Posisi Dominan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 1. Pengertian Posisi Dominan

intervensi pemerintah, mengatakan bahwa pemerintah dianggap akan mampu menyelesaikan masalah distribusi serta masalah lainnya. Pandangan liberal keberatan terhadap price system dan beranggapan bahwa sistim ini merupakan paksaan karena memberikan penghargaan hanya pada pihak yang mampu membayar pada harga equilibrium. Pada kenyataannya juga price system juga mempunyai kelemahan dan tidak dapat sepenuhnya dipergunakan untuk menyelesaikan masalah ekonomi sehingga pada saat itulah peran pemerintah dibutuhkan untuk melengkapi sistem tersebut. Peran tersebut misalnya dalam distribusi pendapat, karena sistim harga tidak menjamin adanya distribusi yang adil antara yang mampu dan miskin. Demikian juga ketika berkaitan dengan infrastruktur umum, dimana terdapat beberapa sumber yang menjadi milik umum tanpa adanya kewajiban individu membayar ketika menggunakannya, misalnya lingkungan hidup.

B. Posisi Dominan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 1. Pengertian Posisi Dominan

Memiliki posisi yang dominan di dalam suatu pasar adalah impian dari setiap pelaku usaha. Hal ini adalah wajar, dengan menjadi dominan dalam suatu pasar tentu akan memberikan keuntungan yang lebih maksimal terhadap para pelaku usaha. Oleh karena itu menjadi lebih ungggul market leader pada suatu pasar bukanlah merupakan suatu hal yang dilarang, bahkan hal ini tentunya akan memacu para pelaku usaha untuk melakukan efisiensi dan inovasi-inovasi untuk Universitas Sumatera Utara menghasilkan produk yang berkualitas dan harga yang kompetitif di dalam persaingan yang ada dengan pelaku usaha lainnya dalam pasar tersebut. Namun, dalam mencapai posisi dominan di suatu pasar bukanlah perkara yang mudah bagi setiap pelaku usaha, misalkan si pelaku usaha harus meningkatkan kemampuan keuangannya, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu terlebih dahulu, barulah kemudian si pelaku usaha bisa mencapai kedudukan posisi dominan di dalam pasar. 94 Sebagai contoh dimana sebelum Perang Dunia II, Perusahaan Aluminium America Alcoa, merupakan satu-satunya perusahaan nasional Amerika Serikat yang memproduksi batangan aluminium dari biji aluminium. Alcoa dalam pasar Amerika menghadapi persaingan dari beberapa perusahaan batangan aluminium yang melakukan daur ulang aluminium. Alcoa memiliki posisi dominan yang memproduksi aluminum dengan teknologi yang telah dipatenkan sehingga dengan teknologi tersebut Alcoa dapat memproduksi aluminium dengan biaya yang relatif Oleh karena di dalam mencapai suatu posisi dominan dalam suatu pasar adalah hal yang tidak mudah, maka si pelaku usaha cenderung akan terdorong untuk melakukan segala cara untuk mencapai posisi dominan serta mempertahankannya agar tidak tergoyahkan oleh pelaku usaha lain, bahkan terkadang si posisi dominan melakukan tindakan-tindakan yang anti persaingan dalam mempertahankan posisi dominannya. 94 Ditha Wiradiputra, Op.cit hal 65-66 Universitas Sumatera Utara rendah. Alcoa memegang hak paten dan dengan demikian teknik produksi Alcoa dilindungi oleh hak paten. Namum setelah tahun 1909 hak paten tersebut telah kaladuwarsa dan Alcoa harus mempertahankan posisi tersebut. 95 Pemerintah mencoba menuntut Alcoa melakukan aksi monopoli pada pasar batangan aluminium, karena Alcoa dituduh melakukan pembelian bauxit melebihi dari jumlah yang dibutuhkan oleh perusahaannya sehingga menyebabkan perusahaan lain yang menjadi pesaing potensial tidak bisa mendapatkan bahan dasar yang dibutuhkan untuk memproduksi batangan aluminium. Pemerintah juga menyatakan bahwa Alcoa telah menandatangani kontrak dengan Perusahaan Listrik Publik PLN Amerika yang mana kontrak tersebut didesain sedemikian rupa sehingga perusahaan yang bergerak sebagai produsen batangan aluminium, yang menjadi saingan Alcoa, tidak bisa mendapatkan listrik dengan harga murah perlu diketahui bahwa untuk memproduksi batangan aluminium, dibutuhkan listrik yang sangat besar. Dalam pandangan pengadilan, pemerintah dipandang tidak berhasil membuktikan bahwa Alcoa telah berupaya untuk melakukan usaha- usaha untuk melanggengkan monopoli di bidang produksi aluminium batangan. Namun demikian, pengadilan di Amerika Serikat menemukan bahwa Alcoa telah melakukan monopoli aluminium batangan dengan demikian telah bertentangan dengan bagian 2 dari Sherman Act. Faktor yang mendukung tuduhan tersebut 95 Ibid. Universitas Sumatera Utara adalah perluasan kapasitas produksi yang dilakukan oleh Alcoa. Berikut merupakan cuplikan dari pertimbangan keputusan pengadilan: 96 96 Ibid, hal 66-67 “It was not inevitable that it should always anticipate increases in demand for ingot and be prepared to supply them. Nothing compelled it to keep doubling and redoubling its capacity before others entered the field. It insist that it never excluded competitors; but we can thing of no more effective exclusion that progressively to embrace each new opportunity as it opened, and to face every newcomer with new capacity already geared into a great organization, having the advantage of experience, trade connections and the elite of personel.” Hukum persaingan usaha di Indonesia sendiri melalui UU No.5 Tahun 1999 telah menyadari hal tersebut dan telah mempersiapkan pengaturan bagi setiap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran atau penyalahgunaan terhadap posisi dominan tersebut. Jerat-jerat hukum telah dipersiapkan bagi para pelaku usaha yang dengan melakukan cara yang anti persaingan dalam mempertahankan posisi dominannya. Dalam memahami lebih jauh tentang posisi dominan, Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 memberikan definisi tentang posisi dominan yaitu: keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasainya, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kamampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Universitas Sumatera Utara Bila ditinjau dari segi struktur pasar, secara konseptual posisi dominan ini seperti jembatan diantara struktur monopoli dan oligopoli pasar yang dikuasai beberapa perusahaan sejenis yang memiliki kemampuan yang sama Pada struktur monopoli, pelaku usaha menguasai 100 pangsa pasar sebab bertindak sebagai pelaku usaha tunggal monopolis. Pada struktur pasar dimana terdapat pelaku usaha yang memiliki posisi dominan ditandai penguasaan 50 sampai mendekati 100 pangsa pasar, sementara pangsa pasar pesaing terbesar lainnya kurang dari separuh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tersebut. Pada struktur oligopoli, beberapa pelaku usaha memiliki pangsa pasar yang berdekatan. Terakhir pada struktur persaingan sempurna murni, hampir semua pelaku usaha memiliki pangsa pasar yang tidak jauh berbeda. 97 1. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50 lima puluh persen atau lebih pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu; atau Lebih lanjut, dalam Pasal 25 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa suatu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dianggap memiliki posisi dominan apabila 2. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75 tujuh puluh lima persen atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. 97 Budiyana, Konsepsi Penyalahgunaan Posisi Dominan, http:budiyana.wordpress.com20080121konsepsi-penyalahgunaan-posisi-dominan , terakhir diakses tanggal 10 Februari 2011 Universitas Sumatera Utara Dari bunyi ketentuan Pasal 25 ayat 2 ini, dapat disimpulkan bahwa jika posisi dominan itu terkait dengan penguasaan pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu di pasar bersangkutan oleh satu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha sebesar 50 atau lebih, atau dua atau tiga pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha sebesar 75 atau lebih, hal ini akan mengakibatkan hanya ada satu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang bersangkutan. Penguasaan pasar yang demikian dinamakan posisi dominan. Selanjutnya bila ditinjau dari segi perilaku pasar, persamaan dan perbedaan antara pelaku usaha monopolis dan posisi dominan menurut Wihana Kirana Jaya dan Ditha Wiradiputra dapat diinventarisasi sebagai berikut: 98 a Pelaku usaha monopolis dan posisi dominan sama-sama mempunyai dua pengaruh terhadap harga, yaitu seringkali tidak selalu meningkatkan tingkat harga untuk memperoleh keuntungan lebih dan menggunakan diskriminasi harga. Perbedaannya, pelaku usaha monopolis memiliki ruang gerak yang cukup besar tanpa harus memperhatikan reaksi konsumen ketika menaikan tingkat harga. Sedangkan pelaku usaha posisi dominan perlu memperhatikan reaksi konsumen sebab mungkin dengan menaikan tingkat harga akan memicu konsumen pelaku usaha posisi dominan tersebut untuk beralih ke pesaingnya; 98 Ibid. Universitas Sumatera Utara b Pelaku usaha monopolis dan posisi dominan sama-sama dapat menciptakan rintangan masuk pasar entry to barrier bagi pelaku- pelaku usaha lain untuk masuk pasar bersangkutan. Perbedaannya, rintangan yang diciptakan pelaku usaha monopolis cukup besar dan kuat, sedangkan pelaku usaha posisi dominan dapat dikatakan masih memberikan sedikit ruang bagi pelaku usaha lain untuk berpartisipasi di pasar.

2. Jenis-jenis Posisi Dominan

Dalam hukum persaingan usaha di Indonesia, terdapat 4 empat macam bentuk kegiatan posisi dominan yang dilarang, yaitu antara lain: 1. Kegiatan Posisi Dominan yang bersifat umum Pasal 25 Undang- undang No. 5 Tahun 1999 2. Memiliki jabatan baik sebagai direksi maupun komisaris di beberapa perusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama Pasal 26 Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 3. Memiliki saham secara mayoritas di beberapa perusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama Pasal 27 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 4. Melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Universitas Sumatera Utara 1. Kegiatan Posisi Dominan yang bersifat umum Pasal 25 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Selain melarang pelaku usaha untuk mernbuat perjanjian atau kegiatan tertentu yang dapat mengakibarkan praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat , Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang pelaku usaha yang dianggap memiliki posisi dominan untuk melakukan kegiaran-kegiatan tertentu, Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha menggunakan posisi dominan yang dipunyainya, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menetapkan syarat-syarar perdagangan dengan tujuan mencepat, menghalangi, atau mencegah dan menghalangi konsumen memperoleh barang, jasa, atau barang dan jasa yang bersaing, termasuk juga dari segi harga maupun kualitas; atau membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing kompetitor untuk memasuki pasar yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 25 ayat 1 ini seirama dengan aturan yang dimainkan oleh Section 2 Sherman Act, yang menekankan pada proses monopolisasi tersebut dan tidak memberatkan hanya pada adanya monopoli. Undang-undang secara tegas mengakui adanya posisi dominan tertentu dengan penguasaan pasar yang cenderung bersifat monopoli, yang telah terjadi sebagai akibat seleksi alamiah maupun berdasarkan alasan-alasan lainnya. Walau demikian, posisi dominan yang telah dimiliki tersebut tidak boleh dipergunakan untuk menghambat pengembangan teknologi maupun untuk mendistorsi pasar dengan cara berupaya Universitas Sumatera Utara mencegah persaingan dengan mengeliminir munculnya pelaku usaha baru. Spirit yang diemban dalam Section 2 Sherman Act, yang bertujuan meningkatkan persaingan secara sehat dan jujur dalam dunia usaha, telah dilanggar oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tersebut. 99 a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau 2. Jabatan Rangkap Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut: b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Dalam kaitannya dengan Pasal 26 diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bagi pelaku usaha yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suau perushaan pada waktu yang bersamaan, kemudian menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama juga, kemungkinan besar pelaku usaha tersebut akan mengkoordinasikan kegiatan usaha perusahaan-perusahaan dimana dia menjadi pejabat direksi atau 99 Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Op.cit, hal 40 Universitas Sumatera Utara komisarisnya, yang mungkin jika perushaaan-perusahaan tersebut tidak memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama, perusahaan-perusahaan tersebut dapat saling bersaing satu sama lain, namun karena perushaan-perusahaan tersebut memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama, sangat kecil kemungkinannya diantara perusahaan-perusahaan tersebut akan saling bersaing. Oleh karena itu, memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama di beberapa perusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama, sudah tentu akan membuat perilaku dari perusahaan-perusahaan tersebut kemungkinan akan menjadi seragam di dalam pasar, sehingga membuat perusahaan-perusahaan yang memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama tersebut terlihat seperti satu perusahaan saja. Dengan terjadinya praktik rangkap jabatan dapat mempengaruhi persaingan usaha dalam berbagai cara. Misalnya dapat menimbulkan pengawasan administratif dimana keputusan sehubungan dengan investasi dan produksi dapat melahirkan pembentukan strategi bersama di antara perusahaan sehubungan dengan harga, alokasi pasar dan kegiatan bersama lainnya. Dan ini penting disadari bahwa jabatan rangkap apabila tidak diawasi secara efektif, dapat digunakan sebagai alat untuk menghindari peraturan perundang-undangan yang susunannya bagus dan diterapkan setepat-tepatnya di daerah praktik usaha yang restriktif. 100 100 Ditha Wiradiputra, Op.cit hal 72 Universitas Sumatera Utara Meskipun jabatan rangkap terlihat memberikan dampak yang kurang baik bagi persaingan usaha, tetapi bukan berarti seseorang dilarang sama sekali untuk menduduki jabatan rangkap di beberapa perusahaan yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama. Prinsip ketentuan Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut tidak melarang mutlak jabatan rangkap. Jabatan rangkap baru dilarang apabila akibat jabatan rangkap tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat rule of reason. Sedangkan mungkin yang dimaksud dengan jabatan rangkap yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat atau yang dilarang oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah jabatan rangkap, dimana dengan adanya perusahaan-perusahaan yang memilki pejabat direksi atau komisaris yang sama pada pasar bersangkutan yang sama kemudian menyebabkan beberapa perusahaan yang ada tersebut seperti satu perusahaan saja, yang selanjutnya membuat keberadaan mereka di pasar menjadi dominan, dan berikutnya perusahaan-perusahaan tersebut saling berkolusi melakukan tindakan- tindakan yang anti-persaingan. Namun hal selanjutnya yang perlu dicermati adalah bahwa untuk memberikan pengawasan terhadap jabatan rangkap ini tidak cukup hanya pengaturan mengenai jabatan rangkap terhadap direksi dan komisaris saja sebagaimana telah diatur oleh Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Direksi dan komisaris merupakan suatu istilah jabatan yang hanya terdapat dalam badan usaha yang berbentuk badan hukum Perseroa Terbatas, dimana direksi dan Universitas Sumatera Utara komisaris merupakan organ yang terdapat dalam suatu Perseroan Terbatas. Apabila ketentuan Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tetap dipertahankan demikian, dimana larangan rangkap jabatan tersebut hanya diberlakukan bagi jabatan direksi dan komisaris, maka pada akhirnya badan usaha lain selain Perseroan Terbatas seperti firma, CV, Koperasi dan lain-lain tidak akan terkena ketentuan mengenai jabatan rangkap ini sekalipun badan usaha tersebut memenuhi kriteria huruf a, b, dan c dalam Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang justru sebenarnya dapat mempengaruhi kondisi persaingan ke arah yang tidak sehat. Untuk itu, agar ketentuan mengenai jabatan rangkap ini tidak hanya mengarah kepada badan usaha yang berbentuk Perseoran Terbatas saja, maka penggunaan istilah Direksi dan Komisaris ini diganti dengan Pengurus dan Pengawas dengan harapan agar undang-undang ini juga dapat diberlakukan bagi bentuk badan usaha lain selain Perseoran Terbatas. 101 Selanjutnya, timbul pertanyaan, apakah jabatan rangkap tersebut dapat diawasi di depan pencegahan atau kemudian represif? Penilaian terhadap jabatan rangkap bisaanya dilakukan pada proses merger atau akuisisi saham perusahaan. Jika perusahaan melakukan pengambilalihan saham perusahaan yang lain, dan akibat pengambilalihan saham tersebut ditempatkan Komisaris atau Direksi, maka penempatan tersebut dapat dinilai, apakah nanti dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di pasar bersangkutan atau tidak, 101 Ibid, hal. 73 Universitas Sumatera Utara maka dinilai kembali melalui besarnya saham yang dimiliki dan pangsa pasar yang dikuasai oleh pelaku usaha yang mengambilalih dan pangsa pasar yang diambilalih secara horizontal. Artinya, pelaku usaha yang mengambilalih dan yang diambilalih berada pada pasar bersangkutan yang sama. 102 Selain itu, jabatan rangkap juga dapat terjadi di dua perusahan yang tidak bergerak di bidang usaha yang sama, melainkan adanya keterkaitan usaha dalam proses produksi barang tersebut dari pasar hulu sampai ke pasar hilir. Ini disebut perusahaan-perusahaan memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha. 103 Selain itu, jabatan rangkap tersebut juga ditentukan oleh pangsa pasar perusahaan-perusahaan dimana seseorang merangkap jabatan sebagai Direksi atau sebaga Komisaris. 104 Jadi, jabatan rangkap Direksi atau Komisaris oleh seseorang dapat menimbulkan hambatan persaingan usaha bagi pelaku usaha pesaingnya, karena pelaku usaha-pelaku usaha yand dipimpin oleh orang tersebut akan menimbulkan perilaku yang sama ke pasar yang mengakibatkan pelaku usaha tersebut dapat bertindak sebagai satu pelaku usaha. Perilaku seperti ini dapat mengakibatkan Ketentuan pangsa pasar pelaku usaha dua atau tiga pelaku usaha ditetapkan mempunyai posisi dominan jika dua atau tiga pelaku usaha secara bersama-sama mengusai pangsa pasar lebih dari 75. Penerapan Pasal 26 juga tergantung penguasaan pangsa pasar atau posisi dominan pelaku usaha tersebut dimana seseorang menduduki jabatan secara bersamaan sebagai Direksi atau Komisaris. 102 Pasal 26 huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 103 Pasal 26 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 104 Pasal 26 huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Universitas Sumatera Utara persaingan usaha tidak sehat di pasar yang bersangkutan bahkan merugikan pesaing-pesaingnya. 105 Menurut Suyud Margono 3. Kepemilikan Saham Mayoritas Ketentuan Pasal 27 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan: a satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 lima puluh persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; b dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 tujuh puluh lima persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. 106 1. terdapat beberapa jenis perusahaan; agar kepemilikan saham yang dilarang tersebut memenuhi kualifikasi dalam Pasal 27, maka unsur-unsur yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut: 105 Andi Fahmi Lubis, Andi Fahmi Lubis, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, dapat diakses di www.kppu.go.iddocsbuku_ajar.pdf hal. 185, diakses terakhir tanggal 4 Januari 2011 106 Suyud Margono, Op.cit hal. 130 Universitas Sumatera Utara 2. terdapat minimal seorang pelaku usaha telah memiliki saham di beberapa perusahaan; 3. beberapa perusahaan sejenis tersebut, telah melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama di pasar yang sama; 4. kepemilikan saham tersebut mengakibatkan: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 lima puluh persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 tujuh puluh lima persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 tersebut pelaku usaha yang menguasai saham mayoritas di beberapa pelaku usaha dan mengakibatkan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50 untuk monopolis dan lebih dari 75 untuk oligopolies dapat mengakibatkan posisi dominan. Kepemilikan saham mayoritas yang dimiliki oleh satu pelaku usaha di beberapa perusahaan harus dibuktikan terlebih dahulu, 107 107 Hikmahanto Juwana, Prosiding Seminar Eksaminasi Putusan No. 07KPPu-L2007 Kasus Posisi Dominan dan Kepemilikan Silang Jakarta: CSIS, 2008 p. 211 dalam Andi Fahmi Lubis, dkk, Op.cit, hal. 186 kemudian dengan pembuktian penguasaan pasar di pasar yang bersangkutan. Setelah pelaku usaha menguasai saham mayoritas, baru dibuktikan apakah menguasai pangsa pasar lebih dari 50 atau lebih dari 75, yaitu apa yang disebut dengan posisi dominan. Jika pelaku usaha sudah terbukti mempunyai Universitas Sumatera Utara posisi dominan, maka langkah berikutnya adalah membuktikan apakah posisi dominan tersebut disalahgunakan yang mengakibatkan pasar menjadi terganggu. Selanjutnya, hal yang perlu dicermati adalah bahwa pengaturan di Pasal 27 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang berkaitan dengan masalah kepemilika saham mayoritas di beberapa perusahaan sangat terkait dengan masalah penggabungan, peleburan dan pengambilalihan karena perbuatan hukum penggabungan, peleburan dan pengambilalihan bisaanya akan berpengaruh terhadap perubahan komposisi kepemilikan saham perusahaan. Sehingga ada baiknya apabila Pasal 27 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengenai pemilikan saham ini digabungkan atau dimasukkan saja ke dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengenai penggabungan, peleburan dan pengambilalihan. Persyaratan lebih lanjut yang berhubungan dengan kepemilikan saham mayoritas, dapat menimbulkan kekhawatiran dalam kasus-kasus tertentu apabila teks ketentuan ini hanya digunakan sebagai standar orientasi. Hal tersebut terjadi apabila bahaya yang diakibatkan oleh kepemilikan saham tersebut secara de facto tidak dapat terjadi, misalnya kalau pemegang saham mayoritas tidak berhak untuk melaksanakan hak memilih yang sesuai. Oleh karena itu rumusan undang-undang tersebut tidak memuat acuan untuk penilaian terperinci, khusus karena Pasal 27 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 kelihatannya tidak mempunyai elemen- Universitas Sumatera Utara elemen pembatas atau modifikasi apabila hambatan hukum untuk memulai penyelidikan sudah tercapai. 108 Hal lain yang menyebabkan pelaku usaha memiliki posisi dominan di dalam pasar adalah dengan cara pelaku usaha tersebut melakukan penggabungan merger, peleburan konsolidasi, atau pengambilalihan akusisi. Penggabungan merger menurut Black’s Law Dictionary adalah “The absorption of one company by another, latter retaining its own name and identity and acquiring assets, liabilities, franchises, and powers of former, and absorbed company ceasing to exist as separate business entity.” 4. Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Badan Usaha 109 Peleburan konsolidasi menurut Black’s Law Dictionary adalah “…when two or more corporations are extinguished, and by the same process a new one is created, taking over the assets and assuming the liabilities of those passing out of existence. A unifying of two or more corporations into a single new corporation having the combined capital, franchises, and powers of all its constituents.” Sedangkan merger menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas adalah “Perbuatan hukum yang dilakukan satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar.” 110 108 Ditha Wiradiputra, Op.cit. hal. 75 109 Ibid, hal. 76 110 Ibid. Universitas Sumatera Utara Sedangkan menurut PP No. 27 Tahun 1998, Peleburan diartikan sebagai: “perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-masing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar.” Sedangkan pengambilalihan akusisi menurut Black’s Law Dictionary adalah: “The act of becoming the owner of certain property.” 111 111 Ibid, hal. 77 Sementara menurut PP No. 27 Tahun 1988 pengambilaihan adalah: “perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau perseorangan untuk mengambilalih seluruh atau sebagian besar saham perseorangan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseoran tersebut.” Adapun yang dimaksudkan akusisi dalam hubungannya dengan perusahaan adalah suatu pengambilalihan kepentingan pengontrolan controlling interst dalam perusahaan lain. Secara lebih spesifik, akusisi perusahaan merupakan tindakan untuk mengambilalih suatu perusahaan oleh perusahaan lain yang bisaanya, tetapi tidak selamanya, dicapai dengan membeli saham bisaa dari perusahaan lain. Karena dengan kata akusisi mengandung kata memiliki atau mengambil alih take over, maka untuk dapat dikatakan akusisi perusahaan dalam arti pengambilalihan saham, pengambilalihan mana mestilah paling tidak pengambilalihannya dapat menjadi mayoritas bisaa Simple Majority, yaitu minimal 51 dari seluruh saham perusahaan yang diambilalih. Universitas Sumatera Utara Berbeda dengan merger, maka pada kasus akusisi, tidak ada perusahaan yang melebur ke perusahaan lainnya. Jadi setelah terjadi akusisi, maka kedua perusahaan masih tetap eksis, hanya kepemilikannya yang telah berubah. Sedangkan dalam hal merger seperti juga dengan akuisisi dan konsolidasi sangat riskan melahirkan perusahaan yang memiliki kedudukan posisi dominan yang dilarang peraturan perundangan yang berlaku. Oleh karena itu, undang-undang persaingan usaha sangat cukup mewaspadai setiap merger yang terjadi, dalam artian merger sesungguhnya tidak dilarang, tetapi jangan sampai menimbulkan monopoli. Di Amerika Serikat misalnya, Pasal 6 dari Clayton Act kurang lebih menyebutkan bahwa perusahaan yang terlibat dalam bisnis tidak boleh memperoleh seluruh atau sebagian dari saham atau assets dari perusahaan lain yang terlibat dalam usaha yang sama sehingga dapat mengakibatkan secara substansial dapat memperkecil kompetisi atau cenderung menciptakan monopoli. 112 Dalam mengkaji efek anti persaingan dari suatu merger, konsolidasi dan akusisi oleh hukum persaingan usaha bisaanya dilihat dari: 113 1. harga yang berkolusi 2. skala ekonomi yang tereksplotasi 3. kekuasaan untuk monopoli monopoly power 4. independensi yang oligopolistik. 112 Ditha Wiradiputra, Op.cit, hal. 76-77 113 Ibid, hal. 78 Universitas Sumatera Utara Di samping itu, beberapa faktor tambahan yang seharusnya ikut dipertimbangkan untuk menentukan seberapa jauh suatu merger, konsolidasi dan akusisi dapat dikategorikan sebagai yang dilarang hukum persaingan usaha. Beberapa faktor-faktor tambahan tersebut adalah sebagai berikut: 114 1. Arah kecenderungan perubahan kondisi pasar 2. kondisi financial dari pelaku pasar 3. kemudahan untuk dapat masuk ke pasar. Ini kemudian berkembang dalam teori “jalan masuk” entrenchment theory 4. ketersediaan produk substitusi 5. sifat dari produk 6. syarat-syarat penjualan produk 7. market performance 8. dampak efisiensinya. Ketentuan-ketentuan mengenai merger dalam hukum persaingan bisaanya dimaksudkan untuk mencegah penguasaan kekuatan pasar secara berlebihan. Pada umumya lebih sederhana dan efektif mencegah penguasaan kekuatan pasar daripada mengawasi penyalahgunaanya setelah kekuatan pasar tersebut diambil. Pada suatu titik tertentu, perusahaan dapat mencapai kekuatan pasar sampai pada titik dimana kekuatan tersebut dapat dicapai dengan kegiatan sepihak unilateral; jika hal itu dilakukan oleh pesaing yang lebih kecil; ini dapat dilakukan dengan 114 Ibid Universitas Sumatera Utara kegiatan dua pihak bilateral melalui cara anti persaingan seperti collusive dealing. 115

C. Posisi Dominan yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999