibawah standar
konsumsi

minimum

dan

karenanya

tergantung

pada

kebaikan

(karitas/amal). Sedangkan relatif adalah kemiskinan yang eksis diatas garis
kemiskinan absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan antara
kelompok miskin dan non-miskin berdasarkan income relatif.
3. Deserving poor adalah kaum miskin yang mau peduli denga harapan
orang-orang non-miskin , bersih, bertanggung jawab, mau menerima
pekerjaan apa saja demi memperoleh upah yang ditawarkan.
4. Target population adalah kelompok orang tertentu yang dijadikan sebagai
objek dan kebijakan serta program pemerintah. Mereka dapat berupa
rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-anak, buruh tani yang tak
punya lahan, petani tradisional kecil, korban perang dan wabah, serta
penghuni kampung kumuh perkotaan.

Universitas Sumatera Utara

16

Salim (1982) mengemukakan ada lima ciri penduduk yang hidup dibawah garis
kemiskinan, yaitu pertama tidak menguasai faktor produksi seperti tanah, modal,
ataupun ketrampilan, sehingga kemampuan untuk memperoleh pendapatan
terbatas. Kedua, tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produktif
dengan kekuatan sendiri. Ketiga, tingkat pendidikan umumnya rendah, karena
waktu tersita untuk mencari nafkah untuk mendapatkan penghasilan. Keempat,
kebanyakan tinggal di pedesaan. Kelima, yang hidup di kota masih berusia muda
dan tidak didukung dengan ketrampilan yang memadai.
Kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan dari penduduk yang terwujud dalam
dan disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan
keterampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya niai
tukar hasil produksi orang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta
dalam pembangunan (Situmorang, 2008).
Sedangkan Kartasasmita (1996) mendefinisikan kemiskinan sebagai masalah
pembangunan yang ditandai dnegan pengangguran dan keterbelakangan yang
kemudian meningkat menjadi ketimpangan pendapatan.
Ada 14 kriteria miskin menurut standar BPS, yaitu :
1. Luas bangunan lantai tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas
rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar /bersama-sama denganrumah
tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

Universitas Sumatera Utara

17

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air
hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak
tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru tiap tahun.
10. Hanya sanggup makan satu/dua kali sehari
11. Tidak sanggup membayar pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas
lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan,
dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 600.000 per
bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah/tidak tamat
SD/tamat SD
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal Rp
500.000 seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor,
atau barang modal lainnya.
Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga dikatakan miskin.
Untuk mengukur tingkat kemiskinan digunakan kriteria yaitu :
1. Garis Kemiskinan Indonesia menurut BPS 2014 dengan pendapatan Rp
312.300 atau setara $25 USD per bulan.
2. Upah Minimum Kabupaten Serdang Bedagai sebagai indikator pendapatan
minimum yang diterima oleh penduduk. Upah Minimum Kabupaten Serdang
Bedagai adalah Rp 1.635.000.

Universitas Sumatera Utara

18

2.3.2 Pendapatan
Menurut Suratiyah (2009) pendapatan kotor atau penerimaan ialah seluruh
pendapatan yang diperoleh dari usaha tani selama satu periode diperhitungkan
dari hasil penjualan atau penaksiran kembali yang diukur dalam satuan Rupiah
(Rp). Pendapatan kotor atau penerimaan dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
TR = Y x Py
Dimana : TR = Pendapatan Kotor/Penerimaan
Y

= Jumlah produksi (kg)

Py = Harga produk (Rp/kg)
Menurut Rahardja dan Mandala (2006), biaya produksi merupakan seluruh biaya
yang dikeluarkan dalam melakukan kegiatan produksi. Biaya total sama dengan
biaya tetap yang ditambah dengan biaya variabel. Biaya tetap (fixed cost)
merupakan biaya yang besarnya tidak tergantung pada jumlah produksi,
contohnya biaya barang modal, gaji pegawai, bunga pinjaman, bahka pada saat
perusahaan tidak berproduksi (Q = 0), biaya tetap harus dikeluarkan dalam jumlah
yang sama. Biaya variable (variable cost) adalah biaya yang besarnya tergantung
pada tingkat produksi, contohnya upah buruh, biaya bahan baku.
TC = FC + VC
Dimana : TC

= Biaya total

FC = Biaya tetap
VC = Biaya variabel
Menurut Ahmad (2006), pendapatan usaha tani merupakan selisih antara
penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan selama melakukan kegiatan

Universitas Sumatera Utara

19

usaha tani. Pendapatan suatu usahatani dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
Pd = TR – TC
Dimana :

Pd = Pendapatan bersih usahatani
TR = Total penerimaan
TC = Total biaya

2.3.3 Ketimpangan Pendapatan
Gini Ratio merupakan suatu alat untuk mengukur tingkat kepincangan pembagian
pendapatan relatif antar penduduk suatu negara atau wilayah yang telah diakui
secara luas. Indeks Gini Ratio dengan asumsi-asumsi tertentu dapat pula
digunakan untuk bahan analisis perbandingan relatif antar masyarakat dari
beberapa negara atau wilayah dengan kecenderungan kepincangan pembagian
pendapatan antar anggota masyarakat tertentu. Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah
parameter yang digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan.
Koefisien Gini bernilai antara 0-1 yang merupakan rasio antara luas area antara
kurva Lorenz dengan garis kemerataan sempurna (Syamsuddin, 2011).

% Kumulatif
Pendapatann

% Kumulatif Penduduk

Gambar 1. Bentuk Arsiran Kurva Lorenz

Universitas Sumatera Utara

20

Dari gambar diatas, sumbu horizontal menyatakan persentase kumulatif
penduduk, sedangkan sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan
yang diterima oleh masing-masing persentase penduduk tersebut. Sedangkan garis
diagonal ditengah disebut “garis kemerataan sempurna”. Karena setiap titik pada
garis diagonal merupakan tempat kedudukan persentase penduduk yang sama
dengen persentasi penerimaan pendapatan. Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari
garis diagonal maka semakin tinggi tingkat ketidakmerataannya. Sebaliknya,
semakin dekat jarak kurva Lorenz dari garis diagonal maka semakin tinggi tingkat
pemerataan distribusi pendapatannya. Pada gambar diatas berketimpangan
digambarkan sebagai daerah yang diarsir (Halim, 2012).
Indeks Gini Ratio dapat dihitung dengan rumus berikut:

Dimana :

GR= 1- ∑��=� fi (Yi – 1 + Yi)

GR

= Angka Koefisien Gini (Gini Ratio)

fi

= Proporsi jumlah Rumah Tangga

Yi

= Proporsi jumlah pendapatan RT kumulatif

i

= Indeks yang menunjukkan nomor sampel

Nilai indeks gini ada diantara 0 - 1. Semakin tinggi nilai indeks Gini menunjukkan
ketidakmerataan pendapatan yang semakin tinggi. Jika nilai indeks gini adalah 0
maka artinya terdapat kemerataan sempurna pada distribusi pendapatan,
sedangkan jika bernilai 1 berarti terjadi ketidakmerataan pendapatan yang
sempurna. Kategori tingkat pendapatan berdasarkan nilai dari indeks Gini (Gini
Ratio) dibagi kedalam tiga kriteria sebagaimana tertera pada tabel 2 berikut ini :

Universitas Sumatera Utara

21

Tabel 2. Indikator Ketimpangan Gini Ratio
Nilai Gini Ratio
< 0,35
0,35 - 0,5
> 0,5
Sumber : Todaro, 1994

Tingkat Ketimpangan
Rendah
Sedang
Tinggi

Menurut BPS (2012), selain penggunaan koefisien Gini (Gini Ratio) yang
dilengkapi dengan kurva Lorenz, tingkat ketimpangan distribusi pendapatan juga
dapat diukur dengan menggunakan kriteria yang ditentukan Bank Dunia (World
Bank). Ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan kriteria Bank
Dunia (World Bank) ini diperoleh dengen menghitung persentase jumlah
pendapatan dari 40% kelompok penduduk berpendapatan rendah dibandingkan
dengan total pendapatan seuruh penduduk. Bank Dunia (World Bank)
mengklasifikasikan tingkat ketimpangan berdasarkan tiga kategori seperti yang
terlihat pada Tabel 3 berikut ini :
Tabel 3. Indikator Ketimpangan Menurut Bank Dunia (World Bank)
Klasifikasi

Distribusi Pendapatan

Ketimpangan Tinggi

40% penduduk berpendapatan rendah
menerima < 12% dari total pendapatan

Ketimpangan Sedang

40% penduduk berpendapatan rendah
menerima 12%-17% dari total pendapatan

Ketimpangan Rendah

40% penduduk berpendapatan rendah
menerima > 17% dari total pendapatan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012
2.4 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada, maka dapat disusun suatu
kerangka pemikiran bahwa petani dan nelayan sering dianggap sebagai mata

Universitas Sumatera Utara

22

pencaharian yang memberikan pendapatan yang kecil. Adanya keterbatasan lahan
menjadi hambatan bagi petani dalam melakukan usaha tani. Sedangkan
keterbatasan teknologi menjadi hambatan bagi nelayan tradisional untuk
melakukan usaha penangkapan ikan.
Pendapatan usaha tani petani didapatkan dari perhitungan yaitu produk dikali
harga jual kemudian dikurangi total biaya yang dikeluarkan oleh petani. Total
biaya yang dikeluarkan merupakan jumlah dari biaya tetap dan biaya variabel.
Pendapatan nelayan tradisional didapat dari perhitungan yaitu hasil tangkapan
ikan dikali harga jual kemudian dikurangi total biaya yang dikeluarkan oleh
nelayan. Total biaya yang dikeluarkan merupakan jumlah dari biaya tetap dan
biaya variabel.
Jika telah diketahui masing-masing pendapatan petani dan nelayan maka akan
dibandingkan perbedaan pendapatan antar keduanya. Dari perbandingan tersebut
dapat diketahui tingkat kemiskinan pada nelayan dan petani. Dari perbandingan
juga akan diketahui ketimpangan pendapatan yang terjadi antara nelayan dan
petani.

Universitas Sumatera Utara

23

Secara sistematis, kerangka pemikiran ditunjukkan pada gambar 2.
Petani

Nelayan

Lahan
Sempit
Gurem

Tradisional

Usaha Tani
Padi Sawah

Usaha
Penangkapan
Ikan

Produk
(Padi)
Produk

Produk
(Ikan)
Produk

Penerimaan

Penerimaan

Pendapatan
Bersih
Petani

Pendapatan
Pendapatan
Bersih
Nelayan

Tingkat
Kemiskinan

Keterangan :
: Menyatakan Hubungan
: Menyatakan Perbandingan

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

Universitas Sumatera Utara

24

2.5 Hipotesis Penelitian
1. Tingkat pendapatan nelayan rendah dan distribusi pendapatan nelayan tidak
merata dengan ketimpangan sedang.
2. Tingkat pendapatan petani rendah dan distribusi pendapatan petani tidak merata
dengan ketimpangan sedang.
3. Ketimpangan pendapatan lebih besar berada pada kelompok nelayan
dibandingkan dengan ketimpangan pada kelompok petani.
4. Ada perbedaan pendapatan yang signifikan antara nelayan dan petani di daerah
penelitian, pendapatan nelayan lebih rendah dibandingkan pendapatan petani.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Kajian Perbandingan Tingkat Kemiskinan pada Nelayan dan Petani (Studi Kasus : Desa Pekan Tanjung Beringin Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai)

1 15 100

Peran Ganda Istri Nelayan dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Keluarga (Kasus: Desa Pekan Tanjung Beringin, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai)

0 5 100

Kajian Perbandingan Tingkat Kemiskinan pada Nelayan dan Petani (Studi Kasus : Desa Pekan Tanjung Beringin Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai)

0 0 12

Kajian Perbandingan Tingkat Kemiskinan pada Nelayan dan Petani (Studi Kasus : Desa Pekan Tanjung Beringin Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai)

0 0 1

Kajian Perbandingan Tingkat Kemiskinan pada Nelayan dan Petani (Studi Kasus : Desa Pekan Tanjung Beringin Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai)

0 0 7

Kajian Perbandingan Tingkat Kemiskinan pada Nelayan dan Petani (Studi Kasus : Desa Pekan Tanjung Beringin Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai)

0 0 2

Kajian Perbandingan Tingkat Kemiskinan pada Nelayan dan Petani (Studi Kasus : Desa Pekan Tanjung Beringin Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai)

0 2 21

Peran Ganda Istri Nelayan dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Keluarga (Kasus: Desa Pekan Tanjung Beringin, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai)

0 1 13

Peran Ganda Istri Nelayan dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Keluarga (Kasus: Desa Pekan Tanjung Beringin, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai)

0 0 1

Peran Ganda Istri Nelayan dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Keluarga (Kasus: Desa Pekan Tanjung Beringin, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai)

0 0 6