Chapter II Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan pada PT. Soci Mas Deli Serdang
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan
kekuatan moral yang kreatif, yang mampu mempengaruhi para anggota untuk
mengubah sikap, sehingga mereka menjadi konform dengan keinginan
pemimpin.Tingkah laku kelompok atau organisasi menjadi searah dengan
kemauan dan aspirasi pemimpin oleh pengaruh interpersonal pemimpin terhadap
anak
buahnya.
Menurut
Tead
dalam
Kartono
(2005:57)
menyatakan
kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka mau
bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam buku lain menurut
Davis dalam Arifin (2012:4) kepemimpinan adalah kemampuan mempersuasi
orang-orang untuk mencapai tujuan yang tegas dengan gairah (leadership is the
ability to persuade other to seek defined objectives enthusiastically).
Menurut Kartono (2007:34-35) pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan,
temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang unik khas sehingga tingkah laku
dan gayanya yang membedakan dirinya dari orang lain. Gaya atau style hidupnya
ini pasti akan mewarnai perilaku dan tipe kepemimpinannya. Sehingga muncullah
beberapa
tipe
kepemimpinan.Misalnya
tipe-tipe
karismatis,
paternalistis,
militeristis, otokratis, laissez faire, populis, administratif, demokratis.
W.J Reddin dalam artikelnya What Kind of Manager, dan disunting oleh
Wahjosumidjo (Dept. P & K., Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai dalam
Kartono, 2007:34-35), menentukan watak dan tipe pemimpin atas tiga pola dasar,
yaitu:
10
a. Berorientasi tugas (task orientation),
b. Berorientasi hubungan kerja (relationship orientation),
c. Berorientasi hasil yang efektif (effectivess orientation)
Berdasarkan penonjolan ketiga orientasi tersebut, dapat ditentukan delapan
tipe kepemimpinan, yaitu:
1. Tipe deserter (pembelot)
Sifatnya: bermodal rendah, tidak memiliki rasa keterlibatan, tanpa pengabdian,
tanpa loyalitas dan ketaatan, sukar diramalkan.
2. Tipe birokrat.
Sifatnya: correct, kaku, patuh pada peraturan dan norma-norma, ia adalah
manusia organisasi yang tepat, cermat, berdisiplin, dan keras.
3. Tipe misionaris (missionary).
Sifatnya: terbuka, penolong, lembut hati, ramah-tamah.
4. Tipe developer (pembangunan).
Sifatnya: kreatif, dinamis, inovatif, memberikan/melimpahkan wewenang
dengan baik, menaruh kepercayaan pada bawahan.
5. Tipe otokrat.
Sifatnya: keras, diktatoris, mau menang sendiri, keras kepala, sombong,
bandel.
6. Benevolent autocrat (otokrat yang bijak).
Sifatnya: lancer, tertib, ahli dalam mengorganisir, besar rasa keterlibatan diri.
7. Tipe compromiser (kompromis)
Sifatnya: plintat-plintut, selalu mengikuti angin tanpa pendirian, tidak
mempunyai keputusan, berpandangan pendek dan sempit.
11
8. Tipe eksekutif.
Sifatnya:
bermutu
tinggi,
dapat
memberikan
motivasi
yang
baik,
berpandangan jauh, tekun.
Melihat fakta riil yang terjadi, ada banyak faktor yang mempengaruhi alur
proses kepemimpinan terlebih fakta atau dinamika keorganisasian yang terjadi.
Menurut Setiawan dan Muhith (2013:31-34) Ada beberapa faktor yang
mempunyai relevansi atau pengaruh positif terhadap proses kepemimpinan dalam
organisasi, antara lain: a) Kepribadian (personality), pengalaman masa lalu dan
harapan
pemimpin,
hal
ini
mencakup
nilai-nilai,
latar
belakang
dan
pengalamannya akan memengaruhi pilihan akan gaya kepemimpinan; b) Harapan
dan perilaku atasan; c) Karakteristik, harapan dan perilaku bawahan memengaruhi
terhadap apa gaya kepemimpinan; d) Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga
akan memengaruhi gaya pemimpin; e) Iklim dan kebijakan organisasi
memengaruhi harapan dan perilaku bawahan; dan f) Harapan dan perilaku rekan.
Faktor-faktor ini jika di gambarkan dalam sebuah ilustrasi akan tampak sebagai
berikut:
12
Pengharapan dan
Perilaku Atasan
(2)
Kepribadian, Pengalaman
Masa Lalu, dan Harapan
(1)
Kebutuhan
Tugas
(4)
Efektivitas
Kepemimpinan
Iklim dan Kebijakan
Organisasi
(5)
Harapan dan Perilaku
Rekanan
(6)
Karakteristik, Harapan,
dan Perilaku bawahan
(3)
Gambar 2.1
Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepemimpinan
Sumber: Setiawan dan Muhith (2013:32)
Oleh sebab itu, dalam sub bab ini dalam mendeskripsikan tentang faktorfaktor dominan yang memengaruhi proses kepemimpinan dapat dipetakan atau
dipolakan sebagai berikut:
Kemampuan
Jabatan
Kepemimpinan
Situasi
Gambar 2.2
Segitiga faktor yang mempengaruhi Kepemimpinan
Sumber: Setiawan dan Muhith (2013:32)
a. Faktor Kemampuan Individu
Dalam kepemimpinan, faktor pribadi yang berupa berbagai kompetensi
seorang pemimpin sangat mempengaruhi proses kepemimpinannya. Dalam hal
13
ini, konsepsi kepemimpinan umumnya memusatkan perhatian kepada pribadi
pemimpin dengan berbagai kualitas atau kemampuan yang dimilikinya.
b. Faktor Jabatan
Seorang
pemimpin
harus
memiliki
citra
tentang
perilaku
kepemimpinannya yang digunakan sehingga sesuai dengan situasi yang
menyertainya.Oleh karena itu, dia harus memahami konsep peranan (role
consept).Selain itu, seorang pemimpin harus tanggap terhadap situasi
eksternal. Dalam hal ini berupa tuntutan perilaku yang berasal dari orang lain.
Peristiwa ini disebut dengan “harapan peranan” (role ekspektation).
c. Faktor Situasi dan Kondisi
Seorang pemimpin dalam hal ini harus memiliki fleksibilitas yang tinggi
terhadap situasi dan kondisi yang menyertai para bawahannya.Seorang
pemimpin harus memahami dengan baik tipe kepemimpinan situasional
kontingensi.Dalam dunia pendidikan yang menjunjung tinggi profesionalitas,
maka dalam rangka menciptakan kepemimpinan yang efektif, ketiga hal
tersebut harus mendapat perhatian serius.Pemimpin yang dipilih harus orang
yang benar-benar pilihan dan amanah terhadap jabatan yang diembannya.
Faktor-faktor tersebut sangat selaras dengan sepuluh rekomendasi yang
dikeluarkan oleh Manuel London dkk, bahwa determine organizational goals,
current conditions, and anticipated shift in your organization and environment
that influence leadership behaviors to be assessed. Hal ini berarti bahwa ada
beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap gaya atau perilaku yang
diterapkan oleh pemimpin dalam organisasi.
14
Kepemimpinan pada dasarnya adalah proses mempengaruhi orang lain.
Adapun indikator dari kepemimpinan menurut Bass dan Solio dalam Arif (2010)
adalah:
a. Individual consideration, pemimpin transformasional memberikan perhatian
khusus pada kebutuhan setiap individu untuk berprestasi dan berkembang,
dengan jalan sebagai pelatih, penasehat, guru fasilitator, orang terpercaya dan
konselor.
b. Stimulasi intelektual adalah upaya memberikan dukungan kepada pengikut
untuk lebih inovatif dan kreatif dimana pemimpin mendorong pengikut untuk
menanyakan asumsi, memunculkan ide baru.
c. Kharisma mengarahkan pada perilaku kepemimpinan tranformasional yang
mana pengikut berusaha kerja keras melebihi apa yang dibayangkan. Para
pengikut khususnya mengagumi, menghormati dan percaya sebagaimana
pimpinannya.
Mereka
mengidentifikasi
pimpinan
sebagai
seseorang
sebagaimana visi dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan.
d. Motivasi inspirasi dimana pimpinan menggunakan berbagai simbol untuk
memfokuskan usaha atau tindakan dan mengekspresikan tujuan dengan caracara sederhana. Ia juga membangkitkan semangat kerja sama tim, antusiasme
dan optimisme diantara rekan kerja dan bawahannya.
15
2.2 Budaya Organisasi
Penggunaan istilah budaya organisasi dengan mengacu pada budaya yang
berlaku dalam perusahaan, karena pada umumnya perusahaan itu dalam bentuk
organisasi, yaitu kerja sama antar beberapa orang yang membentuk kelompok atau
satuan kerja sama tersendiri. Istilah budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yakni
buddhaya sebagai bentuk jamak dari budddhi yang berarti akal.Disini tampaknya
menekankan kepada aspek kolektif, bahwa budaya adalah hasil kerja dari
sejumlah akal dan bukan hanya satu akal individual saja.Di dalamnya mencakup
tiga unsur, yakni cipta, rasa, dan karsa (pikiran, perasaan dan keinginan/kehendak)
(Kusdi, 2011:11).
Menurut Sutrisno (2010:2) budaya organisasi dapat didefinisikan sebagai
perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsiasumsi (assumptions), atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan
diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan
pemecahan masalah-masalah organisasinya. Dalam buku lain menurut Luthans
dalam Lako (2004:29), budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai
yang mengarahkan perilaku anggota organisasi.
Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut
oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi
lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan
seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu.Menurut Robbin
(1996:289) riset paling baru mengemukakan tujuh karakteristik primer berikut
yang bersama-sama menangkap hakikat dari budaya suatu organisasi.
16
1. Inovasi dan pengambilan risiko. Sejauh mana para karyawan didorong untuk
inovatif dan mengambil risiko.
2. Perhatian ke rincian. Sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan
presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian kepada rincian.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada
teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.
4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek
hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim,
bukannya individu-individu.
6. Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan
bukannya santai-santai.
7. Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya
status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
Tiap karakteristik ini berlangsung pada suatu continuum dari rendah ke tinggi.
Maka dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan
diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi
dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai
organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota
diharapkan berperilaku.
Dari sisi fungsi, budaya organisasi mempunyai beberapa fungsi.Pertama,
budaya mempunyai suatu peran pembeda. Hal itu berarti bahwa budaya kerja
menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang lain.
Kedua, budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota
17
organisasi.Ketiga,
budaya
organisasi
komitmen
sesuatu
yang
pada
mempermudah
lebih
luas
timbul
daripada
pertumbuhan
kepentingan
diri
individual.Keempat, budaya organisasi itu meningkatkan kemantapan sistem
sosial (Robbins dalam Sutrisno, 2010:10).
Dalam hubungan dengan segi sosial, budaya berfungsi sebagai perekat
sosial yang
membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan
standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh
para karyawan. Akhirnya, budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna
dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
(Gordon dalam Sutrisno, 2010:11).
Perkembangan dan kesinambungan suatu perusahaan akan sangat
tergantung pada budaya perusahaan. Menurut Susanto dalam Sutrisno (2010:27),
mengemukakan bahwa budaya suatu perusahaan dapat dimanfaatkan sebagai
andalan daya saing suatu perusahaan dalam menghadapi perubahan dan tantangan.
Budaya organisasi juga dapat dijadikan sebagai rantai pengikat untuk
menyamakan persepsi atau arah pandang anggota organisasi terhadap suatu
permasalahan sehingga akan menjadi satu kekuatan untuk mencapai suatu tujuan.
Beberapa manfaat budaya organisasi dikemukakan oleh Robins dalam
Sutrisno (2011:27-28) sebagai berikut:
1. Membatasi peran yang membedakan antara organisasi yang satu dengan
organisasi yang lain. Setiap organisasi mempunyai peran yang berbeda
sehingga perlu memiliki akar budaya yang kuat dalam sistem dan kegiatan
yang ada dalam organisasi.
18
2. Menimbulkan rasa memiliki identitas bagi para anggota organisasi. Dengan
budaya organisasi yang kuat, anggota organisasi akan merasa memiliki
identitas yang merupakan ciri khas organisasi.
3. Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan individu.
4. Menjaga stabilitas organisasi. Kesatuan komponen – komponen organisasi
yang direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuat kondisi
organisasi relatif stabil.
Keempat fungsi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat
membentuk perilaku dan tindakan karyawan dalam menjalankan aktivitasnya di
dalam organisasi, sehingga nilai – nilai yang ada dalam budaya organisasi perlu
ditanamkan sejak dini pada setiap individu organisasi.
Menurut Miler dalam Sutrisno (2010:14-15) mengatakan bahwa masa
mendatang ditandai oleh kompetisi global, dan perusahaan yang sukses ialah yang
mampu mengelola budaya baru dengan nilai-nilai yang mengembangkan perilaku
ke arah keberhasilan yang kompetitif. Kita sedang memasuki era baru dan
peradaban baru yang bersifat global, saling tergantung, saling bersaing, yang
ditandai oleh:
1. Motivasi berdasar atas imbalan materi saja semakin tidak memadai.
Kebutuhan-kebutuhan pribadi yang bersifat materi semakin menurun,
sedangkan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat rohani semakin meningkat.
Manajer yang berhasil harus belajar semangat baru yang produktif di dalam
perusahaan. Pekerjaan manajer harus membantu karyawannya dalam
pencapaian harga diri mereka.
19
2. Sifat-sifat pekerjaan menjadi kurang fisikal, dalam arti kurang menyadarkan
pada kekuatan fisik semata-mata, melainkan lebih banyak bersifat kognitif,
karena karyawan dituntut untuk lebih berpikir kreatif, belajar, dan turut ambil
bagian;
3. Pada masa sekarang karyawan mempunyai banyak pilihan yang lebih luas
daripada sebelumnya. Ia dapat pindah, berlatif, dan berorganisasi. Manajemen
dengan intimidasi mulai lenyap, dan manajemen dengan keterlibatan atau
partisipasi serta dorongan positif mulai dilaksanakan;
4. Jumlah manajer akan menurun drastis. Pekerja-pekerja yang berpengetahuan
membutuhkan hanya sedikit pengawas apabila mereka dilatih sepenuhnya,
dilibatkan, ditugasi, dan diberi imbalan yang layak. Manajer-manajer yang
masih ada dan bertahan ialah para teknisi ahli yang akan memberikan
konsultasi dengan seni membuat komitmen, bukan seni memerintah;
5. Persaingan dunia tidak saja dalam bidang teknologi, tetapi juga dalam bidang
kemampuan manajemen. Kita sedang ditantang, bukan karena negara-negara
lain sedang mengembangkan teknologinya, tetapi mereka menantang kita
dalam keterampilan manajemen. Kemampuan manajemen akan menjadi
penentu yang paling kritikal bagi keberhasilan perusahaan dan bangsa dalam
persaingan yang baru.
Menurut Ouchi dalam Sutrisno (2011:13) ada tujuh jenis nilai yang menjadi
pengukur budaya perusahaan:
1. Komitmen pada karyawan;
2. Evaluasi terhadap karyawan;
3. Karier;
20
4. Kontrol;
5. Pembuatan keputusan;
6. Tanggung jawab; dan
7. Perhatian pada manusia.
2.3 Kinerja Karyawan
Pada umumnya, kinerja diberi batasan sebagai kesuksesan seseorang di
dalam melaksanakan suatu pekerjaan.Teori mengenai kinerja dikemukakan oleh
Miner dalam Sutrisno (2010:170), kinerja adalah bagaimana seseorang diharapkan
dapat berfungsi dan berperilaku sesuai dengan tugas yang telah dibebankan
kepadanya.Menurut Wibowo (2007:4) kinerja merupakan implementasi dari
rencana yang telah disusun tersebut.Implementasi kinerja dilakukan oleh sumber
daya manusia yang memiliki kemampuan, kompetensi, motivasi, dan kepentingan.
Bagaimana organisasi menghargai dan memperlakukan sumber daya manusianya
akan memengaruhi sikap dan perilakunya dalam menjalankan kinerja.
Menurut Irianto dalam Sutrisno (2010:171), mengemukakan kinerja
karyawan adalah
prestasi
yang diperoleh
seseorang dalam melakukan
tugas.Keberhasilan organisasi tergantung pada kinerja para pelaku organisasi
bersangkutan.Oleh karena itu, setiap unit kerja dalam suatu organisasi harus
dinilai kinerjanya, agar kinerja sumber daya manusia yang terdapat dalam unitunit dalam suatu organisasi tersebut dapat dinilai secara objektif. Berdasarkan
definisi-definisi tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud
kinerja karyawan adalah hasil kerja karyawan dilihat pada aspek kualitas,
kuantitas, waktu kerja, dan kerja sama untuk mencapai tujuan yang sudah
21
ditetapkan oleh organisasi. Menurut Miner dalam Sutrisno (2010:172-173)
mengemukakan secara umum dapat dinyatakan empat aspek dari kinerja, yaitu
sebagai berikut:
1. Kualitas yang dihasilkan, menerangkan tentang jumlah kesalahan, waktu dan
ketepatan dalam melakukan tugas.
2. Kuantitas yang dihasilkan, berkenaan dengan berapa jumlah produk atau jasa
yang dapat dihasilkan.
3. Waktu kerja, menerangkan akan berapa jumlah absen, keterlambatan, serta
masa kerja yang telah dijalani individu pegawai tersebut.
4. Kerja sama, menerangkan akan bagaimana individu membantu atau
menghambat usaha dari teman sekerjanya.
Dengan keempat aspek kinerja diatas dapat dikatakan bahwa individu
mempunyai kinerja yang baik bila dia berhasil memenuhi keempat aspek tersebut
sesuai dengan target atau rencana yang telah ditetapkan oleh organisasi. Menurut
Swanson dan Graudous dalam Sutrisno (2010:173) menjelaskan bahwa dalam
sistem, berapa pun ukurannya, semua pekerjaan saling berhubungan.Hasil dari
seperangkat kinerja pekerjaan adalah masukan bagi usaha kinerja lainnya. Karena
saling bergantung, apa yang tampaknya merupakan perolehan kinerja yang kecil
dalam suatu aspek pekerjaan dapat menghasilkan perolehan besar secara
keseluruhan. Jadi, produktivitas suatu sistem bergantung pada kecermatan dan
efisiensi perilaku kinerja.
Kinerja dapat dipandang sebagai proses maupun hasil pekerjaan. Kinerja
merupakan suatu proses tentang bagaimana pekerjaan berlangsung untuk
mencapai hasil kerja. Namun, hasil pekerjaan itu sendiri juga menunjukkan
22
kinerja. Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk suatu organisasi
mempunyai kinerja yang baik, yaitu menyangkut pernyataan tentang maksud dan
nilai-nilai,
manajemen
strategis,
manajemen
sumber
daya
manusia,
pengembangan organisasi, konteks organisasi, desain kerja, fungsionalisasi,
budaya, dan kerja sama.(Wibowo, 2007:67).
Menurut Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2007:74), faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja adalah sebagai berikut:
1. Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan, kompetensi yang
dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.
2. Leadership factors, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan
dukungan yang dilakukan manajer dan team leader.
3. Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan
sekerja.
4. System factors, ditunjukkan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas yang
diberikan organisasi.
5. Contextual/situational factors, ditunjukkan oleh tingginya tingkat tekanan dan
perubahan lingkungan internal dan eksternal.
Seperti diketahui tujuan organisasi hanya dapat dicapai, karena organisasi
tersebut didukung oleh unit-unit kerja yang terdapat didalamnya. Terdapat
beberapa cara untuk peningkatan kinerja karyawan. Menurut Stoner dalam
Sutrisno (2010:184-185), mengemukakan adanya empat cara, yaitu:
1. Diskriminasi
Seorang manajer harus mampu membedakan secara objektif antara mereka
yang dapat memberi sumbangan berarti dalam pencapaian tujuan organisasi
23
dengan mereka yang tidak.Dalam konteks penilaian kinerja memang harus ada
perbedaan antara karyawan yang berprestasi dengan karyawan yang tidak
berprestasi.Oleh karena itu, dapat dibuat keputusan yang adil dalam berbagai
bidang, misalnya pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia), penggajian, dan
sebagainya.
2. Pengharapan
Dengan memerhatikan bidang tersebut diharapkan bisa meningkatkan kinerja
karyawan.Karyawan yang memiliki nilai kinerja tinggi mengharapkan pengakuan
dalam bentuk berbagai pengharapan yang diterimanya dari organisasi.untuk
mempertinggi motivasi dan kinerja, mereka yang tampil mengesankan dalam
bekerja harus diidentifikasi sedemikian rupa sehingga penghargaan memang jatuh
pada tangan yang memang berhak.
3. Pengembangan
Bagi yang bekerja dibawah standar, skema untuk mereka adalah mengikuti
program pelatihan dan pengembangan.Sedangkan yang di atas standar, misalnya
dapat dipromosikan kepada jabatan yang lebih tinggi.Berdasarkan hasil laporan
manajemen, bagaimanapun bentuk kebijakan organisasi dapat terjamin keadilan
dan kejujurannya.Untuk itu diperlukan suatu tanggung jawab yang penuh pada
manajer yang membawahinya.
4. Komunikasi
Para manajer bertanggung jawab untuk mengevaluasi kinerja para karyawan
dan secara akurat mengomunikasikan penilaian yang dilakukannya. Untuk dapat
melakukan secara akurat, para manajer harus mengetahui kekurangan dan masalah
apa saja yang dihadapi para karyawan dan bagaimana cara mengatasinya. Di
24
samping itu, para manajer juga harus mengetahui program pelatihan dan
pengembangan apa saja yang dibutuhkan. Untuk memastikannya, para manajer
perlu berkomunikasi secara intens dengan karyawan.
Perusahaan sebagai suatu organisasi mempunyai tujuan yakni memperoleh
keuntungan.Organisasi perusahaan hidup karena aktivitas yang dilakukan oleh
para karyawannya.Sesuai dengan unit kerja yang terdapat dalam organisasi
perusahaan, maka masing-masing unit dinilai kinerjanya, agar kinerja sumber
daya manusia yang terdapat dalam unit dapat dinilai secara objektif.Untuk
mengetahui kinerja karyawan diperlukan kegiatan-kegiatan khusus. Menurut
Bernardin dan Russel dalam Sutrisno (2010:179) ada enam kinerja primer yang
dapat digunakan untuk mengukur kinerja, yaitu:
1. Quality, merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan
kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan.
2. Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah rupiah, unit,
dan siklus kegiatan yang dilakukan.
3. Timeliness, merupakan sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu
yang dikehendaki, dengan memerhatikan koordinasi output lain serta waktu
yang tersedia untuk kegiatan orang lain.
4. Cost effectiveness, merupakan tingkat sejauh mana penggunaan sumber daya
organisasi (manusia, keuangan, teknologi, dan material) dimaksimalkan untuk
mencapai hasil tertinggi atau pengurangan kerugian dari setiap unit
penggunaan sumber daya.
25
5. Need for supervision, merupakan tingkat sejauh mana seorang pekerja dapat
melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seorang
supervisior untuk mencegah tindakan yang kurang diinginkan.
6. Interpersonal impact, merupakan tingkat sejauh mana pegawai memelihara
harga diri, nama baik, dan kerja sama di antara rekan kerja dan bawahan.
2.4 Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja Karyawan
Menurut Wibowo (2007:66) kepemimpinan dan gaya kepemimpinan
dalam organisasi sangat berperan dalam memengaruhi kinerja karyawan.
Bagaimana pemimpin menjalin hubungan dengan pekerja; bagaimana mereka
memberi penghargaan kepada pekerja yang berprestasi; bagaimana mereka
mengembangkan dan memberdayakan pekerjanya; sangat memengaruhi kinerja
sumber daya manusia yang menjadi bawahannya. Namun, kinerja suatu organisasi
tidak hanya dipengaruhi oleh sumber daya manusia di dalamnya, tetapi juga oleh
sumber daya lainnya seperti dana, bahan, peralatan,teknologi dan mekanisme
kerja yang berlangsung dalam organisasi. Hasil penelitian tersebut didukung oleh
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aditya (2010) dan Maramis (2013)
menyatakan bahwa kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
2.5 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan
Hubungan antara budaya organisasi (organizational culture) dengan
sukses-gagalnya kinerja suatu organisasi diyakini oleh para ilmuwan perilaku
organisasi dan manajemen serta sejumlah peneliti akuntansi manajemen sangat
erat.Budaya organisasi diyakini merupakan faktor penentu utama terhadap
26
kesuksesan kinerja ekonomi suatu perusahaan (Kotter dan Heskett 1992, Hofstede
1991, Wilhelm 1992, Martin 1992, Mondy dan Noe 1996, Krietner dan Kinicki
1995, dan Luthans dalam Lako 2004:28). Keberhasilan suatu organisasi untuk
mengimplementasikan aspek-aspek atau nilai-nilai (values) budaya organisasinya
dapat
mendorong
organisasi
tersebut
tumbuh
dan
berkembang
secara
berkelanjutan. Pengelolaan secara efektif terhadap budaya organisasi dapat
menjadi sumber keunggulan kompetitif.
Menurut Lako (2004:50) pembentukan budaya perusahaan yang kuat,
adaptif dan transformasional diyakini Kotter dan Heskett (1992) dapat
berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja dan keunggulan perusahaan
dalam jangka panjang. Budaya perusahaan yang kuat juga diyakini Smircich
(1983) dapat berperan sebagai (1) variabel independen yang mempengaruhi
praktik-praktik manajemen dan sikap pegawai, dan (2) sebagai variabel intern
yang berperan mengkonseptualisasikan organisasi dalam proses produksi atau
jasanya. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian terdahulu
yang
dilakukan oleh Arif (2010) dan Porwani (2010) menyatakan bahwa budaya
organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
2.6
Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja
Karyawan
Pemimpin perusahaan merupakan orang yang paling berpengaruh untuk
menentukan aktivitas dan kebijakan yang harus dijalankan oleh karyawan.Seorang
pemimpin harus dapat memotivasi bawahannya dan memberikan kebebasan
kepada karyawan untuk lebih banyak terlibat dalam berbagai kegiatan.Pemimpin
27
juga harus dapat
memelihara budaya yang ada di organisasi (Sutrisno
2011:34).Kepemimpinan dan budaya organisasi memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kinerja karyawan.Hasil penelitian tersebut didukung oleh
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Arif (2010) dan Maramis (2013) yang
menunjukkan pengaruh positif kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap
kinerja karyawan.
2.7 Kerangka Konseptual
Menurut Juliandi dan Irfan (2013:114) kerangka konseptual merupakan
penjelasan ilmiah mengenai preposisi antarkonsep/ antar konstruk atau pertautan/
hubungan antarvariabel penelitian.Kerangka konseptual dari penelitian ini adalah
pengaruh dari Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap kinerja karyawan
pada PT. Soci Mas Deli Serdang. Dengan variabel yang akan diteliti yaitu
Kepemimpinan (X₁) dan Budaya Organisasi (X₂) sebagai variabel bebas, Kinerja
Karyawan (Y) sebagai variabel terikat.
Berdasarkan kerangka konseptual diatas, maka dapat digambarkan lebih
lanjut sebagai berikut:
Kepemimpinan
(X₁)
Kinerja Karyawan
Budaya
Organisasi (X₂)
Gambar : 2.3 Kerangka Konseptual
28
KERANGKA TEORI
2.1 Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan
kekuatan moral yang kreatif, yang mampu mempengaruhi para anggota untuk
mengubah sikap, sehingga mereka menjadi konform dengan keinginan
pemimpin.Tingkah laku kelompok atau organisasi menjadi searah dengan
kemauan dan aspirasi pemimpin oleh pengaruh interpersonal pemimpin terhadap
anak
buahnya.
Menurut
Tead
dalam
Kartono
(2005:57)
menyatakan
kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka mau
bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam buku lain menurut
Davis dalam Arifin (2012:4) kepemimpinan adalah kemampuan mempersuasi
orang-orang untuk mencapai tujuan yang tegas dengan gairah (leadership is the
ability to persuade other to seek defined objectives enthusiastically).
Menurut Kartono (2007:34-35) pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan,
temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang unik khas sehingga tingkah laku
dan gayanya yang membedakan dirinya dari orang lain. Gaya atau style hidupnya
ini pasti akan mewarnai perilaku dan tipe kepemimpinannya. Sehingga muncullah
beberapa
tipe
kepemimpinan.Misalnya
tipe-tipe
karismatis,
paternalistis,
militeristis, otokratis, laissez faire, populis, administratif, demokratis.
W.J Reddin dalam artikelnya What Kind of Manager, dan disunting oleh
Wahjosumidjo (Dept. P & K., Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai dalam
Kartono, 2007:34-35), menentukan watak dan tipe pemimpin atas tiga pola dasar,
yaitu:
10
a. Berorientasi tugas (task orientation),
b. Berorientasi hubungan kerja (relationship orientation),
c. Berorientasi hasil yang efektif (effectivess orientation)
Berdasarkan penonjolan ketiga orientasi tersebut, dapat ditentukan delapan
tipe kepemimpinan, yaitu:
1. Tipe deserter (pembelot)
Sifatnya: bermodal rendah, tidak memiliki rasa keterlibatan, tanpa pengabdian,
tanpa loyalitas dan ketaatan, sukar diramalkan.
2. Tipe birokrat.
Sifatnya: correct, kaku, patuh pada peraturan dan norma-norma, ia adalah
manusia organisasi yang tepat, cermat, berdisiplin, dan keras.
3. Tipe misionaris (missionary).
Sifatnya: terbuka, penolong, lembut hati, ramah-tamah.
4. Tipe developer (pembangunan).
Sifatnya: kreatif, dinamis, inovatif, memberikan/melimpahkan wewenang
dengan baik, menaruh kepercayaan pada bawahan.
5. Tipe otokrat.
Sifatnya: keras, diktatoris, mau menang sendiri, keras kepala, sombong,
bandel.
6. Benevolent autocrat (otokrat yang bijak).
Sifatnya: lancer, tertib, ahli dalam mengorganisir, besar rasa keterlibatan diri.
7. Tipe compromiser (kompromis)
Sifatnya: plintat-plintut, selalu mengikuti angin tanpa pendirian, tidak
mempunyai keputusan, berpandangan pendek dan sempit.
11
8. Tipe eksekutif.
Sifatnya:
bermutu
tinggi,
dapat
memberikan
motivasi
yang
baik,
berpandangan jauh, tekun.
Melihat fakta riil yang terjadi, ada banyak faktor yang mempengaruhi alur
proses kepemimpinan terlebih fakta atau dinamika keorganisasian yang terjadi.
Menurut Setiawan dan Muhith (2013:31-34) Ada beberapa faktor yang
mempunyai relevansi atau pengaruh positif terhadap proses kepemimpinan dalam
organisasi, antara lain: a) Kepribadian (personality), pengalaman masa lalu dan
harapan
pemimpin,
hal
ini
mencakup
nilai-nilai,
latar
belakang
dan
pengalamannya akan memengaruhi pilihan akan gaya kepemimpinan; b) Harapan
dan perilaku atasan; c) Karakteristik, harapan dan perilaku bawahan memengaruhi
terhadap apa gaya kepemimpinan; d) Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga
akan memengaruhi gaya pemimpin; e) Iklim dan kebijakan organisasi
memengaruhi harapan dan perilaku bawahan; dan f) Harapan dan perilaku rekan.
Faktor-faktor ini jika di gambarkan dalam sebuah ilustrasi akan tampak sebagai
berikut:
12
Pengharapan dan
Perilaku Atasan
(2)
Kepribadian, Pengalaman
Masa Lalu, dan Harapan
(1)
Kebutuhan
Tugas
(4)
Efektivitas
Kepemimpinan
Iklim dan Kebijakan
Organisasi
(5)
Harapan dan Perilaku
Rekanan
(6)
Karakteristik, Harapan,
dan Perilaku bawahan
(3)
Gambar 2.1
Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepemimpinan
Sumber: Setiawan dan Muhith (2013:32)
Oleh sebab itu, dalam sub bab ini dalam mendeskripsikan tentang faktorfaktor dominan yang memengaruhi proses kepemimpinan dapat dipetakan atau
dipolakan sebagai berikut:
Kemampuan
Jabatan
Kepemimpinan
Situasi
Gambar 2.2
Segitiga faktor yang mempengaruhi Kepemimpinan
Sumber: Setiawan dan Muhith (2013:32)
a. Faktor Kemampuan Individu
Dalam kepemimpinan, faktor pribadi yang berupa berbagai kompetensi
seorang pemimpin sangat mempengaruhi proses kepemimpinannya. Dalam hal
13
ini, konsepsi kepemimpinan umumnya memusatkan perhatian kepada pribadi
pemimpin dengan berbagai kualitas atau kemampuan yang dimilikinya.
b. Faktor Jabatan
Seorang
pemimpin
harus
memiliki
citra
tentang
perilaku
kepemimpinannya yang digunakan sehingga sesuai dengan situasi yang
menyertainya.Oleh karena itu, dia harus memahami konsep peranan (role
consept).Selain itu, seorang pemimpin harus tanggap terhadap situasi
eksternal. Dalam hal ini berupa tuntutan perilaku yang berasal dari orang lain.
Peristiwa ini disebut dengan “harapan peranan” (role ekspektation).
c. Faktor Situasi dan Kondisi
Seorang pemimpin dalam hal ini harus memiliki fleksibilitas yang tinggi
terhadap situasi dan kondisi yang menyertai para bawahannya.Seorang
pemimpin harus memahami dengan baik tipe kepemimpinan situasional
kontingensi.Dalam dunia pendidikan yang menjunjung tinggi profesionalitas,
maka dalam rangka menciptakan kepemimpinan yang efektif, ketiga hal
tersebut harus mendapat perhatian serius.Pemimpin yang dipilih harus orang
yang benar-benar pilihan dan amanah terhadap jabatan yang diembannya.
Faktor-faktor tersebut sangat selaras dengan sepuluh rekomendasi yang
dikeluarkan oleh Manuel London dkk, bahwa determine organizational goals,
current conditions, and anticipated shift in your organization and environment
that influence leadership behaviors to be assessed. Hal ini berarti bahwa ada
beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap gaya atau perilaku yang
diterapkan oleh pemimpin dalam organisasi.
14
Kepemimpinan pada dasarnya adalah proses mempengaruhi orang lain.
Adapun indikator dari kepemimpinan menurut Bass dan Solio dalam Arif (2010)
adalah:
a. Individual consideration, pemimpin transformasional memberikan perhatian
khusus pada kebutuhan setiap individu untuk berprestasi dan berkembang,
dengan jalan sebagai pelatih, penasehat, guru fasilitator, orang terpercaya dan
konselor.
b. Stimulasi intelektual adalah upaya memberikan dukungan kepada pengikut
untuk lebih inovatif dan kreatif dimana pemimpin mendorong pengikut untuk
menanyakan asumsi, memunculkan ide baru.
c. Kharisma mengarahkan pada perilaku kepemimpinan tranformasional yang
mana pengikut berusaha kerja keras melebihi apa yang dibayangkan. Para
pengikut khususnya mengagumi, menghormati dan percaya sebagaimana
pimpinannya.
Mereka
mengidentifikasi
pimpinan
sebagai
seseorang
sebagaimana visi dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan.
d. Motivasi inspirasi dimana pimpinan menggunakan berbagai simbol untuk
memfokuskan usaha atau tindakan dan mengekspresikan tujuan dengan caracara sederhana. Ia juga membangkitkan semangat kerja sama tim, antusiasme
dan optimisme diantara rekan kerja dan bawahannya.
15
2.2 Budaya Organisasi
Penggunaan istilah budaya organisasi dengan mengacu pada budaya yang
berlaku dalam perusahaan, karena pada umumnya perusahaan itu dalam bentuk
organisasi, yaitu kerja sama antar beberapa orang yang membentuk kelompok atau
satuan kerja sama tersendiri. Istilah budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yakni
buddhaya sebagai bentuk jamak dari budddhi yang berarti akal.Disini tampaknya
menekankan kepada aspek kolektif, bahwa budaya adalah hasil kerja dari
sejumlah akal dan bukan hanya satu akal individual saja.Di dalamnya mencakup
tiga unsur, yakni cipta, rasa, dan karsa (pikiran, perasaan dan keinginan/kehendak)
(Kusdi, 2011:11).
Menurut Sutrisno (2010:2) budaya organisasi dapat didefinisikan sebagai
perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsiasumsi (assumptions), atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan
diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan
pemecahan masalah-masalah organisasinya. Dalam buku lain menurut Luthans
dalam Lako (2004:29), budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai
yang mengarahkan perilaku anggota organisasi.
Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut
oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi
lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan
seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu.Menurut Robbin
(1996:289) riset paling baru mengemukakan tujuh karakteristik primer berikut
yang bersama-sama menangkap hakikat dari budaya suatu organisasi.
16
1. Inovasi dan pengambilan risiko. Sejauh mana para karyawan didorong untuk
inovatif dan mengambil risiko.
2. Perhatian ke rincian. Sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan
presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian kepada rincian.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada
teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.
4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek
hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim,
bukannya individu-individu.
6. Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan
bukannya santai-santai.
7. Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya
status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
Tiap karakteristik ini berlangsung pada suatu continuum dari rendah ke tinggi.
Maka dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan
diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi
dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai
organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota
diharapkan berperilaku.
Dari sisi fungsi, budaya organisasi mempunyai beberapa fungsi.Pertama,
budaya mempunyai suatu peran pembeda. Hal itu berarti bahwa budaya kerja
menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang lain.
Kedua, budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota
17
organisasi.Ketiga,
budaya
organisasi
komitmen
sesuatu
yang
pada
mempermudah
lebih
luas
timbul
daripada
pertumbuhan
kepentingan
diri
individual.Keempat, budaya organisasi itu meningkatkan kemantapan sistem
sosial (Robbins dalam Sutrisno, 2010:10).
Dalam hubungan dengan segi sosial, budaya berfungsi sebagai perekat
sosial yang
membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan
standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh
para karyawan. Akhirnya, budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna
dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
(Gordon dalam Sutrisno, 2010:11).
Perkembangan dan kesinambungan suatu perusahaan akan sangat
tergantung pada budaya perusahaan. Menurut Susanto dalam Sutrisno (2010:27),
mengemukakan bahwa budaya suatu perusahaan dapat dimanfaatkan sebagai
andalan daya saing suatu perusahaan dalam menghadapi perubahan dan tantangan.
Budaya organisasi juga dapat dijadikan sebagai rantai pengikat untuk
menyamakan persepsi atau arah pandang anggota organisasi terhadap suatu
permasalahan sehingga akan menjadi satu kekuatan untuk mencapai suatu tujuan.
Beberapa manfaat budaya organisasi dikemukakan oleh Robins dalam
Sutrisno (2011:27-28) sebagai berikut:
1. Membatasi peran yang membedakan antara organisasi yang satu dengan
organisasi yang lain. Setiap organisasi mempunyai peran yang berbeda
sehingga perlu memiliki akar budaya yang kuat dalam sistem dan kegiatan
yang ada dalam organisasi.
18
2. Menimbulkan rasa memiliki identitas bagi para anggota organisasi. Dengan
budaya organisasi yang kuat, anggota organisasi akan merasa memiliki
identitas yang merupakan ciri khas organisasi.
3. Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan individu.
4. Menjaga stabilitas organisasi. Kesatuan komponen – komponen organisasi
yang direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuat kondisi
organisasi relatif stabil.
Keempat fungsi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat
membentuk perilaku dan tindakan karyawan dalam menjalankan aktivitasnya di
dalam organisasi, sehingga nilai – nilai yang ada dalam budaya organisasi perlu
ditanamkan sejak dini pada setiap individu organisasi.
Menurut Miler dalam Sutrisno (2010:14-15) mengatakan bahwa masa
mendatang ditandai oleh kompetisi global, dan perusahaan yang sukses ialah yang
mampu mengelola budaya baru dengan nilai-nilai yang mengembangkan perilaku
ke arah keberhasilan yang kompetitif. Kita sedang memasuki era baru dan
peradaban baru yang bersifat global, saling tergantung, saling bersaing, yang
ditandai oleh:
1. Motivasi berdasar atas imbalan materi saja semakin tidak memadai.
Kebutuhan-kebutuhan pribadi yang bersifat materi semakin menurun,
sedangkan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat rohani semakin meningkat.
Manajer yang berhasil harus belajar semangat baru yang produktif di dalam
perusahaan. Pekerjaan manajer harus membantu karyawannya dalam
pencapaian harga diri mereka.
19
2. Sifat-sifat pekerjaan menjadi kurang fisikal, dalam arti kurang menyadarkan
pada kekuatan fisik semata-mata, melainkan lebih banyak bersifat kognitif,
karena karyawan dituntut untuk lebih berpikir kreatif, belajar, dan turut ambil
bagian;
3. Pada masa sekarang karyawan mempunyai banyak pilihan yang lebih luas
daripada sebelumnya. Ia dapat pindah, berlatif, dan berorganisasi. Manajemen
dengan intimidasi mulai lenyap, dan manajemen dengan keterlibatan atau
partisipasi serta dorongan positif mulai dilaksanakan;
4. Jumlah manajer akan menurun drastis. Pekerja-pekerja yang berpengetahuan
membutuhkan hanya sedikit pengawas apabila mereka dilatih sepenuhnya,
dilibatkan, ditugasi, dan diberi imbalan yang layak. Manajer-manajer yang
masih ada dan bertahan ialah para teknisi ahli yang akan memberikan
konsultasi dengan seni membuat komitmen, bukan seni memerintah;
5. Persaingan dunia tidak saja dalam bidang teknologi, tetapi juga dalam bidang
kemampuan manajemen. Kita sedang ditantang, bukan karena negara-negara
lain sedang mengembangkan teknologinya, tetapi mereka menantang kita
dalam keterampilan manajemen. Kemampuan manajemen akan menjadi
penentu yang paling kritikal bagi keberhasilan perusahaan dan bangsa dalam
persaingan yang baru.
Menurut Ouchi dalam Sutrisno (2011:13) ada tujuh jenis nilai yang menjadi
pengukur budaya perusahaan:
1. Komitmen pada karyawan;
2. Evaluasi terhadap karyawan;
3. Karier;
20
4. Kontrol;
5. Pembuatan keputusan;
6. Tanggung jawab; dan
7. Perhatian pada manusia.
2.3 Kinerja Karyawan
Pada umumnya, kinerja diberi batasan sebagai kesuksesan seseorang di
dalam melaksanakan suatu pekerjaan.Teori mengenai kinerja dikemukakan oleh
Miner dalam Sutrisno (2010:170), kinerja adalah bagaimana seseorang diharapkan
dapat berfungsi dan berperilaku sesuai dengan tugas yang telah dibebankan
kepadanya.Menurut Wibowo (2007:4) kinerja merupakan implementasi dari
rencana yang telah disusun tersebut.Implementasi kinerja dilakukan oleh sumber
daya manusia yang memiliki kemampuan, kompetensi, motivasi, dan kepentingan.
Bagaimana organisasi menghargai dan memperlakukan sumber daya manusianya
akan memengaruhi sikap dan perilakunya dalam menjalankan kinerja.
Menurut Irianto dalam Sutrisno (2010:171), mengemukakan kinerja
karyawan adalah
prestasi
yang diperoleh
seseorang dalam melakukan
tugas.Keberhasilan organisasi tergantung pada kinerja para pelaku organisasi
bersangkutan.Oleh karena itu, setiap unit kerja dalam suatu organisasi harus
dinilai kinerjanya, agar kinerja sumber daya manusia yang terdapat dalam unitunit dalam suatu organisasi tersebut dapat dinilai secara objektif. Berdasarkan
definisi-definisi tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud
kinerja karyawan adalah hasil kerja karyawan dilihat pada aspek kualitas,
kuantitas, waktu kerja, dan kerja sama untuk mencapai tujuan yang sudah
21
ditetapkan oleh organisasi. Menurut Miner dalam Sutrisno (2010:172-173)
mengemukakan secara umum dapat dinyatakan empat aspek dari kinerja, yaitu
sebagai berikut:
1. Kualitas yang dihasilkan, menerangkan tentang jumlah kesalahan, waktu dan
ketepatan dalam melakukan tugas.
2. Kuantitas yang dihasilkan, berkenaan dengan berapa jumlah produk atau jasa
yang dapat dihasilkan.
3. Waktu kerja, menerangkan akan berapa jumlah absen, keterlambatan, serta
masa kerja yang telah dijalani individu pegawai tersebut.
4. Kerja sama, menerangkan akan bagaimana individu membantu atau
menghambat usaha dari teman sekerjanya.
Dengan keempat aspek kinerja diatas dapat dikatakan bahwa individu
mempunyai kinerja yang baik bila dia berhasil memenuhi keempat aspek tersebut
sesuai dengan target atau rencana yang telah ditetapkan oleh organisasi. Menurut
Swanson dan Graudous dalam Sutrisno (2010:173) menjelaskan bahwa dalam
sistem, berapa pun ukurannya, semua pekerjaan saling berhubungan.Hasil dari
seperangkat kinerja pekerjaan adalah masukan bagi usaha kinerja lainnya. Karena
saling bergantung, apa yang tampaknya merupakan perolehan kinerja yang kecil
dalam suatu aspek pekerjaan dapat menghasilkan perolehan besar secara
keseluruhan. Jadi, produktivitas suatu sistem bergantung pada kecermatan dan
efisiensi perilaku kinerja.
Kinerja dapat dipandang sebagai proses maupun hasil pekerjaan. Kinerja
merupakan suatu proses tentang bagaimana pekerjaan berlangsung untuk
mencapai hasil kerja. Namun, hasil pekerjaan itu sendiri juga menunjukkan
22
kinerja. Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk suatu organisasi
mempunyai kinerja yang baik, yaitu menyangkut pernyataan tentang maksud dan
nilai-nilai,
manajemen
strategis,
manajemen
sumber
daya
manusia,
pengembangan organisasi, konteks organisasi, desain kerja, fungsionalisasi,
budaya, dan kerja sama.(Wibowo, 2007:67).
Menurut Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2007:74), faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja adalah sebagai berikut:
1. Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan, kompetensi yang
dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.
2. Leadership factors, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan
dukungan yang dilakukan manajer dan team leader.
3. Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan
sekerja.
4. System factors, ditunjukkan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas yang
diberikan organisasi.
5. Contextual/situational factors, ditunjukkan oleh tingginya tingkat tekanan dan
perubahan lingkungan internal dan eksternal.
Seperti diketahui tujuan organisasi hanya dapat dicapai, karena organisasi
tersebut didukung oleh unit-unit kerja yang terdapat didalamnya. Terdapat
beberapa cara untuk peningkatan kinerja karyawan. Menurut Stoner dalam
Sutrisno (2010:184-185), mengemukakan adanya empat cara, yaitu:
1. Diskriminasi
Seorang manajer harus mampu membedakan secara objektif antara mereka
yang dapat memberi sumbangan berarti dalam pencapaian tujuan organisasi
23
dengan mereka yang tidak.Dalam konteks penilaian kinerja memang harus ada
perbedaan antara karyawan yang berprestasi dengan karyawan yang tidak
berprestasi.Oleh karena itu, dapat dibuat keputusan yang adil dalam berbagai
bidang, misalnya pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia), penggajian, dan
sebagainya.
2. Pengharapan
Dengan memerhatikan bidang tersebut diharapkan bisa meningkatkan kinerja
karyawan.Karyawan yang memiliki nilai kinerja tinggi mengharapkan pengakuan
dalam bentuk berbagai pengharapan yang diterimanya dari organisasi.untuk
mempertinggi motivasi dan kinerja, mereka yang tampil mengesankan dalam
bekerja harus diidentifikasi sedemikian rupa sehingga penghargaan memang jatuh
pada tangan yang memang berhak.
3. Pengembangan
Bagi yang bekerja dibawah standar, skema untuk mereka adalah mengikuti
program pelatihan dan pengembangan.Sedangkan yang di atas standar, misalnya
dapat dipromosikan kepada jabatan yang lebih tinggi.Berdasarkan hasil laporan
manajemen, bagaimanapun bentuk kebijakan organisasi dapat terjamin keadilan
dan kejujurannya.Untuk itu diperlukan suatu tanggung jawab yang penuh pada
manajer yang membawahinya.
4. Komunikasi
Para manajer bertanggung jawab untuk mengevaluasi kinerja para karyawan
dan secara akurat mengomunikasikan penilaian yang dilakukannya. Untuk dapat
melakukan secara akurat, para manajer harus mengetahui kekurangan dan masalah
apa saja yang dihadapi para karyawan dan bagaimana cara mengatasinya. Di
24
samping itu, para manajer juga harus mengetahui program pelatihan dan
pengembangan apa saja yang dibutuhkan. Untuk memastikannya, para manajer
perlu berkomunikasi secara intens dengan karyawan.
Perusahaan sebagai suatu organisasi mempunyai tujuan yakni memperoleh
keuntungan.Organisasi perusahaan hidup karena aktivitas yang dilakukan oleh
para karyawannya.Sesuai dengan unit kerja yang terdapat dalam organisasi
perusahaan, maka masing-masing unit dinilai kinerjanya, agar kinerja sumber
daya manusia yang terdapat dalam unit dapat dinilai secara objektif.Untuk
mengetahui kinerja karyawan diperlukan kegiatan-kegiatan khusus. Menurut
Bernardin dan Russel dalam Sutrisno (2010:179) ada enam kinerja primer yang
dapat digunakan untuk mengukur kinerja, yaitu:
1. Quality, merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan
kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan.
2. Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah rupiah, unit,
dan siklus kegiatan yang dilakukan.
3. Timeliness, merupakan sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu
yang dikehendaki, dengan memerhatikan koordinasi output lain serta waktu
yang tersedia untuk kegiatan orang lain.
4. Cost effectiveness, merupakan tingkat sejauh mana penggunaan sumber daya
organisasi (manusia, keuangan, teknologi, dan material) dimaksimalkan untuk
mencapai hasil tertinggi atau pengurangan kerugian dari setiap unit
penggunaan sumber daya.
25
5. Need for supervision, merupakan tingkat sejauh mana seorang pekerja dapat
melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seorang
supervisior untuk mencegah tindakan yang kurang diinginkan.
6. Interpersonal impact, merupakan tingkat sejauh mana pegawai memelihara
harga diri, nama baik, dan kerja sama di antara rekan kerja dan bawahan.
2.4 Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja Karyawan
Menurut Wibowo (2007:66) kepemimpinan dan gaya kepemimpinan
dalam organisasi sangat berperan dalam memengaruhi kinerja karyawan.
Bagaimana pemimpin menjalin hubungan dengan pekerja; bagaimana mereka
memberi penghargaan kepada pekerja yang berprestasi; bagaimana mereka
mengembangkan dan memberdayakan pekerjanya; sangat memengaruhi kinerja
sumber daya manusia yang menjadi bawahannya. Namun, kinerja suatu organisasi
tidak hanya dipengaruhi oleh sumber daya manusia di dalamnya, tetapi juga oleh
sumber daya lainnya seperti dana, bahan, peralatan,teknologi dan mekanisme
kerja yang berlangsung dalam organisasi. Hasil penelitian tersebut didukung oleh
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aditya (2010) dan Maramis (2013)
menyatakan bahwa kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
2.5 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan
Hubungan antara budaya organisasi (organizational culture) dengan
sukses-gagalnya kinerja suatu organisasi diyakini oleh para ilmuwan perilaku
organisasi dan manajemen serta sejumlah peneliti akuntansi manajemen sangat
erat.Budaya organisasi diyakini merupakan faktor penentu utama terhadap
26
kesuksesan kinerja ekonomi suatu perusahaan (Kotter dan Heskett 1992, Hofstede
1991, Wilhelm 1992, Martin 1992, Mondy dan Noe 1996, Krietner dan Kinicki
1995, dan Luthans dalam Lako 2004:28). Keberhasilan suatu organisasi untuk
mengimplementasikan aspek-aspek atau nilai-nilai (values) budaya organisasinya
dapat
mendorong
organisasi
tersebut
tumbuh
dan
berkembang
secara
berkelanjutan. Pengelolaan secara efektif terhadap budaya organisasi dapat
menjadi sumber keunggulan kompetitif.
Menurut Lako (2004:50) pembentukan budaya perusahaan yang kuat,
adaptif dan transformasional diyakini Kotter dan Heskett (1992) dapat
berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja dan keunggulan perusahaan
dalam jangka panjang. Budaya perusahaan yang kuat juga diyakini Smircich
(1983) dapat berperan sebagai (1) variabel independen yang mempengaruhi
praktik-praktik manajemen dan sikap pegawai, dan (2) sebagai variabel intern
yang berperan mengkonseptualisasikan organisasi dalam proses produksi atau
jasanya. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian terdahulu
yang
dilakukan oleh Arif (2010) dan Porwani (2010) menyatakan bahwa budaya
organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
2.6
Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja
Karyawan
Pemimpin perusahaan merupakan orang yang paling berpengaruh untuk
menentukan aktivitas dan kebijakan yang harus dijalankan oleh karyawan.Seorang
pemimpin harus dapat memotivasi bawahannya dan memberikan kebebasan
kepada karyawan untuk lebih banyak terlibat dalam berbagai kegiatan.Pemimpin
27
juga harus dapat
memelihara budaya yang ada di organisasi (Sutrisno
2011:34).Kepemimpinan dan budaya organisasi memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kinerja karyawan.Hasil penelitian tersebut didukung oleh
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Arif (2010) dan Maramis (2013) yang
menunjukkan pengaruh positif kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap
kinerja karyawan.
2.7 Kerangka Konseptual
Menurut Juliandi dan Irfan (2013:114) kerangka konseptual merupakan
penjelasan ilmiah mengenai preposisi antarkonsep/ antar konstruk atau pertautan/
hubungan antarvariabel penelitian.Kerangka konseptual dari penelitian ini adalah
pengaruh dari Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap kinerja karyawan
pada PT. Soci Mas Deli Serdang. Dengan variabel yang akan diteliti yaitu
Kepemimpinan (X₁) dan Budaya Organisasi (X₂) sebagai variabel bebas, Kinerja
Karyawan (Y) sebagai variabel terikat.
Berdasarkan kerangka konseptual diatas, maka dapat digambarkan lebih
lanjut sebagai berikut:
Kepemimpinan
(X₁)
Kinerja Karyawan
Budaya
Organisasi (X₂)
Gambar : 2.3 Kerangka Konseptual
28