ISU LINGKUNGAN GLOBAL DAN NASIONAL

DEFINISI ISU LINGKUNGAN
Definisi tentang persoalan lingkungan cenderung sangat luas. Apabila diposisikan
dalam ilmu politik diperlukan berbagai pendekatan kebijakan. Kebijakan tersebut
melibatkan beragam kelompok kepentingan dan institusi yang berbeda pula.
Perbedaan kepentingan justru membuat kondisi lingkungan semakin rentan
terhadap permasalahan yang diisukan. Akibatnya, diperlukan suatu pemelajaran
yang intensif terkait urgensi penyelamatan lingkungan hidup.

Isu-isu yang

seharusnya dipelajari, antara lain:
1. Dampak konsumsi energi terhadap iklim global
2. Daur ulang limbah industri dan permukiman di perkotaan
3. Resiko kualitas produk makanan olahan yang menggunakan metode pertanian
modern
4. Kepunahan spesies-spesies langka di hutan
5. Permasalahan konversi hutan untuk daerah pemukiman dan industri
6. Isu penurunan kualitas kehidupan laut (marine depletion)
7. Kepadatan lalu lintas di kota-kota besar
8. Preservasi satwa liar dan keanekaragaman hayati
9. Masalah polusi limbah kimiawi

10. Isu kelangkaan air
Beragam permasalahan tersebut dapat disederhanakan menjadi dua definisi
berlabel “green” dan “brown”.

Label “green” menghendaki perhatian terhadap

masalah proteksi habitat dan preservasi flora dan fauna. Label “brown” fokus
terhadap segala persoalan yang berkaitan langsung dengan industrialisasi dan
urbanisasi.

Menurut

Michael

Jacobs

(1997:1)

benang


merah

yang

menghubungkan keragaman persoalan pada kedua label tersebut berhubungan
dengan human society dan the natural world.

Ada beberapa perbedaan dalam hal “motivasi” di belakang isu-isu lingkungan
tersebut. Misalnya, isu tentang pemanasan global atau kelangkaan cadangan ikan
di laut, lebih didorong oleh masalah keberlangsungan (sustainability) sistem
ekonomi yang ada. Masalah food safety, chemical pollution, dan urban traffic
congestion lebih dimotivasi oleh isu kesehatan dan amenity. Masalah kepunahan
satwa-satwa liar dan keanekaragaman hayati hutan-hutan tropis mencuatkan isu
tentang etika dan budaya tentang nilai dari “the non-human world”.
Lingkungan adalah satu-satunya isu yang memasuki arena politik dengan
membawa ideologi sendiri dan mampu melahirkan gerakan sosial (social
movement). Masalah pendidikan, pajak, kesehatan, dan kejahatan mungkin dapat
memasuki wilayah politik dan menuntut komitmen politik sampai kadar tertentu
dari para pengambil kebijakan. Namun, belum pernah terdengar adanya istilah
“educationalism” ataupun “crimism” apalagi hingga menyaksikan adanya

identifikasi budaya tertentu seiring dengan karakter khas dari permasalahan
tersebut.
Bertolak belakang dengan uraian sebelumnya, para penggagas masalah
lingkungan,

khususnya

kelompok

“green”

mampu

mengusung

label

“environmentalism” yang menawarkan sejumlah ideas, norms dan actions dalam
kerangka ideologi tertentu. Ideologi tersebut menyangkut green politics, green
economics, green business, dan sebagainya.


Meskipun tidak semua individu

ataupun kelompok pencinta lingkungan menerapkan secara utuh “green ideology”,
namun kekuatan ideologi tersebut telah menjadikan “the environment” yang
sangat variatif tersebut menjadi “single political subject”.
2.

Politik Lingkungan Global

Pendefinisian masalah lingkungan hidup dalam tataran global memiliki definisi
tersendiri.

Menurut Porter dan Brown, untuk masuk dalam kategori “global

environmental politics”, kualitas persoalan lingkungan harus mengandung
ancaman terhadap daya dukung alam. Daya dukung tersebut menjadikan alam

sebagai sebuah ekosistem (the global commons) yang memengaruhi sendi-sendi
kehidupan umat manusia.


Hal tersebut tidak hanya terbatas dalam wilayah

jurisdiksi negara tertentu. Perumusan lain adalah seharusnya ada transedensi isu
dalam cakupan:
1. Dampak atau akibat (impacts) dari kerusakan lingkungan tersebut bersifat
transboundary.
Lintas jurisdiksi nasional tersebut, baik yang berkenaan dengan aspek sosial
(seperti human health) maupun aspek ekonomi termasuk aspek politik dan
keamanan. Adanya kenyataan bahwa lingkup dari kerusakan lingkungan tertentu
seperti deforestation, loss of biodiversity, dan global warming sangat luas.
1. Para pelaku yang terlibat lebih beragam.
Intensitas isu lingkungan global tidak saja melibatkan peran (banyak) negara
sebagai aktor utama, tetapi juga berbagai institusi internasional dan nongovernmental organizations, termasuk pula perusahaan-perusahaan multinasional.
Namun demikian, tesis tersebut masih dapat diperdebatkan. Masing-masing aktor
memiliki peran dan kekuatan masing-masing dengan memberi karakteristik
tersendiri bagi lingkungan global, misalnya :
* States : dalam politik internasional yang masih menganut sistem Negara
bangsa, maka peran state sangat dominan terhadap proses pembentukan rezim
bagi perlindungan lingkungan global. Hal tersebut sangat memungkinkan karena

negara dapat menggunakan kekuatan vetonya. Setiap perundingan internasional
selalu terjadi proses pengelompokkan untuk menggalang kekuatan veto (Veto
Coalitions).
* NGOs : memainkan peran yang semakin besar dalam era globalisasi sebagai
berkah kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi.

Peranan

NGOs terlihat dalam pembentukan opini publik secara luas, membangun jaringan
kerja yang efektif, dan memberikan tekanan yang kuat kepada pemerintah dalam
proses tawar menawar sebuah perundingan.
* International Institution : berperan sebagai fasilitator yang aktif dalam
pembentukan berbagai rezim internasional bagi pengawasan, perlindungan dan
pemeliharaan sumber daya alam. Setidaknya peran mereka adalah menghasilkan
kesepakatan multilateral (soft laws).
* Mahasiswa: sebagai agent of change, berperan sebagai pelaksana
penyelamatan lingkungan, sekaligus menjadi penjaga, pengawas dan penuntut
umum atas pertanggungjawaban kebijakan pemerintah dan berupaya keras untuk
menemukan solusi dari permasalahan lingkungan tersebut.


Melihat urgensi

penyelamatan lingkungan yang begitu mendesak, peran mahasiswa sangat
diharapkan secara global, minimal tercoveri di tingkat daerah yang dihuni.
A. ISU LINGKUNGAN GLOBAL
hutan-rusakIsu lingkungan global mulai muncul dalam berberapa dekade
belakangan ini. Kesadaran manusia akan lingkungannya yang telah rusak
membuat isu lingkungan ini mencuat. Isu yang paling penting dalam lingkungan
adalah mengenai pemanasan global. “Pemanasan global disebabkan oleh efek
rumah kaca yaitu bertambahnya jumlah gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfir
yang menyebabkan energi panas yang seharusnya dilepas ke luar atmosfir bumi
dipantulkan kembali ke permukaan dan menyebabkan temperatur permukaan
bumi menjadi lebih panas (iatpi.org).”
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca adalah polusi
udara yang ditimbulkan oleh asap pabrik maupun kendaraan bermotor. “Lalu,
membuang limbah ke tempat penimbunan sampah yang menghasilkan metana.
Metana juga dihasilkan dari limbah binatang yang dipelihara untuk menyuplai
kebutuhan susu dan daging (seperti sapi) dan juga dari pertambangan Batubara
(iatpi.org).”


Kesadaran akan lingkungan dan pemanasan global ini membuat sebagian
golongan membuat organisasi pemerhati lingkungan. Di Indonesia, kita mengenal
WALHI dan untuk skala internasional kita juga mengenal Greenpeace.
Organisasi-organisasi tersebut merupakan wadah dimana orang-orang dapat
menumbuhkan kesadaran akan kondisi lingkungannya saat ini. Organisasi
semacam ini juga sering menjadi yang terdepan dalam memperjuangkan
keselamatan lingkungan. Misalnya, para aktivis WALHI sangat menolak akan
pendirian sebuah PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di daerah Muria,
Jawa Tengah. Keberadaan PLTN ini nantinya dikhawatirkan akan berdampak
buruk terhadap kelangsungan linkungan sekitar.
Indonesia tercatat dalam buku rekor dunia Guinness edisi 2008 sebagai
negara yang hutannya paling cepat mengalami kerusakan (deforestasi). Perkiraan
Greenpeace, 76%-80% deforestasi ini dipercepat oleh tingginya angka
pembalakan liar, penebangan legal, dan kebakaran hutan. Dalam data yang
dimiliki Greenpeace disebutkan dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90%
hutan dunia, negara yang meraih tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia
adalah Indonesia. Dengan 1,8 juta hektare hutan hancur per tahun antara tahun
2000 hingga 2005 -sebuah tingkat kehancuran hutan sebesar 2% setiap tahunnya
atau setara 51 kilometer persegi per hari. Total hutan Indonesia mencapai 120,35
juta hektare dari wilayah seluas 1.919.440 kilometer persegi. Namun saat ini,

Indonesia juga menjadi negara penghasil kayu utama dunia dalam bentuk kayu
lapis, kayu gergajian, kayu pertukangan, furnitur, hingga ke produk bubur kertas.
Tujuan ekspor utama yaitu Malaysia, Singapura, China, Jepang, Korea Selatan,
negara Eropa, dan Amerika. (media-indonesia.com)
Sungguh tragis memang keadaan Indonesia saat ini. Negara kita di mata
internasional dianggap sebagai salah satu negara yang menyumbang kerusakan
alam global terbesar. Parahnya, Pemerintah rela mengorbankan lingkungan demi
mengejar pendapatan negara semata. Keadaan ini tidak boleh dibiarkan terus
menerus. Pemerintah diharapkan dapat lebih bijak dalam menggunakan sumber

daya alam, khususnya yang berpengaruh dengan lingkungan global, seperti hutan
lindung. Masalah-masalah seperti pembalakan liar harus disikapi dengan tegas.
Pengkonsolidasian regulasi-regulasi yang mengatur tentang penebangan hutan liar
dan kerjasama antara pihak-pihak yang berkepentingan adalah cara-cara yang
dapat diterapkan dalam rangka penyelamatan hutan di Indonesia dan lingkungan
global.
Dalam ruang lingkup multilateral, pengangkatan tema mengenai pemansan
global atau global warming telah berlangsung lama. Daiantaranya adalah dengan
adanya Protokol Kyoto.
Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara

perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kacamereka secara kolektif
sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan
adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa
Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk
mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca karbondioksida metan,
nitrous oxide, sulfurheksafluorida, HFC, dan PFC – yang dihitung sebagai ratarata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari
pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk
Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10%
untuk Islandia (unfccc.int).
Selain Protokol Kyoto, baru saja dilangsungkan konferensi tentang
perubahan iklim yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Indonesia. Mulai
banyaknya negara-negara yang mulai memikirkan tentang keadaan lingkungan
global diharapkan kan berdampak positif terhadap upaya pelestarian lingkungan
global dari pemanasan global yang mengancam keberlangsungan seluruh makhluk
hidup yang ada di muka bumi. Namun, saat ini masih terdapat kendala-kendala
seperti masih belum sejalannya sikap yang diambil antara negara-negara maju
dengan negara-negara berkembang. Negara maju ingin negara berkembang dapat

mandiri dalam menyikapi masalah ini dan negara berkembang ingin agar negara
maju lebih serius akan menyikapi dan menyelesaikan masalah lingkungan ini.

B. ISU LINGKUNGAN NASIONAL
Perkembangan ekonomi global pasti akan memengaruhi kondisi ekonomi di
Indonesia, apalagi perekonomian Indonesia bersifat terbuka.

Perekonomian

Indonesia terbuka dari sisi neraca pembayaran mulai dari perdagangan, arus
modal masuk dan keluar (capital inflow atau outflow), dan kegiatan pemerintah
melalui penarikan serta pembayaran utang luar negeri.

Indonesia harus

memperkuat dan memperbesar fleksibilitas ekonomi.
Indonesia pernah terkena dampak perubahan situasi global secara drastis karena
Indonesia harus melakukan devaluasi mata uangnya pada tahun 1983 dan tahun
1986 (Sri Mulyani: 2007).

Pemerintah harus mewaspadai terjadinya resesi

ekonomi dunia akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi global. Perlambatan
pertumbuhan ekonomi global memang akan terjadi, meski besarannya belum bisa
diprediksi. Menkeu mencontohkan perubahan kebijakan di Cina sebagai respon
atas kebijakan AS telah berdampak kepada kurs Rupiah maupun indeks harga
saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) menurun.

Namun,

optimisme melambatnya resesi ekonomi global tersebut tidak akan sampai
mengakibatkan resesi ekonomi dunia (Boediono: Tempo, 2007).
Hal tersebut bergantung kepada perubahan-perubahan yang terjadi di Amerika
Serikat. Negara adidaya tersebut akan menjadi penentu nasib ekonomi dunia.
Sidang tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) 2007, Rodrigo de Rato selaku
ketua IMF memperingkatkan gejolak di pasar kredit (subprime mortgage) bisa
mengakibatkan resesi dunia. Krisis subprime mortgage yang terjadi sejak Juli
2007 telah merontokkan pasar keuangan global.

Melambatnya pertumbuhan

ekonomi global tersebut tetap memberikan harapan bahwa pemerintah akan

mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 6,5-7 persen pada 2009.
Pencapaian target tesebut dapat dilakukan dengan pengembangan sektor
penambangan dan pemanfaatan sumber daya alam. Komoditas sumber daya alam
dapat digunakan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Menurut Boediono,
harga komoditas yang bisa mensubstitusi minyak, seperti minyak kelapa sawit
(CPO), batu bara dan juga komoditas pertanian lain sepert karet akan ikut
melonjak ketika harga minyak dunia tinggi di dunia. Ketersedian sumber daya
alam dan tambang tersebut akan memberikan pendapatan nasional yang cukup
signifikan untuk memperbaiki ekonomi negara Indonesia.
Sayangnya, pengerukan SDA tersebut melibatkan ketersediaan energi yang cukup
minim di Indonesia. Akiabat lain adalah alih fungsi hutan dan lahan untuk
industri, penambangan energi, dan pembangunan perkebunan yang merusak
habitat dan ekologi. Dampak lain adalah pencemaran akibat limbah industri,
penambangan, dan kerusakan hutan. Permasalahan tersebut akan diangkat dalam
konferensi pada kegiatan Simposium Nasional 2009.