7 cairan larutan garam, atau sirup jika bahannya buah-buahan. Kaleng yang telah diisi
dengan buah dan sirop kemudian dilakukan proses exhausting. Tujuan exhausting adalah untuk menghilangkan sebagian besar udara dan gas-gas lain dari dalam bahan dan kaleng
sesaat sebelum dilakukan penutupan kaleng. Exhausting penting dilakukan untuk memberikan kondisi vakum pada kaleng setelah penutupan.
4.
Penutupan. Tutup dipasang pada kaleng, dan ditutup mengunakan mesin penutup
otomatis, yang membengkokan bagian pinggir tutup dan mulut kaleng dalam bentuk gulungan. Gulungan tersebut kemudian dipipihkan membentuk suatu segel yang tertutup
rapat, kedap udara. Seperti tertera pada Gambar 2. 5.
Sterilisasi bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk dan pathogen, selain juga
berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak, dilihat dari penampilan, tekstur, dan cita rasanya sesuai dengan yang diinginkan. Adawyah 2007.
6.
Pendinginan. Setelah proses sterilisasi, kaleng kemudian didinginkan, proses pendinginan
dinyatakan selesai bila suhu air dalam retort telah mencapai 38-42°C. Tujuan dari
pendinginan adalah untuk memperoleh kesegaran waktu dan suhu dalam proses dan untuk mempertahankan mutu akhir. Pendinginan dilakukan secepatnya setelah proses
pemanasan selesai, untuk mencegah pertumbuhan kembali bakteri, terutama bakteri termofilik. Apabila pendinginan terlalu lambat dilakukan maka produk akan cenderung
terlalu masak sehingga akan merusak tekstur dan cita rasanya.
Gambar 2. Proses penutupan kaleng Hariyadi, 2000
E. PROSES TERMAL
Proses termal merupakan suatu ilmu yang berkembang sejak termokopel digunakan untuk mengukur suhu. Secara industri, teknik pengemasan untuk mengawetkan makanan sudah sangat
berkembang, sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk pangan hingga waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun. Menurut Hariyadi 2000, ada beberapa keuntungan dari proses termal.
Keuntungan dari proses pemanasan atau pemasakan ini adalah : a.
Terbentuknya tekstur dan cita rasa yang khas dan disukai b.
Rusak atau hilangnya beberapa komponen anti gizi c.
Peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan karbohidrat
d. Terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan keawetan pangan
e. Menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil selama
penyimpanan. Namun, ada pula kerugian yang diakibatkan oleh proses pemanasan, antara lain adanya
kemungkinan rusaknya beberapa zat gizi dan mutu umumnya yang berkaitan dengan mutu
8 organoleptik seperti tekstur, warna, dan lain-lain, terutama jika proses pemanasan tidak terkontrol
dengan baik. Oleh karena itu, proses pengolahan dengan suhu tinggi perlu dikendalikan dengan baik. Kontrol terpenting dalam pemanasan adalah kontrol suhu dan waktu.
Selama pemanasan terdapat dua hal penting yang terjadi, yaitu destruksi atau reduksi mikroba dan inaktivasi enzim yang tidak dikehendaki. Proses pemanasan untuk meningkatkan daya simpan,
dilakukan dengan cara blansir, pasteurisasi, dan sterilisisasi.
F. PERHITUNGAN KECUKUPAN PANAS
1. Kalkulasi Proses Thermal
Berbagai cara untuk mengkalkulasi proses thermal sudah banyak dilaporkan. Umumnya metode kalkulasi ini pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu 1 metoda
golongan I yang menghitung berdasarkan evaluasi derajat kematian pada titik di dalam kaleng yang paling lambat menerima panas, dan 2 metode golongan II yang menghitung berdasarkan evaluasi
derajat kematian rata-rata pada seluruh isi kaleng secara terintegrasi. Secara garis besar metode golongan ini dapat dibagi menjadi dua yaitu : metoda umum dan
metoda formula. Metoda yang pertama umumnya tidak dapat digunakan untuk meramalkan bagaimana hubungan antara waktu dan suhu dalam suatu bahan pangan selama pemanasan, sedangkan
metoda yang kedua dapat meramalkan hal tersebut. Muchtadi, 2008.
a. Metoda Umum
Metoda ini adalah metoda yang paling teliti dalam mengkalkulasi proses sterilisasi, karena suhu bahan pangan yang diukur dalam percobaan, secara langsung digunakan dalam perhitungan-
perhitungan tanpa mengasumsi hubungan waktu-suhu dari makanan tersebut. Untuk mengestimasi nilai sterilisasi produk, secara matematik dapat digunakan persamaan sebagai berikut Muchtadi,
2008. Target pembunuhan proses termal sering dinyatakan dalam satuan reduksi desimal mikroba,
misalnya 12D artinya reduksi mikroba 12 siklus logaritma atau reduksi dari 1 menjadi 10
-12
. Dalam persamaan dapat ditulis sebagai berikut Muchtadi, 2008 :
1 Keterangan : D = Waktu pemanasan pada suhu tertentu untuk mereduksi mikroorganisme
menjadi 110 a dan b = Jumlah mikroorganisme yang tahan setelah pemanasan
t
1
dan t
2
= Waktu dalam menit Nilai z adalah derajat kenaikan atau penurunan suhu untuk menurunkan atau menaikkan nilai D
10 kali. Dalam persamaan dapat ditulis sebagai berikut Muchtadi, 2008 : 2
Keterangan : Z = Jumlah derajat F dibutuhkan oleh kurva melewati 1 siklus logaritma D
1
dan D
2
= Waktu pemanasan pada suhu tertentu untuk mereduksi mikroorganisme T
1
dan T
2
= Suhu
9 Metode umum didasarkan pada hubungan lethal rate L dan waktu t. L adalah tingkat
sterilitas mikroba yang disetarakan pada suhu 121.1
o
C atau 250
o
F Hariyadi, Kusnandar 2000. L dalam persamaan dapat dilihat pada persamaan 3 dalam Muchtadi, 2008.
3 Keterangan : L
= Tingkat sterilitas mikroba yang disetarakan pada suhu 121.1
o
C Z = Jumlah derajat F dibutuhkan oleh kurva melewati 1 siklus logaritma
T =
Suhu produk
Kurva kematian Termal untuk spora dan sel-sel vegetative organisme yang resisten terahadap panas dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kurva kematian Termal untuk spora dan sel-sel vegetative organisme yang resisten terahadap panas dapat dilihat pada Desrosier, 2008.
Untuk evaluasi dan penetapan proses termal, maka harus diidentifikasi mikroorganisme yang dijadikan target. Kinetika destruksi mikroorganisme yang menjadi target nilai D, z, dan lethal rate
harus diketahui. Untuk perhitungan dengan Metode Umum, letalitas proses dihitung dengan cara integrasi lethal rate terhadap waktu, dalam persamaan berikut 4. F
o
adalah ekivalen letalitas proses termal dengan waktu pemanasan pada suhu 121.1
o
C atau 250
o
F. ∑ ∆
4 Kurva
waktu kematian termal
Harga z
Nilai F
Satu sik
‐ lus
log
D
2
D
1
Termal death
time menit
10 Luasan di bawah kurva hubungan L dan waktu menunjukkan F
o
proses sterilisasi. Luasan kurva dapat ditentukan dengan melakukan pendekatan jumlah luasan trapesium tiap satuan waktu. Metode
umum trapezoidal menganggap letalitas antar titik waktu yang diukur membentuk garis lurus sehingga letalitas setiap selang waktu adalah luas trapesium dengan tinggi t
n
-t
n-1
, panjang atas dan bawah masing-masing L
n
dan L
n-1
. Perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan spreadsheed Excel
. Nilai Fo merupakan hasil penjumlahan F
o
parsial atau luasan dibawah kurva trapesium.
∑
= −
+ +
+ +
+ +
∧ =
n i
n n
L L
L L
L Lo
t Fo
1 1
3 2
1
2 2
... ..........
.......... 2
2 2
2 5
Perhitungan letalitas proses termal dengan metode umum dapat dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel dari data penetrasi panas yang telah diperoleh. Berikut
langkah-langkah perhitungan letalitas proses termal dengan metode umum dengan bantuan Microsof Excel :
1. Masukkan data waktu pada satu kolom misal kolom A. Rentang waktu tidak harus
sama. 2.
Masukkan data ∆t pada kolom berikutnya kolom B dengan cara t
2
-t
1
2 3
A A
Excel −
=
3. Masukkan data suhu produk pada kolom berikutnya misalnya kolom C.
4. Pada kolom ketiga kolom D masukkan rumus untuk menghitung letalitas dan copy
untuk baris-baris di bawahnya pada kolom tersebut.
12 176
2 10
− =
∧
B Excel
5. Pada cell pertama kolom ke-4 masukkan rumus untuk menghitung ∆t.L
3 3 D
B Excel
=
6. Untuk menduga nilai letalitas sepanjang proses F
o
, pada kolom berikutnya E tulis rumus penjumlahan tersebut, cell diatasnya dengan kolom sebelumnya pada cell
tersebut.
4 3
D E
Excel +
=
1. Konsep 12D dan 5D
Konsep 12D merupakan konsep yang umum digunakan dalam sterilisasi komersial untuk menginaktifkan mikroorganisme yang berbahaya, yaitu Clostridium botulinum. Arti 12D adalah
bahwa proses termal yang dilakukan dapat mengurangi mikroba sebesar 12 siklus logaritma atau F=12D. Bila bakteri C. botulinum memiliki nilai D
121
= 0.25 menit, maka nilai sterilisasi F
o
dengan menerapkan konsep 12D harus ekuivalen dengan pemanasan pada 121
˚C selama 3 menit. Apabila produk pangan mengandung 10
3
cfuml mikroba awal, maka setelah melewati proses 12D tersebut, maka peluang mikroba yang tersisa adalah 10
-9
cfuml. FDA menetapkan bahwa untuk mencapai tingkat sterilisasi komersial yang terjamin, jumlah
bakteri dalam produk pangan setelah sterilisasi harus mencapai 10
-9
cfuml artinya, peluang kebusukan adalah 1 per 1 milyar kaleng. Dengan demikian, konsep 12D dapat diterapkan dalam
proses sterilisasi apabila jumlah awal mikroba tidak melebihi 10
3
cfuml. Konsep 5D banyak diterapkan untuk produk pangan yang dipasteurisasi, karena target mikroba yang
dibunuh lebih rendah dibanding pada produk yang disterilisasi komersial. Dalam konsep 5D
11 diterapkan 5 siklus logaritma, yang artinya telah terjadi pengurangan sebanyak 5 desimal atau
pembunuhan mikroba mencapai 99.999. Misalnya, bila digunakan mikroba target untuk pasteurisasi adalah Bacillus polymyxa D
100
=0.5 menit, maka nilai F dengan menerapkan konsep 5D harus ekivalen dengan pemanasan pada 100
˚C selama 2.5 menit. Kurva Daya tahan mikroba terhadap panas sebagai pengaruh dari umur dan fase pertumbuhan Gambar 4.
Gambar 4. Daya tahan mikroba terhadap panas sebagai pengaruh dari umur dan fase Pertumbuhan Hariadi,2004.
b. Metoda Formula Metode Formula digunakan untuk merancang proses termal karena metode ini dapat
meramalkan hubungan waktu dengan suhu dalam bahan pangan selama pemanasan. Untuk perhitungan proses termal menggunakan metode formula, data penetrasi panas diolah sehingga
diperoleh karakteristik penetrasi panas dalam pangan yang diproses f
h
, f
c
, j
h
, j
c
. Parameter respon suhu f
h
dan f
c
menunjukkan laju penetrasi panas ke dalam produk dalam wadah, f
h
adalah waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati 1 siklus log pada fase pemanasan, dan f
c
untuk fase pendinginan. Lag factor j
h
dan j
c
menggambarkan waktu lag kelambatan sebelum laju penetrasi mencapai f
h
dan f
c
. Persamaan umum hubungan suhu produk dengan waktu pemanasan pangan dalam wadah
adalah sebagai berikut Muchtadi, 2008 : 6
12 Atau:
7 dimana:
t = waktu proses
T = suhu produk pada titik terdingin
T
r
= suhu retort saat proses T
i
= suhu awal produk fh= waktu diperlukan kurva penetrasi panas melewati 1 siklus log
Ball menggunakan fakta bahwa nilai sterilitas porsi pemanasan dari proses termal merupakan fungsi dari slope kemiringan kurva pemanasan f
h
dan perbedaan suhu medium pemanas dengan suhu produk pada akhir pemanasan T
r
- T = g. Dari persamaan hubungan suhu produk dengan waktu pemanasan, maka diturunkan persamaan berikut Muchtadi, 2008:
log .
⁄ 8
t
B
= waktu proses, log
log ⁄
, 9
Dari tabel atau kurva hubungan f
h
dan waktu pemanasan pada suhu retort untuk mencapai sterilitas yang diinginkan U = F
o
L
r
dengan nilai g, dapat ditentukan nilai g, sehingga nilai t
B
dapat dihitung. Atau sebaliknya jika waktu proses t
B
telah diketahui, nilai sterilitas proses F
o
dapat dihitung. Pertama dihitung log kemudian nilai sterilitas letalitas proses F
o
= f
h
x L
r
f
h
U. Ball formula method
menggunakan asumsi: f
h
= f
c
, j
c
= 1.41 dimana transisi pemanasan ke pendinginan berupa parabola pada plot semilog dan suhu medium
pendinginan 180 di bawah suhu medium pemanasan. B atau t
B
= Ball processing time = 0.42 t
c
+ t
p
t
h
= total heating time = t
c
+ t
p
t
c
= come up time = waktu sejak uap dimasukkan sampai retort mencapai suhu proses t
p
= operator time = waktu sejak suhu retort mencapai suhu proses diinginkan sampai suplai uap dihentikan.
Stumbo memasukkan nilai j
c
dalam perhitungan proses termal tanpa asumsi, sehingga akan berbeda dengan metode Ball jika nilai jc tidak sama dengan 1.41. Tabel hubungan f
h
U dengan nilai g atau nilai log g pada berbagai nilai j
c
telah tersedia. Untuk perhitungan harus diingat bahwa bentuk persamaan umum hubungan suhu dengan waktu
adalah 10
dimana: t
= waktu proses T
= suhu produk pada titik terdingin T
r
= suhu retort saat proses T
pih
= suhu awal semu berdasarkan kurva linier F
h
= waktu diperlukan kurva penetrasi panas melewati 1 siklus log
13 Dalam Metode Formula, data suhu – waktu dari percobaan penetrasi panas diplotkan pada
kertas semi-logaritma. Untuk memperoleh kurva pemanasan, perbedaan antara suhu retort dan suhu bahan pangan di dalam kaleng diplotkan pada skala logaritma sebagai fungsi dari waktu pada skala
linier. Hal ini dapat dilakukan dengan memutar kertas semi-logaritma 180
o
, kemudian garis tertinggi diberi tanda dengan suhu retort dikurangi satu derajat
o
F, setelah itu plotkan data pengamatan yang diperoleh. Untuk memperoleh kurva pendinginan, perbedaan antara suhu bahan pangan di dalam
wadah dengan suhu air pendingin diplotkan pada skala logaritma sebagai fungsi dari waktu pada skala linier. Dalam hal ini kertas semi-logaritma dibiarkan pada posisi normal dan garis terbawah diberi
tanda dengan suhu air pendingin ditambah satu derajat
o
F, setelah itu plotkan data pengamatan yang diperoleh.
Jika ingin kertas semilog dalam posisi normal sehingga dapat menunjukkan bahwa hubungan linier adalah antara nilai log perbedaan suhu proses retort dan suhu bahan atau ditulis log T
r
- T dengan waktu, bukan log suhu bahan atau log T dengan waktu, sebelumnya harus dihitung nilai-nilai
suhu retort dikurangi suhu produk pada setiap titik pengukuran.
G. PEMILIHAN JENIS KEMASAN
Pangan steril komersial bisa dikemas dalam berbagai jenis, antara lain dengan menggunakan kemasan kaleng, botol, plastik atau kertas. Pemilihan jenis kemasan untuk makanan kaleng sering kali
mempertimbangkan faktor penampilan, perlindungan, fungsional, harga dan biaya, dan sifat kuatkokohtahan terhadap proses pemanasan pada suhu tinggi, serta tetap hermetis selama dan setelah
proses pengolahan. Menurut Buckle et al. 1983 wadah yang digunakan untuk mengalengkan dapat berupa
kaleng tin plate, botol jar dan aluminium. Syarat utama wadah yang dapat digunakan untuk pengalengan makanan adalah tertutup rapat hermetis, tidak dapat dimasuki udara, uap air atau
mikroba.
1. Wadah Kaleng tin plate
Kemasan kaleng umumnya terbuat dari tin plate, yaitu baja yang dilapisi dengan timah untuk mengurangi korosi. Namun, sekarang banyak digunakan tin free steel, yaitu baja yang dilapisi dengan
chromium untuk mencegah korosi. Tin plate
biasanya terdiri atas 9 lapisan dengan bagian tengah terbuat dari baja yang pada setiap sisinya dilapisi oleh suatu lapisan campuran timah-besi, kemudian timah, selapis oksida dan
selanjutnya lapisan tipis minyak. Baja yang digunakan untuk membuat kaleng makanan mengandung kadar karbon rendah. Penelitian-penelitian telah membuktikan bahwa komposisi baja merupakan
faktor penting untuk memperoleh umur pakai kaleng yang memadai bagi bahan pangan yang korosif. Muchtadi D, 1991.
Baja jenis L khusus dibuat mengandung kadar fosfor dan mineral lain yang rendah, sehingga harganya relatif lebih mahal. Pelat baja jenis ini khususnya digunakan untuk membuat kaleng bagi
bahan pangan yang sangat korosif, misalnya buah ceri, buah prem kering dalam sirup, buah prembus dan arbei serta asinan. Baja jenis MS sama dengan jenis L tetapi mengandung kadar tembaga yang
lebih tinggi. Pelat baja jenis ini banyak digunakan dalam pembuatan kaleng untuk asinan kubis. Pelat baja jenis MR khususnya digunakan dalam pembuatan kaleng untuk buah-buahan yang agak masam
seperti jeruk dan sari buahnya, buah persik, dan buah nenas. Pelat baja jenis ini mengandung fosfor lebih tinggi dari pada jenis L, tetapi kadar mineral lainnya tidak dibatasi secara khusus. Untuk bahan
pangan yang kadar asamnya sangat rendah, misalnya daging, ikan dan sayur-sayuran dapat digunakan semua jenis pelat baja. Umumnya yang digunakan adalah jenis MR C. Beberapa jenis bahan pangan
14 yang digolongkan berdasarkan korosifitasnya dan jenis pelat baja yang digunakan dalam pembuatan
wadah kalengnya dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4. Klasifikasi bahan pangan berdasarkan korosifitasnya dan jenis pelat baja yang diperlukan
Golongan bahan pangan Karakteristik
Contoh Jenis pelat baja
Sangat korosif Bahan pangan berasam
tinggi atau sedang, termasuk buah-buahan
berwarna dan asinan Sari buah apel
prambus dan arbei, ceri, prem
asinan L
Korosif moderat Sayur-sayuran yang
diasamkan dan buah- buahan yang agak
asam Asinan kobis
Aprikot Jeruk
Anggur Persik
Jenis MS Jenis MR
Agak korosif Bahan pangan
berasam rendah Kacang polong
Jagung Daging
Ikan Jenis MR
Jenis MC
Tidak korosif Bahan pangan kering
dan tidak disterilkan Sop kering
Makanan beku Kacang-kacangan dan
shortening Jenis MR atau
jenis MC
Sumber : Ellis, 1983 dalam Muchtadi D, 1991 Tabel 5. Spesifikasi kimia baja sebagai bahan baku dalam pembuatan kaleng makanan
Persentasi yang
diijinkan Elemen
Mineral Jenis L
Jenis MS Jenis MR
Jenis MC Tutup kaleng
bir Mangan 0.25-0.60 0.25-0.60 0.25-0.60 0.25-0.60 0.25-0.60
Karbin Maks 0.12
Maks 0.12 Maks 0.12
Maks 0.12 Maks 0.15
Fosfor Maks 0.015
Maks 0.015 Maks 0.02
0.07-0.11 0.10-0.15
Belerang Maks 0.05
Maks 0.05 Maks 0.05
Maks 0.05 Maks 0.05
Silika Maks 0.01
Maks 0.01 Maks 0.01
Maks 0.01 Maks 0.01
Tembaga Maks 0.06
0.10-0.20 Maks 0.20
Maks 0.20 Maks 0.20
Nikel Maks 0.04
Maks 0.04 Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Khrom Maks0.06
Maks 0.06 Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Molibdat Maks 0.05
Maks 0.05 Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Arsen Maks0.02
Maks 0.02 Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Sumber : Ellis, 1963 dalam Muchtadi D,1991. Keuntungan kaleng tin plate antara lain adalah dapat melindungi bahan pangan dari
kontaminasi mikroba akibat kekuatan dan kekakuannya, dapat dikerjakan dengan kecepatan tinggi, mempunyai daya ketahanan tinggi terhadap karet, penampakan menarik, tahan terhadap tekanan dan
15 suhu tinggi. Buckle et all, 2009. Kaleng yang digunakan dalam penelitian merupakan kaleng jenis
MR.
2. Kemasan gelas
Gelas didefinisikan sebagai suatu larutan silikat yang cocok dibentuk dengan pemanasan dan fusi, dengan pendinginan untuk mencegah terjadinya kristalisasi. Gelas merupakan suatu cairan amorf,
jernih atau bening Desrosier, 2008. Gelas biasanya terdiri dari tiga jenis oksida : 1 Oksida silikat pemebenttuk gelas pasir kualitas
tinggi. Fosfat tertentu yang juga merupakan bahan pembentuk gelas. 2 Oksida pencair. Natrium, kalium, dan litium oksida digunakan pula, yang pertama yang paling menonjol. Pencampuran dari
oksida pencair dengan oksida pemebntuk gelas menghasilkan suatu produk yang larut dalam air. 3 untuk menurunkan kelarutan ini digunakan suatu kelompok oksida ketiga yang dikenal dengan oksida
pemantap, pada umumnya ialah kalsium dan magnesium. Oksida barium dan aluminium digunakan dalam jumlah sedikit.
Kemasan gelas makanan terdiri dari natrium, kalsium dan magnesium silikat. Perkiraan komposisi gelas untuk botol buah-buahan adalah sebagai berikut : SiO
2
74 persen, Na
2
O 18 persen, CaO 7 persen, MgO 1 persen dan sejumlah kecil FeO
3
dan MnO
2.
3. Kemasan plastik film
Berbagai jenis bahan kemasan lemas mulai bermunculan diantaranya polyethylene, polypropylene, polyester
untuk membungkus makanan atau dalam bentuk lapisan dengan bahan lain yang direkatkan bersama. Kombinasi tersebut disebut laminasi. Dengan prinsip kemasan laminasi
tersebut, memungkinkan mengembangkan berbagai jenis kemasan yang mampu memiliki berbagai unggulan yang dituntut oleh persyaratan keperluan baik oleh produk itu sendiri, konsumen maupun
produsen. Sifat-sifat laminasi dari dua atau lebih film dapat memiliki sifat yang unik. Contohnya kemasan
yang terdiri dari lapisan kertaspolyethylenealuminium foilpolypropylene, sangat cocok untuk kemasan makanan kering. Lapisan luar terdiri dari kertas berfungsi untuk cetakan permukaan yang
ekonomis dan murah. Polyethilene berfungsi sebagai perekat antara aluminium foil dengan kertas. Aluminium foil
meskipun hanya setipis 0.00035 inch, memiliki barier yang kuat dan superior. Sedang polyethylene bagian dalam mampu memberikan kekuatan dan kemampuan untuk direkat atau ditutup dengan panas.
Dengan konsep laminasi, masing-masing lapisan saling menutupi kekurangannya sehingga menghasilkan lembar kemasan yang bermutu tinggi.
Persyaratan agar kemasan lemas dapat digunakan sebagai retort pouch adalah memiliki daya simpan tinggi, teknik penutupan mudah, kuat dan tidak mudah sobek tertusuk, dan tahan terhadap
proses panas sterilisasi tinggi Winarno, 2004. Suatu contoh dari hasil perkembangan kemasan lemas adalah polyesteradhesivealuminium
foilpolypropylene. Polyester adalah plastik yang memiliki ketahanan tinggi terhadap suhu tinggi, kuat, dan dapat dilakukan pencetakan pada permukaannya dan ternyata sekaligus dapat bekerja
sebagai adhesive bagi aluminium foil. Polypropylene juga bersifat adhesive terhadap aluminium foil dan dapat ditutup secara kuat dengan pemanasan thermoplastis. Susunan bahan kemasan tersebut
terdiri dari film polyester 0.5 mil yang dilapis dengan kertas aluminium 0.00035 inch dan kemudian dilaminasi lagi dengan film polypropylene, masing-masing lapisan memerankan peranan
yang penting dalam pengemasan jadi.
16
H. PARAMETER PEMANASAN
Pada pengawetan pangan, secara teknis ada beberapa cara yang menggunakan prinsip mikrobiologis yaitu mengurangi jumlah seminimal mungkin organisme pembusuk, mengurangi
kontaminasi mikroorganisme, menciptakan suasana lingkungan yang tidak sesuai mikroorganisme pembusuk, serta mematikan mikroorganisme dengan cara pemanasan Adawyah, 2007.
Mikroorganisme dapat dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan ketahanannya terhadap panas yaitu sel-sel vegetatif dan spora-spora dari ragi dan jamur, yang mudah dihancurkan oleh panas pada
suhu sampai 80, dan spora-spora bakteri dimana banyak diantaranya yang tahan pada pemasakan dalam air mendidih untuk jangka waktu yang lama. Ketahanan panas mikroorganisme dan spora-spora
dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk: 1.
Umur dan keadaan organisme atau spora sebelum dipanaskan 2.
Komposisi medium dimana organisme atau spora itu tumbuh. 3.
pH dan a
w
media pemanasan. 4.
Suhu pemanasan. 5.
Konsentrasi awal organisme atau sporanya. Tabel 6. Perbandingan Daya Tahan Terhadap Panas dari Beberapa Organisme yang Penting dalam
Kerusakan Makanan Kaleng. Kelompok mikroorganisme
Perkiraan kisaran daya tahan
terhadap panas D menit
Z kisaran
o
C Bahan pangan berasam sedang dan rendah
pH di atas 4,5 Termofilik spora
D
12 1
Asam tawar flat sour B. stearothermophilus
4,0 - 5,0 7,6 -12,1
Pembusuk pembentuk gas gaseous-spoiler C. Thermosaccharoly ticun
3.0 – 4,0 8,8 -121,1
Pembusuk pembentuk sulfit sulfit stinker C. nigrificans
2,0 – 3,0 8,8 – 12,1
Mesofilik spora Pembusuk anaerobic putrefractive
anaerobes C. botulinum
tipe A,B 0,1 – 0,20
7,6 - 10,0 C. sporogenes
termasuk P.A. 3679 0,10 - 1,5
7,6 - 10,0 Bahan pangan asam pH 3,7 atau 4,0-4,5
Thermofilik spora B. thermoacidurans coagulans
fakultatif mesofilik 0,01 – 0,07
7,6 - 10,0 Mesofilik spora
D
100
B. polymyxa, B. macerans 0,10 – 0,50
6,5 – 8,8 Anaerobik Butirik
C. pasteurianum 10 – 0,50
6,5 – 8,8 Bahan pangan berasam tinggi pH di bawah
3,7-4,0 Mesofilik, bakteri tidak berspora
D
65
Lactobacillus spp, leuconostoc spp, ragi dan jamur
0,50 – 1,00 4,4 – 5,5
Sumber: Buckle, et all, 2009.
17 Ketahanan panas mikroorganisme biasanya dinyatakan dengan istilah waktu reduksi desimal
decimal reduction time atau waktu yang dibutuhkan pada suhu tertentu untuk menurunkan jumlah sel atau spora sepuluh kali lipat, atau waktu kematian akibat panas thermal death time, waktu yang
dibutuhkan pada suhu tertentu untuk membinasakan secara sempurna organisme atau sporanya. Buckle, et all, 2009.
Nilai Z suatu organisme atau spora adalah selang suhu dimana akan terjadi penambahan atau pengurangan sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan sampai 90
atau pembinasaan seluruhnya. Buckle, et all, 2009. Menurut Buckle, et all, 2009, nilai pH makanan merupakan faktor yang penting dalam
menentukan besarnya pengolahan dengan panas yang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya sterelisasi komersial. Bahan pangan biasanya termasuk ke dalam satu diantara empat kelompok
berikut berdasarkan nilai pH-nya : 1. Bahan pangan tidak asam: pH diatas 5.0 atau 5.3
2. Bahan pangan berasam sedang: pH diantara 4.5 dan 5 atau 5.3 3. Bahan pangan asam: pH diantara 3.7 atau 4.0dan 4.5
4. Bahan pangan berasam tinggi: pH dibawah 3.7 atau 4.0.
I. PERANAN MIKROORGANISME DALAM BIDANG PANGAN
Mikroorganisme tersebar luas di alam lingkungan, dan sebagai akibatnya produk pangan jarang sekali yang steril dan umumnya tercemar oleh berbagai jenis mikroorganisme. Bahan pangan
dapat bertindak sebagai perantara atau subtract untuk tumbuhnya organisme yang bersifat patogenik terhadap manusia. Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tipes, kolera, disentri, TBC, dan
poliomilitis dengan mudah disebarkan melalui bahan pangan. Banyak bakteri saprofitik yang hidup pada bahan makanan dapat merusak serta meracuni
bahan makanan tersebut. akibat aktivitas tersebut, tidak sedikit kerugian yang ditimbulkannya. Berikut adalah contoh bakteri perusak pada bahan makanan, yaitu : Pseudomonas cocovenenans penghasil
asam bongkrek pada tempe bongkrek. Clostridium botulinum penghasil toksin pada makanan dan minuman kaleng. Erwina, Bacillus dan Clostridium bersifat pektolitik yang menyebabkan busuk air
atau busuk lunak soft rot pada sayuran dan buah-buahan dan juga dapat menyebabkan hilangnya kemampuan membetuk gel pada sari buah. Alcaligens viscolactis dan enterobacter aerogenes
menyebabkan pelendiran pada produk buah-buahan, sayuran, cider, dan bir. Spora bakteri termofilik pada umumnya sangat resisten terhadap pemanasan sehingga mampu
bertahan hidupsurvive. Karena bakteri ini bersifat termofilik, maka pada suhu biasa mereka tidak akan tumbuh. Tetapi bila kaleng tidak didinginkan dengan cukup, produk pengalengan tetap pada
kisaran suhu yang panas maka spora kuman termofilik kemudian mampu bergerminasi dan mulai berkembang biak. Hal yang sama pula bila produk jadi pasca panen sterilisasi disimpan dalam
ruangan dengan suhu panas lebih dari 38 C.
Pada waktu spora bakteri termofilik bermigrasi dan tumbuh, terbentuklah suatu zat yang asam, sehingga memberikan kesan bau atau rasa masam.