kegiatan dua pihak bilateral melalui cara anti persaingan seperti collusive dealing.
115
C. Posisi Dominan yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Dari penjelasan secara keseluruhan diatas, dapat diketahui bahwa tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan saham perusahaan diperkenankan
dalam rangka menciptakan iklim dunia usaha yang sehat dan efisien guna menghadapi arus global dan liberalisasi perekonomian dunia yang semakin
kompleks, asalkan dengan syarat tidak boleh mengarah kepada penguasaan sumber ekonomi dan pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok atau
golongan tertentu, karena dengan menjadi dominan di dalam pasar melalui penggabungan, peleburan dan pengambilaihan saham perusahaan ini, sangat
rentan sekali terhadap penyalahgunaan untuk tindakan-tindakan yang anti persaingan.
Istilah penyalahgunaan posisi dominan berasal dan dialihbahasakan dari bahasa Inggris abuse of dominant position. Istilah ini merupakan istilah hukum
yang digunakan dan diatur substansinya dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Namun tidak ditemukan definisi hukumnya, sehingga dapat disimpulkan
bahwa pembentuk undang-undang menyerahkan definisi penyalahgunaan posisi dominan kepada doktrina, kebiasaan praktik hukum, dan yurisprudensi.
115
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, diakses di http:images.alidahek.multiply.multiplycontent.comattachment0SQUxTQoKCGoAADG1gP41
Hukum_Persaingan_Usaha_Di_Indonesia.pdfnmid=125466211
Universitas Sumatera Utara
Dalam bahasa Indonesia istilah penyalahgunaan posisi dominan terdiri dari kata-kata penyalahgunaan, posisi, dan dominan. Secara harfiah menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, arti kata “penyalahgunaan” adalah suatu proses, cara, perbuatan menyelewengkan, arti kata “posisi” adalah kedudukan orang atau
barang dan arti kata “dominan” adalah bersifat sangat menentukan karena kekuasaan, pengaruh. Dengan demikian penyalahgunaan posisi dominan berarti
proses, cara, perbuatan menyelewengkan kedudukan yang bersifat sangat menentukan karena memiliki kekuasaan atau pengaruh dalam kegiatan ekonomi.
Arie Siswanto menyatakan, penyalahgunaan posisi dominan merupakan praktik yang memiliki cakupan luas. Ketika pelaku usaha yang memiliki posisi
dominasi ekonomi melalui kontrak mensyaratkan supaya konsumenya tidak berhubungan dengan pesaingnya, maka ia telah melakukan penyalahgunaan posisi
dominan. Demikian juga apabila pelaku usaha yang memegang posisi dominan dengan basis “take it or leave it” membuat penentuan harga di luar kewajaran.
Sebagai perbandingan lembaga internasional seperti OECD Organization for Economic Co-operation and Development mendefinisikan, “The term abuse
of dominant position refers to anticompetitive business practices in which a dominant firm may engage in order to maintain or increase its position in the
market”. penyalahgunaan posisi dominan adalah praktik bisnis antipersaingan yang dilakukan oleh perusahaan dominan sebagai upaya untuk mempertahankan
atau meningkatkan posisinya di pasar.
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu dalam Model Hukum Persaingan Usaha yang dipublikasikan United Nations Conference on Trade and Development UNCTAD Model Law,
penyalahgunaan posisi dominan adalah “Where the acts or behaviour of a dominant enterprise limit access to a relevant market or otherwise unduly restrain
competition, having or being likely to have adverse effects on trade or economic development. Pada saat tindakan atau perilaku perusahaan dominan membatasi
akses masuk ke pasar bersangkutan atau mengakibatkan hambatan persaingan yang berarti, baik langsung maupun tidak langsung yang berdampak negatif pada
perdagangan atau perkembangan ekonomi.
Berdasarkan uraian di atas, nampaknya belum terdapat definisi yang universal sama mengenai penyalahgunaan posisi dominan. Namun apabila diteliti
konsep pokok penyalahgunaan posisi dominan itu serupa, yaitu adanya pelaku usaha yang memiliki posisi dominan di pasar bersangkutan dan adanya perilaku
usaha tertentu penyalahgunaan yang mendistorsi pasar bersangkutan dengan dominasi tersebut. Jadi, konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam tinjauan
ini mencakup uraian definisi, batasan, unsur-unsur, ciri-ciri dan kriteria yang mengabstraksikan penyalahgunaan posisi dominan.
Ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut menetapkan syarat atau parameter posisi dominan. Dari ketentuan Pasal 1 angka 4
tersebut dapat disimpulkan 4 syarat yang dimiliki oleh suatu pelaku usaha sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan, yaitu pelaku usaha tidak
mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih
Universitas Sumatera Utara
tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan:
116
a pangsa pasar;
b kemampuan keuangan;
c kemampuan akses pada pasokan atau penjualan; dan
d kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa
tertentu.
Syarat yang ditentukan oleh Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang penting adalah bahwa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan,
mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya dalam kaitan pangsa pasar, kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, dan
kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Oleh karena itu, menurut hukum hanya satu pesaing yang mempunyai posisi
dominan yang dapat mengusai posisi dominan di pasar bersangkutan. Namun, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan, apakah syarat-syarat
tersebut harus dipenuhi oleh suatu syarat tersebut dimiliki oleh pelaku usaha dapat dinyatakan bahwa pelaku usaha tersebut sudah mempunyai posisi dominan? Akan
tetapi salah satu cirri-ciri pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah, jika pelaku usaha tersebut dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat pada
pasar yang bersangkutan secara mandiriindividu tanpa memperhitungkan pesaing-pesaingnya. Kedudukan seperti ini kepemilikan pangsa pasarnya, atau
116
Andi Fahmi Lubis, dkk, Op.cit hal. 166
Universitas Sumatera Utara
karena kepemilikan pangsa pasar ditambah dengan kemampuan pengetahuan teknologinya, bahan baku atau modal, sehingga pelaku usaha tersebut mempunyai
kekuasaan untuk menentukan harga atau mengontrol produksi atau pemasaran terhadap bagian penting dari produksi-produksi yang diminta.
117
Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan
barang dan atau jasa. Oleh karena itu, keadaan suatu pasar dapat dipengaruhi oleh satu pelaku
usaha secara mandiri, karena pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi daripada pesaingnya dan kemampuan keuangan yang lebih kuat dari
pada pesaingnya serta mampu menetapkan harga dan mengatur pasokan barang di pasar yang bersangkutan. Dengan demikian akibat tindakan pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan tersebut, pasar menjadi terdistorsi.
Pengertian posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1999 menetapkan unsur-unsur yang perlu diteliti apakah pelaku
usaha mempunyai posisi dominan atau tidak.
1. Pangsa Pasar
118
117
Ibid.
118
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 Angka 10 tentang Pasar Bersangkutan, BAB III tentang
Pengaturan Pasar Bersangkutan.
Sedangkan pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.
119
Di beberapa Negara seperti Jerman, untuk satu pelaku usaha diduga dapat melakukan praktik monopoli atau mempunyai posisi dominan, jika satu pelaku
usaha mempunyai pangsa pasar lebih dari 33,3, dan untuk dua atau lebih dari tiga pelaku usaha diduga dapat melakukan praktik monopoli atau mempunyai
posisi dominan, apabila menguasai pangsa pasar lebih dari 66,6. Pangsa pasar merupakan suatu
elemen yang penting dalam kaitannya untuk menentukan apakah suatu pelaku usaha mempunyai posisi dominan atau tidak.
120
Dan menurut hukum persaingan Negara Republik Cekoslovakia dan Spanyol diduga memiliki
posisi dominan jika menguasai pangsa pasar 40.
121
Hukum persaingan usaha secara umum ataupun Undang-undang No. 5 Tahun 1999 secara khusus sebenarnya tidak mengharamkan bagi pelaku usaha
Di Indonesia, dalam menetapkan bahwa satu pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan, dapat dilihat dari Pasal 25 ayat 2 UU No. 5 Tahun
1999 yang menyatakan bahwa satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha dinyatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai 50 lima puluh persen
atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75 tujuh puluh lima
persen atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
119
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
120
Pasal 19 angka 2 Undang-Undang Anti Hambatan Persaingan Usaha, Jerman, dalam Andi Fahmi Lubis, dkk, Op.cit hal. 169
121
Model Law on Competition, UNCTAD Series on Issues in Competition Law and Policy 2007, hal. 36
Universitas Sumatera Utara
memiliki kedudukan posisi dominan di dalam pasar, asalkan tidak menyalahgunakan posisi yang dimilikinya untuk melakukan hal-hal seperti yang
dikemukakan oleh Pasal 25 atau 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 bahwa: “Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk:
122
1. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan
atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
2. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
3. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan.”
Bagaimana pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan melakukan hal- hal yang disebutkan dalam Pasal 25 ayat 1 tersebut, akan dijelaskan di bawah
ini.
123
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat melakukan suatu tindakan untuk mencegah atau menghalangi konsumen untuk memperoleh barang
dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat perdagangan. Syarat utama yang harus dipenuhi oleh ketentuan
Pasal 25 ayat 1 huruf a adalah syarat perdagangan yang dapat mencegah a. Mencegah atau menghalangi konsumen
122
Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
123
Andi Fahmi Lubis, dkk, Op.cit hal. 180-183
Universitas Sumatera Utara
konsumen memperoleh barang yang bersaing baik dari segi harga maupun dari segi kualitas. Dapat disimpulkan bahwa konsumen telah mempunyai hubungan
bisnis dengan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan.
Pertanyaannya adalah mengapa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat mengontrol konsumen atau pembeli untuk tidak membeli barang
dari pesaingnya? Bisaanya konsumen tersebut ada ketergantungan terhadap pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Posisi dominan pelaku usaha yang
dapat mencegah konsumen untuk tidak memperoleh barang atau jasa dari pesaing pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah sangat kuat. Dikatakan
sangat kuat, karena pelaku usaha tersebut dapat mengontrol perilaku konsumen tersebut untuk tidak membeli barang yang bersaing dari pesaing pelaku usaha
yang mempunyai posisi dominan tersebut. Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat mengontrol konsumenpembeli tersebut karena pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan tersebut dapat menetapkan syarat-syarat perdagangan di depan, yaitu pada waktu konsumenpembeli mengadakan hubungan bisnis
dengan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut. Hal ini memang agak jarang ditemukan di dalam aturan hukum persaingan usaha Negara lain.
Yang sering terjadi adalah bahwa pelaku usaha posisi dominan menolak pelaku usaha yang lain pembeli untuk mendapatkan barang dari pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan tersebut refusal to deal.
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi
Universitas Sumatera Utara
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat membatasi pasar. Pengertian membatasi pasar di dalam ketentuan ini tidak dibatasi. Pengertian
membatasi pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan sebagai penjual atau pembeli dapat diartikan dimana pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan mempunyai kemungkinan besar untuk mendistorsi pasar yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya sulit untuk dapat besaing di
pasar yang bersangkutan. Bentuk-bentuk membatasi pasar dapat dilakukan berupa melakukan hambatan masuk pasar entry barrier, mengatur pasokan barang di
pasar atau membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa di pasar yang bersangkutan
124
dan melakukan jual rugi yang akan menyingikirkan pesaingnya dari pasar.
125
Termasuk perjanjian tertutup
126
dan praktik diskriminasi
127
Penyalahgunaan yang lain diatur di dalam Pasal 25 ayat 1 b adalah membatasi pengembangan teknologi. Sebenarnya pengembangan teknologi adalah
merupakan hak monopoli pelaku usaha tertentu yang menemukannya menjadi hak kekayaan intelektual penemunya.
dapat dikategorikan suatu tindakan membatasi pasar.
128
124
Lihat Pasal 19 huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
125
Lihat Pasal 20 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
126
Lihat Pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
127
Lihat Pasal 19 huruf d Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
128
Peter W. Heermaan, Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam Andi Fahmi Lubis, dkk , Op.cit hal. 182
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang mengecualikan hak atas
kekayaan intelektual. Oleh karena itu, pengertian pembatasan pengembangan teknologi harus diiterpretasikan sebagai upaya pelaku usaha tertentu terhadap
Universitas Sumatera Utara
pengembangan teknologi yang dilakukan oleh pelaku usaha pesaingnya untuk meningkatkan produksi barang baik segi kualitas maupun kuantitas.
Dalam kaitannya dengan pasar bersangkutan, Pasal 1 angka 10 Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 berbunyi: “Pasar bersangkutan adalah pasar yang
berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan
atau jasa tersebut”. Berdasarkan ketentuan ini, maka dapat disimpulkan pembatasan pasar yang bersangkutan relevant market untuk menentukan posisi
dominan suatu pelaku usaha menggunakan pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar produk product market dan berdasarkan wilayah atau
geografis geographic market.
Pasar produk didefinisikan sebagai produk-produk pesaing dari produk tertentu ditambah dengan produk lain yang bisa menjadi substitusi dari produk
tersebut.
129
129
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009, Op.cit hal. 12
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak memberikan penjelasan dan tidak ada petunjuk khusus mengenai barang yang
sama atau sejenis serta barang substitusi. Untuk dapat menentukan, apakah suatu barang dengan barang yang lain dapat dinyatakan sama atau dapat dinyatakan
menjadi substitusi terhadap barang tertentu, perlu dilihat dari 4 aspek, yaitu:
a. bentuk dan sifat barang
Universitas Sumatera Utara
Bentuk dan sifat fisik suatu barang merupakan petunjuk pertama dalam mengidentifikasi apakah suatu produk satu pasar atau satu produk secara objektif.
Dikatakan secara objektif, karena produk yang berbeda tersebut dilihat secara fisik apakah bentuk dan sifat barang tersebut sama atau tidak. Misalnya apakah soft
drink Coca-cola dapat dianggap barang yang sama dengan Pepsi? Kalau ya, maka Coca-cola dengan Pepsi adalah produk yang saling bersaing. Dalam hal ini, Coca-
cola dengan Pepsi adalah satu pasar, karena dilihat dari aspek sifat minumannya.
b. Fungsi barang
Dilihat dari fungsi barang, apakah suatu barang atau produk dengan barang atau produk lain berbeda tersebut mempunyai fungsi yang sama bagi konsumen.
Contoh Coca-cola dan Pepsi mempunyai fungsi yang sama bagi konsumen yaitu untuk menghilangkan rasa haus. Dilihat dari aspek fungsi barang tersebut, maka
Coca-cola dengan Pepsi adalah satu produk. Artinya, satu pasar bersangkutan.
c. Harga
Unsur yang paling penting dalam menentukan apakah suatu produk dengan produk yang lain dinyatakan sama atau dapat sebagai barang pengganti
adalah harga. Misalnya harga Coca-cola satu botol Rp. 4000 sedangkan harga satu botol Pepsi Rp. 3900, maka Coca-cola dengan Pepsi dapat dikatakan satu barang
yang sama atau sebagai barang pengganti. Akan tetapi kalau harga Coca-cola satu botol Rp. 10.000, dan sedangkan harga Pepsi satu botol hanya Rp. 5000, maka
Universitas Sumatera Utara
Coca-cola dengan Pepsi bukan satu barang yang sama, atau Pepsi tidak dapat disebut sebagai barang Coca-cola.
d. Fleksibilitas barang bagi konsumen
Unsur keempat dalam menentukan apakah suatu produk dapat dinyatakan sebagai barang yang sama atau pengganti bagi produk yang lain adalah
fleksibilitas kebutuhan barang yang sama atau pengganti bagi konsumen. Ini disebut juga konsep kebutuhan konsumen. Jika konsumen bisaanya
mengkonsumsi suatu produk tertentu, dan konsumen kehabisan barangproduk tersebut, makan apakah jika konsumen pada saat membutuhkan produk yang bisaa
dibutuhkan tersebut tidak ada di pasar, konsumen tersebut secara otomatis mau beralih kepada produk yang lain tersebut? Kalau ya, maka produk pengganti
tersebut menjadi satu produk konsumen terhadap produk yang bisaa dikonsumsinya.
Selain pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk atau secara objektif, untuk menentukan apakah suatu perusahaan mempunyai posisim
dominan, penilaian pembatasan pasar bersangkutan secara geografis merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Republik Indonesai Nomor 3 Tahun 2009, pasar geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku usaha dapat meningkatkan harganya tanpa
menarik masuknya pelaku usaha baru atau tanpa kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke pelaku usaha lain di luar wilayah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Fungsi pembatasan pasar secara geografis adalah untuk menghitung pangsa pasar bersangkutan secara objektif disekitar wilayah dimana barang
tersebut dipasarkan. Oleh karena itu dapat terjadi, bahwa pasar suatu barang tertentu dapat mencapai pasar regional, nasional, internasional dan bahkan pasar
global. Akan tetapi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sudah membatasi penerapannya hanya di dalam negeri saja. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan
Pasal 1 angka 5: “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan berbagai kegiatan usaha dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia”
Namun demikian, KPPU telah menetapkan bahwa jangkauan penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak terbatas seluas wilayah Indonesia
dimana pelaku usaha mempunyai kedudukan hukumnya, tetapi juga pelaku usaha yang mempunyai kedudukan hukum di luar wilayah Indonesia, tetapi perilaku
pelaku usaha tersebut mempunyai dampak terhadap persaingan usaha di pasar Indonesia.
c. Menghambat pesaing potensial
Salah satu bentuk penyalagunaan posisi dominan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah menghambat pelaku usaha
yang lain yang berpotensi menjadi pesaing di pasar yang bersangkutan. Ketentuan ini ada persamaan dengan larangan Pasal 19 huruf a yang menetapkan menolak
Universitas Sumatera Utara
dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.
Dalam hukum persaingan usaha dikenal dua macam pesaing, yaitu pesaing faktual dan pesaing potensial.
130
Hambatan masuk pasar bagi pesaing potensial dapat dibagai dua, yaitu hambatan masuk pasar yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan hambatan
masuk pasar oleh karena kebijakan-kebijakan Negara atau pemerintah. Pesaing faktual adalah pelaku-pelaku usaha yang
melakukan kegiatan usaha yang sama di pasar yang bersangkutan. Sedangkan pesaing potensial adalah pelaku usaha yang mempunyai potensi yang ingin masuk
ke pasar yang bersangkutan, baik oleh pelaku usaha dalam negeri maupun pelaku usaha dari luar negeri.
131
130
M. Udin Silalahi, Perusahaan Saling Mematikan Bersekongkol: Bagaimana Cara Memenangkan?, dalam Andi Fahmi Lubis, dkk, Op.cit hal. 183
131
Ibid
Hambatan masuk pasar oleh pelaku usaha posisi dominan swasta adalah penguasaan produk suatu barang mulai proses produksi dari hulu ke hilir hingga
pendistribusian, sehingga perusahaan tersebut demikian kokoh pada sektor tertentu mengakibatkan pelaku usaha potensial tidak mampu masuk ke pasar yang
bersangkutan. Sedangkan hambatan masuk pasar akibat kebijakan Negara atau pemerintah ada dua, yaitu hambatan masuk pasar secara struktur dan strategis.
Hambatan masuk pasar secara struktur adalah dalam kaitan system paten dan lisensi. Sedangkan hambatan masuk pasar secara strategis adalah kebijakan-
kebijakan yang memberikan perlindungan atau perlakuan khusus bagi pelaku usaha tertentu, akibatnya pesaing potensial tidak dapat masuk ke dalam pasar.
Universitas Sumatera Utara
Jadi, di dalam hukum persaingan usaha ukuran yang sangat penting adalah bahwa pesaing potensial bebas keluar masuk ke pasar yang bersangkutan.
Dalam kaitannya dengan penguasaan pangsa pasar, muncul pertanyaanya apakah ketentuan penguasaan pangsa pasar 50 untuk satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha dan 75 untuk dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha sebagaimana diatur di dalam Pasal 25 ayat 2 tersebut
bersifat absolut atau tidak? Secara normatif, ketentuan Pasal 25 ayat 2 bersifat per se. Artinya, apabila suatu pelaku usaha sudah menguasai pangsa pasar 50 untuk
satu pelaku usaha dan 75 untuk dua atau tiga pelaku usaha, maka penguasaan pangsa pasar tersebut langsung dilarang. Dengan demikian, kalau pendekatan per
se illegal diterapkan kepada Pasal 25, maka sama dengan menghambat tujuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, yaitu mendorong pelaku usaha berkembang
berdasarkan persaingan usaha yang sehat.
Dalam praktiknya, KPPU telah menerapkan Pasal 25 ayat tersebut dengan pendekatan rule of reason. Namun hal yang perlu dicermati adalah bahwa jika
Pasal 25 secara praktis diterapkan dengan pendekatan per se, maka akan membatasi pertumbuhan perkembangan pelaku usaha yang efisien dan inovatif
serta kompetitif di pasar yang bersangkutan.
Penafsiran serta penerapan seperti ini memang akan memicu perdebatan diantara KPPU dengan praktisi hukum yang mengiginkan ketentuan Pasal 25
diterapkan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 tersebut tanpa perlu menginterpretasikan lebih lanjut. Akan tetapi harus dilihat prinsip dan tujuan
Universitas Sumatera Utara
hukum persaingan usaha, yaitu bukan untuk menghambat persaingan, akan tetapi untuk mendorong persaingan usaha. Jadi, pelaku usaha yang dapat bersaing
dengan sehat dan melakukan efisiensi dan inovasi serta dapat menjadi lebih unggul atau mempunyai posisi dominan lebih dari pada yang ditetapkan di dalam
Pasal 25 tidak seharusnya dilarang. Karena jika dilihat dari ketentuan Pasal 4, Pasal 13, Pasal 17, dan Pasal 18 menetapkan diduga dapat melakukan praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai pangsa pasar lebih dari 50 dan apabila
dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 pangsa pasar. Ketentuan tersebut bersifat rebuttable. Ketentuan ini tidak
melarang satu pelaku usaha untuk meningkatkan usahanya pencapaian pangsa pasar kalau sudah mencapai pangsa pasar lebih dari 50, katakanlah menguasai
pangsa pasar 55 dan untuk dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha mencapai lebih dari 75, asalkan pencapaian pangsa pasar tersebut
dicapai dengan persaingan usaha yang sehat atau fair.
Sehingga karena ketentuan Pasal 4, 13, 17 dan Pasal 8 menggunakan pendekatan rule of reason, maka ketentuan Pasal 25 harus diterapkan dengan
pendekatan rule of reason. Kalau tidak demikian, maka prinsip ketentuan Pasal 25 bertentangan denga ketentuan Pasal 4, 13, 17, dan Pasal 18 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999
Sebaliknya, jika suatu pelaku usaha tidak menguasai pangsa pasar lebih dari 50 untuk satu pelaku usaha monopoli, tetapi dalam praktiknya dapat
Universitas Sumatera Utara
melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dapat terjadi tergantung korelasi penguasaan pangsa pasar suatu pelaku usaha yang
mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya.
132
Salah satu unsur yang menyatakan bahwa suatu pelaku usaha mempunyai posisi dominan adalah apabila pelaku usaha mempunyai keuangan yang lebih
besar kuat dibandingkan dengan keuangan pelaku usaha pesaingnya. Pengertian kemampuan keuangan suatu pelaku usaha dapat dipahami khususnya kemampuan
ekonomi pelaku usaha tersebut yang pada pokoknya mempunyai kemungkinan keuangan. Artinya, kemampuan keuangan yang dimiliki sendiri, untuk melakukan
investasi sejumlah uang tertentu dan mempunyai akses menjual kepada pasar modal.
2. Kemampuan Keuangan
133
132
Andi Fahmi Lubis, dkk, Op.cit hal. 171
Secara sederhana, pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi akan mempunyai keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku
usaha pesaingnya. Karena persentase nilai jual atau beli yang lebih tinggi atas suatu barang atau jasa tertentu dibandingkan dengan nilai jual atau beli pesaing-
pesaingnya akan menunjukkan kemampuan keuangan yang lebih kuat atau lebih besar.
133
Roy Sanjaya, Posisi Dominan dan Penyalahgunaannya, http:roysanjaya.blogspot.com201101posisi-dominan-dan-penyalahgunaannya.html
, terakhir diakses tanggal 9 Februari 2011
Universitas Sumatera Utara
Terdapat beberapa faktor untuk melihat suatu pelaku usaha mempunyai keuangan yang kuat, antara lain:
134
a. Modal dasar;
b. Cash flow;
c. Omset;
d. Keuntungan;
e. Batas kredit; dan
f. Akses ke pasar keuangan nasional dan internasional.
3. Kemampuan Pada Pasokan atau Penjualan
Unsur kemampuan mangatur pasokan atau penjualan adalah salah satu ciri pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Kemampuan ini dapat dilakukan
oleh suatu pelaku usaha bisaanya, apabila pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pangsa pasar pesaing-
pesaingnya. Oleh karena itu, penilaian atau penetapan pangsa pasar pelaku usaha pada pasar bersangkutan sangat penting. Untuk itu, pengertian pangsa pasar harus
dimengerti terlebih dahulu, yaitu persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun
kalender tertentu.
Jika pangsa pasar pelaku usaha sudah ditetapkan, mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi daripada pesaingnya, maka dapat ditentukan apakah pelaku
134
Peter W. Heermann, Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam Andi Fahmi Lubis, dkk, Op.cit hal. 172-173
Universitas Sumatera Utara
usaha yang menguasai pangsa pasar dalam persentase tertentu dapat melakukan praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang
bersangkutan yaitu melalui kemampuan pengaturan jumlah pasokan atau penjualan barang tertentu di pasar yang bersangkutan. Kemampuan pengaturanm
pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu menjadi salah satu bukti bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan. Akibatnya adalah pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan menguasai pasar dan pesaingnya tidak dapat bersaing pada pasar
yang bersangkutan.
135
Kemampuan pelaku usaha untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu pada pasar yang bersangkutan menjadi salah satu unsur
dalam pengertian posisi dominan yang ditetapkan di dalam Pasal 1 angka 4. Pada prinsipnya kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan atas suatu barang
atau jasa tertentu pada pasar yang bersangkutan mempunyai kesamaan dengan kemampuan mengatur pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu. Pelaku
usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan pada pasar yang bersangkutan. Oleh
karena itu, penetapan siapa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang bersangkutan penting untuk dilakukan.
4. Kemampuan Menyesuaikan Pasokan atau Permintaan
136
135
Roy Sanjaya, Op.cit
136
Andi Fahmi Lubis, dkk, Op.cit hal. 173
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENERAPAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNAAN POSISI