11 . BAB I pdf

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam mengalami keemasan seiring
dengan keemasan pemikiran Islam. Salah satu aspek pemikiran yang mempunyai
peran determinatif adalah hukum Islam atau fiqih. Eksistensi fiqih dalam
memainkan perannya di tengah-tengah peradaban Islam sangatlah kelihatan,
pengaruhnya demikian besar. Fakta diatas sesuai dengan pernyataan Ernest
Gellner1 bahwa hukum dan dinamika kehidupan masyarakat adalah dua sisi mata
uang yang tak dapat dipisahkan. Senada dengan Gellner, Josep Schacht2
menyatakan bahwa pengaruh hukum dalam pemikiran umat Islam belum pernah
tersaingi, selain oleh tasawuf.
Kemunduran dunia Islam belakangan juga ditengarai sebagai akibat dari
kelesuan pemikiran dalam Islam, akibat meluasnya tradisi ‘taqlīd’. Maka setelah
mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para
pemikir Islam pun berusaha keras untuk membangkitkan kembali Islam, termasuk
di dalamnya pemikiran hukumnya. Pada abad ke 19, muncul para pemikir-pemikir
besar yang menawarkan ragam metodologi untuk membongkar (dekonstruksi) dan
membangun kembali (rekonstruksi) hukum Islam secara fundamental. Salah
satunya adalah Jamal al-Banna (Selanjutnya disebut Jamal) adik kandung


1

Ernest Gellner, “A Pendulum Swing Theory of Islam”. Roland Robersston (ed.).
Sociology of Relogion: Selectied Reading. (Pegiun, Australia), 1969, sebagaimana dikutip oleh:
Maghfur Ahmad, Islamic Law Studies:Wacana dan Kritik Nalar Fuqaha (Pekalongan: STAIN
Pekalongan Press), 2007.
2
Josep Schacht, An Introduction to Islamic law, terj. Joko Supomo, Pengantar Hukum
Islam (Bandung : NUANSA, 2010) hlm. 1.

1

2

pemimpin al-Ikhwān al-Muslimūn, Hasan al-Banna, yang mencoba menawarkan
konsep tentang fiqih yang lebih egalitarianistik. Beberapa gagasan dan
pemikirannya ia kemas menjadi sebuah buku kontroversial yang diberi judul
“Naḥw Fiqh Jadīd”. Dalam pengantarnya, ia mengatakan, “bahwa fiqih dengan
format yang sama sekali baru merupakan sebuah keniscayaan. Ini tidak cukup
hanya dengan insiatif ijtihad saja, tanpa sekaligus menggagas metodologinya

dengan paradigma baru, apalagi sampai berhenti hanya pada tataran tajdīd al-fiqh
atau taṭwīr saja”.3
Gagasan Jamal dapat dikatakan mengambil bentuk perubahan total
terhadap bentuk ushul fiqih yang sudah ada. Hal ini dapat dilihat dari gagasangagasannya yang menyentuh hal-hal yang bersifat fundamental, seperti kehujahan
sunah, hierarki sumber hukum, dan hukum taklīfi. Dilihat dari tema yang
ditawarkan, gagasan Jamal sebenarnya sudah banyak diusung dalam wacana
pemikiran kontemporer, kecuali tema yang terakhir: hukum taklīfi. Sepanjang
pengetahuan penulis, Jamal al-Banna adalah orang yang pertama kali menawarkan
gagasan baru terkait hukum taklīfi. Penelitian ini akan mengkaji pemikiran Jamal
al-Banna tentang barā´ah aṣliyyah, yang di dalamnya memuat tentang hukum
taklīfi dengan ‘wajah baru’.
Sebagaimana diketahui, dalam wacana ushul fiqih, ada dua pandangan
besar terkait dengan hukum taklīfi :

Jamal al-Banna, kata pengantar dalam: Jamal al-Banna, Naḥw Fiqh Jadīd, terj.
Hasibullah Satrawi dan Zuhairi Misrawi, Manifesto Fiqih Baru (Jakarta: Erlangga, 2008).
3

3


a) Pandangan uṣūliyyūn aliran (ṭarīqah) Mutakallimīn atau Syāfi’iyyah4
b) Pandangan uṣūliyyūn aliran (ṭarīqah) Ḥanafiyyah atau Fuqahā´.5
Kelompok Mutakallimīn mempunyai pandangan bahwa hukum taklīfi ada
lima: wajib/farḍu, sunah, haram, makruh dan mubah. Sedang kelompok
Ḥanafiyyah mempunyai pandangan bahwa hukum taklīfi ada tujuh: Farḍu, wajib,
haram, makruh tahrīm, makruh tanzīh dan mubah.6 Perbedaan pendapat tersebut
berangkat dari pemahaman meraka terhadap khiṭab Allah. Sebagaimana diketahui,
bahwa hukum dalam terminologi ushul fiqih diartikan sebagai:

‫ﺧﻄﺎﺏ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﺍﳌﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻓﻌﺎﻝ ﺍﳌﻜﻠﻔﲔ ﺑﺎ ﻹﻗﺘﻀﺎﺀ ﺍﻭ ﺍﻟﺘﺨﻴﲑ ﺍﻭ ﺍﻟﻮﺿﻊ‬
“Seruan/titah pembuat syariat (as-Syāriʽ) yang berkaitan dengan
perbuatan manusia, baik berupa tuntutan (iqtiḍā'), pilihan (takhyīr)
ataupun wadh'i”7.
Yang dimaksud dengan seruan pembuat syariat (khiṭab as- syāriʽ) di sini
adalah makna yang terkandung dalam lafaẓ dan susunan lafaẓ (tarkib) dalam naṣnaṣ syara', seperti ayat al-Qur'an dan hadis. Dengan demikian, seruan pembuat
syariat (khiṭab asy-Syāriʽ) ini adalah makna yang diperoleh oleh seorang mujtahid
dari naṣ, baik melalui ijtihad maupun tidak. Karena yang dimaksud dengan khiṭab
4

Ushul Fiqh aliran ini dipelopori oleh Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H.),

melalui kitabnya ar-Risālah, yang kemudian diikuti oleh sebagian besar ulama ushul. Oleh karena
itu madzhab ini sering disebut dengan madzhab Syafi’iyyah. Dalam membangun teori-teori ushul
fiqh, aliran ini banyak menggunakan premis-premis dan logika-logika yang banyak digunakan
dalam ilmu kalam, sehingga di kemudian hari aliran ini juga disebut dengan Madzhab
Mutakallimīn. Lihat dalam Abdul Wahhab Khallaf: Uṣūl al-Fiqh (Iskandariyyah: Maktabah alDa’wah al-Islamiyyah Syabab al-Azhar, 2002), hlm. 17-18.
5
Ushul fiqh aliran ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah dan kedua muridnya, Abu
Yusuf dan asy-Syaibani. Kelompok ini menyusun teorinya secara induktif dari produk fiqh hasil
ijtihad dalam madzhab ini, sehingga di kemudian hari aliran ini disebut dengan Madzhab Fuqahā´
atau Ahnāf. Lihat dalam Ibid.
6
Muhammad al-Khudhari Bik, Uṣūl al-Fiqh (tanpa kota: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 30-32.
7
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan (Jakarta: Saadiyah Putra, tth.), hlm. 7.

4

asy-Syāriʽ di sini adalah makna yang diperoleh, maka makna yang diperoleh
seorang mujtahid sangat mungkin berbeda dengan mujtahid lain. Meskipun
demikian, masing-masing makna tersebut tetap disebut khiṭāb asy-Syâri' bagi

masing-masing.
Dari definisi tersebut, dapat kita ketahui bahwa muatan khiṭab terdiri dari
tiga macam: iqtiḍa’ atau tuntutan, takhyīr atau pilihan dan waḍaʽ atau ketetapan.
Namun dari ketiga unsur tersebut, yang berkaitan langsung dengan perbuatan
mukallaf adalah iqtiḍā´ dan takhyīr. Sedangkan wadha’, tidak berkaitan langsung
dengan perbuatan mukallaf.
Di sisi lain, naṣ yang berisi khiṭab datang dengan berbagai macam bentuk
(uslūb). Keragaman bentuk khiṭab tersebut kemudian melahirkan metode-metode
untuk mengeluarkan hukum dari khiṭab. Secara garis besar, ada tiga langkah yang
dilakukan ulama dalam memahami teks khiṭāb tersebut: Pertama, dengan melihat
pola (uslūb) redaksi khiṭāb. Kedua, dengan melihat indikator-indikator (qarīnah)
yang menyertai khiṭāb, untuk mengetahui tingkat kekuatan tuntutan. Jika tuntutan
dianggap kuat, maka hukum yang dihasilkan adalah wajib (jika tuntutannya
perintah/amr) dan haram (jika tuntutannya larangan/nahy), sedang jika tuntutan
lemah, maka hukum yang dihasilkan adalah sunah (jika tuntutannya perintah/amr)
atau makruh (jika tuntutannya larangan/nahy). Dari kedua langkah pemahaman
tersebut, maka melahirkan lima hukum taklīfi yang lazim dijumpai dalam ushul
fiqih aliran Mutakallimīn.
Selain dua langkah di atas, ulama ushul fiqih Ḥanafiyyah juga melihat naṣ
dari sisi kekuatan transmisinya (ṭarīqah al-wurūd)-nya. Jika tuntutan perintah


5

bernada kuat datang dari naṣ yang transmisinya kuat (qaṭ´iyy al-wurūd), maka
hukum yang dihasilkan adalah farḍu, sedang jika kekuatan transmisinya lemah,
maka hukum yang dihasilkan adalah wajib. Sebaliknya, jika tuntutan pelarangan
(ṭalab nahy) bernada tegas/keras datang dari naṣ yang transmisinya kuat, maka
hukum yang dihasilkan adalah haram, sedang jika transmisinya lemah, maka
hukum yang dihasilkan adalah makruh tahrīm. Sedang jika tuntutan pelarangan
bernada kurang tegas, maka hukum yang dihasilkan adalah makruh tanzīh.
Klasifikasi hukum taklīfi berdasarkan analisis dan pemahaman dua
kelompok uṣūliyyūn tersebut di kemudian hari menjadi klasifikasi baku yang
dianut oleh mayoritas, bahkan seluruh umat muslim sedunia, tanpa ada yang
menganggu gugat. Gugatan baru muncul ketika Jamal al-Banna dengan konsep
barā´ah aṣliyyah-nya menawarkan klasifikasi hukum taklīfi yang berbeda.
Jamal al-Banna hadir dengan pandangan baru, bahwa perbuatan mukallaf
tidak semuanya masuk dalam cakupan khiṭab Allah. Menurutnya, khiṭab Allah
adalah apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah melalui ayat yang
diturunkan (al-Quran) dan hadis sahih yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
al-Quran8. Di luar kedua hal di atas, maka masuk dalam cakupan barā´ah

aṣliyyah, dan dihukumi dengan ’afw. Ia menolak penggunaan berbagai metode
penetapan hukum, terutama sadd aẓ-ẓarīʽah yang kemudian menghasilkan hukum
taklīfi dalam persoalan yang tidak dijelaskan oleh naṣ. Menurutnya, apa yang

8

Jamal mempunyai pandangan tersendiri terkait dengan hadits yang dapat dijadikan
pedoman. Pandangan Jamal terkait dengan sunnah sama sekali berbeda dengan mayoritas ulama.
Pemikiran Jamal terkait sunnah ini dikupas panjang lebar dalam jilid dua dari kitab Naḥw Fiqh
Jadid, yang ia beri judul as-Sunnah wa Dauruhā fī al-Fiqh al-Jadīd (Kairo: Dar al-Fikr al-Islami),
1997.

6

tidak dijelaskan oleh naṣ adalah sesuatu yang sengaja didiamkan oleh Allah untuk
diserahkan kepada pilihan hambanya.9
Bertolak dari pandangan tersebut, Jamal membagi hukum taklīfi menjadi
tiga: wajib, haram dan ’afw. Jamal mendasarkan pandangannya tersebut pada
ayat-ayat al-Quran dan hadist Rasul SAW. Diantaranya:
              

   

            
     

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan
kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang
hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Sesungguhnya
telah ada segolongan manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang
serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya
kepadanya (Q.S al-Maidah: 101-102)
            
          
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengadaadakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung” (Q.S al-Nahl:
116)


9

Jamal al-Banna, e-book Naḥw Fiqh Jadīd, vol. I ( www.kotobarabia.com), hlm. 40-41.

7

Adapun hadits Rasul Saw yang ia kutip untuk menguatkan pendapatnya
diantaranya:

‫ ﻭﻣﺎ ﺳﻜﺖ ﻋﻨﻪ ﻓﻬﻮ ﻋﻔﻮ ﻓﺎﻗﺒﻠﻮﺍ ﻣﻦ‬،‫ﻡ ﻓﻬﻮ ﺣﺮﺍﻡ‬‫ﻣﺎ ﺍﺣﻞﹼ ﺍﷲ ﰲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﺣﻼﻝ ﻭﻣﺎ ﺣﺮ‬
10

‫ﺎ‬‫ﻚ ﻧﺴﻴ‬‫ﺍﷲ ﻋﺎﻓﻴﺘﻪ ﻓﺈﻥﹼ ﺍﷲ ﱂ ﻳﻜﻦ ﻟﻴﻨﺴﻲ ﺷﻴﺌﺎ ﻭﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺭﺑ‬

“Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya adalah halal, apa yang Allah
haramkan adalah haram, sedang apa yang Allah diam darinya adalah afw
(sesuatu yang diampui). Maka terimalah pengampunan dari Allah,
sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan melupakan sesuatupun. “Dan
sekali-kali Tuhanmu tidaklah lupa”


،‫ ﻓﺈﳕﺎ ﻫﻠﻚ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻗﺒﻠﻜﻢ ﺑﻜﺜﺮﺓ ﺳﺆﺍﳍﻢ ﻭ ﺍﺧﺘﻼﻓﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻧﺒﻴﺎﺀﻫﻢ‬،‫ﺫﺭﻭﱐ ﻣﺎ ﺗﺮﻛﺘﻜﻢ‬
11

‫ ﻭﺇﺫﺍ ﺍﻣﺮﺗﻜﻢ ﺑﺸﻲﺀ ﻓﺨﺬﻭﺍ ﻣﻨﻪ ﻣﺎ ﺍﺳﺘﻄﻌﺘﻢ‬،‫ﻴﺘﻜﻢ ﻋﻦ ﺷﻲﺀ ﻓﺎﺟﺘﻨﺒﻮﻩ‬ ‫ﻓﺈﺫﺍ‬

“Tinggalkanlah aku, Apa yang yang aku tinggalkan untuk kalian.
Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena banyaknya pertanyaan
dan perselisihannya dengan nabi-nabi mereka. Oleh karena itu, apabila
aku melarang kalian dari sesuatu, maka jauhilah, dan jika aku
perintahkan kalian sesuatu, maka ambillah (laksanakanlah) sesuai
kemampuan kalian” (H.R. Ahmad)

Disini terlihat bahwa Jamal mencoba menawarkan cara pandang yang
sama sekali baru dan berbeda secara prinsipil dengan pandangan yang sudah ada
dan dianut oleh

-untuk tidak mengatakan seluruh- mayoritas kaum muslim.

Berangkat dari persoalan tersebut, maka penelitian ini menemukan relevansinya
jika dilihat dari hal-hal di bawah ini:


10

Muhammad ibn Isa at-Tirmiżi, al-Jami’ al-Tirmiżi, hadits no. 1726, juga dalam Abu
Dawud as-Sijistāni, Sunan Abī Dawud, hadits no. 3800 (CD Rom Mausu’ah al-Ḥadiṡ asy-Syarīf)
11
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Al-Jāmi’ as-Ṣahih, hadits no. 7288, Abu al-Husein
Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Ṣaḥiḥ Muslim, kitab al-Fadhail hadits no. 1337. (CD Rom
Mausu’ah al-Ḥadiṡ asy-Syarīf).

8

Pertama, upaya Jamal al-Banna untuk merekonstruksi pemikiran ushul
fiqih dengan manawarkan konsep barā´ah aṣliyyah yang kemudian melahirkan
teori-teori baru yang berbeda secara signifikan dengan teori teori yang sudah ada,
patut dicermati. Bagaimana ia melakukannya adalah problem epistemologis yang
perlu dikaji lebih mendalam. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dasar
pemikiran, metode serta implikasi dari pemikiran Jamal tersebut.
Kedua, semua persoalan fiqih dan ushul fiqih berporos pada penentuan
status hukum perbuatan mukallaf yang tercakup dalam hukum taklīfi, sehingga
pembaharuan pemikiran tentang hukum taklīfi akan berpengaruh besar dalam
pemikiran fiqih dan ushul fiqih secara lebih luas.
Ketiga, dari pemaparan tentang dua aliran ushul fiqih dengan
pandangannya tentang hukum taklīfi yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa
semakin detil dan rinci telaah terhadap teks yang mengandung muatan khiṭab
sebagaimana dilakukan oleh ulama ushul Ḥanafiyyah, akan menghasilkan
rumusan hukum taklīfi yang lebih rinci pula. Sebaliknya, semakin ‘sederhana’
telaah teks yang mengandung muatan khiṭab, akan menghasilkan rumusan hukum
taklīfi yang lebih sederhana juga. Kesimpulan tersebut melahirkan asumsi yang
menjadi titik tolak penelitian ini, bahwa rumusan hukum taklīfi Jamal al-Banna
yang lebih sederhana juga menunjukkan kesederhanaan telaah teks yang
dilakukan Jamal.
Keempat, dengan adanya perbedaan pendapat tentang hukum taklīfi antara
aliran Mutakallimīn dan Ḥanafiyyah, maka hal tersebut menunjukkan bahwa
rumusan tentang hukum taklīfi, seberapapun masyhurnya, hingga seolah-olah

9

dianggap sebagai kebenaran absolut, tetaplah sesuatu yang bersifat ijtihādi, dan
tidak menutup kemungkinan ada pandangan lain yang berbeda dengan dua
pandangan yang sudah ada. Maka selayaknyalah jika pandangan Jamal tentang
hukum taklīfi didudukkan secara proporsional sebagai hasil ijtihad yang patut
diapresiasi dan ditanggapi secara ilmiah. Penelitian ini adalah bagian dari upaya
penulis untuk menyikapi pemikiran Jamal secara ilmiah, agar tidak jatuh dalam
sikap fanatisme buta dan menganggap bahwa teori ushul fiqih sudah selesai, final
dan mempunyai kebenaran absolut.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut, penelitian ini akanberupaya untuk menjawab
pertanyaan tentang
1. Bagaimanakah landasan epistemologis pemikiran Jamal al-Banna tentang
prinsip dan konsep barā´ah aṣliyyah?
2. Apa implikasi pemikiran Jamal tersebut terhadap konfigurasi ushul fiqih
yang sudah ada?
3. Bagaimanakah relevansi pemikiran Jamal al-Banna dalam konteks realitas
dunia Islam kontemporer?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk

mengetahui

dan

mengkaji

bagaimanakah

landasan

epistemologis pemikiran Jamal al-Banna tentang prinsip dan konsep
barā´ah aṣliyyah.

10

2. Untuk mengetahui dan mengkaji implikasi pemikiran Jamal al-Banna
terhadap bangunan ushul fiqih yang sudah ada.
3. Untuk mengetahui dan mengkaji relevansi pemikiran Jamal al-Banna
dalam konteks realitas dunia Islam kontemporer.
Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1. Mengembangkan apresiasi terhadap pemikiran seseorang, sebagai
wujud penghargaan kita terhadap ilmu pengetahuan yang merupakan
fondasi dari salah satu inti kebudayaan dalam masyarakat muslim.
2. Untuk menemukan rumusan konsep ushul fikih yang baru, sebagai
pengembangan dari konsep yang sudah ada, agar fiqih dan ushul fiqih
menjadi relevan dengan perkembangan zaman
3. Untuk dijadikan sebagi titik tolak penelitian selanjutnya, baik oleh
peneliti sendiri maupun oleh peneliti lain, sehingga kegiatan penelitian
menjadi kegiatan ilmiah yang berkelanjutan.

D. TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Berfikir
Untuk lebih memudahkan pemahaman teoritis terkait dengan
pemikiran Jamal al-Banna tentang barā´ah aṣliyyah, maka berikut skema
teoritis hukum taklīfi menurut Uṣūliyyūn Mutakallimīn dan Ḥanafiyyah,
skema teoritis tentang hukum taklīfi dan posisi barā´ah aṣliyyah.

‫‪11‬‬

‫‪a) Skema Teoritis Hukum Taklīfi Menurut Uṣūliyyūn Mutakallimīn dan‬‬
‫‪Ḥanafiyyah‬‬

‫ﺧﻄﺎﺏ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ‬

‫ﻣﺘﻜﻠﻤﲔ‪/‬ﺷﺎﻓﻌﻴ‪‬ﺔ‬

‫ﺣﻨﻔﻴ‪‬ﺔ‪/‬ﻓﻘﻬﺎﺀ‬

‫ﺗﻨﻮﻉ ﺃﺳﺎﻟﻴﺐ ﺍﳋﻄﺎﺏ‬

‫ﺗﻨﻮﻉ ﺃﺳﺎﻟﻴﺐ ﺍﳋﻄﺎﺏ‬
‫ﻗﻮﺓ ﺍﻟﻄﻠﺐ‬

‫ﻗﻮﺓ ﺍﻟﻄﻠﺐ‬

‫ﻗﺮﻳﻨﺔ ﻣﺒﻴﻨﺔ ﳌﺮﺍﺩ ﺍﳋﻄﺎﺏ‬

‫ﻗﺮﻳﻨﺔ ﻣﺒﻴﻨﺔ ﳌﺮﺍﺩ ﺍﳋﻄﺎﺏ‬

‫ﻃﺮﻳﻘﺔ ﺍﻟﻮﺭﻭﺩ‬
‫)ﻗﻄﻌﻲ‪/‬ﻇﲏ‪ ‬ﺍﻟﺜﺒﻮﺕ(‬
‫ﺍﺣﻜﺎﻡ ﺗﻜﻠﻴﻔﻴﺔ‬

‫ﻭﺍﺟﺐ‬

‫ﻣﻨﺪﻭﺏ‬

‫ﳏﻈﻮﺭ‪/‬ﺣﺮﺍﻡ‬

‫ﻓﺮﺽ‬

‫ﻭﺍﺟﺐ‬

‫ﻣﻨﺪﻭﺏ‬

‫ﺍﺣﻜﺎﻡ ﺗﻜﻠﻴﻔﻴﺔ‬

‫ﻣﻜﺮﻭﻩ‬

‫ﳏﻈﻮﺭ‪/‬ﺣﺮﺍﻡ‬

‫ﻣﺒﺎﺡ‬

‫ﻣﻜﺮﻭﻩ ﲢﺮﱘ‬

‫ﻣﻜﺮﻭﻩ ﺗﱰﻳﻪ‬

‫ﻣﺒﺎﺡ‬

12

b) Skema Teoritis Pemikiran Jamal Al-Banna tentang Barā´ah Aṣliyyah

‫ﺧﻄﺎﺏ ﺍﷲ‬

‫ﺍﺷﻴﺎﺀ‬/‫ﺍﻋﻴﺎﻥ‬

‫ﻣﺎ ﺍﺣﻠﹼﻪ ﺍﷲ‬

‫ﻣﻪ ﺍﷲ‬‫ﻣﺎ ﺣﺮ‬

‫ﺍﻓﻌﺎﻝ‬

‫ﻣﺎ ﺳﻜﺖ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ‬

‫ﻣﺎ ﺳﻜﺖ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ‬

‫ﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ‬ ‫ﻣﺎ‬

‫ﻣﺎ ﺍﻣﺮﻩ ﺍﷲ‬

‫ﺑﺮﺍﺀﺓ ﺍﺻﻠﻴﺔ‬
‫ﺣﻼﻝ‬

‫ﺣﺮﺍﻡ‬

‫ﻋﻔﻮ‬

‫ﺣﺮﺍﻡ‬

‫ﻭﺍﺟﺐ‬

Sumber : Skema teoritis Hukum Taklīfi Uṣūliyyūn Mutakallimīn dan Ḥanafiyyah
diolah dari berbagai sumber-sumber mu’tabarah.: al-Mustasyfā fī Ilm al-Ushūl
(al-Ghazali) Ushūl al-Fiqh, Tārīkh at-Tasyrīʽ al-Islāmi (Khudhari Bik) Ushūl alFiqh (Abu Zahrah) al-Bayān (Abdul Hamid Hakim) Ushūl al-Fiqh, Maṣādir atTasyrīʽ fī mā lā naṣṣa fīh (Abdul Wahhab Khallaf) Tārīkh at-Tasyrīʽ al-Islāmi
(Manna’ al-Qaththan) Taisīr al-Wushūl ila al-Ushūl (Atha’ bin Khlil Abu Rasyt),
al-Qarīnah ‘inda al-Uṣūliyyīn (Muhammad Qasim al-Asthal), Ushul Fiqh (Amir
Syarifuddin) dll. Sedang skema teoritis pemikiran Jamal al-Banna tentang barā´ah
aṣliyyah diolah dari kitab Naḥw Fiqh Jadīd

13

2. Penelitian Terdahulu
Dalam melakukan penelitian, penulis mencoba untuk mengkaji dan
menelaah beberapa referensi dan literatur yang relevan dan dapat dijadikan
titik pijak dalam penelitian ini. Selanjutnya penulis menentukan posisi
penelitian ini di antara beberapa kajian yang sudah ada.
Sebagai pemikir liberal yang tidak berasal dari dunia akademis
(baca: perguruan tinggi Islam), di Indonesia pemikiran Jamal belum
banyak mendapatkan apresiasi dalam bentuk kajian maupun penelitian.
Sepanjang penelusuran penulis, hanya ada beberapa penelitian yang
mengkaji pemikiran Jamal dalam berbagai tema yang beragam:

Tesis yang berjudul “Pemerintahan dalam Islam: Studi Pemikiran
Jamal al Banna”. Kajian yang dilakukan oleh M. Najibul Khair12 ini
meneliti tentang eksistensi dan prinsip-prinsip Negara Islam serta
bagaimana karakteristik Negara Islam, baik dari segi sistem pemerintahan,
sumber hukum, sistem ekonomi, dan prinsip kebebasan. Berdasarkan
permasalahan tersebut, ia ingin mencairkan beberapa pernyataan melalui
pandangan Jamal yang berpendapat bahwa tidak ada satu pun contoh
pemerintahan Islam

yang ideal selain pada masa Madinah al-

Munawwarah, yang berlangsung hanya dalam waktu 23 tahun. 10 tahun
pada masa kenabian, sementara 13 tahun sesudahnya di bawah
kepemimpinan khalifah Abu Bakar dan Umar RA. Setelah itu, yang ada
12

Akhmad Najibul Khairi, “Masalah Pemerintahan dalam Islam: Studi
Pemikiran Jamal Al-Banna” (tesis Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, 2009).

14

tidak lebih dari pemerintahan yang ekspansif dan rakus, sampai
berakhirnya masa kekhalifahan Turki Utsmani. Termasuk pada masa
pemerintahan Utsman dan Ali, karena keduanya tidak mengikuti cara
kedua khalifah pendahulunya.
Di sisi lain, Jamal masih menaruh harapan pada wujud “Negara
Islam” dengan sosok pemerintahan yang lebih membumikan Islam dalam
membangun kemaslahatan umat.Wujud ideal Negara Islam sangat sulit
untuk direalisasikan, namun yang terpenting adalah menanamkan nilainilai Islam demi kebijakan universal. Jamal menempatkan agama dalam
kehidupan bernegara dan kedudukan Negara dalam pengalaman serta
pengamalan agama, juga seberapa jauh aspek-aspek ajaran Islam dapat
berperan dalam sistem ketatanegaraan. Dari paparan tersebut jelas sekali
bahwa penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini, meski meneliti
pemikiran tokoh yang sama.

Penelitian lain yang mengkaji pemikiran Jamal adalah tesis
berjudul “Relasi Agama dan Negara: Studi atas pemikiran Jamal alBanna”.13 Penelitian ini mencoba membahas isu-isu keislaman dan
kebangsaan di Timur Tengah, termasuk Mesir. Kajian ini fokus kepada
permasalahan tentang relasi antara Islam dan Negara sebagai upaya
mencari format keberagaman dalam konstruk masyarakat majemuk.

13

Muhammad Zamzami, Relasi antara Agama dan Negara: Studi atas Pemikiran
jamal al-Banna” (Tesis Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008).

15

Upaya pencarian format pemerintahan Islam ini berdasarkan
realitas sejarah, dimana ketika Nabi membangun sebuah komunitas di
Madinah, ia tidak pernah menyatakan satu bentuk pemerintahan tertentu
yang harus diterapkan, tidak juga memerintahkan penerusnya (al-Khulafā
al-Rasyīdūn) untuk membuat satu sistem politik tertentu pula. Peralihan
tampuk kepemimipinan melalui kesepakatan dan ijtihad politik, dan bukan
peralihan risalah Allah. Itu artinya Islam tidak menentukan sistem politik
tertentu bagi kaum muslim. Khilafah itu berasal dari ijtihad dan pendapat
terbaik dari para pemegang kekuasaan dalam sistem tersebut. Karenanya,
sistem itu tidak bisa disebut sebagai sistem ‘Islami’ dengan pengertian
bahwa model politik dan segala implikasinya yang diterapkan dalam
kelembagaan khilafah berasal dari Islam. Berkaitan dengan isu relasi
agama dan negara di atas, tulisan ini mencoba menelisik pemikiran Jamal
tentang ada atau tidaknya konsep negara Islam melalui pemikiran Jamal.
Jelas sekali bahwa penelitian di atas juga berbeda dengan penelitian ini,
dan hanya mempunyai kesamaan terkait tokoh yang dikaji pemikirannya.

Selain kedua penelitian di atas, masih ada beberapa kajian yang
berkaitan dengan pemikiran Jamal al-Bana, di antaranya tesis M. Su'ud:
“Metodologi Tafsir Al-Qur'an Revolusioner Jamal Al-Banna”.14 Penelitian
ini mengkaji tentang metode penafsiran revolusiner Jamal al-Banna.
Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa metode penafsiran yang
14

M. Su’ud, “Metodologi Tafsir Revolusioner Jamal al-Banna” (Tesis Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009).

16

digagas oleh Jamal ingin menempatkan al-Qur'an bebas dari berbagai
pendekatan yang membatasinya, sehingga disebut sebagai metodologi
tafsir revolusioner. Secara metodologis, al-Qur’an tidak layak terikat
dengan sebuah pendekatan namun menjadi sesuatu

yang bebas

bersinggungan langsung dengan realita. Dalam proses penafsiran menurut
Jamal terdapat dua siklus yang harus dipenuhi oleh mufasir. Pertama,
seorang mufassir terlebih dahulu menemukan konsep-konsep yang benar
tentang hakikat al-Qur'an, hadis, dan bagaimana memperlakukannya, "Prapenafsiran". Kedua, penafsiran harus mencerminkan adanya interaksi aktif.
Artinya, mufassir harus melakukan upaya pengkajian terhadap ayat-ayat
yang akan ditafsiri secara berluang-ulang melalui penghayatan dan
perenungan berdasarkan kemampuan berfikir yang diawasi langsung oleh
kejernihan hati nurani serta hadis nabi yang sudah dibuktikan validitasnya.
Melalui tawaran metodologi penafsiran yang sistematis-praktis di atas
memudahkan

masyarakat

muslim

memahami

al-Qur’an

secara

komprehensif. Disamping itu, gagasan ini membuka peluang selebarlebarnya bagi seluruh masyarakat muslim untuk ikut serta berpartisipasi
dalam upaya penafsiran, sehingga siapapun berhak mengemukakan
pendapatnya dalam mengkaji kitab suci sesuai dengan kemampuan
berfikirnya dalam upaya mencari jawaban dari peristiwa-peristiwa yang
ada di sekelilingnya sesuai dengan tuntutan zaman.

17

Terkait dengan proyek pembaharuan fiqih Jamal,

Muhammad

Hadi Sucipto15 juga telah meneliti konsep pembaharuan fiqih yang telah
digagas oleh tokoh ini. Dalam risetnya, ia menyatakan bahwa harus ada
gagasan tentang pembaharuan fiqih sebagai inspirasi dan rangsangan dari
para pakar fiqih kontemporer untuk berani menelorkan gagasan teori
alternatif hukum Islam yang lebih responsif terhadap perkembangan dan
tuntutan zaman. Gagasan pembaharuan fiqih ini dirasa penting karena
gerakan ijtihad pada pertengahan abad IV H. hingga sekarang telah
mengalami stagnasi disebabkan adanya fanatik madzhab, sehingga
rumusan hukum yang ada tidak mampu memberikan solusi terhadap
permasalahan-permasalahan kontemporer saat ini. Penelitian ini mengkaji
pembaharuan fiqih Jamal secara eksploratif, namun tidak secara spesifik
membahas Barā´ah aṣliyyah.

Sedang disertasi yang mengkaji pemikiran Jamal adalah disertasi
yang disusun oleh Mufidah Saggaf al-Jufri, “Pembaharuan hukum Islam
menurut Jamal Al-Banna”.16 Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara
komprehensif ruang lingkup pengertian pembaruan hukum meliputi
pembaruan substansi, metodologi, pelaksanaan, dan sumber materinya.
Pembaruan dalam metodologi hukum Islam (ushul al-fiqih) secara global
dilakukan dengan dua cara: pertama, tidak bertaklid kepada suatu metode

15
Muhammad Hadi Sucipto, “Tajdid Fiqh: Studi atas Ide Pembaharuan Fiqh
Jamal al-Banna” (Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2004).
16
Mufidah Saggaf al-Jufri, “Pembaharuan hukum Islam menurut Jamal AlBanna” (Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012).

18

kecuali dengan dalil dan selalu terbuka untuk mentarjih di antara beberapa
pendapat. Kedua, memperluas kaidah-kaidah yang menjadi bahasan dalam
ilmu usul fikih. Jamal al-Banna menawarkan kontruksi pemikiran hukum
dengan berlandaskan kepada ushul al-fiqih guna memahami hukum Islam
secara komprehensif. Langkah pertama yang dilakukan Jamal al-Banna
dalam pembaruannya, mendestruksi sumber hukum Islam dengan
meletakkan secara maksimal peran akal dalam berijtihad yang mengacu
pada prinsip terwujudnya kemashlahatan. Bagi Jamal al-Banna, yang
terpenting dalam langkah sebuah pembaharuan bukanlah menafsirkan alQur’an akan tetapi mengangkat nilai revolusioner al-Qur’an. Inti ajaran alQur’an adalah nilai-nilai universal ajarannya. Peran akal dan kondisi
sosial, bagi Jamal al-Banna merupakan dua landasan pokok bagi
pemahaman dan penafsirannya terhadap al-Qur’an. Pemikiran dalam fikih
juga menjadi sorotan Jamal al-Banna. Jamal al-Banna memandang bahwa
hukum yang ada kurang menunjukkan keuniversalan al-Qur’an dan
terkesan tertutup. Hal ini menurut Jamal al-Banna disebabkan pendekatan
yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat hukum kurang tepat dan
bersifat parsial, aspek keterpaduan ayat kurang diperhatikan. Penelitian ini
juga tidak secara khusus mengkaji Barā´ah aṣliyyah.
Penulis juga menemukan satu makalah yang ditulis oleh Zainal
Fanani17, “Meninjau Ulang Pembaruan Fikih: Studi Kritis Pemikiran
Gamal Al-Banna”, makalah ini mengkritisi pemikiran Jamal terkait
17

Zainal Fanani. “Meninjau Ulang Pembaruan Fikih: Studi Kritis Pemikiran
Gamal Al-Banna”, (Forum Diskusi Dirosah Fikriyah AIMAI Ahgaff Yaman, tanpa
tahun).

19

pembaruan fikih. Dalam tulisannya, Zainal mengungkapkan bahwa
Pemikiran Jamal banyak mengandung sisi problematis, bahkan, dengan
bahasa yang lebih kasar, ia menyebutnya ‘semrawut’ dan ngawur. Hal
tersebut menurut analisa penulis adalah karena tidak adanya hubungan
yang harmonis antara Gamal Al-Banna dengan capaian yang telah
dihasilkan oleh ulama pada masa silam.

E. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library
Reseach), yaitu penelitian yang menjadikan literatur-literatur kepustakaan
sebagai sumber data primer dalam rangka mencari jawaban atas suatu
permasalahan.18 Dilihat dari sifatnya, penelitian ini adalah penelitian
eksplanatoris (explanatory research), yaitu suatu penelitian pendalaman
berupa pengujian dan bahkan bisa menolak suatu teori atau hipotesahipotesa serta hasil-hasil penelitian yang ada.19

2. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan tiga jenis sumber data :

18
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004), hlm. 3.
19
Ahmad Tanzeh, Metodologo Penelitian Praktis (Yogyakarta: Teras, 2011),
hlm. 5.

20

a. Sumber Data Primer, yaitu sumber data yang menjadi pokok dan
fokus penelitian, dalam hal ini adalah kitab Naḥw Fiqh Jadīd karya
Jamal al Banna.
b. Sumber Data Sekunder, yaitu sumber data pendukung yang dapat
membantu

untuk

memahami

dan

mengkaji

permasalahan

penelitian, berupa literatur yang membicarakan permasalahan
penelitian, seperti kitab-kitab ushul fiqih klasik dan kontemporer,
buku-buku tentang ushul fiqih, dan literatur sejenis.
c. Sumber Data Tersier, yaitu sumber data yang tidak berkaitan
langsung dengan penelitian, akan tetapi dapat membantu proses
penelitian, seperti kamus, ensiklopedi, tessaurus, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan studi pustaka terhadap literatur yang berkaitan dengan
penelitian, baik berupa data primer, sekunder maupun tersier. Penelusuran
data

tersebut

dilakukan

dengan

membaca,

menganalisa

dan

membandingkan antara satu sumber dengan sumber lainnya, untuk
kemudian diambil kesimpulan yang berupa jawaban masalah penelitian.

4. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul dan dirasa cukup maka dilakukan analisa,
yaitu dengan cara memilih dan mengklasifikasikan data yang sudah ada

21

berdasarkan keterkaitannya dengan obek penelitian. Selanjutnya dilakukan
pengelolaan data dengan cara deskriptif analisis, yaitu suatu usaha
menyusun dan menganalisa suatu data, kemudian dilakukan suatu analisis
interpretasi data yang sudah ada tersebut.20 Dalam menganalisis data,
penulis menggunakan pendekatan normatif, dalam hal ini penulis
menggunakan ushul fiqih sebagai dasar utama dalam memahami teori
Jamal. Penulis juga menggunakan pendekatan hermeneutis, yaitu
pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan teologis, filosofis dan
logis.21

E. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Pembahasan dalam penelitian ini akan dibagi dalam lima bab:
Bab Pertama berisi Pendahuluan yang akan menjelaskan latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua berisi penjelasan diskursus tentang perbuatan mukallaf dan
khiṭab Allah, yang di dalamnya memuat penjelasan tentang perbuatan mukallaf
dari segi status baik dan buruknya, perbuatan mukallaf dari segi penjelasan naṣ,
hukum

asal perbuatan

mukallaf,

dan

faktor-faktor

determinatif

dalam

pembentukan hukum taklīfi, yang berupa penjelasan tentang khiṭab; di antaranya
ragam pola khiṭab, indikator-indikator yang menyertai khiṭab serta kekuatan

20

Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Tehnik
(Bandung: Tarsito, 1985), hlm. 139.
21
Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh (Jakarta : Prenada Media, 2003), hlm. 219.

22

transmisi khiṭab. Pembahasan Bab kedua diakhiri dengan penjelasan tentang
hukum taklīfi.
Bab Ketiga berisi tentang konsep barā´ah aṣliyyah menurut Jamal alBanna, yang akan dibagi menjadi dua judul sub bab: Biografi Jamal al-Banna dan
pemikiran Jamal al-Banna tentang barā´ah aṣliyyah. Biografi Jamal al-Banna
memuat tentang latar belakang keluarga, riwayat pendidikan dan karir, konteks
sosial, corak pemikiran dan karya-karya Jamal al-Banna. Sedang Pemikiran Jamal
al-Banna tentang barā´ah aṣliyyah berisi tentang akar filosofis prinsip barā´ah
aṣliyyah: barā´ah aṣliyyah sebagai fitrah manusia dan spirit penyempitan wilayah
haram. Kemudian dilanjutkan dengan barā´ah aṣliyyah dalam fiqih: Barā´ah
aṣliyyah sebagai dalil hukum, klasifikasi hukum taklīfi dan penolakan terhadap
sadd adz-dzari’ah.
Bab Keempat berisi tentang analisis pemikiran Jamal al-Banna tentang
barā´ah aṣliyyah yang memuat penjelasan tentang landasan epistemologis
pemikiran Jamal al-Banna tentang barā´ah aṣliyyah, Implikasi pemikitan Jamal
terhadap konfigurasi ushul fiqh, serta relevansi pemikiran Jamal dalam konteks
realitas dunia Islam kontemporer.
Bab Kelima berisi penutup, yang memuat kesimpulan dan saran.