Pengetahuan Dan Perilaku Dokter Gigi Terhadap Tindakan Pencabutan Gigi Pada Penderita Diabetes Mellitus Di Kecamatan Medan Selayang Periode Januari-Februari 2014

(1)

PENGETAHUAN DAN PERILAKU DOKTER GIGI TERHADAP

PENCABUTAN GIGI PADA PENDERITA DIABETES MELITUS

DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG PERIODE

JANUARI-FEBRUARI 2014

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

RIZKY ANNISA AMRIS LUBIS NIM: 100600154

PEMBIMBING:

SHAUKAT OSMANI HASBI, drg, Sp. BM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial

Tahun 2014

Rizky Annisa Amris Lubis

Pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap tindakan pencabutan gigi pada penderita diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang periode Januari-Februari 2014.

x + 48 halaman

Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit kompromis medis yang akan mempengaruhi prosedur pencabutan gigi karena merupakan golongan penyakit kompleks dari kelainan endokrin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kategori pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap tindakan pencabutan gigi pada penderita diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang. Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif dengan populasi seluruh dokter gigi yang berpraktik di praktik dokter gigi, puskesmas, maupun rumah sakit di Kecamatan Medan Selayang, yaitu sebanyak 73 orang. Penentuan sampel penelitian menggunakan teknik total sampling, dimana seluruh populasi dijadikan sampel tetapi sampel harus termasuk dalam kriteria inklusi dan terbebas dari kriteria eksklusi. Hasil penelitian menunjukkan persentase kategori pengetahuan tertinggi pada kategori baik (60,3%) dan perilaku


(3)

pada kategori yang juga baik (86,2%). Pengetahuan responden masih kurang pada pemberian saran diet yang tepat pada pasien diabetes mellitus (48,3%). Dari segi perilaku, hanya 12,1% responden yang melakukan pencabutan gigi pada waktu yang tepat dan 29,3% responden yang selalu melakukan tes skrining sebelum pencabutan gigi dilakukan. Pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap pencabutan gigi pada penderita diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang sudah tergolong baik, meskipun ada beberapa pengetahuan dan perilaku responden yang harus lebih ditingkatkan agar mendapatkan hasil yang lebih baik.


(4)

PENGETAHUAN DAN PERILAKU DOKTER GIGI TERHADAP

PENCABUTAN GIGI PADA PENDERITA DIABETES MELITUS

DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG PERIODE

JANUARI-FEBRUARI 2014

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

RIZKY ANNISA AMRIS LUBIS NIM: 100600154

PEMBIMBING:

SHAUKAT OSMANI HASBI, drg, Sp. BM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 29 Maret 2014

Pembimbing: Tanda Tangan

Shaukat Osmani Hasbi, drg., Sp.BM ………. NIP: NIP. 19491016 197903 1 001


(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini dipertahankan di hadapan penguji pada tanggal 29 Maret 2014

TIM PENGUJI

KETUA : Rahmi Syaflida, drg., SpBM

ANGGOTA : 1. Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM 2. Hendry Rusdy, drg., M.Kes., Sp.BM


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi ini selesai disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Dengan hati yang tulus penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada dosen pembimbing skripsi yaitu Shaukat Osmani Hasbi, drg., Sp. BM yang telah meluangkan waktu dan kesabaran dalam membimbing penulis demi selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Nasril Amris Lubis, S.H, M.Hum dan Ibunda tercinta Roswita Dewi, S.Pd yang telah memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan serta segala bantuan baik berupa moril maupun materil yang tidak terbatas kepada penulis. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Eddy Anwar Ketaren, drg., Sp. BM selaku ketua Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Sumatera Utara.

2. Seluruh staf pengajar dan laboran Departemen Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Lisna Unita, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjalankan akademik.

4. Adikku tersayang Andre Fauzan Amris Lubis atas kasih sayang, doa, dukungan, serta pengorbanan untuk kebahagiaan penulis.

5. Teman-teman terbaikku Brian Merchantara Winato, Ivan Poltak Sitompul, Vincent Gomulia, Joseph Dede Hartanta Ginting, Blisa Novertasari, S.KG, Nurul Rahmy, Anggraeny, Wesley Kuandinata, S.KG, Vinny Calyanto, Fany Yunita Sumartin yang selalu memberi dukungan dan semangat serta selalu cerita menjalani hari bersama-sama.


(8)

6. Teman seperjuangan skripsi di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Ghina Addina, Rizky Puspita, dan teman-teman lain serta seluruh teman mahasiswa stambuk 2010 atas dukungan, saran, dan bantuannya kepada penulis.

7. Orang-orang terdekatku Yudha Alifiandra, Tania Nurul Huda Syahar, Swastika Nusantari, Farhan Mar’I Isa, Ricky Afrianto, Tomy Kesuma Putra, S.Ked, M. Arief Pratama S.Ked, Farhan Luthfi, Mulki Makmun, Khairina Atyqa atas dukungan dan semangat untuk kebahagiaan penulis.

Penulis menyadari kelemahan dan keterbatasan ilmu yang penulis miliki menjadikan skripsi ini masih perlu perbaikan, saran, dan kritik untuk ke depannya sehingga menjadi lebih baik. Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat digunakan dan memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Medan, 13 Februari 2014 Penulis,

(Rizky Annisa A. Lbs) NIM : 100600154


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...

KATA PENGANTAR……….. iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL………..……. viii

DAFTAR GAMBAR……… ix

DAFTAR LAMPIRAN……… x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang………...………...….1

1.2Permasalahan……….………...……... 3

1.3Tujuan Penelitian.………...………..…3

1.4Manfaat Penelitian……….………..…… 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..………...… 5

2.1Pengetahuan dan Perilaku.………..…. 5

2.2Pencabutan Gigi…….………..… 8

2.3Diabetes Melitus……….……...……… 10

2.3.1 Patofisioliogi……….…….. 10

2.3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus (DM)...…………..……… 12

2.3.2.1Diabetes Melitus Tipe 1…..…….……….…………..…..….. 13

2.3.2.2Diabetes Melitus Tipe 2...……….………...…….. 14

2.3.2.3Diabetes Melitus Gestasional……...………...… 15

2.3.3 Tanda dan Gejala Diabetes Melitus...……….……....……... 15

2.3.4 Diagnosis Diabetes Melitus..………... 16

2.3.5 Komplikasi Oral Yang Ditimbulkan Oleh Diabetes Melitus... 17

2.3.5.1Gingivitis dan Penyakit Periodontal..…….………...….. 18

2.3.5.2Disfungsi Kelenjar Saliva dan Xerostomia..…….……...…… 19

2.3.5.3Kandidiasis…...……… 19

2.3.5.4Sindroma Mulut Terbakar (Burning Mouth Syndrome)…...… 20

2.3.5.5Lichen Planus……...……… 21

2.3.5.6Infeksi Oral Akut……....……….. 21


(10)

2.4.1 Tes Skrining………...……….. 22

2.4.2 Waktu Pencabutan Gigi.……….. 22

2.4.3 Diet……….. 23

2.4.4 Diabetes dan Infeksi...………. 23

2.4.5 Pemberian Anestesi Lokal..………. 23

2.4.6 Pemberian Obat...………...………. 24

2.4.7 Penyembuhan Luka...………..……… 24

2.4.8 Kadar Gula Darah Saat Pencabutan Gigi Dilakukan.….……. 25

2.5 Keadaan Darurat Pada Diabetes Melitus....………. 25

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN………...…... 27

3.1Rancangan Penelitian………. 27

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian………. 27

3.3Populasi dan Sampel Penelitian………. 27

3.4Identifikasi Variabel Penelitian………...……….. 28

3.5Definisi Operasional...………...……… 28

3.6Metode Pengumpulan Data……… 29

3.7Pengolahan dan Analisis Data………...……… 30

3.8Aspek Pengukuran...……….. 31

BAB 4 HASIL PENELITIAN……… 33

4.1 Gambaran Responden.………. 33

4.2 Pengetahuan Responden Tentang Pencabutan Gigi Terhadap Pasien Diabetes Mellitus…………..……… 33

4.3 Perilaku Responden Tentang Pencabutan Gigi Terhadap Pasien Diabetes Mellitus...……… 35

BAB 5 PEMBAHASAN………....………. 39

BAB6 KESIMPULAN DAN SARAN……….. 45

6.1 Kesimpulan..………. 45

6.2 Saran….……… 46

DAFTAR PUSTAKA……….……… 47 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Variabel dan Definisi Operasional………. 28

2. Kategori Nilai Pengetahuan……….... 31

3. Kategori Nilai Perilaku………... 32

4. Kriteria dan Jumlah Responden Dokter Gigi……….. 33

5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)…………. 34

6. Kategori Pengetahuan Responden tentang Pencabutan Gigi Terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)………... 34

7. Distribusi Frekuensi Perilaku Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)……… 36

8. Kategori Perilaku Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)……… 37

9. Kategori Pengetahuan dan Perilaku Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)…………. 38


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Daftar Riwayat Hidup

2. Kuesioner Pengetahuan dan Perilaku Dokter Gigi Terhadap Tindakan Pencabutan Gigi Pada Penderita Diabetes Mellitus di Kecamatan Medan Selayang


(14)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial

Tahun 2014

Rizky Annisa Amris Lubis

Pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap tindakan pencabutan gigi pada penderita diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang periode Januari-Februari 2014.

x + 48 halaman

Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit kompromis medis yang akan mempengaruhi prosedur pencabutan gigi karena merupakan golongan penyakit kompleks dari kelainan endokrin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kategori pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap tindakan pencabutan gigi pada penderita diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang. Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif dengan populasi seluruh dokter gigi yang berpraktik di praktik dokter gigi, puskesmas, maupun rumah sakit di Kecamatan Medan Selayang, yaitu sebanyak 73 orang. Penentuan sampel penelitian menggunakan teknik total sampling, dimana seluruh populasi dijadikan sampel tetapi sampel harus termasuk dalam kriteria inklusi dan terbebas dari kriteria eksklusi. Hasil penelitian menunjukkan persentase kategori pengetahuan tertinggi pada kategori baik (60,3%) dan perilaku


(15)

pada kategori yang juga baik (86,2%). Pengetahuan responden masih kurang pada pemberian saran diet yang tepat pada pasien diabetes mellitus (48,3%). Dari segi perilaku, hanya 12,1% responden yang melakukan pencabutan gigi pada waktu yang tepat dan 29,3% responden yang selalu melakukan tes skrining sebelum pencabutan gigi dilakukan. Pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap pencabutan gigi pada penderita diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang sudah tergolong baik, meskipun ada beberapa pengetahuan dan perilaku responden yang harus lebih ditingkatkan agar mendapatkan hasil yang lebih baik.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Prosedur bedah mulut merupakan prosedur yang banyak memiliki tantangan, terlebih lagi apabila terdapat pertimbangan perawatan tambahan karena adanya pasien resiko tinggi. Dengan makin banyaknya kelompok usia lanjut, maka kelompok tersebut semakin memerlukan perhatian khusus.1 Pasien yang mengidap penyakit kardiovaskular, saluran pernapasan, kelainan endokrin, dan sebagainya akan menjadi lebih banyak.1,2 Kondisi-kondisi tersebut dan perubahan-perubahan lainnya yang menyertai proses penuaan mengharuskan dokter gigi untuk membiasakan diri dengan proses-proses penyakit yang biasanya berkaitan, pengobatan yang akan dilakukan, dan modifikasi perawatannya.1

Dokter gigi khususnya ahli bedah mulut dan maksilofasial, harus mengetahui status fisik dan emosional pasiennya. Informasi ini merupakan hal yang signifikan untuk mengetahui kesehatan pasien ketika akan menjalani pembedahan, misalnya pencabutan gigi dengan anestesi lokal, terutama pada pasien kompromis medis dengan masalah pembedahan yang kompleks. Pengambilan riwayat medis yang baik merupakan metode dimana data yang sangat penting didapatkan untuk evaluasi. Untuk pasien dengan penyakit medis yang serius, yang kemungkinan memiliki pemahaman yang terbatas tentang penyakitnya, akan sangat membantu apabila dokter gigi mendapatkan daftar perawatan yang telah dilakukan pasien.3

Kecurigaan yang didasarkan pada pengetahuan medis merupakan hal yang paling penting dalam evaluasi pasien. Konsultasi yang tepat dan berpartisipasi bersama dokter yang biasa merawat pasien juga merupakan hal yang penting untuk beberapa situasi. Pada masing-masing pasien, dokter gigi harus mengetahui apa penyebab utama dari penyakit pasien tersebut dan bagaimana ciri-ciri yang timbul dari penyakit sistemiknya yang dapat mempengaruhi prosedur pencabutan gigi. Pemeriksaan fisik dan pengambilan riwayat medis yang semakin luas, penambahan


(17)

studi laboratorium, dan konsultasi lebih lanjut dibutuhkan ketika pasien diketahui memiliki suatu keadaan kompromis medis.3

Identifikasi pasien yang memerlukan perawatan tambahan didasarkan pada riwayat pasien dan hasil evaluasi klinik. Hasil skrining tersebut kemudian akan menentukan apakah akan dilakukan perawatan tanpa modifikasi, perawatan dengan pendekatan tambahan, maupun menunda perawatan sampai sesudah dilakukan konsultasi atau merujuk.1

Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit kompromis medis yang akan mempengaruhi prosedur pencabutan gigi karena merupakan golongan penyakit kompleks dari kelainan endokrin. Diabetes mellitus merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan.4 Pada keadaan ini, kemampuan tubuh untuk menggunakan karbohidrat berkurang atau hilang sama sekali karena kegagalan aktivitas pankreas. Hal ini menyebabkan terjadinya hiperglikemia dengan poliuria dan glikosuria, menghasilkan simptom haus, lapar, pengurangan berat badan, lemah, dan menurunkan resistensi infeksi pyogenik.3

Penderita diabetes mellitus yang akan melakukan pencabutan gigi harus mendapat perhatian khusus karena adanya kelainan homeostasis glukosa pada darah. Jika tidak dirawat, hal ini akan mengakibatkan ketoasidosis. Namun, apabila perawatannya berlebihan, hal ini akan menyebabkan hipoglikemia.5

Suatu studi menyatakan bahwa pada masa kini, ada lebih dari 18,2 juta orang yang menderita diabetes mellitus (sekitar 6,3% dari populasi keseluruhan), sedangkan studi lain menyatakan bahwa prevalensi penderita diabetes mellitus di Amerika meningkat terus-menerus dimana diperkirakan 16 juta orang atau sekitar 6% populasi di Amerika menderita diabetes mellitus.4,6 800.000 kasus baru didiagnosa setiap tahunnya. Hampir 20% orang dewasa yang berusia lebih dari 65 tahun menderita diabetes mellitus.6

Adapun data epidemiologi prevalensi diabetes mellitus di Jakarta pada tahun 1980 adalah sekitar 1,2%-2,3% dari jumlah penduduk, pada tahun 1982 sekitar 1,7% dari jumlah penduduk, dan pada tahun 1993 sekitar 5,7% dari jumlah penduduk. Kemudian pada tahun 2000, prevalensi diabetes mellitus mencapai 4,6% dari seluruh


(18)

jumlah penduduk, yaitu sekitar 5,6 juta penderita.7 Prevalensi diabetes mellitus diperkirakan akan meningkat sampai 5,4% dari seluruh penduduk di dunia pada tahun 2025.8

Pertambahan jumlah penderita diabetes pada dewasa dan anak-anak di Amerika memiliki arti bahwa jumlah pasien dengan persoalan dental yang serius akan terus bertambah. Sebagai hasilnya, dokter dan dokter gigi harus bekerja sama dalam melakukan perawatan pada pasien diabetes mellitus dan dokter gigi harus diberitahukan setiap perubahan yang terjadi selama perawatan dilakukan.9 Maka dari itu, dokter gigi harus memiliki pengetahuan yang cukup dalam menangani pasien penderita diabetes mellitus dan menerapkannya dalam perilaku sehari-hari. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini di Medan, khususnya di praktik dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengetahuan dokter gigi mengenai tindakan pencabutan gigi terhadap penderita diabetes melitus di Kecamatan Medan Selayang periode Januari-Februari 2014.

2. Bagaimana perilaku dokter gigi yang sesuai dengan tindakan pencabutan gigi terhadap penderita diabetes melitus di Kecamatan Medan Selayang periode Januari-Februari 2014.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan perilaku dokter gigi mengenai tindakan pencabutan gigi terhadap penderita diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang, dan secara khusus bertujuan:

1. Untuk mengetahui pengetahuan dokter gigi mengenai tindakan pencabutan gigi terhadap penderita diabetes melitus di Kecamatan Medan Selayang periode Januari-Februari 2014.


(19)

2. Untuk mengetahui perilaku dokter gigi yang sesuai dengan tindakan pencabutan gigi terhadap penderita diabetes melitus di Kecamatan Medan Selayang periode Januari-Februari 2014.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan diketahuinya hubungan antara pengetahuan dan perilaku dokter gigi mengenai tindakan pencabutan gigi terhadap penderita diabetes melitus di Kecamatan Medan Selayang, maka diharapkan dapat menjadi:

1. Sebagai bahan masukan mengenai jumlah dokter gigi yang berpraktik di Kecamatan Medan Selayang.

2. Untuk menambah informasi bagi dokter gigi dalam melakukan tindakan pencabutan gigi pada penderita diabetes mellitus sehingga dokter gigi dapat lebih waspada dalam melakukan prosedur pencabutan gigi.

3. Untuk meminimalkan risiko terjadinya komplikasi sistemik yang mungkin timbul setelah pencabutan gigi pada penderita diabetes mellitus.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan dan Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan rasa. Pengetahuan atau kognitif merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan dapat diperoleh dari proses belajar yang dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinan yang diperoleh, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar kemampuan menyerap, menerima dan mengadopsi informasi yang didapat. Sementara Soekamto (1997) berpendapat, pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman sendiri maupun orang lain, media massa maupun lingkungan sekitarnya. Adanya perubahan perilaku pada seseorang merupakan suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu relatif lama dimana tahapan yang pertama adalah pengetahuan. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru maka harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya maupun terhadap keluarga atau orang lain.10

Menurut Gibson.dkk (2001), kemampuan seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan ketrampilan, sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui latihan, pengalaman kerja maupun pendidikan, dan ketrampilan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya sejenis pendidikan, kurikulum, pengalaman praktik dan latihan.10

Pengetahuan terdiri atas fakta, konsep generalisasi dan teori yang memungkinkan manusia dapat memahami fenomena dan memecahkan masalah. Menurut Gibson.dkk, (2001) ada empat cara memperoleh pengetahuan yaitu :


(21)

1. Melalui pengalaman pribadi secara langsung atau berbagai unsur sekunder yang memberi berbagai informasi yang sering kali berlawanan satu dengan yang lain

2. Mencari dan menerima penjelasan-penjelasan dari orang tertentu yang mempunyai penguasaan atau yang dipandang berwenang

3. Penalaran deduktif

4. Pencarian pengetahuan yang dimulai dengan melakukan observasi terhadap hal-hal khusus atau fakta yang nyata (induktif).

Pengetahuan mempunyai 5 tingkatan sebagai berikut :11

1. Kesadaran (awareness), orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

2. Tertarik (interest), orang mulai tertarik kepada stimulus.

3. Evaluasi (evaluation), orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

4. Mencoba (trial), orang telah mulai mencoba perilaku baru.

5. Menerapkan (adoption), subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Sementara itu, Kurt Lewin (1951) merumuskan suatu model hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks.12

Untuk tidak sekedar memahami, tapi juga agar dapat memprediksi perilaku, Icek Ajzen dan Martin Fishbein mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action). Dengan mencoba melihat penyebab perilaku volisional (perilaku


(22)

yang dilakukan atas kemauan sendiri), teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi bahwa:

a) Manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal. b) Manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan

c) Secara eksplisit maupun implisit, manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka.

Teori Tindakan Beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal, yaitu:

a) Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum, tetapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu.

b) Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap, tetapi juga oleh norma-norma subjektif, yaitu suatu keyakinan mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat.

c) Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

Gambar. 1. Teori Tindakan Beralasan12

Dari bagan di atas, tampak bahwa intensi merupakan fungsi dari dua determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek personal)

Sikap terhadap

perilaku

Norma-norma subjektif

Intensi untuk


(23)

dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak melakukan perilaku yang bersangkutan atau yang disebut dengan norma subjektif. Secara sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan tersebut positif dan ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya.12

2.2 Pencabutan Gigi

Menurut Pedlar dkk (2001), pencabutan gigi adalah suatu prosedur bedah yang dapat dilakukan dengan tang, elevator, atau dengan pendekatan transalveolar. Pencabutan bersifat irreversibel dan terkadang menimbulkan komplikasi. Pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan sebuah gigi atau akar yang utuh tanpa menimbulkan rasa sakit dengan trauma yang sekecil mungkin pada jaringan penyangganya sehingga luka bekas pencabutan akan sembuh secara normal dan tidak menimbulkan masalah prostetik pasca-bedah.13

Menurut Starshak (1980) dan Kruger (1974), indikasi dilakukannya pencabutan gigi adalah sebagai berikut13:

a) Gigi dengan patologis pulpa, baik akut maupun kronis, yang tidak mungkin dilakukan terapi endodontik dan harus dicabut.

b) Gigi dengan karies yang besar, baik dengan atau tanpa adanya penyakit pulpa atau periodontal, harus dicabut ketika restorasinya akan menyebabkan kesulitan keuangan bagi pasien dan keluarga.

c) Penyakit periodontal yang terlalu parah untuk dilakukan perawatan. Pertimbangan ini juga meliputi keinginan pasien untuk kooperatif dalam rencana perawatan total dan untuk meningkatkan oral hygiene sehingga menghasilkan perawatan yang bermanfaat.

d) Gigi malposisi dan overerruption.

e) Gigi impaksi dalam denture bearing area harus dicabut sebelum dilakukan pembuatan protesa.

f) Gigi yang mengalami trauma harus dicabut untuk mencegah kehilangan tulang yang lebih besar.


(24)

g) Beberapa gigi yang terdapat pada garis fraktur rahang harus dicabut untuk meminimalisasi kemungkinan infeksi, penyembuhan yang tertunda, atau tidak menyatunya rahang.

Menurut Starshak (1980), kontraindikasi pencabutan gigi terbagi menjadi dua, yaitu kontraindikasi lokal dan kontraindikasi sistemik. Adapun kontraindikasi lokal pencabutan gigi yaitu13:

a) Infeksi dental akut yang harus dievaluasi tergantung pada kondisi pasien b) Perawatan infeksi perikoronal akut yang berbeda dengan abses periapikal.

Pada abses periapikal, drainase dapat dilakukan dengan pencabutan gigi, sedangkan infeksi perikoronal dapat menyebar jika gigi yang terlibat dicabut selama fase akut.

Sedangkan kontraindikasi sistemiknya adalah sebagai berikut13:

a) Penyakit medis yang tidak terkontrol, seperti hipertensi, coronary artery disease, kelainan jantung, anemia parah, leukemia, dan blood dyscrasias

yang membutuhkan manajemen medis yang tepat sebelum pencabutan gigi dapat dilakukan.

b) Penyakit kronik seperti diabetes, nefritis, dan hepatitis yang dapat menyulitkan pencabutan gigi karena dapat menghasilkan infeksi jaringan, penyembuhan yang tidak sempurna, dan penyakitnya semakin memburuk. c) Neuroses dan psychoses merupakan kontraindikasi yang cenderung

menyulitkan perawatan dental.

d) Kehamilan merupakan kondisi fisiologis normal dan tidak diperhatikan sebagai kontraindikasi pencabutan gigi, kecuali jika terdapat beberapa komplikasi

2.3 Diabetes Melitus

Diabetes mellitus adalah keadaan peninggian kadar glukosa darah yang kronik dan sering disertai dengan abnormalitas metabolisme pada karbohidrat, lipid, dan


(25)

protein yang menghasilkan defisiensi insulin yang absolut ataupun relatif yang menyebabkan resistensi jaringan terhadap efek metabolik selulernya.2,14 Diabetes mellitus juga merupakan kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronik yang dihasilkan dari kerusakan sel beta pankreas (sel penghasil insulin), reaksi insulin yang tidak seimbang, atau keduanya.15

Hiperglikemia kronis pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, adanya disfungsi dan kegagalan organ-organ lainnya, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.16

2.3.1 Patofisiologi

Pada individu yang sehat, kadar gula darah biasanya dipertahankan antara 60-150 mg/dL per harinya. Insulin memiliki peranan penting dalam regulasi gula darah. Insulin disintesis di sel beta pankreas dan disekresikan dengan cepat ke dalam darah sebagai respon untuk meningkatkan gula darah, misalnya setelah makan. Insulin mengatur homeostasis glukosa dengan cara meningkatkan penyerapan glukosa dari darah ke dalam sel dan menyimpannya di dalam liver dalam bentuk glikogen. Insulin juga meningkatkan penyerapan asam lemak dan asam amino, sebagaimana yang selanjutnya diubah menjadi trigliserida dan cadangan protein.6

Terdapat beberapa proses patogenesis yang terkait dalam pembentukan diabetes. Hal ini berkisar dari rusaknya autoimun sel beta pankreas dengan akibat defisiensi insulin yang menyebabkan resistensi insulin. Dasar abnormalitas pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein pada diabetes adalah kurangnya insulin pada jaringan. Dengan kata lain, kelainan utamanya adalah karena berkurangnya insulin di dalam sirkulasi darah. Meningginya gula darah terjadi karena bertambahnya glukosa yang dikeluarkan oleh hati, sedangkan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer menurun. Defisiensi insulin akan menyebabkan sekresi insulin yang inadekuat dan berkurangnya respon jaringan terhadap insulin dalam reaksi hormon. Pengurangan sekresi insulin dan kerusakan pada reaksi insulin biasanya terjadi pada pasien yang sama, dan biasanya tidak jelas mana yang menjadi abnormalitas, dan jika salah satu saja, maka penyebab utamanya adalah hiperglikemia.5,16


(26)

Kekurangan insulin atau resistensi insulin yang terlihat pada DM menyebabkan sel insulin tidak mampu menggunakan gula darah sebagai sumber energi. Trigliserida yang tersimpan kemudian dirusak menjadi asam lemak, kemudian menjadi sumber alternatif sebagai bahan bakar, dan terjadi peningkatan keton pada darah sehingga akan menyebabkan ketoasidosis. Ketika kadar gula darah meningkat (hiperglikemia), glukosa diekskresikan melalui urin dan terjadilah urinasi yang berlebihan (poliuria) karena diuresis osmotik. Kehilangan cairan yang terus-menerus ini dapat memicu dehidrasi dan perasaan haus yang berlebihan (polidipsia). Karena sel menjadi kekurangan glukosa, pasien akan mengalami peningkatan rasa lapar (polifagia). Maka dari itu, pasien diabetes sering mengalami penurunan berat badan karena sel tidak bisa menyerap glukosa. Hal inilah yang menjadi tanda dan simptom DM.6

Pembedahan dan luka jaringan pada pasien non-diabetik menyebabkan timbulnya respon katabolik yang dikarakteristikkan dengan peningkatan laju metabolisme, peningkatan degradasi protein, dan intoleransi glukosa. Respon katabolik ini terjadi sebagai akibat dari peningkatan sirkulasi berbagai jenis hormon stress, seperti katekolamin, kortisol, glukagon, dan growth hormone, sebagaimana penurunan pada sirkulasi konsentrasi insulin. Katekolamin yang meningkat menyebabkan glukoneogenesis dan lipolisis. Peningkatan level kortisol akan menyebabkan pemecahan protein pada jaringan ekstrahepatik dan meningkatkan aliran prekursor glukoneogenik. Peningkatan glukagon memiliki efek utama pada liver dalam menaikkan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan keton, sedangkan peningkatan growth hormone menyebabkan peningkatan lipolisis. Kombinasi hormon-hormon stress ini dapat menyebabkan efek katabolis.17

Namun, tidak ada di antara hormon tersebut yang dapat menyebabkan efek katabolik secara tunggal tanpa hormon lainnya. Oleh karena itu, defisiensi insulin memainkan peranan penting selama peningkatan kadar hormon stress pada saat peristiwa katabolik dalam pembedahan.17


(27)

-Efek inhibitor langsung karena adanya agen anestesi. Anestesi dapat berpengaruh pada metabolisme glukosa, yaitu mengakibatkan hiperglikemia karena adanya pemecahan glikogen menjadi glukosa.

-Efek inhibitor stimulasi adrenomedulari insulin yang disebabkan oleh rasa sakit dan stress.

Penurunan insulin dan kelebihan hormon stress menyebabkan kekacauan metabolis yang dikarakteristikkan dengan peningkatan glukoneogenesis, hiperglikemia, glikosuria, osmotik diuresis, kehilangan elektrolit, peningkatan degradasi protein, dan keseimbangan nitrogen negatif.17

Osmotik diuresis semakin memperburuk kehilangan elektrolit yang terjadi sebagai akibat dari proses operatif itu sendiri. Defisiensi insulin absolut pada pasien diabetes akan menggabungkan ketidakseimbangan metabolisme ini dengan katabolisme dan gangguan elektrolit. Respon katabolik terhadap pembedahan pada pasien diabetes juga berhubungan dengan tingkat keparahan operasi, jaringan luka yang luas dan komplikasi efek shock dan infeksi.17

2.3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Dalam menentukan jenis diabetes mellitus pada seseorang sering kali bergantung pada kondisi yang terjadi pada saat diagnosis, dan banyak penderita diabetes yang tidak dapat digolongkan dalam satu klasifikasi dengan mudah.16 Pada tahun 1999, American Diabetes Association’s Expert Committee pada Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus menyetujui revisi nomenklatur dan sistem klasifikasi berikut, yang berdasarkan pada etiologi penyakit daripada tipe spesifik perawatan yang digunakan.6

2.3.2.1 Diabetes Melitus Tipe 1

Pada diabetes jenis ini, yang prevalensinya terjadi sekitar 5-10% dari seluruh kasus diabetes dan disebut juga dengan insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM)


(28)

atau juvenile onset diabetes, biasanya merupakan hasil dari kerusakan autoimun pada sel beta pankreas.6,16

Immune mediated diabetes biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja, tetapi dapat juga terjadi di semua usia. Hal ini terjadi karena defisiensi insulin dan pasien memiliki insiden komplikasi yang parah. Penyebabnya adalah dikarenakan oleh penghancuran autoimun-mediasi pada sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Jadi, pasien DM tipe 1 cenderung mengalami ketoasidosis, komplikasi dan metabolisme akut yang mengancam kehidupan, dan sepenuhnya tergantung pada insulin eksogen untuk bertahan hidup. Ketoasidosis dapat menurunkan pH dalam darah dengan cepat, yang mengarah pada koma dan kematian. Tanda dan simptom pada pasien ini relatif tiba-tiba dan biasanya timbul pada usia muda, misalnya 15 tahun, walaupun diabetes tipe ini dapat terjadi pada semua usia.6,14

Hiperglikemia merupakan tanda utama yang muncul pada diabetes mellitus karena hal ini adalah komplikasi metabolik kronis. Komplikasi metabolik kronis umumnya terjadi lebih parah pada pasien DM tipe 1. Hal ini termasuk pada kerentanan terhadap infeksi dan penyembuhan yang melambat, neuropati, retinopati, dan nefropati (penyakit mikrovaskular); dipercepat oleh aterosklerosis yang kemudian dihubungkan dengan myocardial infark, stroke, aneurisme aterosklerosis (penyakit makrovaskular), dan amputasi. Pembentukan lesi sekunder pada pasien diabetes berhubungan dengan derajat keparahan dan durasi hiperglikemia.14

Pasien DM tipe 1 juga cenderung mengalami kelainan autoimun lainnya, seperti Grave’s disease, Hashimoto’s thyroiditis, dan Addison’s disease. Beberapa kasus DM tipe 1 memiliki penyebab yang belum diketahui dan kemungkinan berkaitan dengan infeksi viral atau karena faktor lingkungan yang sulit didefinisikan.6 Maka dari itu, dokter gigi harus mempertimbangkan dengan hati-hati akan adanya potensi pembentukan penyakit endokrin mediasi autoimun yang dikarakteristikkan dengan hipofungsi ketika menilai manajemen klinis pada seorang penderita DM tipe 1.14


(29)

2.3.2.2 Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes mellitus tipe 2 atau yang sering disebut dengan non-insulin-dependent-diabetes mellitus (NIDDM) terjadi hampir pada 90-95% kasus diabetes, meliputi individu yang resisten terhadap insulin dan biasanya mengalami defisiensi insulin relatif.6,14,16 Yang dimaksud dengan defisiensi insulin relatif adalah kadar insulin dalam tubuh masih berada dalam batas normal, tetapi cara kerjanya kurang efektif sehingga menunjukkan adanya gejala defisiensi insulin. DM tipe ini juga sering disebut dengan diabetes dewasa karena lebih sering terjadi pada umur di atas 40 tahun dan diturunkan melalui gen dominan dan biasanya dikaitkan dengan kegemukan.1 Level insulin yang mempengaruhi pasien bisa normal, meningkat, atau menurun, tetapi tidak ada defisiensi insulin yang mendalam. Bagaimanapun juga, selama bertahun-tahun, mayoritas penderita DM tipe 2 menunjukkan penurunan level insulin secara terus-menerus.14

Etiologi dan patogenesis DM tipe 2 kemungkinan lebih bermacam-macam dengan multipel lesi biokemis atau molekuler. Kerusakannya termasuk pada sekresi insulin yang terganggu, kerusakan pada reseptor insulin, dan kerusakan pada penyerapan glukosa pada hati yang berkontribusi terhadap intoleransi insulin.14 Meskipun penyebab DM tipe 2 ini tidak diketahui secara spesifik, kerusakan autoimun pada sel beta pankreas tidak ditemukan. Ketoasidosis tidak ditemukan, namun hiperosmolar asidosis non-ketosis dapat terjadi sebagai hasil dari hiperglikemia dalam jangka waktu panjang. Insulin eksogen tidak dibutuhkan pada perawatan pasien NIDDM untuk bertahan hidup, melainkan digunakan untuk meningkatkan kontrol hiperglikemia.6,14

Hiperglikemia pada pasien NIDDM ditemukan karena adanya kegagalan sel beta pankreas untuk mengetahui peningkatan permintaan insulin (sekresi insulin terganggu karena kerusakan reseptor insulin). Resiko pembentukan DM tipe 2 meningkat berdasarkan faktor usia, obesitas, dan kekurangan aktivitas fisik. Obesitas dan kadar kolesterol yang tinggi dapat memperburuk aterosklerosis. DM tipe 2 juga ditemukan lebih banyak pada individu yang mengalami hipertensi atau dislipidemia.


(30)

Sering pula ditemukan faktor predisposisi genetik dimana faktor ini lebih banyak ditemukan pada populasi Afrika-Amerika, Spanyol, dan Amerika-India.6,14

2.3.2.3 Diabetes Melitus Gestasional

Jenis diabetes ini ditandai dengan adanya derajat intoleran glukosa dengan onset atau pertama kali dikenali pada masa kehamilan. Di Amerika, GDM mengkomplikasi sekitar 4% dari seluruh kehamilan. Pada kebanyakan kasus, regulasi glukosa akan kembali normal setelah melahirkan. Bagaimanapun juga, wanita yang menderita GDM memiliki resiko untuk mengalami DM tipe 2 setelah masa kelahiran.6,15

2.3.3 Tanda dan Gejala Diabetes Melitus

Adapun tanda-tanda dan gejala pada diabetes mellitus adalah sebagai berikut2,4,18,19:

1. Poliuria, yaitu urinasi yang berlebihan.

2. Polidipsia, yaitu perasaan haus yang berlebihan. 3. Polifagia, yaitu peningkatan selera makan.

4. Glikosuria, yaitu terdapat kandungan glukosa di dalam urin.

5. Retinopati diabetik, yaitu suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan dan sumbatan-sumbatan pembuluh halus yang meliputi arteriol prekapiler retina, kapiler-kapiler, dan vena-vena.

6. Neuropati diabetik, yaitu kerusakan saraf sebagai komplikasi serius akibat diabetes. Tergantung dari tingkat kerusakan, neuropati diabetik dapat menimbulkan nyeri, mati rasa dan gangguan pada saluran pencernaan, kemih, pembuluh darah dan jantung.

7. Nefropati diabetik, yaitu komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal.

8. Peningkatan resiko penyakit arteri koroner.

9. Infeksi kandung kemih, terutama infeksi yang disebabkan oleh fungi. 10.Gatal-gatal, kulit kering, dan lambatnya penyembuhan luka.


(31)

11.Lemah, lelah, dan simptom seperti flu.

12.Rasa gatal atau terbakar pada tangan atau kaki (terutama pada DM tipe 2). 13.Pandangan mengabur.

14.Tanda-tanda diabetes lainnya yang timbul di rongga mulut.

2.3.4 Diagnosis Diabetes Melitus

Kedua jenis utama DM (tipe 1 dan tipe 2) menyebabkan hiperglikemia atau kadar gula darah tinggi jika tidak dilakukan perawatan.4 Pada Februari 2010, ADA (American Diabetes Association) secara resmi merekomendasikan penggunaan uji hemoglobin glikosilasi (HbA1c) untuk mendiagnosis dan memantau DM. Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) merupakan gugus heterogen yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin. Kecepatan pembentukan HbA1c proporsional dengan konsentrasi glukosa darah. Pemeriksaan ini sangat diperlukan dalam upaya manajemen DM yang optimal untuk memperkecil risiko komplikasi diabetes.Laporan tahunan ADA mengusulkan bahwa penemuan tingkat HbA1c yang lebih dari 6,5% menghasilkan terdiagnosanya diabetes. Standard baru ini didasarkan pada sebagian besar bukti ilmiah oleh Diabetes Control and Complication Trial (DCCT). Uji diagnostik diabetes lainnya mencakup tingkat gula darah puasa yang lebih dari 126 mg/dL, tingkat gula darah 2 jam yang lebih dari 200 mg/dL selama uji toleransi glukosa oral (OGTT), dan tingkat glukosa acak lebih dari 200 mg/dL pada pasien simptomatik untuk krisis hiperglikemia atau hipoglikemia.15,20

Pemeriksaan HbA1c telah digunakan sebagai penaksiran jangka panjang, menyediakan pengukuran untuk regulasi glukosa rata-rata selama 6 sampai 12 minggu sebelumnya. Tujuan pada pasien diabetes adalah untuk menjaga level HbA1c kurang dari 7% dimana glukosa dianggap terkontrol dengan baik. Uji lain, seperti uji toleransi glukosa, biasanya digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan diabetes gestasional dan gangguan absorpsi glukosa.15

Pasien diabetes harus menjalani pemantauan reguler dengan menguji tingkat gula darah puasa dan tingkat HbA1c. Uji serum fruktosamin digunakan untuk mengukur kontrol glikemik pasien diabetes selama 2 sampai 3 minggu sebelum


(32)

pemeriksaan. Telah dilaporkan pada suatu studi adanya korelasi positif antara derajat perdarahan gingiva dan tingkat fruktosamin yang tinggi. Pemeriksaan serum fruktosamin sering kali terlihat pada wanita hamil dan khususnya wanita hamil yang kebutuhan insulin dan glukosanya untuk waktu tertentu dipengaruhi oleh penyakit akut maupun sistemik.15

Pemeriksaan gula darah puasa yang hasilnya lebih dari 126 mg/dL terdiagnosa akan adanya diabetes. Jika pengukuran gula darah puasa antara 110 sampai 126 mg/dL, maka pemeriksaan toleransi glukosa oral harus dilakukan untuk menentukan derajat intoleransi glukosa. Gula darah puasa lebih dari 126 mg/dL, tingkat glukosa acak lebih dari 200 mg/dL, dan di samping gejala DM lainnya (polidipsia, poliuria, polifagia, kehilangan berat badan, dan rasa lemah) merupakan indikator yang pasti untuk mendiagnosis DM. Penemuan gula darah positif harus dikonfirmasi dengan mengulang pemeriksaan pada hari-hari berikutnya.15

2.3.5 Komplikasi Oral yang Ditimbulkan Oleh Diabetes Melitus

Komplikasi oral yang terjadi pada diabetes mellitus yang tidak terkontrol sangatlah merusak. Hal ini mencakup gingivitis dan penyakit periodontal, xerostomia dan disfungsi kelenjar saliva, kerentanan pada bakteri yang meningkat, infeksi viral dan fungal (kandidiasis), karies, abses periapikal, kehilangan gigi, terganggunya kemampuan untuk menggunakan protesa (berhubungan dengan disfungsi kelenjar saliva), gangguan pengecapan, lichen planus, dan sindrom mulut terbakar.21

2.3.5.1 Gingivitis dan Penyakit Periodontal

Kerentanan terhadap penyakit periodontal merupakan komplikasi oral yang paling sering ditemukan pada pasien diabetes mellitus. Pasien dengan kontrol diabetes mellitus yang rendah memiliki risiko tertinggi dalam pembentukan penyakit periodontal. Hal ini dimulai dari gingivitis dan kemudian, dengan kontrol glikemik yang rendah, berkembang ke penyakit periodontal lanjutan. Anak-anak dengan diabetes dan orang dewasa dengan kontrol metabolik yang dibawah optimal menunjukkan kecendrungan ke arah skor gingivitis yang lebih tinggi.21


(33)

Pada sebuah studi menyatakan bahwa prevalensi penyakit periodontal berkisar 9,8% dari 263 pasien dengan diabetes tipe 1, dibandingkan dengan 1,7% pada pasien tanpa diabetes. Beberapa studi telah mendemonstrasikan bahwa pasien dengan diabetes tipe 1 dan kronis, kontrol metabolik pada penyakit harus diperpanjang dan penyakit periodontal lebih parah daripada pasien yang dengan teliti mengontrol diabetesnya. Pasien dengan diabetes tipe 1 dan retinopati cenderung menunjukkan kehilangan perlekatan gingiva lebih besar. Jadi, oral hygiene yang baik sangatlah penting pada pasien dengan diabetes tipe 1.21

Terdapat studi yang lebih banyak pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang dihubungkan dengan penyakit periodontal. Studi ini menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes tipe 2 dapat mengalami penyakit periodontal tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes. Suatu studi pada India Pima, dimana 40% orang-orangnya menderita diabetes tipe 2, orang-orang yang usianya dibawah 40 tahun mengalami peningkatan kehilangan perlekatan gingiva lebih besar dibandingkan dengan orang-orang tanpa diabetes, sebagaimana juga terjadi kehilangan tulang alveolar yang berhubungan dengan peningkatan intoleransi glukosa atau kontrol metabolik yang rendah. Pada studi ini pula diketahui bahwa kerusakan jaringan periodontal meningkat berdasarkan usia dan derajat keparahan diabetesnya. Kehilangan gigi juga memiliki persentase 15 kali lebih tinggi pada penderita diabetes dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki diabetes.21

2.3.5.2 Disfungsi Kelenjar Saliva dan Xerostomia

Terdapat beberapa laporan bahwa mulut kering (xerostomia) dan hipofungsi kelenjar saliva ditemukan pada pasien diabetes, yang disebabkan oleh poliuria atau karena masalah endokrin atau metabolik. Ketika lingkungan normal dalam mulut berubah karena adanya penurunan aliran saliva atau perubahan dalam komposisi saliva, dalam mulut yang sehat dapat menjadi rentan terhadap karies dental. Kekeringan, atropi, dan mukosa oral yang pecah-pecah merupakan komplikasi terhadap produksi saliva yang tidak cukup. Disertai dengan mukositis, ulser dan deskuamasi, sebagaimana inflamasi dan depapilasi lidah merupakan masalah yang


(34)

biasa dijumpai. Kesulitan dalam lubrikasi makanan, mengunyah, merasa, dan menelan juga merupakan komplikasi dalam disfungsi saliva dan kemungkinan berkontribusi dengan gangguan asupan nutrisi.21

Peningkatan jumlah karies dental telah diketahui terjadi pada pasien muda yang menderita diabetes dan kemungkinan berhubungan dengan disfungsi saliva. Namun, terdapat hubungan antara pasien dewasa dengan diabetes dan karies yang aktif dan kehilangan gigi dimana hal ini lebih sering ditemui pada pasien diabetes dengan kontrol glikemik yang rendah.21

2.3.5.3 Kandidiasis

Kandidiasis oral merupakan infeksi fungal yang biasanya berhubungan dengan hiperglikemia dan merupakan komplikasi pada diabetes yang terkontrol rendah maupun tidak terkontrol. Lesi oral berhubungan dengan kandidiasis, termasuk median rhomboid glossitis (atropi papilla tengah), glositis atropik, denture stomatitis, pseudomembraneous candidiasis (thrush), dan angular cheilitis. Candida albicans

adalah komponen flora oral normal yang jarang berkolonisasi dan menginfeksi mukosa oral tanpa faktor pendukung. Hal ini mencakup kondisi yang berkompromis dengan imun, misalnya AIDS, kanker, atau diabetes, maupun penggunaan gigitiruan yang digubungkan dengan oral hygiene yang buruk dan penggunaan antibiotik spektrum luas dalam jangka waktu panjang. Disfungsi saliva, kompromis fungsi imun, dan hiperglikemia yang memberikan potensi substrat untuk pertumbuhan fungi merupakan faktor utama terjadinya kandidiasis oral pada pasien dengan diabetes.21

2.3.5.4 Sindroma Mulut Terbakar (Burning Mouth Syndrome)

Pasien dengan Burning Mouth Syndrome (BMS) biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda klinis atau lesi yang terdeteksi, walaupun terdapat simptom rasa sakit dan terbakar yang intens. Etiologi BMS bervariasi dan biasanya sulit untuk diuraikan secara klinis. Simptom rasa sakit dan terbakar muncul sebagai hasil dari satu faktor atau bisa saja dari beberapa faktor yang berkombinasi. Pada diabetes tak terkontrol, faktor etiologinya adalah disfungsi kelenjar saliva, kandidiasis, dan abnormalitas


(35)

neurologi, seperti depresi. Saraf otonom dan sensorik-motorik neuropati merupakan bagian dari sindrom diabetes dan prevalensi neuropati pada diabetes mellitus sekitar 50%, 25 tahun setelah onset pertama diabetes, dengan 30% terjadi pada orang dewasa yang mengalami diabetes.21

Neuropati dapat menyebabkan simptom parestesi dan kesemutan, mati rasa, rasa sakit atau terbakar yang disebabkan oleh perubahan patologis yang melibatkan saraf pada daerah oral. Diabetes berhubungan dengan BMS, namun, neuropati dari diabetes berhubungan dengan rasa sakit dan terbakar pada bagian tubuh lainnya, seperti kaki.21

Pada kasus tertentu menemukan bahwa BMS sering ditemukan pada kasus diabetes tipe 2 yang tidak terdiagnosis, dimana kebanyakan kasus juga diselesaikan setelah diagnosis medis dan perawatan lebih lanjut saat melakukan kontrol glikemik. Kemajuan kontrol glikemik memegang peranan penting dalam menurunkan kejadian komplikasi, seperti xerostomia dan kandidiasis, dan faktor-faktor ini kemungkinan berkontribusi lebih signifikan terhadap resolusi simptom yang berhubungan dengan BMS pada pasien diabetes.21

2.3.5.5 Lichen Planus

Lichen planus sering dijumpai dan merupakan penyakit mukokutan dengan penyebab yang tidak diketahui. Hal ini secara umum dianggap sebagai proses imun yang dimediasi yang melibatkan reaksi hipersensitifitas pada level mikroskopik. Hal ini dikarakteristikkan dengan infiltrasi limfosit T yang terletak pada jaringan epitel. Sel imun lainnya, misalnya makrofag, sel dendrit, dan sel Langerhans, juga terlihat mengalami peningkatan jumlah pada lesi lichen planus. Terlihat ada hubungan antara lichen planus dan hipertensi ataupun diabetes. Namun, suatu studi pada 40 pasien dengan lichen planus ditemukan bahwa 11 pasien (28%) memiliki diabetes, dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menyatakan bahwa diabetes mungkin berhubungan dengan immunopatogenesis lichen planus.21


(36)

Infeksi oral akut biasanya terjadi pada diabetes dengan kontrol rendah dan berdasarkan pada tingkat keparahannya. Kontrol glikemik pada manajemen diabetes merupakan kunci utama untuk menurunkan dampak oral infeksi akut.21

2.4 Tindakan Pencabutan Gigi Pada Penderita Diabetes Melitus

Riwayat medis dan pemeriksaan klinis pada pasien merupakan hal yang penting dilakukan untuk memastikan keberhasilan hasil dari prosedur pencabutan gigi. Pemeriksaan riwayat medis ditegakkan melalui sejumlah pertanyaan yang menyinggung keberadaan kondisi patologis yang mungkin merugikan dan mempengaruhi prosedur pencabutan gigi dan membahayakan kehidupan pasien.22

Penaksiran risiko operatif pada pasien dengan diabetes mellitus umumnya mirip dengan pasien lain, yakni di antaranya penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan merawat sistemiknya sebelum pencabutan gigi dilakukan. Sebagai tambahan, penaksiran ini harus fokus pada komplikasi jangka panjang yang disebabkan diabetes, seperti mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati, yang kemungkinan memiliki risiko. Perhatian khusus juga harus diberikan pada pasien yang belum terdiagnosa. Maka dari itu, dokter gigi harus sangat berhati-hati apabila akan melakukan tindakan pencabutan gigi pada pasien yang memiliki diabetes mellitus, dan hal-hal berikut ini diikuti dengan baik.22,23

2.4.1 Tes Skrining

Pemeriksaan kadar glukosa terakhir adalah hal yang sangat penting. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di praktik dokter gigi sebelum pencabutan gigi dilakukan dengan menggunakan glukometer, yaitu suatu alat yang dioperasikan dengan tenaga baterai. Setetes darah kapiler dari ujung jari diletakkan pada strip uji setelah ditusukkan dengan alat tusuk pada alat tersebut dan dalam satu menit hasilnya yang berbentuk numerik akan muncul pada layar.22


(37)

2.4.2 Waktu Pencabutan Gigi

Untuk menghindari risiko terjadinya reaksi hipoglikemia (syok insulin), maka waktu pencabutan gigi yang paling baik adalah dilakukan pada pagi hari, tepatnya satu sampai satu setengah jam setelah sarapan dan setelah pasien meminum obat diabetes untuk menghindari reaksi puncak bagi pasien yang melakukan injeksi insulin. Pencabutan gigi tidak boleh dilakukan pada siang hari atau dijadikan sebagai pasien terakhir sebelum makan malam karena kadar gula darah sudah menjadi rendah dan prosedur penyembuhan dapat terganggu karena adanya aktifitas makan. Pasien juga harus diinformasikan untuk datang ke praktik dokter gigi dalam keadaan sudah beristirahat dengan cukup dan tidak stress.4,22

Prosedur pencabutan gigi harus dihindari jika pasien4: -Belum makan dan meminum obat antidiabetes

-Dalam keadaan tidak sehat, misalnya pasien terkena flu, demam, atau terlalu letih.

-Belum mengadakan kunjungan pada dokter yang menangani diabetesnya sebelum proses pencabutan gigi dilakukan sehingga tidak diketahui kadar gula darah terakhirnya.

-Memiliki kadar gula darah < 70 mg/dL atau > 150 mg/dL -Mengalami kegawatdaruratan diabetes.

2.4.3 Diet

Diet pada pasien diabetes tidak boleh diubah baik sebelum maupun sesudah tindakan pencabutan gigi dilakukan. Sebelum pencabutan, dan khususnya setelahnya, pasien sering kali menolak untuk makan atau tidak bisa makan karena adanya rasa sakit setelah pencabutan dan perdarahan yang apabila keadaan ini berlanjut maka akan menyebabkan hipoglikemia.22

2.4.4 Diabetes dan Infeksi

Diabetes yang terkontrol dengan baik tidak memerlukan profilaksis antibiotik untuk pencabutan gigi. Pasien dengan diabetes tidak terkontrol akan mengalami


(38)

penyembuhan lebih lambat dan cenderung mengalami infeksi sehingga memerlukan pemberian profilaksis antibiotik. Responnya terhadap infeksi tersebut diduga sebagai akibat defisiensi leukosit polimorfonuklear dan menurunnya atau terganggunya fagositosis, diapedesis, dan kemotaksis karena hiperglikemia. Sebaliknya, infeksi orofasial menyebabkan kendala dalam pengaturan dan pengontrolan diabetes, misalnya meningkatnya kebutuhan insulin. Pasien dengan riwayat kehilangan berat badan yang penyebabnya tidak diketahui yang terjadi bersamaan dengan kegagalan penyembuhan infeksi dengan terapi yang biasa dilakukan, bisa dicurigai menderita diabetes.1,22

2.4.5 Pemberian Anestesi Lokal

Anestesi lokal harus diberikan dengan hati-hati karena konsentrasi vasokonstriktornya harus minimal. Adrenalin, yang merupakan salah satu anestesi dengan vasokonstriktor yang paling sering digunakan, dapat menyebabkan glukoneogenesis dan berinteraksi dengan insulin. Efek vasokonstriktor tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya glukoneogenesis, dimana proses ini menghancurkan glikogen kembali menjadi glukosa lagi dalam aliran darah sehingga hal ini akan membahayakan penderita diabetes mellitus. Noradrenalin memiliki efek glukoneogenesis yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan adrenalin sehingga lebih dianjurkan untuk digunakan pada pasien diabetes. Umumnya, karena jumlah zat vasokonstriktor sangat kecil dalam satu ampul (konsentrasi terbesar adalah 1:100.000) sehingga risiko yang ditimbulkan lebih sedikit.22

2.4.6 Pemberian Obat

Analgesik dosis rendah dan sedatif yang mengandung acetaminophen (Tylenol) merupakan obat-obat yang biasa diberikan. Kortikosteroid harus dihindari karena adanya reaksi glikogenolitik, begitu pula dengan salisilat (aspirin) karena berpotensi menimbulkan reaksi hipoglikemia pada tablet antidiabetik. Pemberian obat anti-kecemasan atau antidepresan dianjurkan pada pagi maupun siang sebelum proses pencabutan gigi.22


(39)

2.4.7 Penyembuhan Luka

Mikroangiopati yang terjadi pada penderita diabetes mellitus dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi inefektif. Hal inilah yang menyebabkan penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus menjadi lambat. Prosedur pencabutan gigi pada rongga mulut harus dilakukan dengan cara yang hati-hati dan halus agar memberikan hasil penyembuhan luka yang optimal. Linggir tulang harus dihaluskan agar menghindari iritasi gingiva. Penjahitan luka (suturing) juga dapat membantu agar luka lebih cepat sembuh.22

2.4.8 Kadar Gula Darah Saat Pencabutan Gigi Dilakukan

Kadar gula darah yang sebaiknya dimiliki pasien diabetes mellitus saat pencabutan gigi akan dilakukan yaitu tidak kurang dari 70 mg/dL dan tidak lebih dari 150 mg/dL.4,22

2.5 Keadaan Darurat Pada Diabetes Melitus

Terdapat dua keadaan darurat utama yang akan dihadapi dokter gigi pada pasien diabetes, yaitu syok insulin (hipoglikemia) dan ketoasidosis (hiperglikemia). Kedua kondisi ini lebih sering timbul pada diabetes tipe 1 daripada tipe 2 karena diabetes tipe 1 lebih sulit dikontrol dan perawatannya memerlukan insulin (insulin dependent). Hipoglikemia adalah kasus yang paling penting, dimana muncul pada saat kadar gula darah lebih rendah daripada 55mg/100mL. Hipoglikemia muncul dengan cepat dan dikarakteristikkan dengan adanya rasa lapar, rasa lelah, berkeringat, kebingungan, vertigo, gemetar, wajah memucat, perasaan gelisah, sakit kepala, parestesia bibir dan lidah, diplopia dan pandangan mengabur, dan kelainan neurologi. Pada kasus yang lebih parah, dapat terjadi pengeluaran keringat yang berlebihan, hipertensi otot, dan akhirnya kehilangan kesadaran, koma, bahkan kematian.1,22

Karena hipoglikemia dapat terbentuk dengan cepat, keadaan ini lebih sering terlihat pada praktik dokter gigi daripada hiperglikemia. Hipoglikemia muncul karena asupan karbohidrat yang inadekuat dalam hubungannya dengan insulin atau karena


(40)

pemberian obat hipoglikemik. Kemungkinan penyebab yang paling sering yang terjadi pada pencabutan gigi adalah ketika pasien menerima dosis normal insulinnya pada pagi hari, namun karena rasa cemas dan takut, serta dan pasien tidak makan dengan cukup sebelum pencabutan sehingga asupan karbohidratnya kurang.1,3

Sementara itu, hiperglikemia atau ketoasidosis biasanya terbentuk secara progresif dalam waktu beberapa hari. Hiperglikemia dikarakteristikkan dengan rasa lelah, sakit kepala, mual, muntah, xerostomia, dehidrasi, dypsnea, dan akhirnya letargi yang menyebabkan koma.22 Kehilangan atau kekurangan insulin, ditambah dengan faktor yang meningkatkan kebutuhan insulin, seperti infeksi, trauma, bedah, kehamilan, dan gangguan emosional yang parah, biasanya merupakan penyebab utamanya.3


(41)

KERANGKA TEORI

Pencabutan Gigi pada Pasien Diabetes Mellitus

Pengetahuan dan Perilaku Diabetes Mellitus Patofisiologi Klasifikasi DM Tipe 1

DM Tipe 2

GDM Tanda dan

Gejala Diagnosis

Komplikasi Oral Gingivitis dan Penyakit

Periodontal Disfungsi kelenjar saliva

dan xerostomia Kandidiasis

Burning Mouth Syndrome (BMS)

Lichen Planus

Infeksi Oral Akut

Tindakan Tes Skrining Waktu Pencabutan Diet Diabetes dan Infeksi Pemberian anestesi lokal Pemberian obat Penyembuhan luka KGD saat pembedahan Keadaan darurat pada DM Syok insulin Ketoasidosis Pencabutan Gigi


(42)

KERANGKA KONSEP

Pengalaman Pribadi Penjelasan orang lain

Penalaran deduktif Penalaran induktif

Karakteristik individu dan lingkungan

Pengetahuan Perilaku

Dokter Gigi

Diabetes Mellitus

Patofisiologi DM

Klasifikasi DM

Tanda dan Gejala DM

Diagnosis DM

Komplikasi Oral DM

Keadaan Darurat DM

Pencabutan Gigi yang Optimal


(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Jenis rancangan penelitian adalah penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Dikatakan penelitian deskriptif analitik karena penelitian diarahkan untuk menguraikan atau menjelaskan apa yang menjadi permasalahan, tujuan penelitian, dan mencari hubungan antar variabel. Kemudian menggunakan pendekatan cross sectional karena pengumpulan data dilakukan sekaligus pada sekali waktu.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Praktik-praktik dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Februari 2014.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang yaitu sebanyak 73 orang. Sampel penelitian adalah dokter gigi yang sesuai dengan kriteria inklusi serta bersedia untuk dilakukan penelitian di Kecamatan Medan Selayang sesuai jumlah populasi dengan cara total sampling.

Kriteria Inklusi :

1. Berprofesi sebagai dokter gigi.

2. Bekerja di praktik dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang.

3. Telah bekerja di praktik dokter gigi, puskesmas, maupun rumah sakit di Kecamatan Medan Selayang minimal 1 tahun.

Kriteria Eksklusi :

1. Dokter gigi yang menolak untuk diteliti.

2. Bekerja di praktik dokter gigi, puskesmas, maupun rumah sakit di Kecamatan Medan Selayang kurang dari 1 tahun.


(44)

3.4 Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas : Dokter gigi

2. Variabel Terikat : Pengetahuan dan perilaku

3.5 Definisi Operasional

Tabel 1. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional

Dokter gigi Orang yang memiliki kewenangan

dan izin sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan rongga mulut, misalnya melakukan tindakan pencabutan gigi.

Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari

“tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap pencabutan gigi pada penderita diabetes mellitus, meliputi pengetahuan definisi diabetes mellitus, patofisiologi, klasifikasi, tanda dan gejala, komplikasi oral yang mungkin timbul, dan tindakan pencabutan gigi pada penderita diabetes mellitus seperti waktu pencabutan, diet, infeksi, pemberian anestesi lokal, pemberian obat, penyembuhan luka, kadar gula darah saat dilakukan pencabutan, dan keadaan darurat diabetes mellitus.


(45)

perwujudan terhadap sikap tentang pencabutan gigi pada pasien diabetes mellitus yang meliputi menanyakan riwayat medis, merawat kondisi patologis, memperkirakan risiko operatif, memeriksa KGD sebelum pencabutan, waktu pencabutan yang tepat, memberikan profilaksis antibiotik, memberikan anestesi yang tepat, memberikan obat yang tepat, menunda pencabutan jika KGD rendah atau tidak terkontrol, diet pada sebelum dan sesudah pencabutan, melakukan tes skrining, dan tindakan pencabutan jika pasien sedang sakit.

3.6 Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara penyebaran kuesioner, dimana kuesioner diberikan secara langsung kepada responden dan diisi langsung oleh responden. Setelah diisi diserahkan kepada peneliti saat itu juga. Kuesioner yang diberikan terdiri dari dua bagian yaitu pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan dokter gigi yang berpraktik di Kecamatan Medan Selayang tentang pencabutan gigi terhadap pasien yang menderita diabetes mellitus dan pertanyaan berhubungan dengan sikap dokter gigi yang berpraktik di Kecamatan Medan Selayang tentang pencabutan terhadap pasien diabetes mellitus .

Prosedur pengumpulan data :

1. Peneliti meminta ijin kepada dokter gigi untuk melakukan penelitian. 2. Sebelum penelitian dilakukan, peneliti menjelaskan tentang tujuan


(46)

3. Setelah memahami tujuan penelitian, responden yang setuju diminta untuk menandatangani surat ketersediaan menjadi responden.

4. Responden dibagikan kuesioner, bila ada pertanyaan yang tidak jelas, diberikan kesempatan untuk bertanya.

5. Mempersilahkan responden mengisi kuesioner sesuai petunjuk.

6. Kuesioner yang telah diisi, kemudian dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya oleh peneliti kemudian dilakukan analisa.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan melalui kuesioner yang diberikan kepada responden akan dikelompokkan sesuai dengan langkah-langkah berikut :

1. Editing, adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah terkumpul, tujuannya untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan dilapangan dan bersifat koreksi.

2. Coding, adalah pemberian kode-kode pada setiap data yang termasuk dalam katagori yang sama. Pengkodean ini berguna untuk memudahkan pengolahan data, sehingga harus tetap terlebih dahulu diteliti oleh peneliti.

3. Tabulating, adalah pembuatan tabel-tabel yang berisi data yang telah diberi kode sesuai dengan analisis yang dibutuhkan.

Pengolahan data dilakukan menggunakan komputerisasi untuk memperlihatkan hubungan pengetahuan dokter gigi dengan perilaku tentang pencabutan gigi yang dilakukan pada pasien diabetes mellitus, yaitu dengan menggunakan Uji Korelasi.

3.8 Aspek Pengukuran

Pengetahuan dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang mengenai pentingnya pengetahuan pencabutan gigi terhadap penderita diabetes mellitus diukur melalui 16 pertanyaan. Pertanyaan dengan jawaban benar, nilainya 1; jika jawaban salah, maka nilainya 0, sehingga nilai tertinggi dari 16 pertanyaan yang diberikan adalah 16.


(47)

Selanjutnya nilai tersebut dikategorikan atas pengetahuan baik, cukup, dan kurang. Kategori baik apabila nilai jawaban responden ≥ 75% dari nilai tertinggi, kategori cukup apabila nilai jawaban responden 60% - 74% dari nilai tertinggi, dan kategori kurang jika nilai jawaban responden < 60% dari nilai tertinggi.

Tabel 2. Kategori Nilai Pengetahuan

Alat Ukur Hasil Ukur Kategori Penilaian Skor

Kuesioner (16 pertanyaan)

Jawaban salah = 0

Jawaban benar = 1

Baik: ≥ 75% dari nilai tertinggi 12 – 16 Cukup: 60% - 74% dari nilai

tertinggi

10 – 11

Kurang: < 60% dari nilai tertinggi < 9

Perilaku dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang mengenai pentingnya pengetahuan pencabutan gigi terhadap penderita diabetes mellitus diukur melalui 16 pertanyaan. Penilaian tergantung pada pertanyaan yang diberikan dimana jawaban terbagi atas tiga, yaitu selalu, kadang-kadang, dan tidak pernah. Nilai tertinggi dari masing-masing pertanyaan adalah 3 dan nilai terendahnya adalah 1 sehingga nilai tertinggi dari 16 pertanyaan adalah 48.

Tabel 3. Kategori Nilai Perilaku

Alat Ukur Hasil Ukur Kategori Penilaian Skor

Kuesioner (16 pertanyaan) Selalu Kadang-kadang Tidak Pernah (penilaian berdasarkan petanyaan)

Baik: ≥ 75% dari nilai tertinggi

36 – 48

Cukup: 60% - 74% dari nilai tertinggi

29 – 35

Kurang: < 60% dari nilai tertinggi


(48)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Responden

Dari tabel 4, diketahui bahwa dokter gigi yang menjadi sampel penelitian berdasarkan kriteria inklusi adalah sebanyak 79,5% dan dokter gigi yang tidak menjadi sampel penelitian berdasarkan kriteria eksklusi adalah sebanyak 20,5%.

Tabel 4. Kriteria dan Jumlah Responden Dokter Gigi

Kriteria Jumlah Persentase

Inklusi Eksklusi

58 15

79,5% 20,5%

Total 73 100%

4.2 Pengetahuan Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien

Diabetes Mellitus

Pengetahuan responden tentang pencabutan gigi terhadap pasien diabetes mellitus termasuk kategori baik ( ≥ 75%) dalam hal definisi diabetes mellitus, tanda dan gejala, komplikasi oral yang mungkin terjadi, waktu pencabutan gigi yang tepat, infeksi dan penyembuhan luka, pemberian anestesi lokal, kadar gula darah saat pencabutan, dan keadaan darurat diabetes mellitus. Pengetahuan responden yang termasuk kategori cukup (60% - 74%) adalah dalam hal patofisiologi diabetes mellitus, klasifikasi, dan pemberian obat. Sedangkan pengetahuan responden yang termasuk dalam kategori kurang ( < 60%) adalah dalam hal saran diet yang baik bagi pasien diabetes mellitus (Tabel 5).


(49)

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)

Pengetahuan responden Tahu Tidak Tahu

Jumlah % Jumlah %

Definisi DM Patofisiologi DM Klasifikasi DM Tanda dan gejala DM Komplikasi oral Waktu pencabutan gigi Saran diet

Infeksi dan penyembuhan luka Pemberian anestesi lokal Pemberian obat

KGD saat pencabutan gigi Keadaan darurat DM

58 36 35 58 52 49 28 47 58 39 54 47 100 62,1 60,3 100 89,7 84,5 48,3 81 100 67,2 93,1 81 0 22 23 0 6 9 30 11 0 19 4 11 0 37,9 39,7 0 10,3 15,5 51,7 19 0 32,8 6,9 19

Hasil penelitian tentang pengetahuan pencabutan gigi pada pasien diabetes mellitus didapat persentase tertinggi pada kategori berpengetahuan baik, yaitu 60,3%, sedangkan 36,2% responden termasuk kategori berpengetahuan cukup, dan 3,4% termasuk berpengerahuan kurang (Tabel 6).

Tabel 6. Kategori Pengetahuan Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)

Kategori Jumlah Persentase

Baik Cukup Kurang 35 21 2 60,3 36,2 3,4


(50)

4.3 Perilaku Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien Diabetes Mellitus

Perilaku responden tentang pencabutan gigi terhadap pasien diabetes mellitus termasuk kategori baik ( ≥ 75%) dalam hal menanyakan riwayat medis sebelum pencabutan. Perilaku responden termasuk kategori cukup (60% - 74%) dalam hal merawat kondisi patologis pasien sebelum pencabutan gigi dilakukan. Hanya sebesar 29,3% responden yang kadang-kadang merawat kondisi patologis pasien, dan sebesar 1,7% responden yang tidak pernah melakukannya.

Perilaku responden termasuk kategori baik ( ≥ 75%) dalam hal memperkirakan risiko operatif setelah pencabutan gigi, sekitar sebesar 17,2% yang kadang-kadang memperkirakannya, namun tidak ada responden yang tidak pernah memperkirakan risiko operatif setelah pencabutan gigi. Perilaku responden termasuk kategori kurang ( < 60%) dalam hal melakukan pemeriksaan kadar gula darah sebelum pencabutan gigi. Sekitar sebesar 41,4% responden yang kadang-kadang melakukannya, tetapi tidak ada responden yang tidak melakukan pemeriksaan kadar gula darah sebelum melakukan tindakan pencabutan gigi.

Perilaku responden terhadap waktu yang tepat untuk melakukan pencabutan gigi pada pasien diabetes mellitus termasuk dalam kategori kurang ( < 60%). Ada sebesar 84,5% responden yang hanya kadang-kadang saja melakukan pencabutan gigi di waktu yang tepat, sedangkan sebesar 3,4% responden tidak pernah mencabut gigi pada waktu yang seharusnya. Perilaku responden terhadap pemberian profilaksis antibiotik termasuk dalam kategori cukup (60% - 74%), sekitar 36,2% responden yang selalu memberikan profilaksis antibiotik sebelum pencabutan, dan sekitar 5,2% yang tidak pernah melakukannya.

Perilaku responden terhadap pemberian anestesi yang tepat termasuk dalam kategori baik ( ≥ 75%), sedangkan ada 6,9% responden yang kadang -kadang memberikan anestesi yang tidak tepat, dan sekitar 1,7% yang selalu memberikan anestesi yang tidak sesuai. Perilaku responden terhadap pemberian obat yang tepat pada pasien diabetes mellitus termasuk dalam kategori baik ( ≥ 75%), sedangkan ada


(51)

8,6% responden yang kadang-kadang memberikan obat yang tidak tepat, tetapi tidak ada responden yang selalu memberikan obat yang tidak sesuai.

Perilaku responden termasuk kategori baik ( ≥ 75%) dalam hal menunda pencabutan jika kadar gula darah pasien rendah atau tidak terkontrol, tetapi ada sekitar 1,7% responden yang tidak pernah menunda pencabutan dalam kondisi tersebut.

Perilaku responden termasuk kategori kurang ( < 60%) dalam hal menyarankan perubahan diet pada sebelum dan sesudah pencabutan gigi. Ada sekitar 37,9% yang selalu menyarankan perubahan diet dan 20,7% yang kadang-kadang melakukannya. Perilaku responden termasuk kategori kurang ( < 60%) dalam hal melakukan tes skrining sebelum pencabutan gigi dilakukan. Ada sekitar 44,8% responden yang kadang-kadang melakukannya dan sekitar 25,9% yang tidak pernah melakukannya. Perilaku responden termasuk kategori baik ( ≥ 75%) dalam hal tindakan pencabutan gigi apabila pasien sedang sakit dan hanya sekitar 6,9% responden yang kadang-kadang tetap melakukan pencabutan (Tabel 7).

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Perilaku Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)

Perilaku Selalu

Kadang-kadang Tidak Pernah

Jlh % Jlh % Jlh %

Menanyakan riwayat medis Merawat kondisi patologis

Memperkirakan risiko operatif

Memeriksa KGD sebelum pencabutan

Waktu pencabutan yang tepat Memberikan profilaksis 58 40 48 34 7 21 100 69 82,8 56,8 12,1 36,2 0 17 10 24 49 34 0 29.3 17,2 41,4 84,5 58,6 0 1 0 0 2 3 0 1,7 0 0 3,4 5,2


(52)

antibiotik pada setiap pasien Memberikan anestesi yang tepat

Memberikan obat yang tepat Menunda pencabutan jika KGD rendah atau tidak terkontrol

Menyarankan perubahan diet pada sebelum dan sesudah pencabutan gigi

Melakukan tes skrining sebelum pencabutan

Melakukan pencabutan jika pasien sedang sakit

53 53 57 22 17 0 91,4 91,4 98,3 37,9 29,3 0 4 5 1 12 26 4 6,9 8,6 1,7 20,7 44,8 6,9 1 0 0 24 15 54 1,7 0 0 41,4 25,9 93,1

Hasil penelitian tentang perilaku pencabutan gigi terhadap pasien diabetes mellitus didapet persentase tertinggi pada kategori baik, yaitu 86,2%. Sebanyak 13,8% responden termasuk kategori cukup dan 0% responden termasuk kategori kurang (Tabel 8).

Tabel 8. Kategori Perilaku Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)

Kategori Jumlah Persentase

Baik Cukup Kurang 50 8 0 86,2 13,8 0

Total 58 100

Berdasarkan uji korelasi yang telah dilakukan, terdapat hubungan antara pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap pencabutan gigi pada pasien diabetes


(53)

mellitus. Pada responden yang berpengetahuan baik, maka perilakunya termasuk dalam kategori baik ( ≥ 75%). Namun demikian, ada sekitar 5,7% responden yang berperilaku cukup dan tidak ada responden yang berperilaku kurang.

Pada responden yang berpengetahuan cukup, maka perilaku termasuk dalam kategori baik ( ≥ 75%). Namun, ada sekitar 19% responden yang berperilaku cukup dan tidak ada responden yang berperilaku kurang. Terdapat 3,4% responden yang berpengetahuan kurang yang berperilaku cukup (Tabel 9).

Tabel 9. Kategori Pengetahuan dan Perilaku Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)

Pengetahuan Perilaku Total

Baik Cukup Kurang

Baik Jumlah Persentase Persentase total 33 94,3 56,9 2 5,7 3,4 0 0 0 35 100 60,3 Cukup Jumlah Persentase Persentase total 17 81 29,3 4 19 6,9 0 0 0 21 100 36,2 Kurang Jumlah Persentase Persentase total 0 0 0 2 100 3,4 0 0 0 2 100 3,4 Total Jumlah Persentase Persentase total 50 86,2 86,2 8 13,8 13,8 0 0 0 58 100 100


(54)

BAB V PEMBAHASAN

Hasil penelitian pengetahuan tentang pencabutan gigi pada pasien diabetes mellitus menunjukkan 100% responden mengetahui definisi diabetes mellitus. Diabetes mellitus didefinisikan sebagai keadaan peninggian kadar glukosa darah yang kronik yang menghasilkan defisiensi insulin. Sebanyak 62,1% responden mengetahui patofisiologi diabetes mellitus yang dibagi berdasarkan klasifikasi diabetes mellitus tersebut dimana diabetes mellitus terbagi tiga, yaitu IDDM, NIDDM, dan gestasional yang patofisiologinya dimulai dari rusaknya autoimun sel beta pankreas atau reseptor insulin sehingga menyebabkan defisiensi atau resistensi insulin. Kemudian jumlah kadar glukosa dalam darah terus meningkat karena glukosa didapat dari makanan yang dikonsumsi pasien. Akan tetapi, penggunaan gluokosa dalam jaringan perifer menurun. Hal ini mengakibatkan meningginya kadar gula darah sehingga sel insulin tidak mampu menggunakan gula darah sebagai energi. Trigliserida yang tersimpan kemudian dirusak menjadi asam lemak, kemudian menjadi sumber alternatif sebagai bahan bakar, dan terjadi peningkatan keton pada darah sehingga akan menyebabkan ketoasidosis. Gula darah yang berlebih (hiperglikemia) kemudian diekskresikan melalui urin (poliuria). Karena tubuh kehilangan cairan maka timbul perasaan haus yang berlebih (polidipsia) dan akan selalu terasa lapar karena sel tubuh kekurangan glukosa (polifagia). Untuk patofisiologi dan klasifikasi diabetes mellitus ini memiliki hasil yang termasuk dalam kategori cukup karena hanya sebanyak 60,3% responden yang mengetahui klasifikasi diabetes mellitus. Hal ini mungkin disebabkan karena usia responden cukup variatif sehingga responden yang berusia lebih tua tidak cukup baik mengingat patofisiologi dan klasifikasi diabetes mellitus.

Namun demikian, seluruh responden mengetahui tanda dan gejala yang timbul pada pasien yang menderita diabetes mellitus sehingga hal ini tergolong baik. Hal ini penting untuk diketahui oleh seluruh responden ketika melakukan anamnesa dan identifikasi awal pasien sebelum melakukan pencabutan gigi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan setelahnya. Pengetahuan responden mungkin disebabkan oleh


(55)

tanda dan gejala diabetes mellitus cukup spesifik, seperti poliuria, polifagia, polidipsia, dan sebagainya. Komplikasi oral yang terjadi pada diabetes mellitus yang tidak terkontrol sangatlah merusak. Beberapa komplikasi yang sering terjadi dapat berupa penyakit periodontal, xerostomia, lichen planus, kehilangan gigi, kandidiasis, dan BMS. Suatu studi yang dilakukan oleh Rajesh V. Lalla (2001) mengatakan bahwa 40-80% pasien diabetes mellitus mengalami xerostomia, 24-48% pasien mengalami disfungsi kelenjar saliva, dan pada diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terdiagnosa ditemukan 37% pasien yang mengalami BMS. Menurut Petrou-Amerikanou dkk., prevalensi lichen planus telihat lebih signifikan pada pasien diabetes mellitus tipe 1. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Syukri di RSHAM mengenai diabetes mellitus tipe II, penyakit periodontal lebih banyak dijumpai yaitu sebesar 85%, gingivitis sebesar 42,35% dan untuk kandiasis pada penderita diabetes mellitustipe II yang tidak terkontrol lebih banyak dijumpai yaitu sebesar 50%. Pengetahuan responden mengenai komplikasi oral yang mungkin terjadi pada pasien diabetes mellitus tergolong baik. Hasil penelitian juga menunjukkan 89,7% responden mengetahui komplikasi oral pada diabetes mellitus.

Dari keseluruhan responden, 84,5% responden mengetahui waktu yang tepat untuk melakukan pencabutan gigi pada pasien diabetes mellitus dimana waktu yang terbaik untuk melakukan pencabutan adalah di pagi hari dan lebih baik lagi pada saat satu sampai satu setengah jam setelah sarapan dan setelah pasien meminum obat diabetes untuk menghindari reaksi puncak bagi pasien yang melakukan injeksi insulin. Hal ini dikarenakan agar dapat menghindari risiko terjadinya reaksi hipoglikemia (syok insulin). Pencabutan tidak dilakukan pada siang atau malam hari karena ditakutkan kadar gula darah pasien sudah menjadi rendah. Dengan demikian, responden juga mengetahui kadar gula darah yang aman untuk melakukan pencabutan. Namun, pengetahuan responden mengenai saran diet yang tepat bagi pasien diabetes mellitus tergolong kurang karena hanya 48,3% responden saja yang mengetahuinya. Saran diet yang diberikan adalah berupa edukasi kepada pasien untuk tidak mengubah pola diet. Pasien tetap harus mengonsumsi diet yang sudah dianjurkan dokter yang merawat sistemiknya sehingga pasien tidak kekurangan


(56)

nutrisi dan ditakutkan akan terjadi hipoglikemia karena sering kali pasien menolak untuk makan karena adanya rasa sakit setelah pencabutan gigi. Hanya saja pasien dianjurkan untuk mengubah konsistensi diet menjadi lebih lunak agar membantu proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi menjadi lebih cepat.

Pengetahuan responden mengenai hubungan infeksi dan penyembuhan luka pada pasien diabetes mellitus tergolong baik, yaitu sebesar 81%. Secara garis besar responden mengetahui bahwa pasien dengan diabetes tidak terkontrol akan mengalami penyembuhan lebih lambat dan cenderung mengalami infeksi saat pencabutan gigi sehingga cenderung memerlukan profilaksis antibiotik sebelum pencabutan dilakukan, dan begitu pula sebaliknya. Secara keseluruhan, responden mengetahui pemberian anestesi lokal yang tepat pada pasien diabetes mellitus, yaitu menggunakan anestesi noradrenalin. Hal ini mungkin disebabkan karena responden mengingat bahwa kandungan zat vasokonstriktor yang dapat memicu glukoneogenesis dan membahayakan kondisi sistemik pasien. Meskipun demikian, pengetahuan responden mengenai pemberian obat tergolong cukup, yaitu sebesar 67,2%. Obat yang tidak boleh diberikan pada pasien diabetes mellitus adalah kortikosteroid dan aspirin karena akan menghasilkan reaksi glukoneogenesis dan hipoglikemia.

Pengetahuan responden mengenai KGD yang aman agar pencabutan gigi dapat dilakukan tergolong baik, yaitu sebesar 93,1% dimana KGD yang aman bagi pasien adalah tidak kurang dari 70 mg/dL dan tidak lebih dari 150 mg/dL. Tingginya persentase ini mungkin disebabkan karena responden harus cermat dalam menganalisa kondisi sistemik pasien diabetes mellitus, khususnya kadar gula darah sebelum pencabutan gigi. Sementara itu, pengetahuan responden mengenai keadaan darurat diabetes tergolong baik, yaitu 81%, dimana keadaan ini terbagi dua yaitu hipoglikemia dan hiperglikemia.

Persentase kategori pengetahuan menunjukkan bahwa 60,3% responden termasuk ke dalam kategori pengetahuan baik, 36,2% responden termasuk ke dalam kategori pengetahuan cukup, dan 3,4% responden termasuk ke dalam kategori pengetahuan kurang (Tabel 6).


(57)

Dari segi perilaku, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 100% responden menanyakan riwayat medis sebelum melakukan pencabutan gigi. Hasil tersebut tergolong baik, karena prosedur yang harus dilakukan sebelum melakukan perawatan atau tindakan dental adalah menanyakan riwayat medis terlebih dahulu. Persentase responden mengenai merawat kondisi patologis sebelum melakukan pencabutan gigi cukup baik, yaitu 69%. Namun, ada beberapa responden yang kadang-kadang saja merawat kondisi patologis pasien dan bahkan ada yang tidak pernah sama sekali. Perilaku responden dalam memperkirakan risiko operatif sebelum pencabutan gigi dilakukan tergolong baik, yaitu sebesar 82,8%. Hal ini mungkin karena pasien yang memiliki penyakit sistemik, seperti diabetes mellitus, memiliki risiko operatif yang lebih besar dibandingkan pasien normal sehingga responden harus lebih berhati-hati dalam memikirkan risiko yang mungkin terjadi. Meskipun begitu, masih ada responden yang hanya kadang-kadang saja memperkirakan risiko operatif, namun tidak ada responden yang sama sekali tidak memperkirakannya.

Perilaku responden dalam memeriksa kadar gula darah pasien sebelum pencabutan gigi cenderung kurang, yakni hanya 56,8%. Kemungkinan hal ini disebabkan karena responden sudah terlebih dahulu melakukan anamnesa yang baik dengan pasien atau karena sudah mendapat persetujuan dari dokter yang merawat sistemik pasien sehingga kadar gula darah pasien sudah diketahui dan tidak diperlukan pemeriksaan ulang. Selain itu, perilaku responden terhadap waktu pencabutan gigi yang tepat juga cenderung kurang dimana hanya 12,1% responden yang melakukan pencabutan gigi pada pagi hari. Sebanyak 84,5% responden yang hanya kadang-kadang saja mencabut gigi pasien diabetes mellitus pada pagi hari. Hal ini tidak sejalan dengan pengetahuan responden mengenai waktu pencabutan gigi yang tepat sehingga dapat dilihat bahwa responden tidak menerapkan pengetahuan akan hal tersebut di praktek sehari-hari. Bahkan masih ada responden yang tidak pernah mencabut gigi pasien diabetes mellitus di waktu yang seharusnya. Demikian pula dengan perilaku responden terhadap pemberian profilaksis antibiotik pada pasien yang cenderung kurang, yakni hanya 58,6% responden yang kadang-kadang memberikannya. Pemberian profilaksis antibiotik pada pasien diabetes mellitus yang


(1)

Memperkirakanrisikooperatif

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Selalu 48 82.8 82.8 82.8

Kadang-kadang 10 17.2 17.2 100.0

Total 58 100.0 100.0

Memeriksa KGD sebelumpencabutan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Selalu 34 58.6 58.6 58.6

Kadang-kadang 24 41.4 41.4 100.0

Total 58 100.0 100.0

Mencabutgigipadasianghari

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Selalu 3 5.2 5.2 5.2

Kadang-kadang 52 89.7 89.7 94.8

TidakPernah 3 5.2 5.2 100.0

Total 58 100.0 100.0

Memberikanprofilaksisantibiotikpadasetiappasien DM

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Selalu 21 36.2 36.2 36.2

Kadang-kadang 34 58.6 58.6 94.8

TidakPernah 3 5.2 5.2 100.0


(2)

Memberikananestesi yang mengandung adrenalin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Selalu 1 1.7 1.7 1.7

Kadang-kadang 4 6.9 6.9 8.6

TidakPernah 53 91.4 91.4 100.0

Total 58 100.0 100.0

Pemberianobat yang mengandungkortikosteroid

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Kadang-kadang 5 8.6 8.6 8.6

TidakPernah 53 91.4 91.4 100.0

Total 58 100.0 100.0

Menundapencabutanjika KGD rendah / tidakterkontrol

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tahu 57 98.3 98.3 98.3

Tidak pernah

1 1.7 1.7 100.0

Total 58 100.0 100.0

Memberikanlarutansalin / glukosajika KGD padakeadaandarurat

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Selalu 18 31.0 31.0 31.0

Kadang-kadang 21 36.2 36.2 67.2

TidakPernah 19 32.8 32.8 100.0


(3)

Menyarankanperubahan diet sebelum / sesudahpencabutan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Selalu 22 37.9 37.9 37.9

Kadang-kadang 12 20.7 20.7 58.6

TidakPernah 24 41.4 41.4 100.0

Total 58 100.0 100.0

Melakukantesskriningsebelumpencabutan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Selalu 17 29.3 29.3 29.3

Kadang-kadang 26 44.8 44.8 74.1

TidakPernah 15 25.9 25.9 100.0

Total 58 100.0 100.0

Melakukanpencabutanjikapasiensedangsakit

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Kadang-kadang 4 6.9 6.9 6.9

TidakPernah 54 93.1 93.1 100.0

Total 58 100.0 100.0

Mencabutgigipadapagihari

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Selalu 7 12.1 12.1 12.1

Kadang-kadang 49 84.5 84.5 96.6


(4)

Mencabutgigipadapagihari

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Selalu 7 12.1 12.1 12.1

Kadang-kadang 49 84.5 84.5 96.6

TidakPernah 2 3.4 3.4 100.0

Total 58 100.0 100.0

Memberikanprofilaksisantibiotikpada DM terkontrol

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Selalu 11 19.0 19.0 19.0

Kadang-kadang 31 53.4 53.4 72.4

TidakPernah 16 27.6 27.6 100.0

Total 58 100.0 100.0

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

pengetahuan perilaku

N 58 58

Normal Parametersa,,b Mean 12.69 39.55

Std. Deviation 1.789 2.597

Most Extreme Differences Absolute .172 .155

Positive .098 .099

Negative -.172 -.155

Kolmogorov-Smirnov Z 1.312 1.178

Asymp. Sig. (2-tailed) .064 .124

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.


(5)

Correlations

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

pengetahuan 12.69 1.789 58

Perilaku 39.55 2.597 58

Correlations

pengetahuan perilaku pengetahuan Pearson Correlation 1 .430**

Sig. (2-tailed) .001

N 58 58

Perilaku Pearson Correlation .430** 1

Sig. (2-tailed) .001

N 58 58

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Frequency Table

pengetahuan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Baik 35 60.3 60.3 60.3

Cukup 21 36.2 36.2 96.6

Kurang 2 3.4 3.4 100.0


(6)

Perilaku

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Baik 50 86.2 86.2 86.2

Cukup 8 13.8 13.8 100.0

Total 58 100.0 100.0

Crosstabs

pengetahuan * PerilakuCrosstabulation Perilaku

Total Baik Cukup

pengetahuan Baik Count 33 2 35

% within pengetahuan 94.3% 5.7% 100.0%

% of Total 56.9% 3.4% 60.3%

Cukup Count 17 4 21

% within pengetahuan 81.0% 19.0% 100.0%

% of Total 29.3% 6.9% 36.2%

Kurang Count 0 2 2

% within pengetahuan .0% 100.0% 100.0%

% of Total .0% 3.4% 3.4%

Total Count 50 8 58

% within pengetahuan 86.2% 13.8% 100.0%