BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Prevalensi Trauma Gigi Sulung Anterior pada Anak Usia 1- 4 Tahun di TK, PAUD dan Posyandu Kecamatan Medan Maimun dan Medan Perjuangan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Pengertian Trauma

  19 Trauma adalah luka atau cedera pada jaringan. Trauma atau yang disebut

injury atau wound, dapat juga diartikan sebagai kerusakan atau luka yang disebabkan

oleh tindakan-tindakan fisik dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur.

  Trauma juga diartikan sebagai kejadian yang tidak terduga karena kontak yang keras

  1

  dengan suatu benda. Menurut etiologinya trauma terbagi dua, yaitu trauma yang disengaja (intentional injury) dan trauma yang tidak disengaja (unintentional

  20

injury ). Trauma pada gigi atau Traumatic Dental Injury (TDI) adalah kerusakan

  yang mengenai jaringan keras gigi dan atau periodontal karena sebab mekanis. Dari berbagai pengertian tersebut, maka trauma gigi anterior merupakan kerusakan jaringan keras gigi dan atau periodontal karena kontak yang keras dengan suatu benda yang tidak terduga sebelumnya pada gigi anterior baik pada rahang atas maupun

  1 rahang bawah atau kedua-duanya.

  Trauma gigi dapat terjadi pada berbagai usia, namun lebih banyak terjadi pada anak-anak. Kejadian trauma gigi pada anak merupakan salah satu kasus gawat darurat yang penting karena fraktur pada gigi anak terutama gigi anterior dapat menyebabkan rasa sakit, hilangnya fungsi, pengaruh terhadap estetik dan trauma psikologi. Trauma pada gigi sulung membutuhkan diagnosis dan penanganan yang sesuai untuk meredakan rasa sakit dan ketidaknyamanan pada anak serta menurunkan resiko

  4-10 kerusakan pada benih gigi permanen.

  2.2 Prevalensi Dan Etiologi

  Cedera gigi terdapat pada 92% pasien yang mengalami trauma pada regio oral. Penelitian tentang epidemiologi TDI di berbagai negara di dunia selama 40 tahun terakhir melaporkan prevalensi yang bervariasi baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Prevalensi trauma gigi pada anak usia 0-6 tahun berkisar antara 9,4% sampai 40%. Trauma gigi menjadi masalah kesehatan rongga mulut yang banyak terjadi terutama di negara berkembang setelah masalah karies gigi. Tingginya prevalensi TDI terlihat dari beberapa penelitian di negara- negara Asia seperti di

  14 India dengan prevalensi trauma gigi sulung mencapai 76,13%. Tingginya angka ini

  dihubungkan dengan aktivitas olahraga yang keras, kekerasan pada anak dan tingginya angka kecelakaan. Hasil yang berbeda didapat dari penelitian lain di negara yang sama namun dengan hasil yang lebih rendah, yaitu 8,17% dan 14,4%. Penelitian lainnya di Taiwan membandingkan prevalensi trauma pada anak-anak kota dan desa, dengan hasil 16,5% anak-anak di kota mengalami trauma gigi sedangkan di desa

  21

  prevalensinya lebih tinggi yaitu mencapai 19,9%. Perbedaan prevalensi ini dipengaruhi oleh jumlah populasi, faktor sosial, budaya dan lingkungan geografis

  22 masing-masing tempat.

  Etiologi terjadinya trauma secara garis besar tergantung kepada usia anak, pada usia 1-3 tahun sangat rentan mengalami trauma pada gigi sulung anterior karena pada usia tersebut anak mulai belajar berjalan sementara koordinasi otot- otot motoriknya belum sempurna. Seiring dengan anak mulai dapat berjalan sendiri, anak akan cenderung jatuh ke arah depan, dengan bertumpu pada kedua tangan dan lututnya. Anak pada usia ini akan sering terjatuh sehingga menyebabkan trauma pada gigi anteriornya, penyebab lain terjadinya trauma pada usia ini adalah terbentur dengan benda tumpul pada saat bermain ataupun karena mengalami kecelakaan di dalam mobil. Prevalensi trauma sudah menurun pada usia 4-5 tahun namun masih sering terjadi. Anak pada usia ini akan cenderung lebih banyak bermain di lingkungan luar rumah sehingga trauma biasanya disebabkan oleh aktivitas bermain anak seperti

  1,7,29 jatuh dari sepeda.

  Penyebab lain yang penting dan sering terjadi adalah kekerasan fisik (physical

  abuse ) yang dialami anak dari lingkungannya. Trauma orofasial ditemui pada lebih

  dari 50% anak yang mengalami kekerasan fisik. Luka lebam dan baret yang terlihat saat pemeriksaan disertai ketidaksesuaian antara penjelasan orangtua dengan luka yang terjadi atau orangtua yang terlambat untuk datang berobat dengan penjelasan yang berbeda dari kedua orangtua tentang riwayat trauma anak merupakan pertanda

  17,23 kekerasan fisik yang mungkin terjadi.

  Trauma gigi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor predisposisi diantaranya maloklusi kelas II divisi 1, overjet yang lebih besar dari 3 mm, penutupan bibir yang tidak sempurna, protrusi insisivus rahang atas, openbite anterior, anak dengan hiperaktivitas, anak yang memiliki gangguan koordinasi otot motorik, dan penyakit

  17,20,23,24

  epilepsi. Anak dengan overjet 3 mm dan 5 mm dilaporkan memiliki resiko 2 dan 3 kali lebih tinggi terhadap trauma gigi dibanding anak dengan overjet yang normal. Penggunaan kawat ortodonti dapat meningkatkan trauma pada jaringan lunak seperti bibir dan ginggiva pada saat terjadi trauma pada rongga mulut. Anak yang memiliki penyakit akut seperti kejang dan penyakit jantung akan rentan terjatuh

  20

  sehingga meningkatkan resiko trauma pada gigi anteriornya. Kondisi lain seperti kebiasaan bernafas dengan mulut juga merupakan salah satu faktor yang

  21 berkontribusi terhadap terjadinya trauma gigi.

2.3 Klasifikasi Trauma

  Sistem klasifikasi yang saat ini digunakan secara umum adalah berdasarkan

  Application of International Classification of Diseases to Dentristry and Stomatology dari World Health Organization (WHO) dan dimodifikasi oleh Andreasen.

  Klasifikasi ini dapat digunakan untuk mengklasifikasikan trauma gigi dan jaringan pendukungnya dan dapat digunakan baik pada gigi sulung maupun gigi permanen.

  25 Klasifikasi ini terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:

2.3.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

  25-27

  Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa terdiri atas 7 bagian, yaitu :

  a). Retak mahkota (email infraction) yaitu fraktur tidak sempurna atau keretakan pada email tanpa kehilangan struktur gigi.

  b). Fraktur email (email fracture/ uncomplicated crown fracture), yaitu fraktur pada bagian email gigi tanpa melibatkan bagian dentin maupun pulpa gigi.

  c). Fraktur email dentin (uncomplicated crown fracture), yaitu fraktur pada bagian email dan dentin gigi tanpa melibatkan pulpa. d). Fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fracture), yaitu fraktur pada email dan dentin gigi yang telah melibatkan pulpa.

  e). Fraktur mahkota yang akar yang tidak kompleks (uncomplicated crown

  

root fracture ), yaitu fraktur pada email, dentin, dan sementum tanpa melibatkan

pulpa.

  f). Fraktur mahkota akar yang kompleks (complicated crown root fracture), yaitu fraktur pada email, dentin dan sementum yang telah melibatkan pulpa.

  g). fraktur akar (root fracture), yaitu fraktur yang melibatkan dentin, sementum dan melibatkan pulpa.

  Gambar 1. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa

  28

2.3.2 Kerusakan pada Jaringan Pendukung

  Kerusakan pada Jaringan Pendukung terbagi atas 8 bagian, yaitu

  25,27

  :

  a). Kominusi soket alveolar rahang atas yaitu hancur dan pemampatan yang terjadi pada soket alveolar rahang atas, terjadi pada trauma intrusi dan luksasi lateral. b). Kominusi soket alveolar rahang bawah yaitu hancur dan pemampatan yang terjadi pada soket alveolar rahang bawah, terjadi pada trauma intrusi dan luksasi lateral.

  c). Fraktur dinding soket alveolar rahang atas yaitu fraktur pada bagian labial atau palatal dinding soket tulang alveolar rahang atas.

  d). Fraktur dinding soket alveolar rahang bawah yaitu fraktur pada bagian labial atau lingual dinding soket tulang alveolar rahang bawah.

  e). Fraktur prosesus alveolaris rahang atas, yaitu fraktur pada prosesus alveolaris rahang atas, dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.

  f). Fraktur prosesus alveolaris rahang bawah, yaitu fraktur pada prosesus alveolaris rahang bawah, dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.

  g). Fraktur rahang atas, yaitu fraktur pada tulang maksila dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.

  h). Fraktur rahang bawah, yaitu fraktur pada tulang mandibula dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.

2.3.3 Kerusakan pada Jaringan Periodontal

  Kerusakan pada jaringan periodontal terbagi menjadi 6 bagian, yaitu

  20,25,27

  :

  a). Konkusio yaitu trauma terhadap jaringan pendukung gigi yang menyebabkan gigi menjadi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi tanpa adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi.

  b). Subluksasi yaitu trauma terhadap jaringan pendukung gigi yang menyebabkan terjadinya kegoyangan tanpa disertai perubahan posisi gigi.

  c). Luksasi yaitu perubahan posisi gigi dalam arah lateral, palatal, lingual maupun labial dan menyebabkan kerusakan pada ligamen periodontal dan kontusi atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut.

  d). Luksasi ekstrusi, yaitu terlepasnya sebagian gigi dari soketnya yang menyebabkan kerusakan pada jaringan periodontal. Luksasi ekstrusi disebut juga avulsi parsial. e). Luksasi intrusi yaitu masuknya gigi ke dalam soket tulang alveolar yang menekan ligamen periodontal dan umumnya menyebabkan fraktur pada soket tulang alveolar.

  f). Avulsi, yaitu terlepasnya gigi secara keseluruhan dari soketnya. Pada kondisi ini, ligamen periodontal terputus dan dapat disertai dengan fraktur pada tulang alveolar.

  Gambar 2. Kerusakan pada jaringan periodontal

  28

2.3.4 Kerusakan pada Gingiva atau Jaringan Lunak Rongga Mulut

  Kerusakan pada gingiva atau jaringan lunak rongga mulut terbagi atas 3 bagian, yaitu

  20,25,27

  :

  a). Laserasi adalah luka pada bagian mukosa berupa robeknya jaringan epitel dan subepitel.

  b). Kontusio yaitu luka memar tanpa disertai robeknya jaringan mukosa dan biasanya menyebabkan perdarahan submukosa.

  c). Luka abrasi yaitu luka superfisial yang disebabkan oleh gesekan atau goresan pada permukaan mukosa.

2.4 Riwayat, Pemeriksaan Dan Diagnosis

  Anamnesis mengenai riwayat terjadinya trauma dan pemeriksaan klinis yang menyeluruh merupakan hal yang wajib dilakukan untuk mendapatkan diagnosis dan perawatan yang tepat. Pemeriksaan penunjang seperti radiografi dapat digunakan untuk memeriksa bagian gigi atau jaringan yang tidak dapat dilihat secara klinis. Penanganan dini trauma gigi sangat berpengaruh pada vitalitas dan proses

  

1

penyembuhan gigi serta jaringan sekitarnya.

  Riwayat kejadian yang lengkap memberikan informasi penting bagi

  17

  perawatan. Anamnesis dilakukan untuk menanyakan beberapa hal mengenai riwayat trauma, antara lain; usia pasien, waktu terjadinya trauma karena hasil perawatan sangat tergantung dari seberapa cepat perawatan dilakukan terutama dalam kasus avulsi dan luksasi lateral, bagaimana dan dimana trauma terjadi serta status imunisasi tetanus anak untuk menentukan kebutuhan akan suntikan ATS (Anti Tetanus Serum). Perlu juga ditanyakan apakah anak mengalami gejala lain seperti kehilangan kesadaran, sakit kepala, muntah, atau gejala trauma kepala lain untuk mengetahui kebutuhan akan pertolongan medis secara khusus secepat mungkin, apakah terdapat luka di bagian tubuh yang lain, perawatan darurat yang telah diberikan pada anak dan apakah anak pernah mengalami trauma gigi sebelumnya. Riwayat kesehatan umum serta ada tidaknya kelainan perdarahan atau alergi anak juga perlu diketahui untuk

  1,26,29,30,31 memberikan perawatan yang sesuai.

  Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secara sistematis. Sangat penting melakukan pemeriksaan terhadap keseluruhan tubuh pasien untuk melihat trauma pada bagian tubuh lain yang mungkin terjadi sebelum melakukan pemeriksaan

  17

  terhadap gigi pasien. Pemeriksaan pada rongga mulut dimulai dengan memeriksa luka pada jaringan lunak termasuk untuk melihat adanya benda lain yang masuk ke dalam luka, dilanjutkan dengan memeriksa gigi untuk melihat adanya fraktur ataupun keretakan pada gigi. Pemeriksaan vitalitas pulpa dilakukan jika ditemui adanya fraktur pada mahkota gigi. Perubahan posisi gigi perlu diperhatikan untuk melihat apakah gigi bergerak ke arah lateral maupun aksial. Pemeriksaan mobilitas gigi dapat membantu dalam menentukan tipe luksasi yang terjadi pada gigi. Tes perkusi dapat dilakukan untuk memeriksa keadaan ligamen periodontal. Tes ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati dimulai dengan mengggunakan ujung jari kemudian kaca mulut. Sensitivitas terhadap sentuhan ataupun tekanan mengindikasikan adanya

  25,27,30,31 kerusakan pada ligamen periodontal. Bayi dan anak kecil yang terkena trauma dapat diperiksa dengan cara menidurkan anak pada pangkuan orangtua/ pengasuh dengan pandangan ke atas. Tangan anak diletakkan di bawah tangan ibu dan dokter gigi duduk di depan ibu dengan kepala anak terletak pada pangkuannya. Posisi ini memungkinkan dokter gigi untuk dapat melihat kedua rahang anak. Dokter gigi dapat menggunakan molt mouth-

  1 prop atau mengikat jari tangannya dengan menggunakan bantalan dan adhesive tape.

  1 Gambar 3. Posisi pemeriksaan anak

  Pemeriksaan radiografi dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang setelah pemeriksaan klinis dilakukan untuk melihat tahap perkembangan akar, trauma yang terjadi pada akar, ukuran pulpa, jarak dengan garis fraktur, dan kelainan pada jaringan

  17,29,33 pendukung seperti adanya benda asing yang masuk ke dalam jaringan lunak.

  Pengambilan radiografi dari beberapa sudut dan teknik dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang perubahan yang terjadi pada kompleks

  25 dentolaveolar.

  Kerusakan pada benih gigi permanen lebih banyak terjadi pada anak yang mengalami luksasi intrusi dan avulsi karena posisi benih gigi insisivus permanen yang dekat dengan akar gigi sulung. Sangat penting untuk menginformasikan orang tua akan berbagai kemungkinan masalah yang dapat terjadi pada gigi permanen anak. Efek trauma pada gigi permanen tergantung pada beberapa hal, yaitu arah dan perpindahan apeks gigi sulung, derajat kerusakan tulang alveolar, dan tahap

  17 pembentukan benih gigi permanen.

2.5 Penanganan Darurat

  Perawatan darurat merupakan awal dari perawatan. Pertolongan pertama dilakukan untuk semua luka pada wajah dan mulut, semua jaringan lunak harus dirawat dengan baik. Pembersihan luka dengan baik merupakan tolak ukur pertolongan pertama, irigasi yang perlahan dengan larutan saline akan membantu mengurangi jumlah jaringan yang mati. Antiseptik permukaan juga digunakan untuk mengurangi jumlah bakteri pada kulit atau mukosa daerah luka. Pencegahan tetanus dilakukan dengan membersihkan luka sebaik-baiknya, menghilangkan benda asing dan eksisi jaringan nekrotik. Dokter gigi bertanggung jawab untuk memutuskan apakah injeksi tetanus diperlukan bagi pasien yang mengalami avulsi gigi, kerusakan jaringan lunak yang parah atau luka karena objek yang terkontaminasi tanah. Pemberian antibiotik diperlukan hanya sebagai profilaksis bila terdapat luka pada jaringan sekitar, apabila luka telah dibersihkan dengan baik maka pemberian

  1 antibiotik harus dipertimbangkan kembali.

  Gigi insisivus terletak pada palatal dan sangat dekat dengan apeks gigi insisivus sulung pada awal perkembangan gigi permanen. Dokter gigi harus benar- benar mempertimbangkan kemungkinan kerusakan pada gigi permanen di bawahnya. Perawatan fraktur email dan email-dentin cukup dengan menghilangkan bagian- bagian yang tajam, namun bila anak kooperatif dapat dilakukan penambalan dengan menggunakan Glass Ionomer Cement (GIC) atau kompomer. Fraktur akar jarang terjadi pada trauma gigi sulung, namun bisa terjadi; mahkota yang tergeser menjauh dari posisi seharusnya oleh karena terjadi fraktur akar sebaiknya dicabut tanpa mengganggu bagian akar yang masih vital. Gigi yang berpindah tempat ke arah bukal/ labial atau lingual/ palatinal serta menyebabkan kegoyangan yang parah dilakukan perawatan dengan mereposisi gigi kemudian diikat dengan teknik splinting. Gigi yang mengalami intrusi dibiarkan untuk kembali erupsi dan apabila gigi hanya mengalami kegoyangan ringan maka perawatan yang diperlukan adalah observasi untuk melihat apakah terjadi perubahan warna pada email. Gigi yang mengalami avulsi tidak perlu dilakukan replantasi karena koagulum yang terbentuk akan mengganggu benih gigi permanen. Space maintainer dapat digunakan untuk menggantikan gigi yang mengalami avulsi jika gigi anak belum lengkap untuk

  1,17 menghindari terjadinya gigi berjejal.

2.6 Perawatan Trauma

  Hasil dari sebuah survei di Amerika menunjukkan bahwa hampir sepertiga anak dengan gigi sulung dan seperempat orang dewasa mengalami kejadian trauma gigi, namun sangat sedikit jumlah perawatan trauma gigi yang ditemui. Keadaan ini disebabkan karena orang tua tidak menganggap trauma gigi sebagai kejadian emergensi yang membutuhkan perawatan segera. Alasan lain adalah karena perawatan trauma seperti luksasi cukup memakan biaya, waktu, membutuhkan dokter gigi spesialis yang berbeda untuk perawatan dan kunjungan berkala untuk kontrol. Rata-rata jumlah kunjungan untuk perawatan trauma gigi hanya berkisar antara 1,9

  18 sampai 9,1 kunjungan per tahun.

  Trauma pada jaringan lunak yang menyebabkan perdarahan akan cenderung menyebabkan orang tua segera mencari perawatan. Suatu penelitian dengan variabel trauma gigi sulung, ada tidaknya perdarahan dan waktu yang berlalu sampai menerima perawatan menunjukkan bahwa 32% anak menerima perawatan dalam 2-24 jam setelah kejadian, dan 31,3% menerima perawatan 1-7 hari setelah kejadian trauma. Penelitian lain di Brazil menyatakan hanya 15,2% orangtua yang segera mencari perawatan, 4,9% menunda perawatan dan selebihnya tidak mencari perawatan dokter gigi, hal ini disebabkan orang tua yang kurang memberi perhatian terhadap gigi sulung dan kurangnya pengetahuan orang tua tentang kerusakan pada

  12 gigi permanen yang mungkin terjadi akibat trauma pada gigi sulung.

  Penelitian terhadap 99 kasus trauma pada gigi sulung yang dirawat di Turki melaporkan perawatan yang paling banyak dilakukan adalah pengamatan dengan kunjungan berkala yaitu sebanyak 39,4%, ekstraksi 29,3%, perawatan saluran akar

  12,1%, penambalan 6,06%, 1% pemberian fluor, 1% replantasi, dan 11,11% tidak

  4

  dilakukan perawatan yaitu pada gigi yang mengalami avulsi. Hasil perawatan yang diharapkan adalah penyembuhan pulpa dan jaringan lunak disekelilingnya, namun trauma gigi seringkali diikuti oleh berbagai komplikasi, seperti nekrosis, periodontitis apikal, diskolorasi mahkota, fistel, dan resorpsi akar. Hasil dari perawatan trauma tergantung dari tipe trauma, seberapa cepat anak mendapat perawatan dan kualitas perawatan. Komplikasi trauma gigi dapat terjadi beberapa bulan bahkan beberapa

  18 tahun setelah trauma terjadi.

2.7 Pencegahan Trauma

  Trauma pada gigi memang sulit untuk diantisipasi, namun dapat dilakukan pencegahan. Orangtua dan pengasuh anak dapat diedukasi untuk melakukan pencegahan trauma pada anak diantaranya, menggunakan seat belts atau child

  

restraint saat berkendara, menggunakan helm saat bersepeda, dan memakai

mouthguard . Penggunaan mouthguard merupakan metode yang sangat baik untuk

17,20 mencegah terjadinya trauma gigi anterior anak pada saat berolahraga.

  23 Terdapat tiga jenis mouthguard yang tersedia, yaitu: 1.

  Ready-made mouthguard, yaitu pelindung mulut yang siap pakai. Jenis ini dijual di toko- toko olahraga namun kebanyakan tidak sesuai dengan rongga mulut pemakainya.

  2. Mouth-formed mouthguard, yaitu pelindung mulut yang terbuat dari karet atau bahan thermoplastik yang berbentuk seperti rahang. Jenis ini dapat disesuaikan di dalam mulut pemakai.

  3. Custom made mouthguard, yaitu pelindung mulut yang dicetak secara individual oleh dokter gigi dengan menggunakan bahan cetak. Jenis ini paling disarankan karena paling baik dalam melindungi, nyaman, dan tidak mengganggu pernafasan maupun bicara, juga lebih tahan dibandingkan jenis lainnya dan dapat dibuat dari berbagai bahan.

2.8 Kerangka Teori

  Kerusakan pada Jaringan

  Faktor predisposisi

  Pencegahan Trauma

  Klinis dan Diagnosis

  Riwayat, Pemeriksaan

  Darurat dan Perawatan

  Pendukung Penanganan

  Mengurangi Prevalensi dan

  Etiologi Overjet > 3mm

  Jaringan Periodontal

  Rongga Mulut Kerusakan pada

  Gingiva atau Jaringan Lunak

  Klasifikasi WHO Kerusakan pada

  Protrusi Openbite anterior

  Trauma Gigi Sulung Anterior

  Incompetence lip coverage

  Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

2.9 Kerangka Konsep

  Anak usia 1-4 tahun  Prevalensi trauma gigi sulung Faktor risiko: anterior

   Usia kejadian trauma  Distribusi frekuensi berdasarkan:  Jenis kelamin

  Etiologi terjadinya trauma

  • Elemen gigi Lokasi kejadian
  • Klasifikasi WHO yang dapat
  • diperiksa secara klinis
  • Tindakan orangtua

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Atribut Produk dan Sikap Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Produk Luwak White Koffie pada Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

0 2 11

Pengaruh Atribut Produk dan Sikap Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Produk Luwak White Koffie pada Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

0 0 10

Profil Kadar Leptin Serum pada Berbagai Derajat Keparahan Pasien Psoriasis Vulgaris di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 11

2.1.2 Etiologi dan Patogenesis - Profil Kadar Leptin Serum pada Berbagai Derajat Keparahan Pasien Psoriasis Vulgaris di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 11

Profil Kadar Leptin Serum pada Berbagai Derajat Keparahan Pasien Psoriasis Vulgaris di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Kualitas Pelayanan 2.1.1.1 Pengertian Kualitas Pelayanan - Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Loyalitas Pelanggan Melalui Kepuasan Pelanggan Pada BT/BS BIMA Medan

0 1 40

Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Loyalitas Pelanggan Melalui Kepuasan Pelanggan Pada BT/BS BIMA Medan

0 3 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Legenda Nilam Baya Bagi Masyarakat Melayu Batubara : Kajian Fungsi

0 1 26

Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Konsekuensi Jaminan Kredit Untuk Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Kreditur Di Medan

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Konsekuensi Jaminan Kredit Untuk Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Kreditur Di Medan

0 0 12