2.5. Patogenesis dan Patofisiologi Sistiserkosis
Sistiserkus hidup hanya menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar dan hanya sedikit mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk
melengkapi siklus hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup dalam otot hospes selama berminggu-minggu sampai bulanan. Oleh karena itu, kista akan
mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon imun penjamu. Pada hewan yang telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium kista kebal terhadap reinfeksi
onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi dan komplemen. Meskipun begitu dalam infeksi alami, respons antibodi dibangun hanya setelah parasit berubah
menjadi bentuk metacestoda yang lebih resisten Wiria, 2008. Metacestoda dapat mengembangkan sebuah mekanisme untuk
memproteksi diri dari destruksi yang dimediasi komplemen dengan menghasilkan paramiosin. Paramiosin akan mengikat C1q dan menghambat jalur klasik aktivasi
komplemen. Parasit juga akan mensekresikan inhibitor protease serin yang disebut taeniastatin. Taeniastatin dapat menghambat jalur aktivasi klasik atau alternatif,
berintegrasi dengan kemotaksis leukosit, dan menghambat produksi sitokin. Sedangkan polisakarida sulfa, yang melapisi dinding kista, mengaktivasi
komplemen untuk menjauhi parasit, menurunkan deposisi komplemen, dan membatasi jumlah sel radang yang menuju parasit. Antibodi saja tidak dapat
membunuh metacestoda matang. Kista yang hidup juga dapat menstimulasi produksi sitokin yang dibutuhkan untuk menghasilkan imunoglobulin yang
kemudian diambil oleh kista dan diperkirakan ini merupakan sumber protein CFSPH, 2005; White, 1997.
Taeniastatin dan molekul parasit juga dapat menekan respon imun seluler dengan menghambat proliferasi limfosit dan fungsi makrofag. Gejala akan muncul
ketika kista tidak dapat lagi memodulasi respons penjamu White, 1997.
2.6. Gejala Klinik
Taeniasis sp 2.6.1.
Gejala Klinik Taeniasis solium
Kait-kait pada skoleks Taenia solium umunya tidak banyak menimbulkan gangguan pada dinding usus tempatnya melekat Handojo dan Margono, 2008b.
Universitas Sumatera Utara
Penderita taeniasis umumnya asimptomatik Pearson, 2009a; Tolan, 2011; Handojo dan Margono, 2008b atau mempunyai keluhan yang umumnya ringan,
berupa rasa tidak enak di perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit kepala, anemia Soedarto, 2008, nyeri abdomen, kehilangan berat badan, malaise,
anoreksia Tolan, 2011, peningkatan nafsu makan CFSPH, 2005, rasa sakit ketika lapar hunger pain, indigesti kronik, dan hiperestesia Ideham dan
Pusarawati, 2007. Sangat jarang terjadi komplikasi peritonitis akibat kait yang menembus dinding usus Soedarto, 2008. Sering dijumpai kalsifikasi pada
sistiserkus namun tidak menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi, dan eosinofilia
Handojo dan Margono, 2008b. Gejala klinik yang berhubungan dengan abdomen lebih umum terjadi pada
anak-anak dan umumnya akan berkurang dengan mengkonsumsi sedikit makanan. Pada anak-anak, juga dapat terjadi muntah, diare, demam, kehilangan berat badan,
dan mudah marah. Gejala lainnya yang pernah dilaporkan adalah insomnia, malaise, dan kegugupan CFSPH, 2005.
Adapun gejala yang muncul disebabkan oleh karena adanya iritasi pada tempat perlekatan skoleks serta sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi yang
menyebabkan gejala sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat Ideham dan Pusarawati, 2007.
2.6.2. Gejala Klinik Taeniasis saginata
Gambaran klinik dan diagnosa Taeniasis saginata pada usus hampir serupa dengan infeksi Taeniasis solium Pearson, 2009b. Pada taeniasis saginata
terjadi inflamasi sub-akut pada mukosa usus Ideham dan Pusarawati, 2007 Proglotid dari Taenia saginata dapat bermigrasi ke berbagai organ seperti
apendiks, uterus, duktus biliaris, dan nasofaring sehingga menyebabkan appendisitis, kholangitis, kolesistitis dan sindrom lainnya. Pada kasus yang
langka, dapat ditemukan obstruksi usus atau perforasi CFSPH, 2005; Ideham dan Pusarawati, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Kelainan patologis yang tampak pada penderita umumnya tidak jelas. Namun dapat timbul gejala seperti rasa tidak enak pada perut, mual, muntah, dan
diare. Gejala lainnya berupa ileus yang dapat ditimbulkan oleh adanya obstruksi usus karena banyaknya jumlah cacing Handojo dan Margono, 2008a.
2.6.3. Gejala Klinik Sistiserkosis
Sistiserkus pada kebanyakan organ biasanya tidak atau sedikit menimbulkan reaksi jaringan Pearson, 2009a. Suatu penelitian post mortem
menyebutkan bahwa 80 dari seluruh kasus sistiserkosis asimptomatik CFSPH, 2005. Akan tetapi, kista yang telah mati pada sistem saraf pusat dapat
menimbulkan respon jaringan yang berat. Infeksi pada otak sistiserkosis serebri dapat menimbulkan gejala yang berat, akibat dari efek massa dan inflamasi yang
disebabkan oleh degenerasi sistiserkus dan pelepasan antigen Pearson, 2009a. Sistiserkus dapat juga menginfeksi sumsum tulang belakang, otot, jaringan
subkutan, dan mata Pearson, 2009a. Perubahan yang terjadi berhubungan dengan stadium peradangan. Dalam
stadium koloidal, kista terlihat sama dengan kista koloid dengan materi gelatin dalam cairan kisat dan degenerasi hialin dari larva. Dalam stadium granular-
nodular, kista mulai berkontraksi dan dindingnya digantikan dengan nodul fokal limfoid serta nekrosis. Akhirnya, pada stadium kalsifikasi nodular jaringan
granulasi digantikan oleh struktur kolagen dan kalsifikasi Wiria, 2008. Gejala timbul tergantung dari jumlah dan lokasi larva CFSPH, 2005.
Neurosistiserkosis merupakan bentuk sistiserkosis yang menyerang sistem saraf pusat Tenzer, 2009; CFSPH, 2005; Garcia et al., 2002 dan paling
membahayakan. Pada kasus tertentu, gejala yang timbul mungkin timbul sangat lambat, tetapi progresif. Namun, dapat juga gejala timbul secara tiba-tiba akibat
obstruksi cairan serebrospinal akibat adanya sistiserkus yang melayang-layang di dalam cairan CFSPH, 2005. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala
kronik dan kejang atau epilepsi 70-90 Wiria, 2008; CFSPH, 2005; Tenzer, 2009; WHO, 2009; Gracia et al., 2002; Del Brutto, 2005. Gejala lainnya yang
mungkin timbul adalah peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus, tanda
Universitas Sumatera Utara
neurologis fokal, perubahan status mental Pearson, 2009a; Tenzer, 2009, mual, muntah CFSPH, 2005; Tenzer, 2009, vertigo, ataxia, bingung, gangguan
perilaku, dan demensia progresif CFSPH, 2005, dan sakit kepala kronik Tenzer, 2009. Sedangkan apabila neurosistiserkosis menyerang sumsum tulang belakang
dapat menyebabkan kompresi, transverse myelitis, dan meningitis. Namun kasus ini jarang CFSPH, 2005.
Adapun bentuk manifestasi klinis dari sistiserkosis terbagi atas 4 Wiria, 2008:
a. Infeksi inaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya kalsifikasi intraparenkimal. Gejala yang timbul: sakit kepala, kejang,
psikosis. b. Infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkim aktif dan ensefalitis
sistiserkal. c. Neurosistiserkosis ekstraparenkimal yang memiliki bentuk
neurosistiserkosis ventrikular. d. Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalmika, penyakit
serebrovaskular, dan lain-lain. Pada mata sistiserkosis oftalmika, sistiserkus paling sering ditemukan
pada vitreous humor, rongga subretina dan konjungtiva. Gejala yang umum adalah kaburnya penglihatan atau berkurangnya visus, rasa sakit yang berat,
sampai buta. Sistiserkus di otot biasanya asimptomatik. Namun, dalam jumlah banyak dapat menimbulkan pseudohipertrofi, miositis, nyeri otot, kram, dan
kelelahan. Larva di jantung menimbulkan gangguan konduksi dan miokarditis CFSPH, 2005.
Pada kulit, sistiserkus mungkin dapat terlihat sebagai nodul subkutan. Larva juga dapat menyebabkan vaskulitis atau obstruksi arteri kecil yang
menimbulkan stroke. Akan tetapi, hal ini jarang terjadi CFSPH, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.7. Diagnosa
Taeniasis sp 2.7.1.
Diagnosa Taeniasis solium
Diagnosis pasti Taeniasis solium ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa segmen atau skoleks yang khas bentuknya pada tinja penderita atau pada
pemeriksaan daerah perianal. Namun, telur dan proglotid tidak akan ditemukan pada feses selama 2-3 bulan setelah cacing dewasa mencapai bagian atas jejunum.
Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa 3 sampel yang disarankan untuk dikumpulkan pada hari yang berbeda CDC, 2010. Telur cacing yang ditemukan
tidak dapat dibedakan dengan Echinococcus Soedarto, 2008; CFSPH, 2005, penentuan mungkin dapat dilakukan apabila ditemukan proglotid yang matang
atau gravid dengan menghitung percabangan uterus CDC, 2010; Ideham dan Pusarawati, 2007.
Cara lain untuk mendiagnosa taeniasis adalah dengan menemukan proglotid atau telur dalam feses. Telur juga dapat ditemukan dengan
menggunakan pita adhesif yang ditempelkan pada daerah sekitar anus CFSPH, 2005.
Tabel 2.3 Perbedaan Morfologi Spesies Taenia sp.
Sumber: Ito et al., 2003
Karakteristik Taenia solium
Taenia asiatica Taenia saginata
Sistiserkus Hospes perantara Babi, manusia,
anjing, babi hutan Babi, hewan ternak,
kambing, monyet, babi hutan
Hewan ternak, rusa. Lokalisasi
Otot, otak, kulit, mata, lidah
Organ viseral, terutama hati
Otot, organ viseral, otak
Ukuran mm 5-8 x 3-6
2 x 2 7-10 x 4-6
Skoleks Rostelum dengan
kait Rostelum dengan kait
yang belum sempurna Tidak ada rostelum
dan kait Cacing dewasa
Skoleks Rostelum dengan
kait Rostelum tanpa kait
Tanpa rostelum, tanpa kait
Jumlah cabang uterus pada
proglottid gravid 7-12
16-21 18-32
Ekspulsi dari manusia
Terutama dalam kelompok, secara
pasif Hanya satu, aktif
Hanya satu, aktif
Universitas Sumatera Utara
Adapun pemeriksaan coproantigen dan molekuler yang mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi daripada pemeriksaan feses. Namun, pemeriksaan
ini belum tersedia pada luar laboratorium penelitian. Metode serologis juga hanya tersedia pada lingkungan penelitian. Dengan metode serologis seperti ELISA dan
PCR, dapat dibedakan spesies dari Taenia CFSPH, 2005.
2.7.2. Diagnosa Taeniasis saginata
Diagnosa Taenia saginata dapat menggunakan pita perekat tes Graham. Untuk Taenia saginata test ini sangat sensitif, namun tidak pada Taenia solium
Garcia et al., 2003. Pemeriksaan diagnostik terbaik untuk taeniasis intestinal adalah deteksi koproantigen ELISA yang dapat mendeteksi molekul spesifik dari
taenia pada sampel feses yang menunjukkan adanya infeksi cacing pita. Sensitivitas dari ELISA sekitar 95 dan efektivitasnya sekitar 99 Garcia et al.,
2003; WHO, 2009.
2.7.3. Diagnosa Sistiserkosis
Pencitraan merupakan metode utama untuk neurosistiserkosis Wiria, 2008. Untuk mendiagnosa neurosistiserkosis dan mengevaluasi gejala neurologis
dapat dipakai CT scan dan MRI CFSPH, 2005. CT scan adalah metode terbaik untuk mendeteksi kalsifikasi yang merupakan infeksi inaktif. CT lebih unggul
daripada MRI, sebaliknya MRI lebih sensitif untuk menemukan kista di parenkim dan ekstraparenkim otak, termasuk dalam mendeteksi reaksi peradangan Wiria,
2008. Pada hasil dari pemeriksaan CT scan atau MRI, mungkin dijumpai nodul padat, kista, kista yang telah terkalsifikasi, lesi cincin, atau hidrosefalus Pearson,
2009a. Pada pemeriksaan radiologis, apabila dijumpai kista yang hidup, dinding
kista tidak terlihat dan cairan sistiserkus memiliki kepadatan yang sama dengan cairan serebrospinal. Ketika parasit mulai kehilangan kemampuan untuk
memodulasi respon imun, pada awalnya, akan terlihat peningkatan kontras sekitar kista. Pada akhirnya, akan terlihat gambaran peningkatan kontras seperti cincin
atau nodul Garcia et al., 2002.
Universitas Sumatera Utara
Kista yang tidak aktif terkalsifikasi pada berbagai bagian tubuh, termasuk otak dan otot, mungkin dapat terlihat pada foto X-ray. Biopsi dapat
dilakukan untuk nodul subkutan dan larva di mata dapat ditemukan pada pemeriksaan mata. Spesies dari larva dapat diidentifikasi setelah operasi CFSPH,
2005. Tes serologi kebanyakan menggunakan antigen yang tidak terfraksi yang
menyebabkan positif dan negatif palsu. Hal ini diperkirakan karena aviditas kista dengan immunoglobulin yang menyebabkan positif palsu White, 1997. Pada
manusia ada beberapa jenis pemeriksaan serologis termasuk enzyme-linked immunoelectrotransfer blot EITB, ELISA, fiksasi komplemen, dan
hemaglutinasi CFSPH, 2005. Antibodi mungkin ditemukan pada serum atau cairan serebrospinal CFSPH, 2005. Namun, immunoblot assay CDC, yang
menggunakan serum spesimen, sangat spesifik dan lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan enzim immunoassay lainnya umumnya ketika terdapat lebih dari 2
lesi sistem saraf pusat, sensitivitas lebih rendah daripada hanya ada satu kista Pearson, 2009a. Dekade terakhir pemeriksaan standar dengan metode serologis
untuk diagnosa sistiserkosis adalah immunoblot yang dibantu dengan pemeriksaan spesifik ELISA Garcia et al., 1999; Margono et al., 2003.
Pemeriksaan EITB telah terbukti spesifik untuk infeksi T.solium. EITB sensitif pada kista parenkim aktif multipel atau neurosistiserkosis ekstraparenkim.
Meskipun demikian sensitivitasnya rendah pada pasien dengan kista parenkimal atau kalsifikasi sehingga pada infeksi inaktif pemeriksaan serologi seringkali
negatif. Pemeriksaan serologi berperan penting di daerah yang belum memiliki fasilitas CT dan MRI White, 1997. Pemeriksaan EITB menunjukkan spesifisitas
dan sensitivitas yang masing-masing bernilai mendekati 100 dan 98 apabila pemeriksaan dilakukan pada neurosistiserkosis dengan 2 kista atau lebih yang
masih hidup WHO, 2009. Pemeriksaan ELISA dengan menggunakan antigen rekombinan memiliki sensitivitas 90 dan spesifisitas 100. Namun, kelemahan
ELISA adalah tidak dapat mendeteksi kista yang telah berdegenerasi WHO, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menyatakan seseorang menderita sistiserkosis diperlukan beberapa kriteria, antara lain Wiria, 2008:
Kriteria Mayor: a. Penemuan berdasarkan pemeriksaan pencitraan, di mana ditemukan
sistiserkus berukuran 0,5–2 cm. b. Ditemukannya antibodi spesifik antisistiserkal menggunakan EITB.
Kriteria Minor: a. Kejang.
b. Peningkatan tekanan intrakranial. c. Kalsifikasi intraserebral pungtata.
d. Nodul subkutan atau hilangnya lesi setelah pengobatan dengan anti parasit. Diagnosa dapat ditegakkan apabila dijumpai dua kriteria mayor, atau satu
kriteria mayor dan dua kriteria minor, ditambah riwayat pajanan White, 1997.
2.8. Pencegahan
Taeniasis sp
Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis, dilakukan tindakan- tindakan sebagai berikut Soedarto, 2008; CFSPH, 2005:
a. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan mencegah terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing Soedarto, 2008.
b. Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas larva cacing sistiserkus. Pengawasan yang dilakukan pada negara endemis
biasanya adalah inspeksi yang dilakukan di rumah potong. Namun, inspeksi yang dilakukan tidak dapat menyaring semua kasus yang sangat
ringan Garcia et al., 2003; Soedarto, 2008; Ideham dan Pusarawati, 2007. c. Memasak daging sampai di atas 50
o
C selama 30 menit, untuk membunuh kista cacing, membekukan daging Soedarto, 2008.
d. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja manusia sebagai makanan babi, tidak membuang tinja di sembarang tempat
Ideham dan Pusarawati, 2007; WHO, 2009. e. Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur yang
tidak dimasak yang tidak dapat dikupas Soedarto, 2008.
Universitas Sumatera Utara
f. Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang disaring,
atau air yang dididihkan selama 1 menit Soedarto, 2008. g. Dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai kesehatan Garcia et al.,
2003. h. Pada babi, dapat dilakukan pemberian oxfendazole oral 30 mgkg BB.
Bila perlu, vaksinasi dengan TSOL18, setelah dilakukan eliminasi parasit dengan kemoterapi WHO, 2009.
i. Meningkatkan pendidikan komunitas dalam kesehatan kebersihan,
mempersiapkan makanan, dan sebagainya WHO, 2009.
2.9. Daging