PENGARUH PEMULSAAN DAN REDUKSI PENGOLAHAN TANAH TERHADAP KEANEKARAGAMAN DAN POPULASI SEMUT PADA PERTANAMAN TEBU

ABSTRACT

EFFECT OF BAGASSE MULCHING AND REDUCED TILLAGE
ON THE DIVERSITY AND ABUNDANCE
OF ANTS IN THE SUGARCANE FIELD

By
Muhamad Jaya Saputra

This research aims to determine the effect of mulching and reduced tillage on
diversity and abundance of ants in sugarcane field. The research was done in
January and July 2011 in sugarcane field in Gunung Madu Plantations Company,
Central Lampung. The experiment was designed using a split plot design (2x2x5)
with soil tillage as the main plot, mulching as the subplot and five replications
(blocks). The sampling of ants used pitfall traps. The research showed that 13 ant
genera were found in the sugarcane field. Total abundance of ants and
Paratrechina were higher in no-mulch plots. Shannon index, total ant abundance
and abundance of Anoplolepis in no-tillage plots were higher than those in full
tillage plots, but the abundance of Iridomyrmex was lower in no-tillage plots. The
effects of mulch and reduced tillage on ant diversity and/or abundance were
independent while those on the ant total genera and on Gnamptogenys abundance

were dependent.

Key word: reduced tillage, mulch, ant diversity and abundance

ABSTRAK

PENGARUH PEMULSAAN DAN REDUKSI PENGOLAHAN
TANAH TERHADAP KEANEKARAGAMAN DAN POPULASI
SEMUT PADA PERTANAMAN TEBU
Oleh
Muhamad Jaya Saputra
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemulsaan dan reduksi
pengolahan tanah terhadap keanekaragaman dan populasi semut pada lahan
pertanaman tebu. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari dan Juli 2011 di
lahan pertanaman tebu PT Gunung Madu Plantations (GMP), Lampung Tengah.
Percobaan dirancang menggunakan rancangan petak terbagi (2x2x5) dengan olah
tanah sebagai petak utama, pemulsaan sebagai anak petak, dan lima kelompok
sehingga terdapat 20 petak percobaan. Pengambilan sampel semut dilakukan
menggunakan perangkap sumuran (pitfall trap) yang dipasang pada masingmasing petak percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pertanaman
tebu ditemukan tiga belas genus semut. Pemulsaan tidak mempengaruhi

keanekaragaman semut tetapi mempengaruhi populasi semut. Populasi total
semut dan populasi semut Paratrechina lebih tinggi pada perlakuan tanpa mulsa
dibandingkan pada perlakuan dengan mulsa. Indeks Shannon semut, indeks
Simpson, populasi total semut, dan populasi semut Anoplolepis pada perlakuan
tanpa olah tanah (TOT) lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan olah tanah

intensif (OTI), tetapi populasi semut Iridomyrmex pada TOT lebih rendah
dibandingkan pada OTI. Pengaruh pemulsaan dan reduksi pengolahan tanah
terhadap keragaman dan/atau populasi semut tersebut bersifat independen (tidak
interaktif); tetapi pengaruh pemulsaan dan reduksi pengolahan tanah terhadap
jumlah genus semut dan terhadap populasi semut Gnamptogenys bersifat
dependen (interaktif).

Kata kunci : reduksi olah tanah, pemulsaan, semut

PENGARUH PEMULSAAN DAN REDUKSI PENGOLAHAN TANAH
TERHADAP KEANEKARAGAMAN DAN POPULASI SEMUT PADA
PERTANAMAN TEBU
(Skripsi)


Oleh
Muhamad Jaya Saputra

UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvii

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .....................................................................................

1

1.2 Tujuan Penelitian .................................................................................

3


1.3 Kerangka Pemikiran ............................................................................

3

1.4 Hipotesis ..............................................................................................

4

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Tebu .....................................................................................

5

2.2 Olah Tanah Konservasi dan Pemulsaan ..............................................

8

2.3 Semut ..................................................................................................


8

III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 10
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................... 10
3.3 Rancangan dan Pelaksanaan Penelitian .............................................. 10
3.4 Identifikasi semut dan analisis data .................................................... 13

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil .................................................................................................... 14

4.2 Pembahasan ......................................................................................... 22

V.

KESIMPULAN ......................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 26
LAMPIRAN .................................................................................................... 29


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011a. Komoditas Tanaman Tebu.
http://ditjenbun.deptan.go.id/budtansim/images/pdf/tebu.pdf. Diakses
tanggal 16 Maret 2011.
Anonim. 2011b. Profil PT GMP.
http://www.gunungmadu.co.id/index.php?modul=about&id=profile. Diakses
tanggal 19 Maret 2011.

Anonim. 2011c.Gagasan Swasembada Gula.
http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr26204j.pdf. Diakses
tanggal 17 Maret 2011.
Apriliansyah, H. 2010. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Pemupukan Jangka
Panjang pada Periode Bera terhadap Populasi dan Keanekaragaman
Arthropoda Tanah di Lahan Penelitian Politeknik Negeri Lampung,
Universitas Lampung. Skripsi. Bandar Lampung. 50 hlm.
Borror, D. J., Delong, D.M. & Triplehorn, C.A. 1976. Study of Insect. Fourth
Edition. National Book Store Manila. Pp. 617-619.
Brown, A. L. & Bral, F. I. 1978. Ecology of Soil Organisms. Fakenham Press
Limited. Fakenham, Norfork. Pp. 54-57.

Coleman, D. C., Crossley, D. A. Jr. & Hendrix, P. F. 2004. Fundamentals of soil
ecology. Institute of Ecology, University of Georgia, Athens, Georgia.
Elsevier Academic Press. Amsterdam. Second Editon.
Ditjen Bina Produksi Perkebunan. 2002. Program Akselerasi Peningkatan
Produksi Gula Nasional 2002-2007. Jakarta. 67 hlm.
Elliot, C. A. 1990. Diversity Indices in Principles of Managing Forests for
Biological Diversity. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Firdaus, F. 2012. Pengaruh Pemulsaan dan Reduksi Pengolahan Tanah Terhadap
Keanekaragaman dan Populasi Laba-Laba Tanah di Lahan Pertanaman
Tebu, Universitas Lampung. Skripsi. Bandar Lampung. 42 hlm.
Hashimoto, Y. 2003. Identification Guide To The Ant Genera Of Borneo. Buku
Inventory & Collection, Total Protocol for Understanding of
Biodiversity. Hlm 89-162.

Indarto, Afandi, Utomo, M., Sugianto, Evizal, R. 1995. Pengaruh Beberapa Olah
Tanah dan Pembuatan Rorak terhadap Pertumbuhan Awal Tebu Lahan
Kering dalam Prosiding Seminar Nasional V Budidaya Pertanian
Olah Tanah Konservasi 1995. Bandar Lampung.
Lal, R. 1995. Tillage Systems in the Tropics Management Options and
Sustainability Implication. FAO : School of Natural Resources the

Ohio State University Columbus, Ohio, USA. Pp 206.
Ludwig, J. A. & Reynolds, J. F. 1988. Statistical Ecology. Jhon Willy & Sons.
USA. P. 85-102.
Rafiuddin, P., Rusnadi & Tandi, M. 2006. Efek Sistem Olah Tanah dan Super
Mikro Hayati Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung. Tersedia
di: http.// agrivor-journal-5(3)-239-246. Diakses tanggal 21 April
2011.
Reginawanti. 1999. Tebu. http://www.kpel.or.id/TTGP/ttgp-info-komkom. php?
komoditi =TN-KB-12. Diakses tanggal 15 Maret 2011
Susilo, F.X., Yasin, N., Listianingsih & Wibowo, L. 2004. Kepadatan Populasi
Predator , Pesaing, dan Simbion Kutu Daun Pada Tanaman Kacang
Panjang Pasca Aplikasi Insektisida. Jurnal Hama dan Penyakit
Tumbuhan Tropika 4 (2): 62-68.
Susilo, F.X. 2011. Keberadaan Serangga Di Ekosistem Pertanian:
Keanekaragaman, Interelasi, dan Prospek Pengelolaannya Secara BioRasional. Orasi Ilmiah Pengukuhan Profesor Tetap Bidang
Entomologi Pertanian. Universitas Lampung. Lampung. 62 hlm.
Umar, I. 2004. Pengolahan Tanah Sebagai Suatu Ilmu: Data, Teori, dan PrinsipPrinsip. Makalah Pribadi Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor. http://www.rudyct.com/PPS702ipb/09145/ibnu_umar.pdf. Diakses tanggal 17 Maret 2011.
USDA. 2010. Classification of the plant.
http://www.nrcs.usda.gov/wps/portal/nrcs/detail/determined.html&tty

pe. Diakses tanggal 15 Maret 2011
Utomo, M. 2000. Pengelolaan lahan kering berkelanjutan. 8-22 hlm. Prosiding
Seminar Nasional III Pengembangan Wilayah kering. Bandar
Lampung, 3-4 Oktober 2000.

Utomo, M. 2006. Bahan Baku Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan. 537hlm.
Prosiding Seminar Nasional Keragaman Hayati Tanah I. Universitas
Lampung. Bandar Lampung, 29-30 Juni 2010.
Yuslianti, V. 1996. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Cara Pemberian Air Irigasi
pada Musim Tanam II Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi
Sawah. Hlm. 8-22 dalam Prosiding Seminar Nasional III
Pengembangan Wilayah kering edisi pertama. Yuslianti V.
Universitas Lampung. Bandar Lampung, 3-4 Oktober 2000.

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan dari
keluarga rumput-rumputan (Poaceae) penghasil gula. Tanaman ini diperkirakan

berasal dari India, atau Irian Jaya karena disana ditemukan tebu liar di dalam
hutan dan juga tanaman ini sudah ditanam oleh warga setempat selama berabadabad. Batang tanaman tebu mengandung gula sekitar 10-15% (Reginawanti,
1999).

Kemerosotan produktivitas tanaman tebu/gula yang dialami Indonesia sejak
pemberlakuan Inpres nomor 9/1975 tentang program Tebu Rakyat Intensifikasi
masih terasa dampaknya sampai saat ini. Tidak terpenuhinya kebutuhan bahan
baku (batang tanaman tebu) dan ditutupnya sepuluh pabrik gula (PG) di Jawa
menunjukkan penurunan produktivitas tersebut masih terus berlangsung.
Sementara itu kebijakan baru di sektor usahatani tebu di lahan kering belum
sepenuhnya menunjukkan keberhasilan meningkatkan produktivitas tebu/gula.

Kebutuhan gula Indonesia diperkirakan 4 juta ton pertahun dengan asumsi jumlah
penduduk sekitar 200 juta jiwa dengan konsumsi gula tiap jiwa 20 kg dalam
setahunnya. Sedangkan kondisi yang ada sekarang produksi gula hanya mencapai
3 juta ton pertahun. Tidak memadainya produksi gula dalam negeri disebabkan
oleh berbagai faktor, di antaranya adalah semakin berkurangnya areal lahan
perkebunan dan menurunnya produktivitas lahan. Menurunnya produktivitas

lahan antara lain merupakan akibat dari budidaya tebu yang kurang berwawasan

lingkungan (Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2002). Untuk itu diperlukan
aplikasi teknologi budidaya tebu berwawasan lingkungan.

Salah satu teknologi budidaya yang berwawasan lingkungan adalah teknologi olah
tanah konservasi atau reduksi olah tanah. Teknologi itu dapat diimplementasikan
dengan cara tanpa olah tanah (TOT) dan pemulsaan. Teknologi TOT dan
pemulsaan sudah diterapkan pada berbagai ekosistem tanaman pangan dan
hortikultura (Utomo, 1989 dalam Yuslianti, 1996). Namun pada ekosistem
tanaman tebu teknologi tersebut belum diterapkan padahal pada ekosistem ini
tersedia bahan mulsa (berupa bagas) yang sangat melimpah. Selain itu bila
pengolahan tanah pada budidaya tebu dapat dikurangi, maka kondisi tanah pada
ekosistem tersebut akan menjadi lebih baik dan biaya produksi tebu dapat
dihemat. Dengan dasar tersebut teknologi TOT dan pemulsaan perlu dikaji
penerapannya di ekosistem (perkebunan) tebu.
Menurut Utomo (2000), teknologi TOT dapat memperbaiki kualitas tanah, yaitu
meningkatkan jumlah bahan organik tanah dan memperbaiki iklim mikro tanah.
Kondisi tersebut diharapkan dapat memacu aktivitas biota tanah. Aktivitas biotabiota tanah diindikasikan oleh keberadaan biota-biota tersebut (Utomo, 2006).
Keberadaan biota tanah difasilitasi oleh adanya mulsa serasah di atas permukaaan
tanah. Mulsa serasah menyediakan makanan bagi berbagai kelompok biota pada
jejaring makanan di dalam tanah. Pada jejaring makanan itu serasah dimakan
oleh detritivora (pemakan serasah), kemudian detritivora itu dimakan oleh
predator. Predator itu akan dimakan oleh predator yang berada pada jenjang trofi

yang lebih tinggi hingga paling tinggi (predator puncak). Predator-predator ini
terdiri atas berbagai golongan taksonomi artropoda, yang sangat dominan di
antaranya adalah semut (Susilo et al., 2004).
1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pemulsaan dan reduksi pengolahan
tanah terhadap keanekaragaman dan populasi semut pada lahan pertanaman tebu.

1.3 Kerangka Pemikiran

Reduksi pengolahan tanah dapat dilakukan dengan cara tanpa olah tanah (TOT)
(Umar, 2004). Pada lahan yang tidak atau kurang diolah, tanahnya relatif tidak
terusik sehingga agregat tanah terlindungi. Relung-relung biota tanah, misal
sarang-sarang semut juga terlindungi (Susilo, 2011). Reduksi pengolahan tanah
(TOT) biasanya dipadukan dengan pemberian mulsa berupa serasah, sisa-sisa
tanaman dan gulma (Utomo, 2000). Pada pertanaman tebu, bagas (ampas) tebu
yang tersedia dalam jumlah yang melimpah dapat dimanfaatkan sebagai mulsa.

Keberadaan mulsa di permukaan tanah memfasilitasi kehidupan biota tanah. Di
antara biota-biota tanah ini, keberadaan semut (Hymenoptera : Formicidae) sangat
dominan. Menurut Susilo et al. (2004), mulsa merupakan basis jejaring makanan
di dalam tanah yang melibatkan semut. Keberadaan semut, dalam hal ini
keanekaragaman dan populasinya, dipengaruhi oleh keberadaan biota mangsa
yang berada pada jenjang trofi di bawahnya, yaitu predator-predator antara dan
detritivora. Keberadaan detritivora bergantung pada mulsa. Dengan demikian

keberadaan semut secara tidak langsung juga bergantung pada keberadaan mulsa
(Susilo, 2011).

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pemulsaan dan reduksi
pengolahan tanah mempengaruhi keanekaragaman dan populasi semut pada
pertanaman tebu.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Tebu

Tebu merupakan tanaman asli daerah tropika basah. Tanaman ini dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik di daerah subtropika. Tanaman tebu dapat tumbuh
pada berbagai jenis tanah di dataran rendah hingga ketinggian 1.400 di atas
permukaan laut (Anonim, 2011a).
Dalam klasifikasi botani tanaman tebu menurut USDA (2010), tanaman ini
digolongkan dalam kerajaan Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, ordo
Poales, famili Poaceae, genus Saccharum, dan spesies Saccharum officinarum.
Tanaman tebu berbatang tinggi, berumur panjang, dan berkulit batang tebal.
Umumnya tanaman tebu membentuk rumpun dengan jumlah yang sangat
bervariasi. Pada saat tanaman sudah tua, panjang batang tebu dapat mencapai 2-3
meter dengan diameter 20-30 mm.
Tebu mengandung karbohidrat hasil asimilasi yang tertimbun di dalam ruas-ruas
batang tebu, terutama sebagai sukrosa. Kultivar tanaman tebu modern biasanya
mengandung 11%-14% sukrosa.
Di Indonesia, tanaman tebu telah ditemukan tumbuh di beberapa tempat di Pulau
Jawa dan Sumatera sekitar tahun 400 Masehi. Namun baru pada abad ke-15
tanaman tersebut diusahakan secara komersil oleh sebagian imigran asal China.
Industri pergulaan dalam skala yang besar baru berdiri seiring kedatangan
Belanda yang selanjutnya mendirikan perusahaan dagang Vereeniging Oost

Indische Compagnie (VOC) pada bulan Maret 1602. Produksi gula tersebut
dipasarkan untuk memenuhi permintaan gula dari Eropa. Dibawah kendali VOC,
industri gula Indonesia pernah mencapai puncak produksi pada tahun 1930-an
dengan areal pertanaman seluas 200.000 hektar dengan 179 pabrik gula yang
terkonsentrasi di Pulau Jawa. Total produksinya mencapai 14,8 ton gula per
hektar (Anonim, 2011a).
Perusahaan gula bukan hanya ada di Jawa, tetapi juga ada di Lampung. Lampung
saat ini menjadi salah satu provinsi lumbung gula nasional. Di Lampung terdapat
enam perusahaan gula yang beroperasi, lima di antaranya merupakan perusahaan
gula swasta dan yang satu lagi perusahaan gula BUMN. PT. Gunung Madu
Plantations merupakan perusahaan gula yang memelopori berdirinya perusahaan
gula diluar Pulau Jawa, terutama di Lampung. Kehadiran PT. GMP dengan
perkembangannya yang baik menjadi pemicu berdirinya perusahaan gula yang
lain, seperti PT. Bunga Mayang, PT. Gula Putih Mataram, PT. Sweet Indo
Lampung, PT. Indo Lampung Perkasa, dan PT. Pemuka Sakti Manis Indah.
Kehadiran beberapa perusahaan gula di Lampung turut andil dalam
mengembangkan budidaya tebu oleh rakyat (tebu rakyat) di beberapa kabupaten,
seperti Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Utara, Way Kanan, dan
Kabupaten Tulangbawang. Budidaya tebu rakyat dilakukan dengan pola
kemitraan dengan sistem bagi hasil (Anonim, 2011b).
Dalam laporan Indarto et al. (1995), berdasarkan data Badan Statistik Provinsi
Lampung tahun 1993, luas total perkebunan tebu di Lampung seluas 210.043 ha.
Luasan tersebut meliputi 50% luasan lahan perkebunan tebu nasional. Laporan
dari sumber yang sama dalam Indarto juga menyebutkan bahwa produksi tebu

oleh perkebunan swasta di Lampung sekitar 6,18 ton gula per hektar, sedangkan
di Jawa produksi gula berkisar 10,37 – 19,17 ton gula per hektar. Namun dari
laporan PT. GMP yang memiliki luasan 25.000 ha, produksi gula dalam
setahunnya dapat mencapai 190.000 ton, yang berarti perusahaan ini
memproduksi gula sebanyak 7,6 ton per hektar 9 (Anonim, 2011b).
Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi penduduk Indonesia.
Kebutuhan gula Indonesia diperkirakan 4 juta ton per tahun dengan asumsi jumlah
penduduk sekitar 200 juta jiwa dengan konsumsi gula tiap jiwa 20 kg dalam
setahunnya. Kebutuhan gula sebesar itu dapat dipenuhi oleh 20 pabrik gula yang
masing-masing mengelola perkebunan tebu dengan luas 10.000 ha dengan
kapasitas produksi gula 2 ton gula per hektar (Anonim, 2011c).
Saat ini perusahaan gula di Indonesia berjumlah 59 buah, yang luasan totalnya
367.875 ha. Bila mengikuti logika di atas, maka pemenuhan kebutuhan gula
nasional sebanyak 4 juta ton pertahun cukup dipenuhi oleh lahan tebu seluas
200.000 ha. Namun, banyak faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan
Indonesia dalam memenuhi kebutuhan gula sehingga setiap tahunnya harus
mengimpor gula dari negara lain. Oleh sebab itu, untuk dapat memenuhi
kebutuhan gula nasional dan produksi gula yang tinggi, maka pengetahuan
tentang teknik budidaya tebu perlu dikuasai. Hal tersebut mencakup ketersediaan
air, sifat fisik tanah, kemasaman/pH tanah, pemupukan berdasarkan uji tanah,
serta pengendalian hama, penyakit, dan gulma (Anonim, 2011c)
2.2 Olah Tanah Konservasi dan Pemulsaan

Olah tanah konservasi (OTK) adalah cara penyiapan lahan yang biasanya
dicirikan dengan berkurangnya pembongkaran/pembalikan tanah (reduksi
pengolahan tanah) dan penggunaan mulsa. Reduksi olah tanah dapat dilakukan
dengan olah tanah minimum (OTM) dan tanpa olah tanah (TOT). Dalam TOT,
tanah dibiarkan tidak terganggu kecuali alur dan lubang tugalan untuk
penempatan bibit tebu. Sisa tanaman dibiarkan menutupi permukaan tanah
sebagai serasah (Rafiuddin et al., 2006).

Kegiatan lain yang biasanya dilakukan dalam olah tanah konservasi lahan adalah
penambahan bahan organik pada lahan (mulsa). Mulsa adalah setiap bahan yang
dihamparkan untuk menutupi sebagian atau seluruh permukaan tanah (Lal, 1995).
Penggunaan mulsa ini bermanfaat sebagai pengendali gulma dan mengurangi
penguapan air tanah.

2.3 Semut

Semut merupakan salah satu kelompok serangga dari Ordo Hymenoptera. Di
antara serangga, semut dianggap yang paling berhasil dalam beradaptasi. Hewan
tersebut dapat hidup hampir di setiap tempat dalam jumlah yang melebihi individu
hewan terrestrial lainnya. Kebiasaan hidup semut seringkali membuat orang
tertarik, sehingga banyak penelitian dilakukan mengenai tingkah laku hewan
tersebut (Borror et al., 1976).

Suatu koloni semut dapat terdiri dari beberapa individu sampai beribu-ribu
individu. Brown dan Bral (1978) menyebutkan bahwa seringkali semut bertindak
sebagi organisme “pioneer”, yaitu dalam menggali dan memisahkan sarang baru

khususnya dalam onggokan tanah dan di bawah bebatuan. Dalam pembuatan
sarangnya semut mampu menghancurkan tanah menjadi bentuk remah dan juga
mampu mengangkat tanah ke permukaan dari lapisan yang lebih dalam.
Bekas gundukan-gundukan rayap dapat menjadi sarang semut, sebagian ruang
pada sarang ini digunakan untuk bertelur dan sebagian lagi untuk menyimpan
makanan. Semut memindah-mindahkan telurnya dari satu sarang ke sarang lain
ketika diperlukan.

Semut adalah insekta yang bersifat sosial, dan koloninya terdiri dari tiga kasta
yaitu ratu, tentara, dan pekerja. Ratu berukuran lebih besar dibandingkan anggota
koloni semut lainnya dan biasanya bersayap, meskipun sayapnya kemudian akan
lepas setelah perkawinan. Koloni ratu bertugas untuk bertelur. Semut tentara
(prajurit) tidak mempunyai sayap dan berukuran tubuh lebih kecil daripada semut
ratu, mereka berumur pendek dan segera mati setelah kawin. Semut pekerja
berkelamin betina, bersifat steril, dan tidak bersayap (Bolton, 2000 dalam Susilo,
2011).

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari dan Juli 2011 yang merupakan
bagian dari penelitian jangka panjang tentang Studi Rehabilitasi Tanah kerjasama
antara Universitas Lampung (UNILA), PT. GMP, dan Yokohama National
University (YNU) Jepang. Pengambilan sampel dilakukan di lahan pertanaman
tebu di PT Gunung Madu Plantations (GMP) Lampung Tengah pada saat tebu
berumur 6 bulan dan 12 bulan, identifikasi sampel semut dilakukan di
Laboratorium Hama Artropoda Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah ember plastik, plastik mika, bambu, botol vial,
pinset, spidol, label, cawan petri, dan mikroskop stereo binokuler. Bahan yang
digunakan adalah larutan detergen 1% dan alkohol 70%.
3.3 Rancangan dan Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini disusun dalam Rancangan Petak Terbagi (split plot) dengan dua
faktor perlakuan dan lima ulangan (Gambar 1). Faktor perlakuan yang pertama
(TOT dan OTI) adalah olah tanah (petak utama) dan faktor kedua (tanpa dan
dengan mulsa) adalah perlakuan mulsa (anak petak). Mulsa yang digunakan
adalah bagas segar (80 ton/ha).

Gambar 1. Tata letak plot-plot percobaan
Keterangan :
OTI: olah tanah intensif (standar GMP), TOT: tanpa olah tanah, K : kelompok

Plot perlakuan terdiri atas 4 petak yang dilabeli A, B, C, dan D dengan lima
ulangan. Perlakuan OTI diterapkan pada petak A dan B, sedangkan petak C dan D
diberi perlakuan TOT.
Pengambilan sampel semut dilakukan dengan metode perangkap sumuran (pitfall
trap). Pada setiap petak percobaan (Gambar 1) dipasang satu pitfall (Gambar 2).
Pitfall diisi dengan larutan detergen 1% sebanyak 1/3 bagian pitfall dan diberi

naungan plastik mika. Jarak naungan dengan pitfall 15 cm. Posisi pitfall adalah 8
m dari titik pusat petak (Gambar 3). Setelah 24 jam pitfall diangkat dan semut
yang terperangkap dikoleksi ke dalam botol vial yang telah diisi alkohol 70%
untuk identifikasi dan penurusan.

d
c

a

b

Gambar 2. Pemasangan perangkap pitfall
Keterangan : a.Ember plastik (diameter mulut 13 cm), b. Larutan detergen
1%, c. Ajir bambu 15 cm, d. Plastik mika (20cmx20cm)

40 m

8m
mm

25 m

: titik pusat petak (monolith)
: titik penempatan pitfall 8 m dari monolith
Gambar 3. Posisi titik pitfall pada petak percobaan
3.4 Identifikasi Semut dan Analisis Data

Spesimen semut yang didapat diidentifikasi sampai tingkat genus dengan
menggunakan buku Hashimoto (2003). Hasil identifikasi diperiksa dan
dikonfirmasi oleh pembimbing.
Variabel yang diukur adalah keanekaragaman dan populasi semut.
Keanekaragaman semut dinyatakan dengan jumlah genus, Indeks Shannon dan
Indeks Simpsons. Indeks Shannon dihitung dengan rumus sebagai berikut
H’ = - ∑ pi.lnpi
Indeks Simpson dihitung dengan rumus
S = 1- ∑ (pi)²
dengan catatan H’= indeks Shannon (Elliot, 1990) ; pi= frekuensi relatif spesies i;
S= indeks Simpson (Ludwig et al., 1988)
Populasi semut dinyatakan dengan banyaknya individu semut (ekor). Data
keragaman dan populasi semut dianalisis dengan sidik ragam pada taraf nyata 5%.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
(1) Pemulsaan tidak mempengaruhi keanekaragaman semut tetapi
mempengaruhi populasi semut. Populasi total semut dan populasi semut
Paratrechina lebih tinggi pada perlakuan tanpa mulsa dibandingkan pada
perlakuan dengan mulsa.
(2) Reduksi pengolahan tanah mempengaruhi keanekaragaman dan populasi
semut. Indeks Shannon, indeks Simpson, populasi total semut, dan
populasi semut Anoplolepis pada perlakuan tanpa olah tanah (TOT) lebih
tinggi dibandingkan pada perlakuan olah tanah intensif (OTI), tetapi
populasi semut Iridomyrmex pada TOT lebih rendah dibandingkan pada
OTI;
(3) Pengaruh pemulsaan dan reduksi pengolahan tanah terhadap
keanekaragaman dan/atau populasi semut tersebut bersifat independen
(tidak interaktif); tetapi pengaruh pemulsaan dan reduksi pengolahan tanah
terhadap jumlah genus semut dan terhadap populasi semut Gnamptogenys
bersifat dependen (interaktif).