Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh Fiqh

PENDAHULUAN
Hukum Islam dalam perjalanan panjangnya senantiasa megalami dinamika. Masa
perjalanan hukum Islam sendiri sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa fase, yaitu
masa Rasulullah, masa sahabat dan masa tabi’in, selain itu juga disusul dengan masa tabi’it
tabi’in. Pada masa Rasulullah persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam terbilang belum
begitu kompleks. Selain itu penetapan suatu hukum atas persoalan yang terjadi masih diserahkan
penuh kepada Rasulullah SAW. Kemudian pasca beliau wafat, persoalan yang dihadapi oleh
umat Islam semakin komplek, dan terkadang suatu permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam
pada saat itu belum dijumpai pada zaman Rasulullah. Atas dasar itu lahirlah sebuah ilmu ushul
fiqh sebagai jawaban atas persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Jika ditilik lebih jauh lagi,
sebenarnya embrio ushul fiqh telah ada sejak Rasulullah masih hidup. Kemudian setelah beliau
wafat kajian mengenai ushul fiqh semakin mendapatkan perhatian yang cukup besar besar dari
kalangan ahli hukum Islam.
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai asal dari ushul fiqh. Secara teoritis,
ilmu ushul fiqh lebih dahulu lahir dari ilmu fiqh, karena ushul fiqh sebagai alat untuk melahirkan
fiqh. Akan tetapi, fakta sejarah menjukkan, ushul fiqh bersamaan lahirnya fiqh. Sedangkan dari
segi penyusunannya, ilmu fiqh lebih dahulu lahir dari pada ilmu ushul fiqh. 1[1] Namun, Terlepas
dari hal itu, dalam pembahasan makalah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai hal ikhwal
sejarah perkembangan ushul fiqh.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Periodisasi Embrio Ushul Fiqih pada Masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in?

2. Bagaimana Latar Belakang Terbentuk dan Tumbuh Berkembangnya Ushul Fiqih?
C. PEMBAHASAN
1. Periodisasi Embrio Ushul Fiqih pada Masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in
a. Periode Nabi
Pertumbuhan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman
Nabi SAW hingga pada masa tersusunya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke2 H. Pada zaman Nabi SAW, sumber hukum Islam ada 2, yaitu Alqur’an dan sunnah. Apabila
suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu wahyu yang menjelaskan kasus hukum tersebut.
Apabila wahyu tidak turun maka Nabi menetapkan kasus tersebut melalui sabdanya, yang
kemudian dikenal dengan hadis dan sunah. Dalam menetapkan hukum dari berbagai kasus yang

1[1] Abd. Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, Jakarta: AMZAH, 2011, hlm. 20.

ada di zamanya, ulama ushul fiqh menyimpulkan ada isyarat bahwa Nabi melakukannya melalui
ijtihad. Hasil ijtihad Nabi ini secara otomatis menjadi sunnah bagi ummat.
Dalam beberapa kasus, Nabi SAW juga mengaplikasikan qiyas ketika menjawab
pertanyaan para sahabat. Cara-cara beliau dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit
munculnya ilmu ushul fiqh. Oleh sebab itu, para ushuliyyin menyatakan bahwa ushul fiqh itu
sendiri bersamaan hadirnya dengan fiqh, yakni sejak zaman Nabi SAW. Bibit ini semakin jelas di
zaman para sahabat karena persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang, sedangkan Alqur’an dan sunnah telah selesai turun seiring dengan wafatnya Nabi SAW.2[2]
b. Periode Sahabat

Pada masa ini kajian tentang fiqih mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya Rasulullah
SAW. Sebab pada masa hidupnya Rasulullah SAW, semua persoalan hukum yang timbul
diserahkan kepada Beliau. Meskipun satu atau dua kasus hukum yang timbul terkadang disiasati
para sahabat Beliau dengan ijtihad, tetapi hasil akhir dari ijtihad tersebut, dari segi tepat atau
tidaknya ijtihad mereka itu, dikembalikan kepada Rasulullah SAW. Hal ini karena Rasulullah
SAW adalah satu-satunya pemegang otoritas kebenaran Agama, melalui wahyu yang diturunkan
kepada Beliau.
Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada
hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul
fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap
dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Contoh cikal bakal ilmu ushul fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah SAW dan masa
sahabat, antara lain berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan sumber dan dalil hukum,
sebagai bagian dari ushul fiqh, misalnya dapat dilihat dari informasi tentang dialog antara
Rasulullah SAW dan Mu’az bin Jabal, ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’az ke Yaman.
“ketika Rasulullah SAW bermaksud mengutus Mu’az ke Yaman, beliau bertanya: “ bagaimana
kamu memutuskan bila suatu kasus diajukan kepadamu? Ia menjawab: “saya akan putuskan
berdasarkan kitab Allah” beliau bertanya lagi: “jika kamu tidak menemukannya dalam kitab
Allah? ia menjawab: “ saya yakan putuskan berdasarkan sunah Rasulullah SAW ” beliau
bertanya lagi: “jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah maupun sunnah Rasulullah?

Ia menjawab: “saya akan berijtihad, namun saya tidak akan ceroboh.” beliau berkata sambil

2[2] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, Jakarta: AMZAH, 2011, hlm. 6.

menepuk dada Mu’az : “ segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq utusan Rasulullah
kepada apa yang di ridhai Rasul itu.”
Para sahabat Rasulullah SAW selain karena kedekatan mereka kepada Beliau, mereka
juga menimba banyak pengalaman dari Beliau dan memahami secara mendalam pembentukan
hukum Islam (tasyri’), juga karena mereka sendiri memiliki pengetahuan bahasa arab yang
sangat baik. Dengan bekal pengalaman dan kemampuan tersebut, maka ketika Rasulullah SAW
wafat mereka telah dapat melakukan ijtihad untuk mengatasi masalah kekosongan hukum atas
peristiwa-peristiwa baru yang terjadi yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam
Alqur’an dan sunnah. Mereka juga tidak banyak mengalami kesulitan memahami ayat-ayat
Alqur’an dan maksud sunnah untuk melakukan pengembangan hukum Islam, terutama melalui
metode qiyas.
Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi persoalan hukum
ialah menelusuri ayat-ayat Al qur’an yang berbicara tentang masalah tersebut. Apabila tidak
ditemukan hukumnya dalam Al qur’an maka mereka mencarinya di dalam sunnah. Apabila di
dalam sunnah pun tidak ditemukan barulah mereka berijtihad.3[3]
c. Periode Tabi’in

Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbullah masa tabi’in. Pada masa ini, sejalan
dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, dimana pemeluk Islam semakin heterogen bukan saja
dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi juga dari segi bahasa, peradaban , ilmu
pengetahuan, teknologi dan perekonomian, banyak bermunculan kasus-kasus hukum baru, yang
sebagiannya belum dikenal sama sekali pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat. Untuk
menjawab kasus-kasus hukum ini, lahir tokoh-tokoh Islam yang bertindak sebagai pemberi fatwa
hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebih dahulu menimba pengalaman dan pengetahuan di
bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu mereka. Para ahli hukum generasi tabi’in
ini, antara lain, Said bin al-Musayyab (15-94H) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak
tampil pula Alqamah bin al-Qais (w. 62H) dan Ibrahim an-Nakha’i (w. 96H), di samping para
ahli hukum lainnya.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi
tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu
mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki
3[3] Abd. Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, 2011, hlm. 20-23.

tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ashshahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan memilih metode
yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu, sebagian ulama tabi’in ada yang
menggunakan metode qiyas, dengan cara berusaha menemukan ‘illah hukum suatu nashsh dan

kemudian menerapkannya pada kasus-kasus hukum yang tidak ada nashsh-nya tetapi memiliki
‘illah yang sama. Sementara sebagian ulama lainnya lebih cenderung memilih metode
mashlahah, dengan cara melihat dari segi kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang
terdapat dalam prinsip-prinsip syara’.
Perbedaan cara yang ditempuh oleh kedua kelompok tabi’in ini, terutama timbul karena
perbedaan pendapat: apakah fatwa ash-shahabi dapat menjadi dalil hukum (hujjah)? Dan apakah
ijma’ ahl al-Madinah merupakan ijma’ sehingga berkedudukan sebagai hujjah qath’iah (dalil
hukum yang bersifat pasti)?
Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal lahirnya dua aliran besar
dalam ilmu ushul fiqh dan fiqh, yaitu aliran Mutakallimin atau asy-Syafi’iyyah, yang dianut
jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha’ atau hanafiyyah yang pada mulanya berkembang
di Irak.4[4]
2. Latar belakang terbentuk dan tumbuh berkembangnya ushul fiqih
Ilmu ushul Fiqih, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah
memang tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah SAW. masih bisa mengeluarkan fatwa
dan memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran Alqur’an, Sunnah dan apa yang diwahyukan
kepada beliau. Disamping itu secara fithri, ijtihad Rasul tidak memerlukan Ushul atau kaidahkaidah yang dijadikan sebagai istinbat dan ijtihad. Begitu pula dengan para sahabat, mereka
memberikan fatwa hokum dan memutuskan suatu keputusan berdasarkan nash-nash yang
dipahami lantaran kemampuan potensial mereka dibidang bahasa arab yang benar, tanpa
memerlukan kaidah-kaidah bahasa yang dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman nash. Para

sahabat juga melakukan istinbat terhadap hukum yang tidak ada nashnya berdasarkan
kemampuan potensial mereka dalam membina hokum syari’at Islam yang terpusat di dalam jiwa
mereka yang disebabkan akrabnya mereka dengan Rasulullah di dalam pergaulan. Selain itu,
para sahabat juga ikut menyaksikan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dan sebab-sebab
dikeluarkannya hadits, serta memahami maksud dan tujuan syari’ (pembuat hokum, yakni Allah)
disamping prinsip-prinsip pembentukan hokum Islam.
Namun ketika dunia Islam semakin berkembang luas dengan hasil kemenangan yang
diraih, dan bangsa Arab telah banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, sehingga timbul
interaksi bahasa lisan dan tulis-menulis, maka beberapa sinonim dan gaya bahasa Arab
tercampur dengan bahasa lain. Sebagai akibatnya, naluri bahasa mereka menjadi tidak murni
4[4] Abd. Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, hlm. 23-24.

lagi. Maka terjadilah kerancuan dan kemungkinan yang terjadi di dalam cara memahami nash.
Sehingga dianggap perlu menyusun batas-batas dan kaidah-kaidah bahasa yang dapat
mendukung pemahaman nash, sebagaimana bangsa arab mampu memahami nash sesuai bahasa
yang ia gunakan. Penyusunan kaidah itu tidak jauh berbeda dengan penyusunan kaidah-kaidah
Nahwu yang dapat membantu kemampuan berbahasa secara baik.
Demikian setelah waktu lama dari awal pembentukan hukum Islam, banyak terjadi
perdebatan antara Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu. Banyak juga orang yang hanya berdasarkan
keberanian mengeluarkan suatu hujjah yang tidak pantas sebagai hujjah, bahkan menolak hujjah

yang sebenarnya. Kondisi ini mendorong peletakan batasan-batasan dan bahasa tentang dalil
syar’iyyah dan syarat-syarat atau cara menggunakan dalil-dalil. Seluruh pembahasan tentang
penggunaan dalil, batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang disebut sebagai ilmu
ushul fiqh.
Namun, ilmu tersebut tumbuh dalam kondisi yang sangat sederhana, seperti halnya anak
kecil yang baru lahir. Kemudian, secara bertahap ilmu tersebut tumbuh semakin meningkat
sehingga mencapai usia 200 tahun. Sejak itu, mulailah ilmu itu berkembang dengan pesatnya,
tersebar dan memencar bersama berkembangnya hukum Fiqh, sebab setiap Imam mujtahid , baik
Imam yang empat atau yang lainnya, selalu memberi petunjuk dengan dalil hukum yang disertai
dengan ilmu Ushul Fiqh dan arahan pengambilan dalil dengan ilmu itu juga. Sedang para
mujtahid yang tidak menggunakan cara tersebut, berarti telah membuat hujjah dengan jalan yang
menyimpang. Padahal, semua pengambilan dalil dan penggunaan hujjah selalu mengandung
kaidah-kaidah Ushul.5[5]
Orang pertama yang menghimpun kaidah-kaidah yang berserakan itu, ialah Imam Abu
yusuf, seorang pengikut setia imam Abu Hanifah. Hal ini, dikatakan oleh Ibnu Nadim dalam
kitabnya yang bernama Al Fahrasat . Namun sangat disayangkan catatan-catatan tersebut tidak
sampai ketangan kita. Oleh ahli ushul fiqih dianggap yang pertama mengumpulkan dan
menyusun ilmu ini adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya yang bernama Ar-Risalah. Dan setelah
itu, muncullah para penulis lain yang melengkapi dan menyempurnakannya seperti Imam
Ghazali dalam kitabnya yang bernama Al-Mustasyfa, Al-Amidi dalam kitabnya yang bernama

Al-Minhaj yang disyaratkan oleh Asnawi.6[6]
Dari kalangan madzhab Hanafi yang terkenal Abu Zaid Al Dabbas dalam kitabnya yang
bernama Ushul, Fadhul Islam Al Basdawi dalam kitabnya yang bernama Ushul dan Nasafi dalam
kitabnya yang bernama Al Manar. Disamping itu lahirlah pula kitab yang bernama Badi’un
Nizam Al Jami Baina Bazdawi wal ‘itisom oleh Muzafaruddin Al Baghdadi Al Hanafi, kitab
tahrir oleh kamal bin Humam dan kitab Jam’ul jawani oleh ibnu Subki.
Di abad sekarang ini ada pula beberapa buah kitab yang ditulis oleh beberapa ulama’,
diantaranya kitab Irsyadul Fuhul oleh Syaukani, kitab Ushul Fiqh oleh Hudari Bek, kitab
Tahsilul wushul oleh Muhammad Abdurrahman Mahlawi. Dan masih banyak kitab-kitab Ushul
Fiqh yang lainya.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
5[5] Wahab, Abdul khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996,
hlm. 29-30.
6[6]Karim A, Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997, hlm. 46.

a. Periodisasi embrio ushul fiqih pada masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in
Periode Nabi SAW: para ushuliyyin menyatakan bahwa ushul fiqh itu sendiri bersamaan
hadirnya dengan fiqh, yakni sejak zaman Nabi SAW. Bibit ini semakin jelas di zaman para
sahabat karena persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang, sedangkan Al-qur’an dan

sunnah telah selesai turun seiring dengan wafatnya Nabi SAW. Periode Sahabat Pada masa ini
kajian tentang fiqih mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Pada periode
sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat
menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka
gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusanrumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang. Periode Tabi’in: Dalam melakukan ijtihad,
sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkahlangkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu,
selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru,
yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan mashlahah
mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
b. Latar belakang terbentuk dan tumbuh berkembangnya ushul fiqih
. Ilmu ushul Fiqih, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah
memang tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah SAW. masih bisa mengeluarkan fatwa
dan memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran Alqur’an, Sunnah dan apa yang diwahyukan
kepada beliau. Namun ketika dunia Islam semakin berkembang luas dengan hasil kemenangan
yang diraih, dan bangsa Arab telah banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, sehingga timbul
interaksi bahasa lisan dan tulis-menulis, maka beberapa sinonim dan gaya bahasa Arab
tercampur dengan bahasa lain. Sebagai akibatnya, naluri bahasa mereka menjadi tidak murni
lagi. Demikian setelah waktu lama dari awal pembentukan hukum Islam, banyak terjadi
perdebatan antara Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu. Banyak juga orang yang hanya berdasarkan
keberanian mengeluarkan suatu hujjah yang tidak pantas sebagai hujjah, bahkan menolak hujjah

yang sebenarnya. Kondisi ini mendorong peletakan batasan-batasan dan bahasa tentang dalil
syar’iyyah dan syarat-syarat atau cara menggunakan dalil-dalil. Seluruh pembahasan tentang
penggunaan dalil, batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang disebut sebagai ilmu
ushul fiqh.
2. Saran

Demikian makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari bahwa makalah yang kami
susun ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca demi lebih baiknya penulisan makalah yang selanjutnya. Semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011.
Dahlan , Abd. Rahman. Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011.
Karim A, Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997.
Wahab, Abdul khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996.