BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Stress Kerja 2.1.1.1 Pengertian Stress Kerja - Pengaruh Stress Kerja, Motivasi Kerja dan Iklim Organisasi Terhadap Keinginan untuk Keluar (Intention to Leave) Karyawan pada PT. Infomedia Nusantara Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Stress Kerja

2.1.1.1 Pengertian Stress Kerja

  Robbins (2006), stress merupakan kondisi dinamik yang didalamnya individu menghadapi peluang, kendala (constraints), atau tuntutan (demands) yang terkait dengan apa yang sangat diinginkanya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti tetapi penting. Pada dasarnya stress tidak selalu berdampak buruk bagi individu, hal tersebut berarti bahwa pada situasi dan kondisi tertentu stress yang dialami seorang individu akan mamberikan akibat positif yang mengharuskan individu tersebut melakukan tugas lebih baik. Akan tetapi pada tingkat stress yang tinggi atau stress ringan yang berkepanjangan akan menyebabkan menurunnya kinerja karyawan.

  Menurut Mangkunegara (2007), stress kerja adalah perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stress kerja ini tampak dari simpton antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak senang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan.

  Hasibuan (2008) berpendapat stress karyawan timbul akibat kepuasan kerja tidak terwujud dari pekerjaannya. Stress karyawan perlu sedini mungkin diatasi oleh pimpinan agar hal-hal yang merugikan perusahaan dapat diatasi. Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang. Orang-orang yang mengalami stress menjadi nervous dan merasakan kekuatiran kronis. Mereka sering menjadi marah-marah, agresif, tidak dapat relaks, atau memperlihatkan sikap yang tidak koorperatif.

  Beehr dan Franz (Tarupolo, 2002:17), mendefinisikan stress kerja sebagai suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja yang tertentu.

  Gibson dkk (1996:339), menyatakan bahwa stres kerja adalah suatu tanggapan penyesuaian diperantarai oleh perbedaan-perbedaan individu dan atau (lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang.

  Menurut Handoko (2001:200) bahwa “Stres kerja adalah sesuatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang”.

  Sedangkan menurut Efendi (2002 : 303) mengemukakan bahwa “Stres kerja adalah ketegangan atau tekanan emosional yang dialami seseorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan- hambatan, dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran, dan kondisi fisik seseorang”.

2.1.1.2 Penyebab Stress Kerja

  Penyebab stress kerja tidak hanya disebabkan oleh satu faktor penyebab saja, namun stress bisa saja terjadi karena penggabungan dari beberapa sebab sekaligus. Seperti pendapat dari Hasibuan (2008:204) bahwa penyebab stress ada beberapa faktor, yaitu: a.

  Beban kerja yang sulit dan berlebihan b.

  Tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar c. Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai d.

  Konflik antar pribadi dengan pemimpin atau dengan kelompok kerja e. Balas jasa yang terlalu rendah f. Masalah-masalah keluarga seperti anak, istri, mertua, dan lain-lain

  Sedangkan menurut Robbins (2006) tingkat stress pada tiap orang akan menimbulkan dampak yang berbeda. Sehingga ada beberapa faktor penentu yang mempengaruhi tingkat stress seseorang. Faktor tersebut adalah :

  Faktor Lingkungan Ketidakpastian menyebabkan meningkatnya tingkat stress yang dialami karyawan. Ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, dan ketidakpastian teknologi sangat berpengaruh pada eksistensi karyawan dalam bekerja. Tingkat ekonomi yang tidak menentu dapat menimbulkan perampingan pegawai dan pemutusan hubungan kerja (PHK), sedangkan ketidakpastian politik menimbulkan keadaan yang tidak stabil bagi negara, dan inovasi teknologi akan membuat ketrampilan dan pengalaman seseorang akan menjadi usang dalam waktu yang pendek sehingga menimbulkan stress. Dengan ketiga faktor lingkungan tersebut karyawan akan dengan mudah mengalami stress.

2. Faktor Organisasional

  Faktor lain yang berpengaruh pada tingkat stress karyawan adalah faktor organisasional. Ada beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai penyebab stress, yaitu: tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antarpribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi.

  3. Faktor Individual Jika dilogika, setiap individu bekerja rata-rata 40-60 jam per minggu.

  Sedangkan waktu yang digunakan mengurusi hal-hal diluar pekerjaan lebih dari 120 jam per minggu (Robbins, 2006), sehingga akan besar kemungkinan segala macam urusan di luar pekerjaan mencampuri pekerjaan. Berbagai hal di luar pekerjaan yang mengganggu terutama kehidupan interen (Robbins, 2006). Sumber-sumber stress menurut Davis dan Newstrom (Toha, 2008:198) yaitu: 1.

  Beban kerja yang berlebihan, banyaknya tugas dapat menjadi sumber stress bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan fisik maupun keahliannya.

  2. Tekanan atau desakan waktu, atasan sering kali memberikan tugas sesuai dengan target waktu yang terbatas.

  3. Kualitas supervisi yang jelek, seorang karyawan dapat menjalankan tugas sehari-harinnya dibawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan kepada supervisi. Jika supervisi pandai (cakap) dan menguasai tugas bawahannya, ia akan membimbing dan memberikan pengarahan atau instruksi secara baik dan benar.

  4. Iklim politis, iklim politis yang tidak aman akan mempengaruhi semangat kerja.

  5. Wewenang untuk melaksanakan tanggung jawab, atasan sering memberikan tugas kepada bawahannya tanpa diikuti kewenangan yang memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya kepada atasan.

  6. Konflik dan ketaksaan peran, pada situasi seperti ini orang memiliki harapan yang berbeda akan kegiatan seseorang karyawan pada suatu pekerjaan akibat adanya konflik dan ketidakjelasan peran dalam organisasi, sehingga karyawan tidak tahu apa yang harus dia lakukan dan

  7. Perbedaan antara nilai perusahaan dan karyawan, artinya perbedaan ini mencabik-cabik karyawan dengan tekanan mental pada waktu suatu upaya dilakukan untuk memenuhi nilai kebutuhan perusahaan dan karyawan.

  8. Frustasi, suatu akibat dari motivasi yang terhambat dan mencegah seseorang mencapai tujuan yang diinginkan sehingga berpengaruh terhadap pola kerja. Manuaba (2005:4) menyebutkan bahwa stres yang berkaitan dengan pekerjaan, dapat disebabkan oleh:

  1. Tuntutan pekerjaan terlalu berat atau terlalu rendah 2.

  Pekerja tidak punya hak atau tidak diikutkan dalam mengorganisir kerja mereka

  3. Dukungan rendah dari manajemen dan teman sekerja 4.

  Konflik karena tuntutan yang tinggi seperti tercapainya kualitas dan produktivitas.

2.1.1.3 Dampak Stress Kerja

  Pada umumnya, stress kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustasi dan sebagainya. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja, tapi dapat meluas pada aktivitas lain diluar pekerjaan. Misalnya, tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi dan sebagainya.

  Bagi perusahaan, konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung adalah psikologis, dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teraliansi, hingga turnover.

  Menurut Cox (Manurung, 2011:20) terdapat empat konsekuensi yang dapat ditimbulkan stress terhadap karyawan, yaitu:

  1. Pengaruh psikologi, dimana individu menjadi gelisah, agresif, lesu, depresi, bosan, mudah kehilangan kesabaran, kecewa, dan memiliki harga diri yang rendah.

  2. Pengaruh perilaku, dimana individu mengonsumsi alkohol secara berlebihan, berkurangnya nafsu makan atau bertambahnya nafsu makan, menyalahgunakan obat-obatan, serta menurunnya semangat untuk berolahraga yang dapat mengakibatkan timbulnya penyakit.

3. Pengaruh kognitif, dimana individu tidak mampu mengambil keputusan, berkurangnya konsentrasi dan cenderung peka terhadap ancaman.

  4. Pengaruh fisiologis, dimana individu mengalami gangguan kesehatan fisik, baik dari penyakit yang telah diderita sebelumnya, atau timbulnya penyakit tertentu. Menurut Sunyoto (2013:44) dampak stress dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

  1. Gejala fisiologis. Pengaruh awal dari stress umumnya berupa gejala-gejala fisiologis. Hal ini disebabkan masalah stress pertama kali diteliti oleh ahli di bidang ilmu kesehatan dan medis. Kesimpulan dari hasil penelitian metabolism, meningkatkan detak jantung dan tarikan napas, meningkatkan tekanan darah, skait kepala, dan memicu serangan jantung. Hubungan antara stress dengan gejala-gejala fisiologis masih kurang begitu jelas, tetapi beberapa bukti yang lebih mutakhir menunjukkan bahwa stress memiliki efek fisiologis yang membahayakan.

  2. Gejala psikologis. Salah satu gejala psikologis akibat stress adlah adanya ketidakpuasan terhadap pekerjaan. Gejala psikologis lain akibat stress dapat berupa kecemasan, kejenuhan, keteganga, kesal, dan sikap yang suka menunda-nunda pekerjaan. Pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tuntutan berlebihan dan saling bertentangan, tugas yang tidak jelas, serta wewenang dan tanggung jawab juga tidak jelas, dapat menimbulkan stress atau ketidakpuasan.

  3. Gejala perilaku. Individu yang mengalami stress cenderung akan mengalami perubahan aktivitas, kemangkiran, perputaran karyawan, disamping perubahan dalam kebiasaan makan, merokok, konsumsi alcohol, bicara gagap, kegelisahan/anxiety, dan tidur tidak teratur.

  Stress yang dialami karyawan dapat menimbulkan berbagai perilaku negatif terhadap organisasi, seperti menurunnya kinerja atau meningkatnya ketidakhadiran kerja. Schuller (dalam Manurung, 2011:19) mengidentifikasi beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stress kerja karyawan terhadap organisasi: 1.

  Mengganggu kenormalan aktivitas bekerja Menurunnya produktivitas kerja 3. Terjadinya kekacauan berupa hambatan, baik di dalam manajemen maupun operasional

  4. Menurunnya keuntungan perusahaan akibat ketidakseimbangan produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk kesejahteraan karyawan.

2.1.1.4 Kegiatan-kegiatan Personalia untuk Mengurangi Stress

  Menurut Handoko (2001) cara terbaik untuk mengurangi stress adalah dengan menangani penyebab-penyebabnya. Sebagai contoh, departemen personalia dapat membantu karyawan untuk mengurangi stress dengan memindahkan (transfer) ke pekerjaan lain, mengganti penyelia yang berbeda, dan menyediakan lingkungan kerja yang baru. Latihan dan pengembangan karier dapat diberikan untuk membuat karyawan mampu melaksanakan pekerjaan baru.

  Cara lain untuk mengurangi stress adalah merancang kembali pekerjaan- pekerjaan sehingga para karyawan mempunyai pilihan keputusan lebih banyak dan wewenang untuk melaksanakan tanggung jawab mereka. Desain pekerjaan juga dapat mengurangi kelebihan beban kerja, tekanan waktu dan kemenduaan peran. Selanjutnya komunikasi dapat diperbaiki untuk memberikan umpan balik pelaksanaan kerja, dan partisipasi dapat ditingkatkan.

  Departemen personalia hendaknya juga membantu para karyawan untuk memperbaiki kemampuan mereka dalam menghadapi stress. Komunikasi yang dan program-program latihan dapat diselenggarakan untuk pengembangan ketrampilan dan sikap menangani stress. Pelayanan konseling, mungkin merupakan cara paling efektif untuk membantu para karyawan menghadapi stress.

  Menurut Handoko (2001:204) konseling adalah pembahasan suatu masalah dengan seorang karyawan, dengan maksud pokok untuk membantu karyawan tersebut agar dapat menangani masalah secara lebih baik. Atau dengan kata lain, konseling bertujuan untuk membuat orang-orang menjadi lebih efektif dalam memecahkan masalah-masalah mereka. Konseling biasanya bersifat rahasia agar para karyawan merasa bebas untuk mengemukakan berbagai masalah mereka secara bebas. Konseling mencakup baik masalah-masalah pribadi maupun pekerjaan, karena kedua tipe masalah tersebut bisa mempengaruhi prestasi kerja karyawan.

2.1.1.5 Dimensi Stress Kerja Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut stresor.

  Meskipun stress dapat disebabkan oleh hanya satu stresor, biasanya karyawan mengalami stress karena kombinasi stresor.

  Menurut (Robbins, 1996:225) indikator-indikator yang menyebabkan timbulnya stres kerja dapat didefinisikan menjadi tiga

  : a.

  Tuntutan tugas. Tuntutan tugas yaitu stres kerja yang secara langsung terkait dengan lingkungan kerja dan fungsi secara langsung dengan pekerjaan. Item dari tuntutan tugas adalah : o

  Emosi yang tinggi dalam pekerjaan. o Menghabiskan seluruh waktu untuk bekerja setiap hari. o Merasa lelah ketika bangun tidur dan harus menemui pekerjaan lagi. o

  Dapat dengan mudah memahami bagaimana perasaan tentang segala sesuatu. o

  Merasa menemui banyak rintangan seolah-olah mereka (orang-orang di sekitar) tidak mau menghargai keberadaan. o Merasa orang-orang di sekitar mencela tentang beragam masalahnya.

  b.

  Tuntutan peran. Tuntutan peran yaitu stres kerja yang berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu. Pengukuran variabel tuntutan peran antara lain: kesiapan karyawan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan, perbedaan antara atasan dengan karyawan berkaitan dengan tugas yang harus dilaksanakan, disiplin ilmu yang berbeda-beda pada suatu bidang pekerjaan, keterbatasan waktu dalam melaksanakan pekerjaan dan beban pekerjaan yang ditanggung karyawan. Item dari tuntutan peran adalah : o Kekhawatiran bahwa pekerjaan sekarang meningkatkan emosi. o Merasa sangat energik. o Merasa frustasi dengan pekerjaan. o Merasa bekerja terlalu keras. o

  Bekerja setiap hari dengan orang-orang menjadi sebuah tekanan tersendiri. o Merasa sangat efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah. o Mengalami stres yang kronis/stres yang sangat tinggi dalam pekerjaan. o Dapat mempengaruhi orang-orang di sekitar melalui pekerjaan.

  c.

  Tuntutan pribadi. Tuntutan pribadi yaitu stres kerja yang terkait dengan tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain. Pengukuran variabel tuntutan pribadi antara lain hubungan karyawan dengan supervisi, hubungan karyawan dengan rekan kerja, hubungan karyawan dengan keluarga, pengawasan yang dilakukan oleh supervisi atau atasan dan keahlian yang dimiliki oleh supervisi. Item dari tuntutan pribadi adalah: o Merasa berada diakhir perjalanan hidup. o Menjadi jauh dengan orang-orang di sekitar sejak bekerja diposisi ini. o Tidak cukup perhatian pada apa yang terjadi disekitar. o Bekerja dengan banyak orang, secara langsung meningkatkan stres. o Dapat menciptakan suasana yang santai dengan orang-orang di sekitar. o Merasa terhibur setelah bekerja dengan orang-orang di sekitar. o Telah menyelesaikan banyak hal yang bernilai dalam pekerjaan ini. o

  Dalam pekerjaan ini menghadapi masalah emosional dengan sangat tenang.

2.1.2 Motivasi Kerja

2.1.2.1 Pengertian Motivasi Kerja

  Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) karyawan dalam menghadapi caranya mendorong gairah keja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan perusahaan.

  Pada dasarnya perusahaan bukan saja mengharapkan karyawan yang mampu, cakap dan terampil, tetapi yang terpenting mereka mau bekerja giat dan berkeinginan untuk mencapai hasil kerja yang optimal. Kemampuan, kecakapan dan keterampilan karyawan tidak ada artinya bagi perusahaan, jika mereka tidak mau bekerja keras dengan mempergunakan kemampuan, kecakapan dan keterampilan yang dimilikinya. Motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap individu karyawan mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi.

  Menurut Sunyoto (2013:1) motivasi kerja adalah sebagai keadaan yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu utnuk mencapai keinginannya. Motivasi yang ada pada seseorang merupakan kekuatan yang akan mewujudkan suatu perilaku dalam mecapai tujuan kepuasan dirinya pada tipe kegiatan yang spesifik, dan arah tersebut positif dengan mengarah mendekati objek yang menjadi tujuan.

  Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan daya dan potensi bawahan, agar mau bekerjasama secara produktif sehingga dapat mencapai dan mewujudkan tujuan perusahaan yang telah ditentukan. Pentingnya motivasi karena motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja sama secara giat sehingga mencapai hasil mencapai tujuannya, karena didasari oleh motivasi.

  Menurut Sedarmayanti (2008:233) motivasi merupakan kesediaan mengeluarkan tingkat upaya tinggi kearah tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi kebutuhan individual. Unsur upaya merupakan ukuran intensitas. Bila seseorang termotivasi, ia akan mencoba kuat.

  Motivasi dapat pula dikatakan sebagai energy untuk membangkitkan dorongan dalam diri (drive arousal). Hal ini akan lebih jelas jika diperhatikan pada gambar 2.1 yang dikemukakan oleh Baron (Mangkunegara, 2007:94).

  

Sumber : Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan (Mangkunegara, 2007:94)

Gambar 2.1 Motivasi Sebagai Pembangkit Dorongan

  Keterangan : Bilamana suatu kebutuhan tidak terpuaskan maka timbul

  drive dan aktivitas individu untuk merespon perangsang (incentive) dalam tujuan yang diinginkan. Pencapaian tujuan akan menjadikan individu merasa puas.

  Menurut Mangkunegara (2009:93), berpendapat bahwa : “Motivasi adalah kondisi yang menggerakan pegawai agar mampu mencapai tujuan dari motifnya”.

  Menurut Hariandja (2009:320) berpendapat bahwa : “Motivasi adalah sebagai faktor – faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk usaha yang keras atau lemah”.

  Menurut Wibowo (2010:379) mengemukakan bahwa : “Motivasi merupakan dorongan terhadap serangkaian proses perilaku manusia pada pencapaian tujuan. Sedangkan elemen yang terkandung dalam motivasi meliputi unsur membangkitkan, mengarahkan, menjaga, menunjukkan intesitas, bersifat teru s menerus dan adanya tujuan”.

  Drive Satisfied Need

  Unsatisfied Need Incentive Goal

2.1.2.2 Tujuan Pemberian Motivasi

  Hasibuan (2008:97) menyebutkan tujuan pemberian motivasi adalah sebagai berikut :

  1. mendorong gairah dan semangat kerja karyawan 2. meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan 3. meningkatkan produktivitas kerja karyawan 4. mempertahankan loyalitas dan kestabilan karyawan perusahaan 5. meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi karyawan mengefektifkan pengadaan karyawan

  7. menciptakan suasana hubungan kerja yang baik 8. meningkatkan kreativitas dan partisipasi karyawan 9. meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan 10. mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-tugasnya 11. meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku

  Seorang bawahan mungkin melakukan pekerjaan yang diberikan kepadanya dengan baik itu adalah keinginan perusahaan. Adapun kemungkinan seorang karyawan tidak baik menjalankan tugasnya. Mengapa hal ini sampai terjadi, maka perusahaan harus mengetahui penyebab-penyebabnya. Mungkin la tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya tetapi ada juga kemungkinan ia tidak mempunyai dorongan atau motivasi untuk bekerja dengan baik, maka salah satu tugas yang harus diketahui oleh seorang pemimpin adalah bagaimana memotivasi bawahannya untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan perusahaan.

  Menjadi salah satu tugas pimpinan perusahaan untuk dapat memberikan motivasi (dorongan) kepada bawahannya agar dapat bekerja sesuai dengan pengarahan yang diberikan. Oleh sebab itu pengetahuan tentang motivasi perlu diketahui oleh setiap pimpinan, setiap orang yang bekerja dengan orang lain.

  2.1.2.3 Alat-Alat Motivasi

  Menurut Hidjrachman dan Husnan (2002), alat-alat motivasi yang diberikan kepada karyawan kepada bawahan berupa: a.

  Material Insentif. Material insentif adalah motivasi yang bersifat materiil material insentif adalah yang berbentuk uang dan barang-barang.

  b.

  Nonmaterial Insentif. Nonmaterial insentif adalah motivasi yang tidak berbentuk materi. Yang termasuk nonmaterial adalah penempatan yang tepat, pekerjaan yang terjamin, piagam penghargaan, perlakuan yang wajar dan sejenisnya.

  2.1.2.4 Teori Hierarki Kebutuhan Dari Maslow

  Untuk memahami motivasi pegawai dalam penelitian ini digunakan teori morivasi dari Maslow atau yang disebut Teori Kebutuhan atau Model Hierarki Kebutuhan dari Maslow.

  Kebutuhan dapat didefinisikan sebagai suatu kesenjangan atau pertentangan yang dialami antara suatu kenyataan dengan dorongan yang ada dalam diri.

  Apabila pegawai kebutuhannya tidak terpenuhi maka pegawai tersebut akan menunjukkan perilaku kecewa. Sebaliknya, jika kebutuhannya terpenuhi maka pegawai tersebut akan memperlihatkan perilaku yang gembira sebagai manifestasi dari rasa puasnya (Mangkunegara, 2007:94).

  Kebutuhan merupakan fundamental yang mendasari perilaku pegawai tanpa mengerti kebutuhannya. Maslow mengemukakan bahwa hierarki kebutuhan manusia adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk merasa memiliki, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri.

  Hierarki kebutuhan dari Maslow ditunjukkan dengan bentuk piramida pada

  

Sumber : Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan (Mangkunegara, 2007:95)

Gambar 2.2 Hierarki Kebutuhan Dari Abraham Maslow

2.1.2.5 Dimensi Motivasi Kerja

  Mengacu pada teori Motivasi Hierarki Kebutuhan Maslow, maka definisi konseptual variabel penelitian motivasi adalah kondisi dinamis kebutuhan pegawai dalam bekerja dan melaksanakan tugas yang terungkap dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan berkelompok, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri.

  Operasionalisasi variabel penelitian motivasi mencakup 5 dimensi yakni dimensi kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. Kelima dimensi tersebut dioperasionalkan dalam konsep operasional sebagai berikut :

  1. Kebutuhan fisiologis, ditunjukan dengan pemberian gaji yang layak kepada pegawai, pemberian bonus, uang makan, uang transportasi, fasilitas

  2. Keamanan, ditunjukan dengan fasilitas keamanan dan keselamatan kerja yang diantaranya seperti adanya jaminan sosial tenaga kerja, dana pension, tunjangan kesehatan, asuransi kesehatan, dan perlengkapan keselamatan kerja.

  3. Sosial, ditunjukan dengan melakukan interaksi dengan orang lain yang diantaranya dengan menjalin hubungan kerja yang harmonis, kebutuhan untuk diterima dalam kelompok dan kebutuhan untuk mencintai dan dicintai.

  4. Penghargaan, ditunjukan dengan pengakuan dan penghargaan berdasarkan kemampuan, yaitu kebutuhan untuk dihormati dan dihargai oleh karyawan lain dan pimpinan terhadap prestasi kerjanya.

  5. Aktualisasi diri, ditunjukan dengan sifat pekerjaan yang menarik dan menantang, dimana karyawan tersebut akan mengerahkan kecakapannya, kemampuan, keterlampilan, dan potensinya. Dalam pemenuhan kebutuhan ini dapat dilakukan oleh perusahaan dengan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.

2.1.3 Iklim Organisasi

2.1.3.1 Pengertian Iklim Organisasi

  Iklim atau climate berasal dari bahasa Yunani yaitu incline, kata ini tidak hanya memberikan arti yang terbatas pada hal-hal fisik saja seperti temperatur atau tekanan, tetapi juga memiliki arti psikologis bahwa orang-orang yang berada tersebut.

  Istilah iklim organisasi (organizational climate) pertama kali dipakai oleh Lewin pada tahun 1930-an, yang menggunakan istilah iklim organisasi (psychological climate). Kemudian istilah iklim organisasi dipakai oleh Tagiuri dan Litwin. Tiaguri mengemukakan sejumlah istilah untuk melukiskan perilaku dalam hubungan dengan latar atau tempat (setting) dimana perilaku muncul; lingkungan (environment), lingkungan pergaulan (milieu), budaya (culture), suasana (atmosphere), situasi (situation), pola lapangan (field setting), pola perilaku (behaviour setting) dan kondisi (conditions).

  Menurut Wirawan (2007: 122) berpendapat bahwa: “persepsi anggota organisasi (secara individual dan kelompok) dan mereka yang secara tetap berhubungan dengan organisasi (misalnya pemasok, konsumen, konsultan, dan kontraktor) mengenai apa yang terjadi di lingkungan internal organisasi secara rutin, yang mempe-ngaruhi sikap dan perilaku organisasi dan kinerja anggota organisasi yang kemudian menentukan kinerja organisasi. Iklim organisasi sebenarnya merupakan persepsi seseorang atau sekelompok orang dari budaya organisasi”.

  Menurut Lussier (2005:486) mengatakan iklim organisasi adalah persepsi pegawai mengenai kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif dirasakan oleh anggota organisasi yang kemudian akan mempengaruhi perilaku mereka berikutnya.

  Menurut Sunyoto (2013:37) bahwa iklim organisasi adalah serangkaian perasaan dan persepsi dari pihak berbagai pekerja yang dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari satu pekerja ke pekerja yang lain.

  Davis (2001) mengem ukakan pengertian iklim organisasi sebagai “The

  human environment within an organization’s employees do their work”.

  Pernyataan Davis tersebut mengandung arti bahwa iklim organisasi itu adalah yang menyangkut semua lingkungan yang ada atau yang dihadapi oleh manusia di dalam suatu organisasi tempat mereka melaksanakan pekerjaannya.

  Davis (dalam Djatmiko, 2005) menyebutkan bahwa unsur-unsur yang mengkontribusi terciptanya iklim yang menyenangkan adalah:

1. Kualitas kepemimpinan, 2.

  Tingkat kepercayaan, 3. Komunikasi ke atas dan ke bawah, 4. Perasaan melakukan pekerjaan yang bermanfaat, 5. Tanggung jawab, 6. Imbalan yang adil, 7. Tekanan pekerjaan, 8. Kesempatan, 9. Pengendalian, struktur, danbirokrasi,

10. Keterlibatan pegawai, partisipasi.

  Iklim organisasi penting untuk diciptakan karena merupakan persepsi seseorang tentang apa yang diberikan oleh organisasi dan dijadikan dasar bagi penentuan tingkah laku anggota selanjutnya. Iklim ditentukan oleh seberapa baik anggota diarahkan, dibangun dan dihargai oleh organisasi.

  Iklim organisasi menjadi sangat penting karena dengan iklim organisasi yang kondusif, setiap individu, tim kerja dan pimpinan, akan mengetahui, memahami dan melaksanakan tata kerja sesuai tugas, fungsi, pekerjaan, kedudukan, hak dan yang terjadi dan terbangun dengan baik yang ditandai dengan praktek produktivitas kerja dalam suatu organisasi publik, dapat menimbulkan efek administrasi dan perilaku organisasi yang baik, serta menimbulkan efek positif pada meningkatnya produktivitas kerja.Perilaku yang tidak dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara optimal, mencerminkan rendahnya produktivitas kerja, kejadian seperti itu diduga sebagai akibat kurang baiknya iklim organisasi (organizational climate) (Karyana, 2007).

2.1.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Iklim Organisasi

  Furnham (1997) mengemukakan bahwa terdapat berbagai model yang dikembangkan untuk menjelaskan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi iklim organisasi. Terdapat banyak cara untuk menjelaskan faktor-faktor tersebut, seperti: a.

  Sumber eksternal: ekonomi, pemasaran, politik, sosial dan teknologi b.

  Sejarah organisasi: budaya, nilai-nilai dan pola perilaku dalam organisasi c. Manajemen: struktur organisasi dan pola kepemimpinan

  Stringer (Wirawan, 2007) mengemukakan bahwa terdapat lima faktor yang menyebabkan terjadinya iklim suatu organisasi, orang yang ingin mengubah iklim suatu organisasi harus mengevaluasi masing-masing faktor ini. Faktor-faktor ini antara lain adalah: a.

  Lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal mempengaruhi keenam dimensi iklim organisasi, menurut Stringer terdapat pengaruh langsung komitmen. Ketiga dimensi lainnya; standar, dukungan dan komitmen lebih terpengaruh oleh faktor-faktor internal penentu iklim organisasi.

  Lingkungn eksternal yang dimaksud disni antara lain adalah kecepatan perubahan dalam suatu jenis industri, level konsolidasi dan regulasi tinggi industri tanpa ada persaingan dalam suatu industri dan ekonomi kuat dan pasar kerja yang baik.

  b.

  Strategi organisasi. Kinerja suatu perusahaan bergantung pada strategti (apa yang diupayakan untuk dilakukan), energi yang dimiliki oleh karyawan untuk melaksanakan pekerjaan yang diperlukan oleh strategi dan faktor-faktor lingkungan penentu dari level energi tersebut.

  c.

  Pengaturan organisasi. Pengaturan organisasi mempunyai pengaruh yang paling kuat terhadap iklim organisasi. Pengaturan organisasi tersebut antara lain adalah hubungan desain formal organisasi dan hubungan pelaporan, deskripsi pekerjaan, penentu tujuan, sistem pengukuran kinerja, sistem evaluasi, sistem imbalan, sistem pelatihan dan pengembangan, kebijakan dan prosedur baru, sistem manajemen karir, sistem manajemen SDM, rapat formal dan pengaturan organisasi formal atau informal.

  d.

  Kekuatan sejarah. Semakin tua umur suatu organisasi semakin kuat pengaruh kekuatan sejarahnya. Pengaruh tersebut dalam bentuk tradisi dan ingatan yang membentuk harapan anggota organisasi dan mempunyai pengaruh terhadap iklim organisasinya.

  e.

  Kepemimpinan. Menurut Stringer terdapat tiga alasan mengapa tersebut antara lain: (1) kepemimpinan merembes ke semua unit dan aktivitas dalam organisasi. Faktor-faktor penentu iklim organisasi lainnya seperti pengaturan organisasi dan strategi dikomunikasikan kepada anggota organisasi melalui kata-kata dan tindakan manajer atau pimpinan kelompok kerja yang diekspresikan sebagai kepemimpinan. (2) penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan mempunyai pengaruh paling besar terhadap iklim organisasi. (3) kepemimpinan merupakan faktor penentu iklim organisasi yang paling mudah dirubah.

2.1.3.3 Dimensi Iklim Organisasi

  Ada lima dimensi iklim organisasi menurut Jacques (1999), yaitu: 1.

  Imbalan merupakan imbalan secara langsung dari organisasi terhadap individu atas pekerjaannya maupun harapan dari individu terhadap pekerjaannya.

  2. Komitmen kelompok adalah keadaan dimana individu bekerja sama dalam menjalankan pekerjaannya, percaya satu sama lain, dan adanya kebanggaan menjadi bagian dari kelompok.

  3. Fleksibel adalah keadaan dimana individu dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa merasa dibatasi peraturan dan organisasi mendukung kreatifitasnya.

4. Standar merupakan ukuran-ukuran yang digunakan oleh organisasi dalam menentukan kinerja individu.

  Kejelasan merupakan kebijakan organisasi yang berkenaan dengan maksud dan tujuan, peran, serta prosedur.

2.1.4 Keinginan Untuk Keluar (Intention to Leave)

2.1.4.1 Pengertian Keinginan Untuk Keluar (Intention to Leave)

  Miller (2007) menyebutkan bahwa keinginan untuk keluar (intention to leave) pada beberapa literature disebut juga turnover intention (Chaaban, 2006),

  

anticipated turnover (Hinshaw & Atwood, 1985) dan intention to quit (Mowday,

Strees, & Peter, 1979).

  Menurut Abelson (1987:42) keinginan pindah karyawan mengacu pada hasil evaluasi individu mengenai kelanjutan hubungan dengan organisasi dan belum diwujudkan dalam tindakan pasti meninggalkan organisasi.

  Firth (2004) mendefinisikan keinginan untuk keluar atau intention to quit adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti dari pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya sendiri. Keinginan untuk keluar sangat dipengaruhi oleh ketidakpuasan kerja, rendahnya tingkat komitmen organisasi dan tingginya stress kerja yang disebabkan oleh job stresors.

  Tet dan Meyer (1993) mendefinisikan keinginan untuk keluar (intention to

  

leave) yaitu niat karyawan untuk meninggalkan organisasi sebagai sadar dan

  hasrat disengaja dari karyawan untuk meninggalkan organisasi. Sedangkan menurut Martin (1979) keinginan untuk keluar (intention to leave) adalah tingkat keinginan karyawan atau niat untuk meninggalkan organisasi.

  (Intention to Leave)

  Barak, Nissli dan Levin (2001) menambahkan tiga kategori yang menjadi pengaruh keinginan untuk keluar yaitu, faktor demografis (personal dan work-

  related ), komitmen organisasi dan kepuasan kerja (profession perception), dan

  keadilan dalam memberikan kompensasi dan budaya organisasi (organizational condition) .

  a.

  Faktor Demografis Beberapa penelitan sebelumnya menemukan bahwa usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, masa kerja, dan level jabatan menjadi predictor

  turnover . Individu yang muda dan memiliki pendidikan yang tinggi

  cenderung memiliki keinginan yang lebih besar untuk meninggalkan pekerjaannya. Hal ini sejalan dengan temuan Leontaridi dan Ward (2002).

  Pekerjaan minoritas yang berbeda gender, etnik, jenis kelamin, atau usia dengan lingkungan tempatnya bekerja memiliki keinginan untuk keluar

  (intention to leave) yang lebih besar. Sedangkan individu yang memiliki masa kerja lebih lama dna jabatan yang lebih tinggi cenderung untuk tetap bertahan pada pekerjaanya. Barak, Nissli dan Levin (2001) menambahkan bahwa factor demografis merupakan predictor keinginan untuk keluar (intention to leave).

  b.

  Komitmen Organisasi dan Kepuasan Kerja Individu yang memiliki konflik nilai dengan organisasi tempatnya bekerja akan cenderung untuk meninggalkan pekerjaanya. Sedangkan individu cenderung untuk tetap bertahan pada pekerjaannya. Komitmen organisasi merupakan salah satu predictor keinginan untuk keluar (intention to leave).

  Mowday, Strees, dan Porter (Barak, Nissli, & Levin, 2001) menjelaskan bahwa individu yang memiliki komitmen terhadap organisasi, nilai organisasi, dan keyakinan yang sama dengan organisasi cenderung untuk tetap berada pada organisasi tersebut. Semakin tinggi komitmen organisasi semakin rendah keinginan untuk keluar(intention to leave) pada karyawan. Kepuasan kerja juga merupakan prediktor yang konsisten terhadap keinginan untuk keluar(intention to leave) dimana semakin tinggi kepuasan kerja seorang karyawan, semakin rendah keinginan untuk keluar(intention to leave) yang dimiliki, dan sebaliknya.

  c.

  Keadilan Dalam Memberikan Kompensasi dan Budaya Organisasi Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat stress kerjayang tinggi akan cenderung untuk meninggalkan pekerjaannya. Stress kerja sangat berkolerasi dengan turnover, peran yang berlebihan, dan ketidakjelasan deskripsi kerja.

  Dukungan kerja dari karyawan lain dan atasan dapat mereduksi tingkat stress kerja pada karyawan. Leontaridi dan Ward (2002) menambahkan bahwa stress kerja merupakan determinan dari turnover pada pekerjaan. Hal ini lebih sering ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki. Avey, Luthans dan Jensen (2009) memiliki hasil penelitian yang serupa, yaitu stress kerja yang memiliki hubungan positif yang signifikan dengan pada individu, semakin tinggi pula keinginan untuk keluar (intention to

  leave ) pada individu. American Psychological Association (Avey, Luthans

  dan Jensen 2009) mengidentifikasi bahwa pekerjaan yang menjadi sumber utama stress adalah beban kerja yang berat, harapan kerja yang tidak menentu, dan panjangnya jam kerja. Cabigao (2009) menambahkan dua faktor yang mempengaruhi keinginan untuk keluar (intention to leave) yaitu pengakuan (recognition) dan sumber daya

  (resource).

  a.

  Pengakuan(Recognition) Pengakuan (recognition) merupakan pengakuan organisasi terhadap karyawannya. Kurangnya pengakuan (recognition) yang diberikan oleh perusahaan menjadi faktor signifikan yang mempengaruhi keputusan karyawan untuk tetap bekerja dalam perusahaan tersebut (Alexander, 2004; dalam Cabigao, 2009). Semakin tinggi pengakuan (recognition) yang diberikan semakin rendah keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan. Menurut Helmer dan Mcknight (Cabigao, 2009) menjelaskan bahwa karyawan secara terus-menurus merasa dipandang sebagai sub ordinat dan merasa bukan bagian utama dari perusahaan.

  b.

  Sumber Daya(Resource) Sumber daya (resource) yang dimaksud dalam perusahaan adalah individu yang berada di dalamnya, informasi, program yang disediakan oleh perusahaan untuk karyawan, dan aksesibilitas yang dapat digunakan merupakan prediktor yang kuat untuk keinginan untuk keluar (intention to

  leave ) pada karyawan (Cabigao, 2009). Semakin baik sumber daya

  (resource) yang dimiliki perusahaan, semakin rendah keinginan untuk keluar (intention to leave) pada karyawan.

2.1.4.3 Dimensi Keinginan Untuk Keluar (Intention to Leave)

  Dimensi keinginan pindah karyawan diukur dengan indikator sebagai berikut: (Mas’ud, 2004) 1.

  Sering berfikir keluar dari pekerjaan sekarang 2. Kemungkin meninggalkan pekerjaan yang sekarang 3. Kemungkinan individu akan meninggalkan organisasi bila ada kesempatan yang lebih baik

2.2 Penelitian Terdahulu No. Peneliti Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian 1.

  Gunawan Aprizal Siagian 2014 Analisis Pengaruh Stres Kerja

  Dan Kepuasan Kerja Terhadap Intention To Quit Perawat (Studi Pada RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang)

  Hasil pengujian terhadap hipotesis, menunjukkan bahwa variabel stres kerja berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja perawat. Stres kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap intention to quit perawat. Kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap intention to quit perawat.

  Dari hasil analisis jalur menenunjukkan bahwa pengaruh stres kerja lebih besar terhadap Intention to quit jika melalui variabel kepuasan kerja.

  2. Siti Muliana 2013 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keinginan Pindah Kerja Perawat Rumah Sakit Atma Jaya

  Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel kompensasi berpengaruh signifikan. Kompensasi, pengembangan karir dan iklim kerja mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap keinginan pindah kerja.

  3. Adhi Setyanto, Suharnomo, dan Sugiono 2013

  

Analisis Pengaruh Kepuasan

Kerja Dan Iklim Organisasi

Terhadap Keinginan Keluar

(Intention To Quit) Dengan

Komitmen Organisasional

Sebagai Variabel Intervening

(Pada Perusahaan Perkebunan

Kelapa Sawit Teladan Prima

Group) Hasil analisis dapat disimpulkan sebagai berikut: kepuasan kerja memiliki efek positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi, iklim organisasi memiliki positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi, komitmen organisasi memiliki efek negatif dan signifikan pada niat untuk berhenti, kepuasan kerja memiliki efek negatif dan signifikan pada niat untuk berhenti, dan komitmen organisasi berpengaruh positif dan signifikan pada niat untuk berhenti.

  5. Mona Triania Manurung 2012 Analisis Pengaruh Stres Kerja dan Kepuasan Kerja Terhadap Turnover Intention

  Karyawan (Studi Pada STIKES Widya Husada Semarang) Hasil pengujian terhadap hipotesis, menunjukkan bahwa variabel stres kerja berpengaruh positif terhadap turnover intention karyawan. Kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap turnover intention karyawan. Hasil koefisien determinasi yang kecil menunjukkan bahwa kemampuan variabel independen (stres kerja dan kepuasan kerja) dalam menjelaskan variabel dependen (turnover intention karyawan) sangat terbatas.

  6. Rindi Nurlaila Sari 2012 Pengaruh Motivasi Kerja, Kepercayaan Diri, Dan Dukungan Kelompok Terhadap Kepuasan Kerja, Kesiapan Bekerjasama, Dan KecenderunganKeluar Dari Pekerjaan

  Berdasarkan hasil analisis disimpulkan pengaruh motivasi, kepercayaan diri, dan dukungan kelompok signifikan terhadap kepuasan kerja; pengaruh motivasi, kepercayaan diri, dan dukungan kelompok signifikan terhadap kesiapan bekerjasama; pengaruh motivasi, kepercayaan diri, dan dukungan kelompok signifikan terhadap kecenderungan keluar dari pekerjaan.

  7. Novia Trisiyanie 2010 Pengaruh Kompensasi, Motivasi Dan Kepuasan KerjaTerhadap Keinginan Untuk Keluar (Turn Over Intention) di PT Garam Persero Surabaya

  Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa pengaruh kepuasan kerja, kompensasi dan motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap keinginan untuk keluar pegawai pada PT Garam Persero Surabaya.

  8. Pascal Paillé 2011 Stressful Work, Citizenship Behaviour And Intention To Leave The Organization In A High Turnover Environment: Examining The Mediating Role Of Job Satisfaction Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan hasil bahwa stress kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap keinginan untuk keluar dari organisasi.

9. Asif Sajjad, Hassan Ghazanfar, Dr.

  M Ramzan 2013 Impact of Motivation on Employee Turnover in Telecom Sector of Pakistan Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi kerja berpengaruh signifikan dan negatif terhadap keinginan untuk keluar karyawan Telecom Sector Pakistan.

  10. Saket Jeswani & Sumita Dave 2012 Impact Of Organizational

  Climate On Turnover Intention: An Empirical Analysis On Faculty Members Of Technical Education Of India

  Berdasarkan hasil penelitan tersebut didapatkan bahwa dampak iklim organisasi berpengaruh signifikan dan negatif terhadap keinginan untuk keluar karyawan.

2.3 Kerangka Konseptual

  Menurut Robbins (2006) akibat stress yang dikaitkan dengan perilaku mencakup perubahan dalam produktivitas, turnover karyawan tinggi, tingkat absensi yang tinggi dan kecelakaan kerja. Menurut Gray dan Muramatsu (2013) bahwa stress kerja itu bekontribusi besar terhadap keinginan untuk keluar karyawan. Begitu juga yang dikemukakan oleh Karantza et al (2012) bahwa stress kerja secara langsung dan signifikan mempengaruhi niat karyawan untuk berhenti dari organisasi atau perusahaan. Fawzy (2012) menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa stress kerja sangat berpengaruh positif bersama-sama maupun secara parsial terhadap intensi meninggalkan perusahaan.

  Secara empiris, Stumpf dan Hartman (1984) menemukan bahwa motivasi kerja telah meningkatkan kinerja yang dirasakan, dan telah menurunkan niat untuk berhenti. Motivasi di tempat kerja secara luas dipercaya menjadi faktor utama yang mempengaruhi kinerja individu dan organisasi. Juga menjadi prediktor penting terhadap niat untuk meninggalkan tempat kerja (Herpenet al, 2002). Ada dukungan empirispada mata rantai antara ketidakpuasan pekerjaan,

  Iklim organisasi merupakan aspek eksternal pekerjaan yang mempengaruhi pekerja dalam menyesuaikan tugas yang mencakup lingkungan pekerjaan, hubungan dengan atasan dan teman sekerja dalam organisasi. Iklim organisasi yang harmonis akan mewujudkan semangat yang semakin lebih baik bagi diri karyawan. Apabila karyawan merasa bahwa iklim organisasi tempat mereka bekerja baik dan menyenangkan, maka karyawan tersebut akan merasa puas yang pada akhirnya menghasilkan produktivitas dan kinerja yang tinggi sehingga keinginan untuk keluar dari perusahaan akan menurun. Iklim organisasi yang baik akan mampu memunculkan suasana kerja yang menyenangkan, menantang dan membangkitkan motivasi kerja sehingga meningkatkan kepuasan untuk tetap berada di dalam organisasi (Firmansah dan Santy, 2012).

  Berdasarkan teori pendukung di atas, maka kerangka konseptual pada penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

  Stress Kerja (X )

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Bank - Analisis Manfaat Rasio Keuangan dalam Memprediksi Financial Distress Pada Perbankan (2007-2012)

0 1 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Manfaat Rasio Keuangan dalam Memprediksi Financial Distress Pada Perbankan (2007-2012)

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Kekuatan Balok Beton Tanpa Perkuatan dengan Balok Beton Menggunakan Pelat Baja yang Diangkur

1 12 37

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perusahaan Dalam Auditor Switchng Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perbisnisan pastilah memiliki data keuangan (transaksi) perusahaan kemudian - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perusahaan Dalam Auditor Switchng Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 7

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Kekerabatan Bahasa Batak Toba dengan Bahasa Batak Simalungun Kajian Leksikostatistik

0 2 16

Analisis Kadar Particulate Matter 10 (pm10) dan Keluhan ISPA Pada Daerah Industri Galangan Kapal di Kelurahan Sei Pelunggut Kecamatan Sagulung Kota Batam Tahun 2014

0 0 45

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Udara - Analisis Kadar Particulate Matter 10 (pm10) dan Keluhan ISPA Pada Daerah Industri Galangan Kapal di Kelurahan Sei Pelunggut Kecamatan Sagulung Kota Batam Tahun 2014

0 1 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Kadar Particulate Matter 10 (pm10) dan Keluhan ISPA Pada Daerah Industri Galangan Kapal di Kelurahan Sei Pelunggut Kecamatan Sagulung Kota Batam Tahun 2014

0 0 8

I. Identitas Responden - Pengaruh Stress Kerja, Motivasi Kerja dan Iklim Organisasi Terhadap Keinginan untuk Keluar (Intention to Leave) Karyawan pada PT. Infomedia Nusantara Medan

0 0 19