Islamisme di balik layar dan kontestasi dakwah di udara Yogyakarta

Islamisme di Balik Layar
dan Kontestasi Dakwah di Udara Yogyakarta
Rifqi Muhammad Fatkhi
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
rifqimuhammad@uinjkt.ac.id

Pendahuluan
José Casanova berpendapat bahwa nilai-nilai agama dapat mewarnai wilayah
publik.1 Oleh karenanya, seiring dengan pesatnya laju perkembangan teknologi
informasi dan telekomunikasi. Dakwah sebagai penyemaian nilai-nilai agama di
wilayah publik tidak lagi melulu dilakukan di masjid, di rumah-rumah ataupun di
langgar dalam sebuah acara formal yang hanya dapat menyentuh segolongan orang
untuk menghadiri majelis tersebut, tetapi dakwah diharapkan lebih bisa mengemas
dirinya dengan hadir dan menyeru siapa pun, baik kepada mereka yang membutuhkan
seruan dakwah itu sendiri maupun yang tidak. Pesan dan nilai dalam dakwah juga akan
lebih bisa diterima jika disampaikan secara terus-menerus; setiap hari, setiap jam, setiap
menit dan detik.
Saat agama berada di wilayah publik khususnya dalam bentuk dakwah, maka
pemangku dan pemegang otoritas keagamaan menjadi tidak terbatas, diampu oleh siapa
saja berdasarkan preferensi atau afiliasi kelompok keagamaan tertentu. Oleh karenanya,

penyebaran agama atau ajaran agama tidak lagi memiliki otoritas tunggal sehingga
kelompok mana pun merasa atau tidak merasa berhak menyampaikan pesan-pesan
keagamaan (dakwah) berdasarkan kuasa dan kapasitas masing-masing. Kondisi ini
secara tidak langsung menyebabkan terjadinya kontestasi di antara beberapa kelompok
keagamaan dalam menyiarkan dakwahnya.
Kelompok keagamaan yang secara aktif menyiarkan dakwah di Indonesia dapat
dikategorikan menjadi dua kelompok besar berdasarkan pada pemahaman terhadap

1

Sebagaimana dikutip oleh Matthias Koenig, “Religion and Public Order in Modern NationStates: Institutional Varieties and Contemporary Transformations,” dalam Winfried Brugger and Michael
Karayanni (eds.), Religion in the Public Sphere: A Comparative Analysis of German, Israeli, American
and International Law (New York: Spreinger, 2007), 4-5.

2 of 25

ajaran agama Islam, yaitu skriptualis dan substansialis.2 Kedua kelompok inilah yang
terlibat dalam gerakan dakwah di wilayah publik.
Shmuel Noah Eisenstadt menyatakan bahwa ruang publik adalah lokus
terjadinya kontestasi kuasa dalam setiap jenis masyarakat.3 Oleh karenanya, dapat

diduga terjadi kontestasi antar radio dakwah di Yogyakarta yang dalam hal ini
penelitian ini memusatkan perhatiannya pada Radio Majas dan Radio ICBB.
Setidaknya ada dua pertanyaan pokok yang akan dijawab dalam tulisan ini.
Pertanyaan pertama yaitu apakah ada nilai-nilai Islamisme dalam materi dakwah yang
disampaikan oleh Radio Majas dan Radio ICBB? Jika ada, bagaimana nilai-nilai
Islamisme disampaikan oleh kedua radio tersebut? Sedangkan pertanyaan kedua adalah,
apakah terjadi kontestasi dakwah melalui udara (siaran radio) di Yogyakarta? Jika ada,
bagaimana bentuk kontestasinya, dan faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya
kontestasi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai Islamisme
yang terkandung di dalam siaran dakwah Radio Majas dan Radio ICBB, dan
mengungkap kemungkinan terjadinya kontestasi dakwah di Yogyakarta.

Kondisi Geografis, Sosial dan Keagamaan Yogyakarta
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan tengah Pulau
Jawa yang dibatasi oleh Samudera Hindia di bagian selatan dan Propinsi Jawa Tengah
di bagian lainnya. Secara astronomis, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak
antara 70 33' LS - 8 12' LS dan 110 00' BT - 110 50' BT dengan luas 3.185,80 km,
terdiri dari 4 kabupaten dan 1 Kota, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman,
Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Kulonprogo. Setiap
kabupaten/kota mempunyai kondisi fisik yang berbeda sehingga potensi alam yang

tersedia juga tidak sama.
Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya dapat dilihat dari pelestarian sistem
kerajaan di dalam pemerintahannya (dengan sebutan Kesultanan), namun sebagaimana
kerajaan lain di Jawa -yang meyakini konsep harmoni dalam politik, ekonomi, sosial,

2

William Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah: Sebuah Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik
Islam di Indonesia Masa Orde Baru,” dalam Mark Woodward, ed., Jalan Baru Islam: Memetakan
Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), 285.
3
Shmuel Noah Eisenstadt, “Concluding Remarks: Public Sphere, Civil Society, and Political
Dynamics in Islamic Societies,” dalam Miriam Hoexter Eds., The Public Sphere in Muslim Societies
(New York: State University of New York Press, 2002), 146.

3 of 25

dan agama- Yogyakarta lebih secara spesifik menerapkan harmonisasi tersebut
misalnya dalam gelar yang digunakan yaitu “Senopati ing Alaga Abdurrahman Sayidin
Panatagama Khalifatullah.”

Gelar tersebut menunjukkan posisi Sultan tidak hanya sebagai pemimpin
pemerintahan Jawa (Raja Yogyakarta) yang memutuskan perang dan damai karena
bergelar Senopati (Panglima perang tertinggi), tetapi sekaligus sebagai pemimpin
agama Islam yang memiliki legitimasi menjadi wakil Allah di muka bumi dan pengatur
urusan agama dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Posisi inilah yang
kemudian dinilai oleh banyak kalangan sangat mempengaruhi model kehidupan sosial
keagamaan masyarakat Yogyakarta yang menggabungkan antara nilai-nilai tradisi dan
budaya Jawa dengan ajaran-ajaran agama (Islam).
Beberapa sarjana Barat memandang perpaduan yang terjadi antara nilai-nilai
Jawa dan Islam ini sebagai Jawanisasi Islam (Javanization of the Islamic Values),
sementara Simuh berpendapat sebaliknya dengan menyatakan bahwa yang terjadi justru
Islamisasi Jawa (Islamization of the Kingdom’s Culture and Heritage).4 Beberapa
tradisi budaya di Yogyakarta menjadi penguat tesis Simuh, di antaranya adalah tradisi
Garebeg Pasa (sebuah acara yang diselenggarakan setelah puasa Ramadan), Garebeg
Mulud (dilaksanakan pada bulan Mulud/bulan kelahiran Nabi Muhammad), dan
Sekaten (diambil dari kata syahadatayn yang bermakna dua kalimat syahadat).
Selain itu, Yogyakarta adalah tempat lahir dan berkembangnya salah satu
organisasi terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah (sebuah organisasi keagamaan
modern yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) dan juga terdapat Pesantren Krapyak
(pesantren paling tua di Yogyakarta yang dapat diasosiasikan ke dalam organisasi

keagamaan Nahdlatul Ulama) yang didirikan oleh KH. Moenawwir pada saat yang
hampir bersamaan dengan KH. Ahmad Dahlan. Kedua kelompok keagamaan tersebut
sampai hari ini masih berlangsung sebagai bagian dari masyarakat Islam Yogyakarta
yang juga menerima perpaduan Islam dan Jawa.
Kondisi sosial keagamaan masyarakat Yogyakarta yang menggabungkan dua
nilai dan tradisi Jawa dan Islam sebagaimana tersebut di atas, menjadi tantangan
tersendiri bagi kelompok keagamaan tertentu yang memiliki agenda dakwah
mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan Rasulullah, bahkan menjauhkan
4

Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang,
1995), 120.

4 of 25

kaum muslimin dari penyimpangan-penyimpangan dalam akidah, ibadah dan
muamalah. Kelompok keagamaan yang kemudian menamai dirinya dengan kelompok
Salafi yang pada pemerian selanjutnya akan dibahas salah satu metode dakwah
kelompok tersebut di Daerah Istimewa Yogyakarta.


Radio Majas: Radio Dakwah Pertama di Yogyakarta
Radio Majas adalah radio dakwah pertama kali yang berada di wilayah
Yogyakarta. Radio ini pada awalnya bernama Radio Ma’had Jamilurrohman yang
kemudian menjadi Radio Majas (akronim dari Ma’had Jamilurrohman As-Salafy).
Radio ini dikelola oleh Pondok Pesantren Syaikh Jamilurrohman As-Salafy yang
terletak di Banguntapan Bantul Yogyakarta, tepatnya di tengah hunian yang mereka
sebut dengan perkampungan “Ikhwah Salafīyīn”. Ma‘had Jamilurrohman didirikan pada
tahun 1995 atas bantuan seorang donatur dari Arab Saudi yang bernama Syaikh
Jamilurrohman.5
Cikal bakal berdirinya Ma‘had Jamilurrohman pada awalnya adalah kegiatan
majelis taklim Dauroh tahunan selama 1 bulan pada masa liburan semester pada akhir
tahun 1986 di sekitar kampus UGM. Peserta kegiatan ini adalah perwakilan mahasiswa
dari seluruh Indonesia yang diharapkan menjadi penyambung dakwah Salaf di
daerahnya masing-masing. Kemudian pada tahun 1995, mulailah dirintis Ma‘had
Tahfidzul Quran (pesantren menghafalkan Al-Qur’an) mulai tingkat Ibtidaiyah (dasar)
dengan menyewa sebuah rumah yang dihuni oleh sekitar 60 anak pada saat itu.
Pesantren inilah yang kemudian dikembangkan menjadi Ma‘had Jamilurrohman AsSalafy di Banguntapan, Bantul.6
Radio Majas didirikan pada awalnya sebatas media dakwah komunitas sekitar
pesantren yang didirikan oleh Yayasan Majelis At-Turots Al-Islamy khusus untuk
“tadrīb al-du’āt” (pelatihan da’i untuk putra) dan Tarbiyat al-Nisā’ (pendidikan untuk

putri), dan kemudian menjadi cikal bakal pendirian Islamic Center Bin Baz (ICBB) atau
biasa juga disebut Markaz Syeikh Bin Baz.7 Keberadaan Radio Majas merupakan
respon atas pesatnya laju perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi.

5

Wawancara dengan Abu Hafid (pemateri Radio Majas), Yogyakarta 10 Sepetember 2014.
Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 10 Sepetember 2014.
7
Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 10 Sepetember 2014; dan Zaenuddin (pengelola
dan pemateri Radio Majas), Yogyakarta 27 Februari 2015.
6

5 of 25

Dakwah seharusnya tidak melulu dilakukan di masjid, di rumah-rumah ataupun di
langgar dalam sebuah acara formal yang hanya dapat menyentuh segolongan orang
untuk menghadiri majelis tersebut, tetapi dakwah harus lebih bisa mengemas dirinya
dengan hadir dan menyeru siapa pun, baik kepada mereka yang membutuhkan seruan
dakwah itu sendiri maupun yang tidak. Pesan dan nilai dalam dakwah juga akan lebih

bisa diterima jika disampaikan secara terus-menerus; setiap hari, setiap jam, setiap
menit dan detik. Radio Majas didirikan sebagai wadah penyebaran ajaran Islam yang
rahmatan lil ‘alamin, yang penuh keadilan, dan sebagai penyampaian ilmu atau syiar
dakwah dan tarbiyah.8
Secara lebih terinci, Radio Majas memiliki beberapa tujuan strategis sebagai
berikut,
1. Sebagai sarana dasar untuk belajar dan mengajar dari jarak jauh.
2. Mengenalkan dasar-dasar prinsip Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā‘ah dalam berakidah,
beribadah dan bermu’amalah kepada sesama makhluk Allah.
3. Menanamkan prinsip ittiba‘ (mengikuti sunnah Rasulullah)
4. Menanamkan prinsip akhlaq yang mulia nan Islami
5. Menjauhkan kaum muslimin dari penyimpangan-penyimpangan dalam akidah,
ibadah dan mu’amalah
6. Menanamkan prinsip persatuan dan kesatuan kaum muslimin di atas manhaj dan
akidah yang lurus (berdasarkan pemahaman sahabat, tābi‘īn, tābi’ al-tābi‘īn dan para
ulama sunnah yang sejalan dengan mereka).
7. Membina masyarakat agar menjadi masyarkat yang kuat dan kokoh jasmani dan
rohaninya dengan menyajikan kajian-kajian kesehatan masyarakat baik konvensional
maupun tradisional.
8. Ikut andil dalam membina generasi muda harapan keluarga, masyarakat,bangsa dan

Negara.9
Radio dakwah dengan slogan “Media Ilmu Tadabbur Kalam Ilahi” ini mulai
mengudara pada tahun 2004, dan selain mengudara melalui sarana radio komunitas,
Radio Majas juga memperluas jangkauannya melalui daring www.radiomajas.com dan
menyiarkan tabligh akbar secara langsung, baik ustadz yang berasal dari dalam maupun
luar negeri yang tentunya sesuai dengan manhaj dakwah radio. Radio ini juga tidak
8
9

Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015.
http://www.radiomajas.com/profil/ diakses pada tanggal 12 Juni 2015

6 of 25

menyediakan iklan kecuali hanya informasi-informasi yang berkenaan dengan kegiatan
radio, pesantren, dan kajian-kajian keagamaaan yang diselenggarakan oleh kelompok
sepaham.
Radio Islamic Center Bin Baz (ICBB) Anak Kandung Radio Majas
Keberhasilan Radio Majas kemudian mendorong Ustadz Abu Nida sebagai
pimpinan Pondok Pesantren Islamic Center Bin Baz untuk yang kedua kalinya (setelah

sebelumnya mendirikan Radio Majas) mendirikan sebuah Radio Dakwah pada bulan
Ramadan tahun 2010. Bersama para pengurus Pondok Pesantren, Abu Nida
mengusahakan berdirinya sebuah radio komersial dengan mendirikan PT Radio.
Namun, karena kesulitan prosedur pendirian radio dan kuota frekuensi yang sudah tidak
tesedia, Pengurus memilih jalur frekuensi radio komunitas dengan konsekuensi
jangkauan dakwah menjadi sangat terbatasi, hanya radius 5 -7 km dari Pondok
Pesantren, dan program siaran radio oleh karenanya hanya dapat dinikmati oleh warga
desa di sekitar pondok saja.10
Keterbatasan jangkauan akibat menggunakan sarana radio komunitas ini,
diperluas dengan melakukan siaran melalui daring internet dengan nama Radio Dakwah
Bin Baz 107.8 FM. Hingga kini, upaya untuk memperluas jangkauan dakwah radio
tetap terus diupayakan, di antaranya adalah dengan rencana pembelian salah satu
stasiun radio komersial yang ada -tentunya yang memiliki jangkauan luas dan telah
terdaftar di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta- kemudian
merubahnya menjadi radio dakwah. Namun, cara ini membutuhkan biaya yang tidak
sedikit, sekitar 2-3 Milyar Rupiah. Sayangnya, menurut data yang diperoleh dari KPID,
hingga saat ini Radio ICBB belum terdaftar sebagai radio komunitas yang legal.11
Kebutuhan finansial untuk membeli frekuensi radio tersebut sampai saat ini
masih dalam taraf wacana, belum ada perbincangan mendalam mengenai hal ini.
Sumber dana adalah faktor yang menjadi kendala, karena pendanaan operasional radio

selama ini diperoleh dari Yayasan dan infaq atau sumbangan lain yang halal dan tidak
mengikat. Salah satu penyokong dana operasional radio ini adalah Ustadz Abu Nida
yang hingga kini -selain membidani lahirnya Radio Bin Baz-, juga menjadi penyandang

10

Wawancara dengan Abu Nafis alias Rinto Adi Cahyono (Penanggung jawab berdirinya Radio
ICBB) 11 September 2014.
11
Tri Suparyanto Ed., Directory Radio Televisi Daerah Istimewa Yogyakarta (Yogyakarta:
Komisi Penyiaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013).

7 of 25

dana operasional penyiaran radio dalam kapasitasnya sebagai pemimpin Pondok
Pesantren ICBB dan salah satu Pembina Yayasan Majelis At-Turots Al-Islamy (yayasan
yang menaungi Pondok Pesantren ICBB).12
Radio Islamic Center Bin Baz (ICBB) secara konsisten menyiarkan dakwah
Islam berdasarkan Alquran dan sunnah Rasulullah berlandaskan manhaj salafī atau
pemahaman Salaf al-Ṣāliḥ (para sahabat, tābi’īn, dan tābi‘ al-tābi’īn). Keberadaan
Radio ICBB sejatinya merupakan kelanjutan strategi dakwah melalui Radio Majas yang
dianggap berhasil menyebarkan pesan-pesan keagamaan melalui udara dan dunia maya.
Sebagai radio dakwah, Radio ICBB hanya menyiarkan ceramah-ceramah
agama, kajian kitab, dan dialog interaktif serta tilawah Alquran (jadwal siaran radio
terlampir). Radio ICBB terkadang juga menyiarkan tabligh akbar secara langsung.
Radio ini tidak menyediakan iklan kecuali informasi yang berkenaan dengan kegiatan
radio, pesantren, dan kajian-kajian yang diselenggarakan oleh komunitas sejenis.

Abu Nida (Pendiri Radio Majas dan ICBB): NU, Muhammadiyah, Salafi.
Pendiri Radio Majas dan ICBB adalah Chamsaha Sofwan yang lebih dikenal
dengan nama Abu Nida, putra pasangan Sofwan dan Karep. Lahir di Banyutengah,
Panceng, Gresik, Jawa Timur, pada 7 Juli 1954. Keluarga Chamsaha adalah sebuah
keluarga Muslim pada umumnya, tanpa latar belakang keanggotaan organisasi
keislaman tertentu. Pendidikan dasarnya diselesaikan di Madrasah Ibtidaiyah NU di
kampungnya. Selanjutnya Ia melanjutkan pendidikannya di sekolah Pendidikan Guru
Agama (PGA) Pertama Muhammadiyah di Karangasem. Setelah empat tahun belajar, Ia
lanjutkan pendidikannya di PGA Atas Muhammadiyah selama dua tahun.
Usai menyelesaikan pendidikannya, Abu Nida mengikuti kursus dakwah di
DDII (Dewan Dakwah Islamiah Indonesia) -sebagai bagian dari program yang
dirancang

untuk

mengirim

para

dai

ke

daerah-daerah

transmigrasi-

yang

diselenggarakan di Pesantren Darul Falah Bogor. Abu Nida kemudian dikirim ke
pedalaman Kalimantan Barat (Bulung Rindu, Dedai, Kabupaten Sintang). Sepulang dari
Kalimantan, Abu Nida mendapat rekomendasi dari Muhammad Natsir untuk belajar di

12

Wawancara dengan Abu Nafis, Yogyakarta 11 September 2014.

8 of 25

Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Saud Riyadh Arab Saudi.13
Sepulang dari Arab Saudi, Chamsaha tidak segera kembali ke Indonesia. Ia
singgah di Afganistan untuk berjumpa dengan kelompok Salafi yang ada dan bergabung
dengan faksi mujahidin pimpinan Syaikh Jamilurrahman (tokoh salafi yang menjadi
donatur awal atau muḥsinīn berdirinya pondok pesantren Jamilurrahman di Bantul
Yogyakarta). Bergabungnya Chamsaha ke dalam kelompok Jihad di Afghanistan
merupakan pola umum yang juga ditempuh oleh sejumlah alumnus dari berbagai
perguruan tinggi di Arab Saudi atas beasiswa Kerajaan Arab Saudi. Sebagian dari
mereka, di antaranya mahasiswa yang berasal dari Indonesia memutuskan untuk
mengambil bagian dalam perang di Afghanistan.14
Setelah berpartisipasi aktif di Afghanistan, baru pada tahun 1985, Chamsaha
pulang ke tanah air. Menurut Noorhaidi, Chamsaha termasuk salah satu aktor
kemunculan generasi Wahabi Baru (New Wahhabi) di Indonesia yang memiliki
komitmen untuk menyebarkan paham Wahabi dengan nama dakwah Salafī. Selanjutnya
sebagai kader dan dai DDII, ia ditugaskan untuk mengajar di Pondok Pesantren AlMukmin, Ngruki, Sukorharjo yang baru saja ditinggal pergi dua orang tokoh
terkemukanya, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir karena menghindar dari
kejaran aparat hukum. Pesantren Al-Mukmin Ngruki merupakan pesantren yang
berbeda dengan kebanyakan pesantren tradisional yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama.
Pesantren ini lebih modern karakternya, namun secara ideologi lebih dekat ke Wahabi.15
Setahun mengajar di Al-Mukmin, Chamsaha menikah dengan salah seorang
santri putri Al-Mukmin yang berasal dari Yogyakarta berdarah Minang. Pada tahun itu
pula, Chamsaha pindah ke Yogyakarta membuka toko buku dan memasok buah-buahan
untuk supermarket setempat. Seiring dengan kelahiran anak pertamanya, Nida’
Uzzakkiyah, Chamsaha mulai memakai nama Abu Nida.16 Aktivitas niaga tersebut
tidak menghalangi Abu Nida untuk berdakwah. Masih pada tahun yang sama, sekitar
1987, oleh DDII Abu Nida ditugaskan untuk mengajar di Pondok Pesantren Ibnul
Qayyim Sendangtirto Berbah Sleman. Sesaat setelah itu, dengan dukungan Saifullah

13

Hasil wawancara Noorhaidi dengan Abu Nida, Yogyakarta, 15 December 2002. Lihat
Noorhaidi, “Laskar Jihad: Islam, Militancy and The Quest of Identity in Post-New Order Indonesia”
(Ph.D. Diss., International Institute for Asian Studies (IIAS) Leiden, 2005), 45-46.
14
Gilles Kepel, Jihad: the Trail of Political Islam (London: I.B. Tauris, 2002), 138-41.
15
Noorhaidi, “Laskar Jihad”, 44-5.
16
Noorhaidi, “Laskar Jihad”, 46.

9 of 25

Mahyuddin, Ketua Kantor Cabang DDII Yogyakarta, Abu Nida mengajar di forumforum kajian Islam yang diadakan oleh “Jamaah Shalahuddin” Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta, kemudian berlanjut melangkah ke dalam Forum Pengkajian
Agama Islam yang diadakan secara rutin di Gelanggang UGM. Aktivitas dakwah Abu
Nida makin semarak saat ia berhasil menginisiasi kajian-kajian keagamaan dalam
bentuk halaqah-halaqah dan dawrah-dawrah di sejumlah masjid kampus, seperti
Masjid Mardliyyah UGM yang terletak di sebelah Barat Fakultas Kedokteran UGM,
Masjid Mujahidin dekat IKIP Yogyakarta, Masjid Siswa Graha di Pogung, dan Masjid
STM di Kentungan. Selanjutnya, bersama Ahmas Faiz Asifuddin dan Aunur Rafiq
Ghufran, Abu Nida menggelar dawrah satu bulan di Pondok Pesantren Ibnul Qayyim
Sleman yang dipimpin oleh Suprapto A. Jarimi, salah seorang dai Muhammadiyah.
Kajian ini kemudian dikenal dengan sebutan “dawrah Ibnul Qayyim”.17
Kegiatan dakwah Abu Nida menambah tingkat popularitasnya di kampus dan
lingkungan sekitar kampus hingga di akhir 1990 ia mendapat julukan “Dai Salafi” di
Yogyakarta. Pada saat yang sama, Abu Nida telah bekerjasama dengan baik dengan
Gerakan Tarbiyah dan dakwahnya telah menyentuh kalangan mahasiswa. Kerja sama
ini kemudian menjadi salah satu pemicu perbedaan pendapat di internal jama’ah Abu
Nida. Sebagian menilai bahwa terlibat langsung dalam perjuangan politik Islam,
dengan bergabung bersama Gerakan Tarbiyah adalah sesuatu yang diperbolehkan
dalam Islam. Sebagian lain berpendapat praktek berpolitik tidak mencerminkan
konsistensi terhadap cara beragama para salaf, karena demokrasi dan politik berpartaipartai termasuk ke dalam perkara-perkara baru dalam beragama yang itu sangat dibenci
para salaf. Meski demikian, sebagian pengikut Abu Nida tetap bergabung dengan
Gerakan Tarbiyah, dan kemudian menjadi aktivis PK Cabang Yogyakarta.
Sebagai upaya memayungi dakwah yang mulai semarak, pada tahun 1992
berdiri Yayasan As-Sunnah yang di dalamnya tergabung Abu Nida, Ja’far Umar Thalib,
Yazid Jawwas, dan Ahmas Faiz Asifuddin sebagai para pengurus. Dua tahun setelahnya
Yayasan menerbitkan majalah As-Sunnah sebagai media dakwah lain yang efektif.
Namun beberapa tahun berselang, Abu Nida berencana mendirikan sebuah yayasan
baru yang bernama Yayasan Majlis At-Turats Al-Islami. Yayasan yang kemudian
terdaftar dengan Akte Notaris Umar Syamhudi, S.H. No. 11 tertanggal 13 Januari 1994
17

Noorhaidi, “Laskar Jihad”, 46-7.

10 of 25

itu memiliki sekretariat sementara di sebuah rumah kontrakan di Jalan Menteri Supeno
Gang Soka UH V/1020, Yogyakarta.
Saat ini Abu Nida menjadi pembina Yayasan At-Turots yang membawahi
beberapa bidang kerja di antaranya adalah Pondok Pesantren Jamilurrahman di
Banguntapan dan Islamic Centre Bin Baz (Pusat) di Piyungan Bantul, cabang-cabang
pondok pesantren ICBB di berbagai daerah di Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan (STIKES) Madani dan Sekolah Tinggi Agama Islam ICBB di Piyungan
Bantul, Rumah Sakit At-Turots di Seyegan Sleman, Klinik Pratama At-Turots di
Piyungan Bantul, dan Lembaga sosial At-Turots Peduli Umat (APU).
Selain Abu Nida, ada beberapa Ustadz yang secara aktif terlibat dalam kegiatan
dakwah di radio Majas dan ICBB, yaitu Zaenuddin, Abu Hafid, Abu Nafis, dan Edi.
Mereka tidak hanya terlibat dalam kegiatan radio, namun juga aktif di masyarakat.
Masyarakat kerap kali mengundang mereka untuk mengisi pengajian di lingkungan
sekitar Pesantren atau menjadi khatib Jum’at di masjid-masjid yang lokasinya
berdekatan dengan Pesantren. Akseptabilitas masyarakat ini diduga kuat setelah
sebagian masyarakat mendengar ketiganya mengisi siaran radio Majas atau ICBB.18

Islamisme di Radio Majas dan ICBB
Centre for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dalam penelitiannya tentang Benih-benih Islam Radikal di Masjid menyebutkan
pendapat para ahli bahwa gejala yang disebut sebagai kebangkitan Islam (Islamic
Resurrection) sesungguhnya tampil dalam bentuk dan ekspresi yang beragam. Mulai
dari dakwah untuk mengajak umat Islam kembali menjalankan ajaran Islam secara
murni sesuai Al-Qur’an dan Hadis, mendesak pemberlakuan ajaran dan nilai Islam di
level Negara, sampai pada tindakan kekerasan dan terror bom yang dipilih oleh
segelintir Muslim garis keras.19
Variasi dan kompleksitas yang ditampilkan oleh gejala-gejala tersebut membuat
sejumlah ahli mencoba melakukan upaya penyederhanaan dengan menyematkan label
Islam politik, Islam militant, dan Islam radikal. Sayangnya, pelabelan tersebut tidak

18

Wawancara dengan Edi (Pengelola Radio ICBB), Yogyakarta 25 Februari 2015.
Ridwan al-Makassary dan Ahmad Gaus AF ed., Benih-benih Islam Radikal di Masjid: Studi
Kasus Jakarta dan Solo (Jakarta: Centre for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010), 11-12.
19

11 of 25

dapat mencakup keluasan spectrum gejala kebangkitan Islam sebagaimana beberapa
contoh tersebut di atas. Istilah yang kemudian dipilih untuk dapat menjadi payung
keragaman dan kompleksitas gejala-gejala tersebut adalah “Islamisme”.20
Merujuk pada pendefinisian Islamisme yang dilakukan oleh International Crisis
Group (ICG), Islamisme merupakan upaya aktif sekelompok umat Islam dalam
menegaskan dan menyebarkan akidah, ajaran dan hukum serta kebijakan public yang
dianggap sesuai dengan nilai-nilai Islam. Kegiatan aktif ini bertujuan untuk membela
Islam dan umat Islam, serta mendukung Islamisasi baik di level Negara maupun
masyarakat.21
Keluasan cakupan dan corak Islamisme dalam definisi tersebut berpijak pada
pemahaman keagamaan sebagai doktrin dan sekaligus realitas yang menyejarah. Islam
tidak hanya dipahami pada tataran ideal normatif, melainkan juga pada tataran praktis
yang menyangkut kehidupan umat Islam dalam berbagai aspek.22 Noorhaidi
menyebutkan bahwa arus Islamisme yang memiliki spektrum dan berdampak luas dari
segi implikasi politisnya adalah aktifitas Islamisme yang bergerak di bidang dakwah.23
Berpijak pada pendefinisian kategorisasi Islamisme inilah, pemaparan berikut
akan menunjukkan posisi Radio Majas dan atau ICBB dalam materi siaran dakwah
keduanya, apakah mencerminkan prinsip-prinsip yang dianut oleh kelompok Islamisme
baik secara terang-terangan atau secara diam-diam.
Sebagai radio dakwah, Radio Majas dan Radio ICBB memusatkan perhatiannya
pada kajian keagamaan seperti ceramah dan utamanya murattal al-Qur’an setiap
menjelang shalat lima waktu. Hampir seluruh aspek keagamaan menjadi bagian dari
materi penyiaran yaitu akidah/tauhid, fikih, tafsir, hadis, sīrah nabawīyah yang
disampaikan dalam format ceramah, tanya jawab atau konsultasi agama, melalui siaran
langsung atau rekaman kegiatan kajian yang diselenggarakan baik di Pesantren
Jamilurrohman dan ICBB atau pesantren-pesantren dan masjid yang memiliki afiliasi
manhaj yang sama.
20

Ridwan al-Makassary dan Ahmad Gaus AF ed., Benih-benih Islam Radikal di Masjid, 12.
Ridwan al-Makassary dan Ahmad Gaus AF ed., Benih-benih Islam Radikal di Masjid, 12.
Selengkapnya lihat Crisis Group Middle East and North Africa Report N037, Understanding Islamism, 2
March 2005, 1; dan John T. Sidel, The Islamist Threat in South East Asia: A Reassesment (Washington,
DC: East-West Washington, 2007), 2.
22
Ridwan al-Makassary dan Ahmad Gaus AF ed., Benih-benih Islam Radikal di Masjid, 14.
23
Lihat Noorhaidi, Laskar Jihad: Islam, Militancy and The Quest of Identity in Post-New Order
Indonesia (New York: Cornel Southeast Program, 2006), 89-127.
21

12 of 25

Radio Majas secara mandiri menyiarkan materi-materi dakwah baik secara
langsung (live dari studio), rekaman, maupun relay dari stasiun radio lain yang tentunya
sepaham (salafī). Materi siaran yang diproduksi mandiri oleh Radio Majas baik secara
live maupun rekaman adalah Adab Anak, Bahasa Arab, Bahasa Arab Anak , Fikih
Anak, Kajian Islam Tematik, Kajian Muslimah, Kemuliaan Wanita, Kesehatan,
Khutbah Jum’at, Kajian al-Qawl Mufīd (kajian ungkapan-ungkapan hikmah), Murottal
(bacaan Al-Qur’an oleh seorang Qāri’) dan Murottal by Request, SMS Tausiyah, Tafsir
Misbahul Munir, Tauhid Ulūhīyah (Tauhid Ketuhanan), Kajian Pengobatan Herbal Dā’
wa-Dawā’, Kesehatan Masyarakat, Kisah Pilihan Anak Muslim, dan Kajian Kitab
Riyāḍ al-Ṣāliḥīn (Kitab hadits karya al-Nawawī w. 676 H.). Berbeda dengan Radio
Majas yang banyak menyiarkan langsung materi dakwahnya, Radio ICBB hanya
mengudara secara live pada 3 program, yaitu kajian kitab “al-Jadīd fī Syarḥ Kitāb alTawḥīd”, Kajian Fikih Sehari-hari, dan kajian Ustadz Abu Nida yang disiarkan
langsung dari studio Intan TV milik ICBB setiap Jum’at siang (14.00-15.00).
Selain secara mandiri menyiarkan program-program dakwah, kedua radio
tersebut juga merelay dari radio-radio komunitas sepaham.24 Sumber siaran relay Radio
Majas berasal dari Radio Rodja, Hidayah FM, Radio Muslim, dan Radio Ar-Royan
Gresik. Materi yang direlay dari keempat radio tersebut adalah Buyutun Mutmainah
(kajian tentang kehidupan rumah tangga), Kajian Kitab al-Ibānah al-Sughrā, Fikih
Pendidikan Anak, Fiqh al-Usrah/Fiqh al-Nisā’ (kajian fikih keluarga dan fikih
perempuan), Kajian Islam Tematik, Kajian Kesehatan Sinse, Kisah Menawan Sang
Teladan, Tawjīhāt (nasehat-nasehat), Kajian Kitab ‘Umdat al-Aḥkām (kitab hadits), dan
Aqidah Wasitiyah. Radio ICBB juga merelay siaran dari keempat radio yang direlay
oleh Radio Majas, namun dengan 2 program siaran yang berbeda, yaitu ada Kisah
Sahabat, dan Konsultasi Agama. Selain itu, Radio ICBB juga merelay beberapa
program siaran dari Radio Majas.
Melihat paparan materi dakwah tersebut, dakwah yang disampaikan oleh Radio
Majas dan Radio ICBB dapat dikategorikan ke dalam kajian keagamaan normatif yang
biasa ditemukan di media-media dakwah pada umumnya, utamanya berkenaan dengan
fikih keseharian, akhlak, hadits, sejarah, dan tafsir al-Qur’an.

24

Wawancara dengan Edi, Yogyakarta 25 Februari 2015.

13 of 25

Barat, Demokrasi, dan Penerapan Syariat Islam
Beberapa isu sensitif memang pernah menjadi bagian dari siaran dalam format
tanya jawab di Radio Majas. Misalnya tentang penerapan syariat Islam, sang Ustadz
menyampaikan bahwa “menolak dan mencela penerapan syariat Islam adalah perbuatan
munafik”.25 Radio Majas memang hampir tidak pernah secara langsung menyampaikan
materi dakwah yang berkenaan dengan Islamisme, namun demikian sulit dihindari
kesan radio tersebut tidak bersentuhan dengan Islamisme. Salah satu faktor yang
menguatkan penilaian ini adalah lembaga tempat bernaungnya radio ini yaitu Pesantren
Jamilurrohman yang secara terang-terangan menolak Barat sebagaimana tulisan besar
yang dapat dilihat di papan besar halaman masjid Pesantren. Selengkapnya sebagai
berikut,

:‫ﻗﺎل اﻹﻣﺎم اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ رﲪﻪ اﷲ ﺗﻌﺎﱃ‬
‫ وﻻ اﺧﺘﻠﻔﻮا إﻻ ﻟﱰﻛﻬﻢ ﻟﺴﺎن اﻟﻌﺮب وﻣﻴﻠﻬﻢ إﱃ ﻟﺴﺎن أرﺳﻄﻄﺎﻟﻴﺲ‬٬‫ﻣﺎ ﺟﻬﻞ اﻟﻨﺎس‬
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan
berelisih kecuali ketika meninggalkan bahasa Arab dan cenderung kepada
bahasa Aristoteles (bahasa orang Barat).”
Tulisan tersebut secara eksplisit menunjukkan penolakan terhadap penggunaan
25

Siaran Radio ICBB 16 Februari 2015 Jam 17.45 WIB.

14 of 25

bahasa Asing selain Arab di lingkungan pesantren. Bahkan dalam percakapan berbahasa
Indonesia atau Jawa, mereka kerap menyisipkan bahasa Arab seperti kata “ana, antum,
syukran, afwan.”
Fenomena menolak Barat dan produknya, termasuk modernisasi di dalamnya,
pada satu sisi menjadi penegas atas pendefinisian Islamisme oleh kelompok Modernis.
Kelompok Modernis mengartikan Islamisme sebagai sebuah reaksi terhadap
modernisasi ala Barat, Bayat (2005) menyatakan,
“The ‘modernist’ interpretations portray Islamism as reactive movements
carried by traditional people, the intellectuals, and the urban poor, against
Western-style modernisation. These movements are said to be anti-democratic
and regressive by character.”26
Penolakan terhadap modernisasi ala Barat tersebut juga menjadi dasar pemikiran
yang berkenaan dengan partisipasi politik. Tidak ada satupun acara atau bagian dari
materi siaran yang ikut serta mendukung salah satu partai politik atau calon anggota
legislatif, karena hal yang demikian dianggap bertentangan dengan manhaj yang telah
digariskan sebagaimana disampaikan oleh salah satu Ustadz pemberi materi siaran di
Radio Majas yang bernama Zainuddin berikut,
Partisipasi politik yang dilakukan adalah dalam bentuk taṣfiyah dan tarbiyah.
Taṣfiyah dalam arti membenahi pemikiran-pemikiran masyarakat yang tidak
sesuai dengan norma-norma Islam yang termaktub di dalam al-Qur’an dan
Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat dan ulama-ulama
terdahulu (salaf). Sedangkan tarbiyah yakni mendidik masyarakat agar benarbenar kembali kepada sumber-sumber ajaran agama Islam tersebut. Hal ini
dilakukan karena politik yang sekarang adalah perebutan kekuasaan di
pemerintahan, sehingga tidak diperkenankan berpolitik dengan cara demikian.27
Dalam hal konsep kenegaraan, menurut para pengisi materi Radio Majas dan
ICBB, menyatakan tidak ada pemerintahan yang sukses selain model pemerintahan
Rasulullah, dan Khalifah-khalifah setelahnya yang disebut dengan Khilafah. Pada masa
itu, keadilan dan kemakmuran terwujud bahkan merata di berbagai lapisan. Artinya
tanpa ajaran Islam, akan sulit mewujudkan pemerintahan yang dapat melahirkan
keadilan dan kemakmuran kepada rakyatnya secara merata. Edi (salah satu Ustadz
pemberi materi siaran di Radio ICBB) memberi contoh Arab Saudi sebagai sebuah
negara yang menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahannya sebagaimana
26

Asef Bayat, “Islamism and Social Movement Theory”, Third World Quarterly, Vol. 26, No. 6
(2005), 891-908.
27
Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015.

15 of 25

penuturannya berikut,
Salah satu manfaat penerapan ajaran Islam adalah terciptanya rasa aman. Hal ini
dibuktikan dengan tutupnya semua toko pada saat azan berkumandang. Rasa
aman dan ketenangan inilah yang tidak dimiliki oleh negara yang tidak
menerapkan ajaran Islam.28
Abu Hafid (salah satu Ustadz pengelola sekaligus pemberi materi siaran di Radio
Majas) menambahkan,
Hanya saja karena saat ini belum ada apa yang disebut dengan Khilāfah Kubrā
yaitu khilafah yang diakui oleh seluruh umat Islam, maka umat Islam hanya
memiliki ulil amri, namun yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam adalah
khilafah sebagaimana Rasulullah dan khalifah-khalifah seterusnya. Jika
Khalīfah Kubrā sudah ada maka umat Islam wajib berbaiat kepadanya.29
Meskipun demikian, menurut Zainuddin politik dalam manhaj salaf bukan
mendirikan negara Islam, negara Islam hanya sebagai sarana atau wasilah, “tujuan
politik dalam manhaj salaf adalah untuk mengatur kemaslahatan umat Islam.”30
Penolakan selanjutnya dalam aspek politik adalah pernyataan bahwa demokrasi
bukan berasal dari ajaran agama Islam. Menurut mereka, demokrasi adalah sesuatu
yang salah karena bersumber dari Barat, sehingga hanya perlu berpartisipasi jika
kondisi darurat yang mengharuskan partisipasi umat Islam dalam proses demokrasi
tersebut. Kondisi darurat yang dimaksud yaitu pada saat menghadapi situasi pada
pilihan antara memilih Muslim atau kafir, maka umat Islam harus berpartisispasi dalam
pemilu dengan memilih calon yang Muslim. Berikut pernyataan Zainuddin,
Demokrasi adalah sistem yang keliru. Namun demikian, umat Islam tetap
menerima konsep demokrasi tersebut dan mengikuti proses demokrasi seperti
pemilu semata-mata untuk menghindari terjadinya kemadlaratan yang lebih
besar, yaitu jika dihadapkan pada pilihan untuk memilih calon pemimpin
Muslim atau kafir, maka umat Islam didorong untuk memilih yang Muslim.
Sedangkan jika calon-calon pemimpinnya adalah Muslim semua, maka tidak
diperlukan lagi untuk memilih.31
Abu Hafid menambahkan pendapatnya berkenaan dengan partai politik,
menurutnya tidak ada referensi dari Rasulullah dan para sahabatnya untuk membuat
partai, sehingga umat Islam tidak diperkenankan untuk membuat sesuatu yang tidak
28

Wawancara dengan Edi, Yogyakarta 25 Februari 2015; Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari
2015; dan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015.
29
Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari 2015.
30
Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015.
31
Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015.

16 of 25

dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Salaf itu ya tidak berpartai dan tidak berpolitik praktis dengan masuk ke
parlemen. Partai Islam yang ada sekarang ini justru menunjukkan pengkotakkotakan umat Islam yang hanya mewakili kelompok-kelompok masyarakat
tertentu, padahal umat Islam itu sejatinya harus bersatu padu.32
Sementara berkenaan dengan ormas-ormas Islam, hanya dibolehkan jika dalam
rangka kemaslahatan seluruh umat Islam bukan untuk kepentingan individu atau
kelompok-kelompok umat Islam tertentu.33
Penerapan ajaran Islam dalam hal bernegara juga mencakup pada tanggung
jawab memilih pemimpin seperti Presiden atau wakil rakyat. Edi mengatakan bahwa
tidak ada dalil yang mewajibkan kita untuk memilih pemimpin. Kewajiban memilih
memimpin hanya akan dilaksanakan jika calon pemimpinnya adalah pemimpin yang
taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Pengertian selanjutnya adalah bahwa umat Islam
wajib taat kepada pemimpin atau pemerintah yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan kewajiban taat pada kebaikan. Sedangkan berkenaan dengan penerapan syariat
Islam, Edi menyampaikan:
Sebaiknya pemerintah menerapkan syariat Islam, karena syariat Islam adalah
hukum positif yang telah teruji dan tidak terdapat celah kesalahannya karena
bersumber dari Allah dan Rasul-Nya yang pasti mengandung maslahat,
sedangkan hukum yang diciptakan manusia belum teruji bahkan tidak
mencerminkan keadilan. Dalam hal pidana pencurian misalnya, syariat Islam
membatasi hukumannya pada pencurian yang ada ukuran tertentu untuk
ditetapkan hukuman kepada pelakunya, tidak seperti hukum di negara kita, yang
setiap pencurian mendapatkan hukuman.34
Senada dengan Edi, Abu Hafid menjelaskan lebih lanjut tentang tanggung jawab
penerapan syariat Islam ada di tangan pemimpin yang kelak akan dipertanggung
jawabkan di akhirat. Menurutnya, kewajiban menerapkan Syariat Islam adalah
kewajiban yang melekat pada pemimpin. Berikut penuturannya,
Pemerintah yang tidak menerapkan hukum Allah atau syariat Islam, maka itu
menjadi tanggung jawab pemimpin negara ini di hadapan Allah kelak di akhirat.
Adapun berkaitan dengan hal yang secara spesifik dalam bernegara, seperti
hormat bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, maka tidak
ada dalil yang mewajibkan keduanya, bahkan untuk menyanyikan lagu
Indonesia Raya ada persoalan pada kebolehan menyanyi. Sedangkan
penghormatan kepada bendera, hanya dilakukan karena terpaksa, karena ada
32

Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari 2015.
Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015.
34
Wawancara dengan Edi, Yogyakarta 25 Februari 2015.

33

17 of 25

sanksi dari pemerintah.35
Berdasarkan penuturan Abu Hafid, dapat disimpulkan bahwa keengganan
pemimpin atau Negara menerapkan hukum Allah atau Syariat Islam adalah persoalan
serius yang berdampak pada kehidupannya di akhirat kelak. Hal ini disebabkan karena
persoalan bernegara adalah persoalan ibadah yang diatur di dalam Al-Qur’an dan
Hadits. Akibatnya, segala hal yang berkenaan dengan simbol kenegaraan Republik
Indonesia, karena tidak diatur oleh Syariat Islam, maka tidak menjadi kewajiban umat
Islam untuk melaksanakannya. Umat Islam tidak wajib ikut menyanyikan lagu
Indonesia Raya dan hormat Bendera Merah Putih pada acara apapun.

Posisi Perempuan dan Hijab
Berkenaan dengan perempuan, seperti persoalan pemimpin perempuan dan
kewajiban berhijab, para pengisi materi siaran baik di Radio Majas maupun di radio
ICBB sepakat bahwa secara umum laki-laki lebih unggul dibanding perempuan meski
ada beberapa perempuan yang lebih unggul dari pada laki-laki. Mereka mendaasri
pendapatnya dengan ayat al-Qur’an dan Hadits, sebagaiman pernyataan berikut,
Karena itu, di dalam konsep al-Qur’an “al-Rijāl qawwāmūna ‘al al-nisā’” yaitu
laki-laki yang menjadi pemimpin kaum perempuan. Nabi juga menjelaskan
bahwa kaum perempuan tidaklah lebih unggul dari kaum laki-laki, agama dan
akal kaum perempuan setengah dari laki-laki. Shalat dan puasa mereka terkena
halangan haid, kesaksian mereka juga separuh kesaksian laki-laki. Perempuan
tidak diperkenankan menjadi pemimpin kecuali hanya jika yang dipimpin
adalah perempuan.36
Dalam skala yang paling kecil seperti rumah tangga misalnya, maka pemimpin
rumah tangga harus laki-laki, apalagi dalam wilayah kekuasaan yang lebih
besar, pemimpin itu harus laki-laki apalagi negara, karena ajaran Islam seperti
itu, bahkan ada hadis sahih yang melarang perempuan menjadi pemimpin, yaitu
lan yufliḥa qawm wallat amrahum imra’ah.37
Sedangkan berkenaan dengan kewajiban berhijab, menurut Edi dan Abu Hafid
“muslimah wajib mengenakannya karena hal itu adalah kewajiban dari Allah, sehingga
jika ada instansi atau sebuah perusahaan yang melarang penggunaan hijab harus

35

Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari 2015.
Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari 2015;
37
Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015.

36

18 of 25

ditolak karena ketaatan melaksanakan perintah Allah.”38 Dengan demikian, pemerintah
yang Muslim harus mewajibkan kepada rakyatnya yang muslim, tidak hanya
perempuan untuk berpakaian Muslim atau Muslimah saja. Namun demikian, kewajiban
tersebut harus disertai dengan tarbiyah dan pencerahan tentang hijab bekerjasama
dengan ulama.39
Menilik pada paparan tersebut di atas (penolakan modernisasi ala Barat, sistem
pemerintahan yang Islami, kewajiban memilih pemimpin muslim yang taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, cita-cita mewujudkan khilafah, penerapan syariat Islam, dan
pembatasan wilayah kepemimpinan perempuan), dapat disimpulkan bahwa terdapat
kecenderungan pemahaman skriptualis dan mendukung sebagian nilai-nilai Islamisme40
-meski tidak secara terang-terangan- yang disiarkan melalui materi dakwah di Radio
Majas dan Radio ICBB.

Menolak Jihad dan Terorisme
Meskipun mendukung sebagian nilai-nilai Islamisme, ada sebagian lain yang
mereka tolak. Mereka secara jelas menolak jihad dengan mengangkat senjata apalagi
melakukan kekerasan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tujuan jihad menurut
mereka adalah untuk meninggikan kalimat Allah atau li-I‘lā’ kalimatillāh dan hanya
bisa dilaksanakan jika syarat dan tata laksananya terpenuhi, sebagaimana penuturan
berikut,
Jihad dengan mengangkat senjata atau “sayf” atau pedang, maka harus
memenuhi syarat dan rukunnya, di antaranya adalah harus atas perintah dari
pemerintah atau ulil amri, sehingga jihad yang dilakukan tanpa komando
pemerintah adalah jihad yang tidak syar‘ī. Hukum jihad pada awalnya adalah
fardu kifayah, namun jika pemerintah meminta seluruh kaum muslimin untuk
berjihad, hukum jihad menjadi fardu ‘ayn.”41
Mereka juga menolak jihad dengan kekerasan seperti teror, pengerusakan rumah
ibadah, melakukan bom bunuh diri. Semua perbuatan tersebut adalah tindakan yang
tidak dapat dibenarkan apalagi dilakukan di dalam masjid.
Tindakan teror bom tidak dapat dibenarkan karena bukan di bawah pemerintah,
38

Wawancara dengan Edi, Yogyakarta 25 Februari 2015; dan Abu Hafid, Yogyakarta 26
Februari 2015.
39
Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015
40
Penggunaan istilah “Islamisme”, “kelompok”, dan “militan" untuk menggambarkan
pemahaman sebuah kelompok ditolak oleh Abu Hafid.
41
Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari 2015.

19 of 25

dan korban terornya adalah campuran antara kaum Muslimin dan orang-orang
kafir. Seorang Muslim tidak boleh ditumpahkan darahnya, dengan alasan
apapun, bahkan jika seorang Muslim dipaksa untuk membunuh saudaranya yang
Muslim, maka ia tetap dilarang membunuh saudaranya untuk mempertahankan
nyawanya karena terpaksa tersebut. Sedangkan terhadap orang kafir, keberadaan
mereka di kalangan umat Islam berada di bawah jaminan keamanan pemerintah,
sehingga tidak boleh diperlakukan semena-mena. Hanya saja, larangan
memperlakukan orang kafir semena-mena adalah karena jaminan keamanan
yang diberikan bukan karena kekafirannya.”42
Jihad hanya diwajibkan jika diserang, dan kewajiban jihad hanya diperuntukkan
bagi umat yang berada di dalam negara itu sendiri, jika umat Islam negeri itu tidak
mampu, maka atas instruksi pemerintah, umat Islam Indonesia wajib berjihad
membantu. Jadi tidak dibenarkan keberangkatan individu atau kelompok ke negara lain
untuk berjihad.
Mereka juga menganggap keliru sejumlah aksi sweeping tempat-tempat maksiat
dan miras yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Radio Majas dan Radio ICBB
juga tidak pernah melakukan atau mengampanyekan anti Barat atau boikot terhadap
produk-produk Barat. Meskipun demikian, kaum Muslimin tetap tidak diperkenankan
menghormati, menyanjung, atau bahkan mencintai ideologi atau agama orang kafir.43

Radio Majas dan Radio ICBB dalam “Kontestasi” Dakwah di Yogyakarta
Kontestasi pada awalnya hanya berada di wilayah politik yang disebut dengan
istilah Contentious Politics, namun belakangan agama juga terlibat dan berkontestasi di
ruang publik. Charles Tilly dan Sidney Tarrow menerjemahkan Contentious Politics
sebagai persoalan “claiming” atau tuntutan terhadap adanya subject (pembuat klaim)
dan objek (penerima klaim). Contentious Politics melibatkan interaksi para aktor yang
saling klaim atas kepentingan satu sama lain. Para aktor tersebut mengkombinasikan
jalur institusional dan ekstrainstitusional untuk memperkuat klaim terhadap kepentingan
masing-masing.44
Shmuel Noah Eisenstadt berpendapat bahwa ruang publik adalah lokus
terjadinya kontestasi kuasa dalam setiap jenis masyarakat. Eisenstadt menyatakan,
42

Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015.
Wawancara dengan Edi, Yogyakarta 25 Februari 2015; Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari
2015; Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015.
44
Doug Mcadam, Sidney Tarrow, Charles Tilly, Dynamics of Contention (United Kingdom:
Cambridge University Press, 2004), 4.
43

20 of 25

Public spheres -and of course social movements, especially heterodoxies,
sectarianisms, and collective identities (for example, those that crystallized in
the vernacular age)- constituted the most important institutional arena in all
these societies, for it was in this arena that the rulers, different elites, and
various social groups in the centers and peripheries continually negotiated with,
contested, and confronted one another about the definition of the common good,
as well as about the legitimation and accountability of authorities and the concomitant possible challenges to the existing hegemonies.45
Dalam hal agama dan beragama, kontestasi diawali oleh persoalan otoritas dan
otoritatif. Khaled M. Abou El Fadl, Professor Hukum Islam pada Fakultas Hukum
UCLA, membagi otoritas menjadi otoritas koersif dan otoritas persuasif. Otoritas
koersif adalah kemampuan memandu perilaku orang lain dengan cara membujuk,
mengambil keuntungan, mengancam atau menghukum, sehingga orang yang berakal
sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain
kecuali harus menurutinya. Sedangkan Otoritas persuasif melibatkan kekuasaan yang
bersifat normatif. Fadl lalu mengutip Friedman yang membedakan antara “memangku
otoritas” (being in authority) dan “memegang otoritas” (being an authority). Menurut
Friedman, “memangku otoritas” artinya menduduki jabatan resmi atau struktural yang
memberinya kekuasaan untuk mengeluarkan perintah dan arahan. Seseorang yang
memangku otoritas dipatuhi orang lain dengan cara menunjukkan simbol-simbol
otoritas yang memberi pesan kepada orang lain bahwa mereka berhak mengeluarkan
perintah atau arahan. Dalam kasus ini, bisa saja seseorang berbeda pendapat dengan
pemangku otoritas, namun ia tidak memiliki pilihan lain kecuali menaatinya.46
Sedang pemegang otoritas adalah seseorang yang dianggap memiliki
pengetahuan, kebijaksanaan, atau pemahaman yang lebih baik. Ia adalah seseorang
yang dianggap ahli dalam bidang tertentu. Menurut Friedman, “pengetahuan khusus
semacam itulah yang menjadi alasan ketundukan orang awam terhadap ucapan-ucapan
pemegang otoritas, meskipun ia tidak memahami dasar argumentasi dari ucapan-ucapan
tersebut.” Dengan kata lain, ketundukan pada orang yang memangku otoritas
melibatkan ketundukan kepada jabatan atau kapasitas resmi seseorang, tapi ketundukan
pada seseorang yang memegang otoritas melibatkan ketundukan pada seseorang yang

45

Shmuel Noah Eisenstadt, “Concluding Remarks: Public Sphere, Civil Society, and Political
Dynamics in Islamic Societies,” 146.
46
Khaled M. Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women
(Oxford: Oneworld Publications, 2003), 12.

21 of 25

dipandang memiliki keahlian khusus.47
Saat agama berada di wilayah publik, maka pemangku dan pemegang otoritas
keagamaan menjadi tidak terbatas, diampu oleh siapa saja berdasarkan preferensi atau
afiliasi kelompok keagamaan tertentu. Oleh karenanya, penyebaran agama atau ajaran
agama tidak lagi memiliki otoritas tunggal sehingga kelompok mana pun merasa atau
tidak merasa berhak menyampaikan pesan-pesan keagamaan (dakwah) berdasarkan
kuasa dan kapasitas masing-masing. Kondisi ini secara tidak langsung menyebabkan
terjadinya kontestasi di antara beberapa kelompok keagamaan dalam menyiarkan
dakwahnya. Pembahasan berikut ini akan menjelaskan bentuk dan faktor-faktor yang
mendorong terjadinya kontestasi dakwah melalui radio di Yogyakarta dengan kasus
Radio Majas dan Radio ICBB sebagai radio-radio yang -sebagaimana pembahasan
sebelumnya- cenderung menganut paham skriptualis dan mendukung nilai-nilai
Islamisme.

Kontestasi Kultural Masyarakat
Radio Majas dan Radio ICBB secara geografis berada di tengah pedesaan di
wilayah Yogyakarta. Namun berbeda dengan Radio Majas yang terletak di tengah
hunian yang mereka sebut dengan perkampungan “Ikhwah Salafīyīn”, Radio ICBB
dipancarkan melalui stasiun pemancar yang berada di tengah komplek Pondok
Pesantren Islamic Center Bin Baz di Jalan Wonosari km. 10, Karanggayam, Sitimulyo,
Piyungan, Bantul, DI. Yogyakarta. Pesantren ini berdiri di kawasan pedesaan yang
secara basis keagamaan berada di tengah-tengah antara masyarakat yang secara kultural
berafiliasi pada dua organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia yaitu NU dan
Muhammadiyah.48
Pesantren ini berada tidak jauh dari Pesantren Lintang Songo yang diasuh oleh
Kyai Heri Kuswanto (salah satu tokoh NU di kecamatan Sitimulyo). Di sisi wilayah
yang lain, Pesantren ICBB bertetangga dengan masyarakat yang secara kultural
berafiliasi ke Muhammadiyah, yaitu “kampung Muhammadiyah”, tempat salah satu
47

Khaled M. Abou El Fadl, Speaking in God’s Name, 14.
Tidak ada keterangan yang dapat diperoleh dari pengurus ICBB mengenai alasan pemilihan
lokasi pesantren ini. Menurut salah satu tokoh agama di sekitar lokasi Pesantren yang bernama Adi
Purnomo atau yang biasa dipanggil