FILSAFAT dan FILSAFAT ISLAM docx

Refreshment Filsafat Islam;
Studi Informatif Dalam Perspektif Sejarah Dan Masa Depan
Qolbi Khoiri
(Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Bengkulu)
Abstrak
Perkembangan pemikiran Islam mengalami lompatan sejak
pemerintahan Islam pindah ke Damaskus, yakni pada masa Bani Umaiyah.
Pada saat itu umat Islam dihadapkan pada kebutuhan untuk menjawab
persoalan-persoalan riil di masyarakat yang tidak cukup dijawab dengan
Qur’an dan Hadits. Karena alasan inilah, maka ijtihad pada masa itu
mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan, khususnya pada masa
kebesaran pemerintahan Bani Abbasyiyah yang berpusat di Baghdad. Pada
dasarnya studi tentang filsafat Islam dapat dilakukan oleh siapapun dan
dengan metode (cara) apapun. Termasuk model-model studi yang lebih
sistematis yang sudah pernah dirumuskan secara ilmiah. Terdapat beberapa
model atau metode dalam filsafat yaitu Pertama, Metode Deskriptif; kedua,
metode analisis; ketiga, metode sistesis; keempat, metode komparatif. Selain
itu adapula model lain dari kajian filsafat Islam yaitu: Pertama, Model Amin
Abdullah. Model yang dikembangkan oleh Amin Abdullah adalah model
studi tokoh; ; kedua, Model Otto Horrasowitz, Majid Fakhry dan Harun
Nasution. Ketiga tokoh ini menggunakan model pendekatan campuran antara

pendekatan his-toris, pendekatan kawasan, pendekatan substansi dan tematema yang menjadi konsep filosofis sang filsuf; ketiga, Model studi tematik.
Model ini seperti yang dilakukan oleh Oliver Leaman dan Seyyed Husein
Nasr; keempat, model studi tematik al-Quran dengan kerangka filsafat
Kata Kunci : Refreshment, Filsafat Islam
A. PENDAHULUAN
Pada awal pertumbuhannya, pemikiran Islam bergerak secara dinamis
dan menghasilkan khazanah ilmu pengetahuan dan peradaban yang tinggi,
bagai mercusuar yang sulit tertandingi. Namun, sejak abad ke- 13, khazanah
pemikiran Islam mengalami kemandekan, justru di saat Barat mulai
menampakkan kreatifitasnya dalam membangun peradaban.
Menurut catatan para ahli, perkembangan pemikiran Islam mengalami
lompatan sejak pemerintahan Islam pindah ke Damaskus, yakni pada masa
Bani Umaiyah. Pada saat itu umat Islam dihadapkan pada kebutuhan untuk
menjawab persoalan-persoalan riil di masyarakat yang tidak cukup dijawab
dengan Qur’an dan Hadits. Karena alasan inilah, maka ijtihad pada masa itu
1

mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan, khususnya pada masa
kebesaran pemerintahan Bani Abbasyiyah yang berpusat di Baghdad.
Dalam pandangan Amin Abdullah, pesatnya perkembangan pemikiran

umat Islam pada masa kebesaran Islam di Baghdad adalah karena mereka
mampu menggunakan filsafat sebagai alat untuk berijtihad.1 Dengan struktur .
ilmiah yang terbangun dalam tradisi filsafat, umat Islam berupaya mengkaji
khazanah keislaman dan mengembangkannya dalam beragam disiplin ilmu,
seperti kalam, Fiqh, nahwu, tafsir, tasawuf dan lain-lain. Tanpa dukungan
filsafat, ilmu keislaman akan mengalami kelumpuhan, karena ketidak
mampuannya mengembangkan pemikiran melalui struktur logis yang
ditawarkannya.
Pada tulisan ini penulis akan mencoba mengulas mengenai hal ini yang
meliputi Pengertian filsafat, Klasifikasi, metode pengkajian filsafat dalam
studi pemikiran Islam serta contoh-contohnya dan Analisa Metode
Kebermanfaatan Filsafat bagi Masa Depan ,.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata
Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan.
Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut
pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti
cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu
ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja,

melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan
intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan
kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis.2
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat
yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster
1Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),
1995, h. 19
2Liang Gie The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1999)., Cet.
Ke-4., h. 29
2

seperti yang di ungkapkan Soeparmo, 3 secara harafiah filsafat berarti cinta
kebijaksanaan. Maksud sebenarnya

adalah pengetahuan tentang

kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta
hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika,
estetika dan teori pengetahuan.
Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang

yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah
Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih
terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2.
Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya
kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai
Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf
yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan
Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan
terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya
dan kaidah-kaidahnya.4
Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai
sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta
kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus
maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak
menyerah

kepada

kemalasan,


terus

menerus

mengembangkan

penalarannya untuk mendapatkan kebenaran.5
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa
heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada
gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan
manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh
filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento
3Soeparmo, Struktur Keilmuwan Dan Teori Ilmu Pengetahuan Alam, (Surabaya:
Airlangga University Press, 1984)., h. 2
4The Liang Gie, Pengantar....h., 31
5Soeparmo, Struktur Keilmuwan...h. 4

3


Wibisono dkk,6 dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang
pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus
persoalan filsafat.
Dilihat dari arti praktisnya, filsafat adalah alam berfikir atau alam
pikiran. berfilsafat adalah berfikir. Langeveld, dalam bukunya "pengantar
pada pemikiran filsafat" (1959) menyatakan, bahwa filsafat adalah suatu
perbincangan mengenai segala hal, sarwa sekalian alam secara sistematis
sampai ke akar-akarnya. Apabila dirumuskan kembali, filsafat adalah suatu
wacana, atau perbincangan mengenai segala hal secara sistematis sampai
konsekwensi terakhir dengan tujuan menemukan hakekatnya.
Sementara menurut Immanuel Kant menyatakan, bahwa filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala
pengetahuan yang didalamnya mencakup empat persoalan, yaitu apa yang
dapat diketahui (metafisika), apa yang seharusnya diketahui (etika),
sampai dimana harapan kita (agama), dan apa yang dinamakan dengan
manusia (antropologi), dan menurut Hasbullah Bakri merumuskan filsafat
adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
ketuhanan, alam, semesta alam, dan manusia sehingga dapat menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana hekekat ilmu filsafat dapat dicapai oleh
akal manusia dan bagaimana seharusnya sikap manusia setelah mencapai

pengetahuan itu.
2. Klasifikasi Filsafat Menurut Daerah Munculnya
Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang
sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak
karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa diklasifikasikan
menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi
menjadi:
a. Filsafat Barat; adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di
universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka.
Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Plato,
6Koento Wibisono S. Dkk, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, (Klaten: Intan Pariwara, 1997)., h. 6-7

4

Aristoteles, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg
Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche,
dan Jean-Paul Sartre.
b. Filsafat Timur; adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di
Asia, khususnya di India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang

pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah
dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang
lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad
Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih
menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf: Siddharta
Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi
dan juga Mao Zedong.
c. Filsafat Timur Tengah; ini sebenarnya mengambil tempat yang
istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini
sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat
Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah
orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa orang
Yahudi), yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan
menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu
mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karyakarya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran
Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya
klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya
yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orangorang

Eropa.


Nama-nama

beberapa

filsuf

Timur

Tengah:

Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, dan Averroes.
3. Objek Kajian Filsafat
Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya.
Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia
sistematis filsafat. Sistematis filsafat itu biasanya terbagi atas tiga cabang
besar filsafat, yaitu teori pengetahuan, teori hakekat, dan teori nilai.

5


Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Objek yang
dipikirkan oleh filosuf ialah segala yang ada dan yang mungkin ada, jadi
luas sekali. Objek yang diselidiki oleh filsafat ini disebut objek materia,
yaitu segala yang ada dan mungkin ada tadi. tentang objek materia ini
banyak yang sama dengan objek materia sains. Bedanya ialah dalam dua
hal. Pertama, sains menyelidiki objek materia yang impiris; filsafat
menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang impriris, melainkan
bagian yang abtraknya. Kedua, ada objek materia filsafat yang memang
tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir, yaitu objek materia
yang untuk selama-lamanya tidak empiris. Jadi, objek meteria filsafat tetap
saja luas dari objek materia sains.
Selain objek materia, ada lagi objekforma, yaitu sifat penyelidikan.
Objek forma filsafat ialah penyelidikan yang mendalam. Artinya, ingin
tahunya filsafat adalah ingin tahu bagian dalamnya. Kata mendalam
artinya ingin tahu tentang objek yang tidak empiris. Penyelidikan sain
tidak mendalam karena ia hanya ingin tahu sampai batas objek itu daat
diteliti secara empiris. Jadi, objek penelitian sains ialah pada batas dapat
diriset, sedangkan objek penelitian filsafat adalah pada daerah tidak dapat
diriset, tetapi dapat dipikirkan secara logis. Jadi, sains menyelidiki dengan
riset, filsafat meneliti dengan memikirkannya.

4. Metode Pengkajian Filsafat dalam Pemikiran Islam
Pada dasarnya studi tentang filsafat Islam dapat dilakukan oleh
siapapun dan dengan metode (cara) apapun. Termasuk model-model studi
yang lebih sistematis yang sudah pernah dirumuskan secara ilmiah. Adalah
Ibrahim Madkour7, membagi metode-metode studi filsafat Islam
sebagaimana berikut:
Pertama, Metode Deskriptif, yang bermakna suatu metode untuk
pengumpulan

keterangan-keterangan

yang

mendekati

hakikatnya,

mendasar sifatnya, dan menyangkut esensinya yang dipandang amat
diperlukan dalam menyusun pandangan kefilsafatan.
7Ibrahim Madkour,. Filsafat Islam: Metode dan Penerapannya I. ter. Yudian Wahyudi
Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakir. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

6

Kedua, metode analisis yaitu suatu metode untuk memahami nilainilai kefilsafatan secara detil dengan menguraikan makna-makna yang
terkandung dalam data-data, serta menghubungkan makna tersebut dengan
makna lain yang didapat dari kandungan data yang lain pula. Sehingga
diperoleh sebuah kesimpulan akhir yang dianggap benar.
Ketiga, metode sintesis, yaitu metode yang menyatupadukan
berbagai esensi dan keterangan yang mendasar, sehingga tersusun sebuah
pandangan baru dalam bidang kefilsafatan, sebagai hasil konvergensi
berbagai macam esensi.
Keempat, metode komparatif, yakni metode yang berusaha
mendapatkan esensi tertentu dalam bidang kefilsafatan dengan jalan
membandingkan esensi, keterangan yang mendasar dan berbagai aliran
dalam filsafat. Metode ini lebih berorientasi pada perbandingan ciri-ciri
pemikiran kefilsafatan, bukan keseragaman yang tampak pada nilai
kefilsafatannya.
Kelima, metode fenomenologis. Metode ini berusaha memahami
fenomena sebagai data dengan menekankan inti kesadarannya, bukan
persepsi awal peneliti. Dengan kata lain, fenomena yang hendak diteliti
dibiarkan mengalir apa adanya tanpa intervensi dari peneliti.
Seperti halnya metode studi filsafat, model-model studi filsafat
Islam pun variatif dan terus berkembang. Di sini penulis sengaja
menyajikan model yang diperkenalkan oleh Abuddin Nata, sebagai bahan
perbandingan bagi pengembangan studi filsafat Islam selanjutnya. Setidaktidaknya, menurut Abuddin Nata, ada tiga model studi filsafat Islam yang
dapat dikembangkan, yaitu :
Pertama, Model Amin Abdullah. Model yang dikembangkan oleh
Amin Abdullah adalah model studi tokoh, dimana dalam disertasinya
Amin membandingkan konsep etika menurut al-Ghazali dan Immanuel
Kant.8 Dalam melakukan penelitiannya, Amin meneliti karya-karya yang
8Di antara karya lainnya dapat di lacak dalam Amin Abdullah, Teologi dan Filsafat
dalam Perspektif Globalisasi E dalam Mukti Ali, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat, Yogya,
Tiara Wacana, 1998
7

telah ditulis oleh kedua tokoh tersebut tentang etika, sebagai sumber
primer, maupun karya-karya yang ditulis oleh orang lain tentang konsep
etika kedua tokoh tersebut.
Kedua, Model Otto Horrasowitz, Majid Fakhry dan Harun
Nasution.9 Ketiga tokoh ini menggunakan model pendekatan campuran
antara pendekatan historis, pendekatan kawasan, pendekatan substansi dan
tema-tema yang menjadi konsep filosofis sang filsuf. Harun Nasution
misalnya, ia mengkaji filsafat dengan menggunakan metode historis, tokoh
dan ide-idenya. Begitu juga halnya dengan Horrasowits dan Majid Fakhry,
selain membahas kesejarahan filsafat dan tokoh-tokohnya, mereka juga
meneliti ajaran-ajaran sang filsuf tentang cahaya, etika, epistimologi,
wahyu, gerak, jiwa dan lain-lain. Model ini dapat disebut sebagai metode
holistik, karena variabel filsafatyang digunakan bervariasi.
Ketiga, Model studi tematik. Model ini seperti yang dilakukan oleh
Oliver Leaman dan Seyyed Husein Nasr. 10 Kajian ini menggunakan
metode kepustakaan dan analisis atas pemikiran-pemikian filsuf muslim
klasik berdasarkan tema-tema tertentu, seperti mistisisme, ontologi,
pengetahuan, ilmu dan lain-lain.
Keempat, model studi tematik al-Quran dengan kerangka filsafat.
Metode ini diperkenalkan oleh Afzalurrahman. Model studi ini
berdasarkan pada tema-tema tertentu seperti Tuhan, manusia, wahyi, alam
semesta dan lain-lainyang ada di dalam al-Quran untuk dikaji secara
filosofis. Metode yang dipakai dalam model ini adalah analisis bahasa dan
hermeneutik. Sesekali juga dapat meng-gunkan analisis saintifik. Hasil
yang dapat dicapai dengan model studi ini adalah kesimpulan-kesimpulan
atas makna ayat sebagai paradigma al-Quran.
9Lebih lanjut dapat di tinjau dalam bukunya di antaranya, Majid Fakhry, A History of
Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press, 1983 dan Majid Fakhry. Sejarah
Filsafat Islam. ter. Drs. R. Mulyadi Kartanegara. Jakarta: Pustaka Jaya. 1987. juga dapat di lacak
mengenai model ini dalam Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang. 1973
10Dapat di lacak dalam, Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilizatiob in Islam. New
York: New American Library, 1970, Leaman, Oliver Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Rajawali
Pres, 1988 dan Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, terj. A. Mujahid, Bandung, Risalah, 1986
8

Selain keempat model studi tersebut, barangkali tidak sedikit
model lain yang dapat digunakan untuk mengkaji filsafat. Hal ini tidak
mustahil mengingat kinerja filsafat yang bertumpu pada rasionalitas akan
selalu berkembang sesuai dengan perkembangan rasio.
5. Contoh-Contoh Kajian Filsafat dalam Pemikiran Islam
Contoh pemikiran filsafat dari Filsuf muslim berikut ini yang penulis
kemukakan adalah
a.

Abu Nasr Muhammad Al-Farabi (870-950 M).
Dalam tulisan-tulisannya, kerangka pemikirannya cenderung
berusaha memadukan corak filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme
dengan pemikiran keislaman mazhab Syiah Imamiyah. Ia percaya,
seperti halnya al-Razi, bahwa akal merupakan akses utama untuk
mencapai kebenaran. Sekalipun kurang sependapat dengannya ketika
mengecilkan arti penting kenabian. Bagi al-Farabi, untuk membangun
suatu pemerintahan yang ideal (al-madinah al-fadhilah), masyarakat
manapun haruslah mendapat bimbingan dari seseorang yang beroleh
wahyu dari Allah. Ia juga percaya sebagaimana para sufi bahwa
kesadaran penuh akan wahyu bergantung pada spiritualitas yang diolah
dan dipertinggi.11
Tentang penciptaan alam, Al-Farabi mengembangkan konsep
esensi dan eksistensi Aristotelian dengan memberi pembedaan antara
pengada yang niscaya (wajib al-wujud li dzatihi / wujud mutlak) dan
pengada yang kontingen (wajib al-wujud li ghairih / wujud-mungkin).
Wujud-mungkin adalah makhluk yang menjadi bukti adanya wujudmutlak yaitu Allah.12 Dalam hal ini Al-Farabi tidak sependapat dengan
al-Razi yang mempercayai bahwa bahan dunia telah ada sebelum
penciptaan, tetapi lebih sependapat dengan gagasan neoplatonis alKindi yang menyatakan bahwa semua ciptaan beremanasi dari Allah
dan pikiran manusia mampu mengetahui hal tersebut melalui

11Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam (Jakarta : Bulan
Bintang,1984), h. 30
12JMW Bakker, Sejarah Filsafat dalam Islam (Yogyakarta : Kanisius, 1986), h. 13
9

penerangan intelegensi yang lebih tinggi dan eksternal. Dalam teori
emanasi (al-faidl) al-Farabi tersebut, Tuhan dilukiskan sebagai yang
sama sekali Esa dan karenanya tidak bisa didefinisikan. Menurutnya,
definisi hanya akan menisbatkan batasan dan susunan kepada Tuhan
yang itu mustahil bagi-Nya. Tuhan itu adalah substansi yang azali, akal
murni yang berfikir dan sekaligus difikirkan. Ia adalah aql, aqil dan
ma’qul

sekaligus. Karena

pemikiran Tuhan tentang diri-Nya

merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu.
Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diri-Nya itu adalah Akal I.
Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang Esa. Dalam diri Akal I inilah
mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan
dirinya sendiri.13 Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II
dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal
II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri.
Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya
tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal
selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berfikir
tentang dirinya sendiri dan menghasilkan benda-benda langit lainnya,
yaitu: Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus; Akal IV
menghasilkan Akal V dan Yupiter; Akal V menghasilkan Akal VI dan
Mars; Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari; Akal VII
menghasilkan Akal VIII dan Venus; Akal VIII menghasilkan Akal IX
dan Merkuri; Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan; dan Akal X
menghasilkan hanya Bumi. Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi
untuk menghasilkan Akal.
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui
pada zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak.
Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena
tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu
13Ibrahim Madkour, “Al-Farabi” dalam MM. Syarif (Ed), History of Muslim Philosophy
alih bahasa Ilyas Hasan Para Filosof Muslim (Bandung : Mizan, 1992), h. 55
10

mengurus planet yang diwujudkannya. Begitulah Tuhan menciptakan
alam semesta dalam filsafat emanasi Al-Farabi. Tuhan tidak langsung
menciptakan yang banyak itu, tetapi melalui Akal-Akal dalam
rangkaian emanasi. Dengan demikian dalam diri Tuhan tidak terdapat
arti banyak dan Tuhan juga tidak langsung berhubungan dengan yang
banyak. Inilah tauhid yang murni dalam pendapat Al-Farabi dan filsuffilsuf muslim berikutnya yang menganut faham emanasi. Implikasi
logis dari faham emanasi ini adalah pendapat bahwa alam diciptakan
bukan dari tiada atau nihil (creatio ex nihilo) sebagaimana sebelumnya
masih diterima oleh al-Kindi, tetapi dari sesuatu materi asal yang
sudah ada sebelumnya yaitu api, udara, air dan tanah. Materi asal
itupun bukannya timbul dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu yang
dipancarkan oleh pemikiran Tuhan.
Secara ontologi, al-Farabi meyakini faham kesatuan kebenaran
pada tingkat hakikat, dimana perbedaan pendapat dan aliran hanyalah
bersifat lahiriyah. Al-Farabi kemudian mengajukan pendapatnya
tentang akal manusia yang terdiri dari empat macam, yaitu: akal
potensi, akal hakiki, akal iktisabi dan akal wakil. Akal wakil disini
adalah akal pertama atau yang terpisah dari jiwa dalam klasifikasi alKindi. Al-Farabi hanya menyebutkan bahwa akal wakil bentuknya
tidak pernah dalam benda, sedangkan akal yang lainnya berhubungan
dengan benda. Pendapat al-Farabi ini kemudian direkonstruksi lebih
lanjut oleh filsuf muslim berikutnya yang bernama Abu Ali al-Husain
bin Abdullah bin Sina (980 -1037 M). Ibnu Sina berpendapat bahwa
Nabi dan filsuf menerima kebenaran dari sumber yang sama yaitu
Jibril. Hanya saja prosedurnya berbeda, nabi beroleh melalui akal
materiil sedangkan filsuf melalui akal perolehan. Karena itu kebenaran
yang diperoleh antara keduanya tidaklah berbeda. Ibn Miskawaih juga
berpendapat serupa, bahwa para filsuf adalah orang-orang yang cepat
dapat mempercayai apa yang diserukan Nabi. Karena apa yang dibawa
Nabi tidak bisa ditolak oleh akal. Sekalipun Ibn Miskawaih meyakini
11

bahwa filsafat memang tidak untuk konsumsi semua lapisan
masyarakat, tetapi (seperti diistilahkan Ibnu Sina) hanya untuk
kalangan terpelajar (khawwas) saja. Harmonisasi antara akal dan
wahyu dalam konteks kefilsfatan ini nantinya dikerjakan pula oleh Ibn
Thufail dalam karya terkenalnya Hayy ibn Yaqzan dan Ibnu Rusyd
dalam proyek ta’wil-nya.
b.

Ibnu Sina (980-1037 M)
Ia adalah filsuf peripatetik muslim berdarah Persia yang
memiliki

pengaruh

sangat

besar

terhadap

para

filsuf

Barat

terkemudian.14 Ia melanjutkan konsepsi wujud-mutlak dan wujudmungkin dari al-Farabi. Lebih lanjut ia juga menemukan bahwa antara
esensi benda dan eksistensinya dapatlah dibedakan dalam banyak
kasus. Seseorang dapat saja mempunyai ide tentang struktur dasariah
suatu benda tanpa harus mengetahui apakah ia eksis. Tetapi dalam
kasus Tuhan, sebagai suatu kesatuan yang sempurna, maka eksistensi
tidak bisa menjadi sifat yang ditambahkan melainkan bagian yang
integral dari esensi-Nya. Ibnu Sina juga mengambil penalaran
emanasi-hierarkis Neoplatonis yaitu dari intelek Tuhan atau Pikiran
Murni memancar intelegensi lainnya.15 Tetapi ia menganggap materi
sebagai fondasi abadi benda-benda, bukan sekedar emanasi realitas
spiritual yang suram. Konsepsinya tentang kosmogoni ini bersifat
sangat naturalistik, misalnya dari pandangannya tentang bagaimana
Tuhan campur tangan dalam kehidupan manusia. Menurutnya hal itu
tidak dilakukan melalui takdir atau mukjizat, melainkan melalui
keteraturan hukum-hukum alam yang niscaya. Karena pandangan ini
pula, Ibnu Sina memandang bahwa kehendak bebas yang murni pada
manusia tidak mungkin ada.
Ibnu Sina juga mengembangkan pemikiran tentang jiwa yang
sudah diawali oleh aI-Farabi, yaitu membagi jiwa menjadi tiga bagian:
14Nasr, Husain, Tiga Pemikir Islam, terj. A. Mujahid, (Bandung: Risalah, 1986)., h 31.
15Abbas Mahmud Aqqad, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, (Solo: Pustaka Mantiq, 1988)., h.
33

12

(1) Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya makan, tumbuh dan
berkembang biak; (2) Jiwa binatang dengan daya gerak dan
pancaindera. Indera ada dua macam: (a) Indra luar, yaitu pendengaran,
penglihatan, rasa dan raba; dan (b) Indra dalam yang berada di otak
dengan fungsi: menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra;
menggambarkan kesan-kesan tersebut; mengatur gambar-gambar ini;
menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut;
dan menyimpan arti-arti itu sebagai ingatan; (3) Jiwa manusia dengan
daya tunggalnya yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: (a)
Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui
indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang; dan (b) Akal teoritis,
yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi
seperti Tuhan, roh dan malaikat. Akal praktis memusatkan perhatian
kepada alam materi, sedangkan akal teoritis kepada alam metafisik.
Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa
yang terpenting diantaranya adalah jiwa berfikir manusia yang disebut
akal itu. Akal teoritis mempunyai empat tingkatan: (1) Akal potensial,
yaitu akal yang mempunyai potensi untuk rnenangkap arti-arti murni;
(2) Akal bakat, yang telah mulai dapat rnenangkap arti-arti murni; (3)
Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak rnenangkap arti- arti
murni; dan (4) Akal perolehan yang telah sernpurna kesanggupannya
menangkap arti-arti murni (bandingkan dengan klasifikasi akal
menurut al-Kindi dan al-Farabi). Akal tingkat keempat inilah yang
dimiliki oleh para filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti
murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.16
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga
yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhtumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai
binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya
16Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, ter. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1987), h. 393-394.
13

maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis
mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia,
sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi
halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada
kesempurnaan. Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal
menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa
tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya
tubuh kembali menjadi tanah. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang
lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai
fungsi-fungsi fisik. Kedua jiwa ini, karena telah rnemperoleh balasan
di dunia, tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Sementara jiwa
manusia berlainan dengan kedua jiwa di atas dengan fungsinya yang
bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya
bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa tumbuh-tumbuhan dan
binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai
kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami
kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam
keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak.
Penalaran inilah yang mendasari faham bahwa yang akan menghadapi
perhitungan kelak di akhirat adalah jiwa manusia, dan secara logis
menolak adanya kebangkitan jasmani. Ibnu Sina percaya bahwa ruh
bersifat abadi.17
6. Fungsi Filsafat di Masa Depan
a.

Menjawab Tantangan Kontemporer
Pada saat ini, umat Islam telah dilanda berbagai persoalan
ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat
yang bersifat sekuler. Berbagai teori ilmiah, dari berbagai bidang,
fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama metode
ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak
dipandang perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya

17Abbas Mahmud Aqqad, Filsafat....h. 35

14

bagi Laplace (w. 1827), kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah
hanyalah menempati posisi hipotesa. Dan ia mengatakan, sekarang
saintis tidak memerlukan lagi hipotetsa tersebut, karena alam telah bisa
dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk kepada Tuhan. Baginya,
bukan Tuhan yang telah bertanggung jawab atas keteraturan alam,
tetapi adalah hukukm alam itu sendiri. Jadi Tuhan telah diberhentikan
sebagai pemelihara dan pengatur alam.
Mengenai hal ini, maka filsafat menjadi sarana
b.

Filsafat sebagai Pendukung Agama
Berbeda dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana
filsafat dipandang sebagai lawan bagi agama, kini filsafat bisa kita
jadikan sebagai mitra atau pendukung bagi agama. Dalam keadaan di
mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains dan filsafat
modern, filsafat Islam bisa bertindak sebagai pembela atau tameng
bagi agama, dengan cara menjawab serangan sains dan filsafat modern
terhadap agama secara filosofis dan rasional. Selama ini filsafat
dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya,
memang betul. Apaalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah
filsafat Islam, melainkan filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari
akar-akar metafisiknya. Tetapi kalau kita betul-betul mempelajari
filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka filsafat Islam
juga adalag sangat potensial untuk menjadi mitra filsafat atau bahwan
pendukung agama.
Demikian juga serangan terhadap validitas pengalaman mistik
dan religius, juga telah dijawab secara mendalam oleh Muhammad
Iqbal dalam bukunya Reconstruction of Religiuous Thought in Islam
dan Mehdi Ha’iri Yazdi dalam bukunya The Principle of Epistemology
in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Dalam kedua karya
ini, Iqbal dan Yazdi telah mencoba menjelaskan secara filosofis tentang
realitas pengalaman religious dan mistik, dan berusaha menjadikan
pengalaman mistik sebagai salah satu sumber ilmu yang sah. Tentu
15

saja masih banyak hal yang dapat dilakukan filsafat Islam untuk
mendukung agama, yang tidak pada tempatnya untuk dijelaskan secara
rinci di sini.
7. Analisis Metode
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, terlihat Al-Fârâbî
mendefinisikan kebijaksanaan tertinggi sebagai "pengetahuan paling tinggi
tentang Yang Maha Esa sebagai Sebab pertama dari setiap eksistensi
sekaligus Kebenaran pertama yang merupakan sumber dari setiap
kebenaran". Mengikuti Aristoteles, Al-Fârâbî menggunakan istilah filsafat
untuk merujuk pada pengetahuan metafisis yang diungkapkan dalam
bentuk-bentuk rasional serta ilmu-ilmu,yang dijabarkan dari pengetahuan
metafisis yang didasarkan pada metode demonstrasi yang meyakinkan.
Karena itu, filsafat Al-Fârâbî terdiri dari empat bagian: ilmu-ilmu
matematis, fisika (filsafat alam), metafisika, dan ilmu tentang masyarakat
(politik). Perbedaan filsafat-agama oleh Al-Fârâbî dibayangkan dalam
konteks satu tradisi wahyu yang sama. Tetapi perbedaan itu memiliki
keabsahan universal, yang dapat diterapkan bagi setiap tradisi wahyu.
Dengan meninjau tiap-tiap tradisi dalam batas-batas pembagian hierarkis
menjadi filsafat dan agama, Al-Farabi memberikan teori untuk
menjelaskan fenomena, keragaman agama. Menurutnya, agama berbeda
itu satu sama lain karena kebenaran-kebenaran intelektual dan spiritual
yang sama bisa jadi memiliki banyak penggambaran imajinatif yang
berlainan. Kendati demikian, terdapat kesatuan pada setiap tradisi wahyu
didataran

filosofis, karena

pengetahuan filosofis

tentang

realitas

sesungguhnya hanya satu dan sama bagi setiap bangsa dan masyarakat.
Pada saat yang sama, Al-Fârâbî menyukai gagasan keunggulan
relatif satu lambang religius atas lambang lainnya, dalam pengertian
bahwa lambang-lambang dan citra-citra yang dipakai dalam satu agama
lebih mendekati kebeparan spiritual yang hendak disampaikan-lebih tepat
dan lebih efektif-ketimbang yang dipakai dalam agama lainnya. renting
dicatat, Al-Farabi diketahui tidak pernah mencela agama tertentu,
16

meskipun dia berpendapat bahwa sebagian dari lambang dan citra religius
agama tersebut tak memuaskan atau bahkan membahayakan. Tulisnya:
Tiruan

dari

hal-hal

macam

itu

bertingkat-tingkat

dalam

keutamaannya; penggambaran imajinatif sebagian dari mereka lebih baik
dan lebih sempurna, sementara yang lainnya kurang baik dan kurang
sempurna; sebagian lebih dekat pada kebenaran, sebagian lain lebih jauh.
Dalam beberapa hal, butir-butir pandangannya sedikit-atau bahkan tidak
dapat-diketahui, atau malah sulit berpendapat menentang mereka,
sementara dalam beberapa hal lainnya, butir-butir pandangannya banyak
atau mudah dilacak, di samping mudah memahami pendapat tentang
mereka atau untuk menolak mereka.
Perbedaan filsafat-agama sebagaimana telah dirumuskan Al-Fârâbî,
lagi-lagi, menjadi fokus pemusatan hierarki ilmu dalam pemikirannya.
Ketika perbedaan ini diterapkan baik pada dimensi teoretis maupun praktis
dari wahyu, seperti dikemukakan sebelumnya, kita akan sampai pada hasil
yang menyoroti lebih jauh perlakuan Al-Fârâbî terhadap ilmu-ilmu religius
dalam klasifikasinya dikaitkan dengan ilmu-ilmu filosofis. Kalâm dan
fiqh, satu-satunya ilmu-ilmu religius yang muncul dalam klasifikasinya,
Al-Fârâbî adalah ilmu-ilmu eksternal atau eksoterik dari dimensi-dimensi
wahyu secara teoretis dan praktis. Metafisika (al-'ilm al-ilâhî) dan politik
(al-'ilm al-madanî) berturut-turut merupakan mitra filosofisnya.
Dengan posisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika dalam
waktu yang tidak lama, pemikiran filsafat Yunani segera menduduki posisi
puncak dalam percaturan pemikiran Arab-Islam, yakni pada masa Ibn Sina
(980-1037 M). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina
menegakkan bangunan Neoplatonisme diatas dasar kosmologi AristotelesPlotinus,

dimana

dalam

bangunan

tersebut

digabungkan

konsep

pembangunan alam wujud menurut faham emanasi. Dalam kaitannya
dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian,
dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari
sukma yang disebut akal E berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan
17

bahwa kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan prestasiprestasi yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina kemudian diberi gelar Guru
Utama (al-Syaikh al-Rais).
Dari analisis di atas maka penulis memandang bahwa model kajian
filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina cendrung pada model atau metode analisis
yaitu suatu metode untuk memahami nilai-nilai kefilsafatan secara detil
dengan menguraikan makna-makna yang terkandung dalam data-data,
serta menghubungkan makna tersebut dengan makna lain yang didapat
dari kandungan data yang lain pula, sehingga diperoleh sebuah kesimpulan
akhir yang dianggap benar, dan metode sistesis, yaitu metode yang
menyatupadukan berbagai esensi dan keterangan yang mendasar, sehingga
tersusun sebuah pandangan baru dalam bidang kefilsafatan, sebagai hasil
konvergensi berbagai macam esensi.
C. SIMPULAN
Dari pembahasan yang telah penulis uraikan maka dapat di ambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengertian dari filsafat secara umum adalah berarti cinta kebijaksanaan.
Maksud sebenarnya

adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan

yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam
segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori
pengetahuan
2. Terdapat beberapa model atau metode dalam filsafat yaitu Pertama,
Metode Deskriptif; kedua, metode analisis; ketiga, metode sistesis;
keempat, metode komparatif. Selain itu adapula model lain dari kajian
filsafat Islam yaitu: Pertama, Model Amin Abdullah. Model yang
dikembangkan oleh Amin Abdullah adalah model studi tokoh; ; kedua,
Model Otto Horrasowitz, Majid Fakhry dan Harun Nasution. Ketiga tokoh
ini menggunakan model pendekatan campuran antara pendekatan his-toris,
pendekatan kawasan, pendekatan substansi dan tema-tema yang menjadi
konsep filosofis sang filsuf; ketiga, Model studi tematik. Model ini seperti
18

yang dilakukan oleh Oliver Leaman dan Seyyed Husein Nasr; keempat,
model studi tematik al-Quran dengan kerangka filsafat

19

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abbas Mahmud Aqqad, Filsafat Pemikiran Ibn Sina,Solo: Pustaka Mantiq, 1988
Amin Abdullah, Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi E Mukti Ali,
Agama Dalam Pergumulan Masyarakat, Yogya, Tiara Wacana, 1998
______, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
1973
Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, terj. A. Mujahid, Bandung, Risalah, 1986
Ibrahim Madkour, “Al-Farabi” dalam MM. Syarif (Ed), History of Muslim
Philosophy alih bahasa Ilyas Hasan Para Filosof Muslim Bandung :
Mizan, 1992
______, Filsafat Islam: Metode dan Penerapannya I. ter. Yudian Wahyudi Asmin
dan Ahmad Hakim Mudzakir. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
JMW Bakker, Sejarah Filsafat dalam Islam Yogyakarta : Kanisius, 1986
Koento Wibisono S. Dkk, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Klaten: Intan Pariwara, 1997
Leaman, Oliver Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Rajawali Pres, 1988
Liang Gie The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1999.,
Cet. Ke-4
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University
Press, 1983
______, Sejarah Filsafat Islam, ter. Mulyadhi KartanegaraJakarta: Pustaka Jaya,
1987
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam Jakarta : Bulan
Bintang,1984
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilizatiob in Islam. New York: New
American Library, 1970,
Soeparmo, Struktur Keilmuwan Dan Teori Ilmu Pengetahuan Alam, Surabaya:
Airlangga University Press, 1984
20