KONFLIK ANTAR ETNIS ANALISIS KONFLIK ETN

KONFLIK ANTAR ETNIS: ANALISIS KONFLIK ETNIS BALI
DAN ETNIS SUMBAWA DILIHAT DARI PERSPEKTIF
SOLIDARITAS ETNIK DURKHEIM

MAKALAH UTS
MK. STRUKTUR SOSIAL, KEBUDAYAAN, DAN PERUBAHAN MASYARAKAT

Oleh:
Indria Retna Mutiar
I353150111

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Konflik Antar Etnis: Analisis Konflik Etnis Bali dan Etnis Sumbawa Dilihat dari
Perspektif Solidaritas Etnik Durkheim

Pendahuluan

Pada dasarnya, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multikultural dengan
berbagai etnis, suku bangsa di dalamnya. Hal ini yang menjadikannya memiliki beragam
kebudayaan pada masyarakatnya. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dirasa sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia. Keberagaman ini membuat Indonesia memiliki identitasnya
sendiri, yaitu negara dengan multy culture, multy etnis, agama, dan ras yang menjadi modal
budaya (cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang menggerakkan
dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara (Najwan 2009). Keanekaragaman ini juga
menjadikan adanya perbedaan nilai dan norma pada masyarakatnya. Tidak jarang terjadi
pertentangan-pertentangan antar masyarakat dengan etnis dan budaya yang berbeda.
Pertentangan-pertentangan ini sebenarnya terjadi karena ketidaksamaan nilai-nilai yang
mereka anut, sehingga memiliki cara pandang yang berbeda, baik dari segi ekonomi, sosial,
politik, dan budaya. Seperti konflik etnis yang terjadi di Sumbawa, konflik tersebut
melibatkan dua etnis berbeda yaitu etnis Bali dan etnis Sumbawa.
Perlu dipahami di sini, bahwa untuk menyatukan masyarakat yang memiliki sejarah,
nilai, dan norma yang berbeda akan sangat sulit. Pada masyarakat yang memiliki kebudayaan
berbeda, tentu keduanya harus memahami nilai-nilai yang ada di dalam masing-masing
kebudayaan tersebut. Hal ini karena pada setiap masyarakat telah diwariskan kebudayaannya
masing-masing. Dalam kaitannya dengan ini, maka pada dasarnya masyarakat dan
kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan tidak ada masyarakat
tanpa kebudayaan (Mutakin 2003). Ini berkaitan juga dengan etnis, bahwa dalam kaitannya

dengan etnis, etnis merupakan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang
mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan
sebagainya (KBBI).
Dalam kaitannya dengan konflik antar etnis, ini biasanya terjadi karena terdapat
kesalahpahaman antar keduanya. Kesalahpahaman ini yang muncul karena adanya pandangan
yang berbeda terhadap suatu hal. Pada tulisan ini, penulis mencoba memaparkan bagaimana
konflik antar etnis yang terjadi di Sumbawa, yaitu antara etnis Sumbawa dengan etnis Bali.
Pada tulisan ini juga, penulis akan menggunakan teori Durkheim terkait etnis. Menurut
Durkheim solidaritas etnik sendiri dapat membangun kekuatan kolektif. Pandangan
Durkheim ini lah yang menjadi ketertarikan tersendiri bagi penulis, untuk meninjau lebih
lanjut keterkaitannya dengan konflik etnis yang terjadi di Sumbawa. Terakhir, penulis akan
menyimpulkan dan memberi beberapa saran terkait konflik etnis tersebut.
Latar Belakang Konflik Etnis
Sebelum membahas konflik antar dua etnis tersebut, penulis akan coba memaparkan
mengenai karakteristik kedua etnis tersebut, yaitu etnis Bali dan etnis Samawa/Sumbawa. Hal
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana karakteristik dan hubungan sosial yang terjalin
antar masyarakatnya. Di awali dengan karakteristik etnis Bali, masyarakat Bali sendiri
1

terbilang kental dengan adat-istiadat setempat. Masyarakat Bali lebih terbuka terhadap

budaya luar, hal ini karena banyaknya budaya-budaya luar yang masuk ke Bali (Gunadha
2016). Ini menunjukan bahwa masyarakat Bali toleran terhadap budaya-budaya luar. Selain
itu, masyarakat Bali juga masih kental dengan adat-istiadat masyarakatnya, karena kekentalan
inilah tak jarang masyarakatnya menerapkan nilai-nilai yang ada di masyarakat Bali.
Sementara itu, di Sumbawa sendiri sebenarnya terdapat beberapa etnis di dalamnya. Akan
tetapi dalam penulisan ini lebih difokuskan pada etnis Samawa yang merupakan pokok
bahasan dari konflik etnis ini.
Etnis Samawa merupakan salah satu etnis yang ada di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Etnis ini memiliki karakter egaliter, egalitarianisme masyarakat Sumbawa pada dasarnya
tidak membedakan suku, ras dan budaya bagi siapa yang menjadi pemimpin mereka (Soerjo
2015). Akan tetapi, mereka juga memiliki rasa primordialisme. Primordial ini merupakan
suatu unit sosial yang hubungan antar anggotanya bersifat alami baik atas dasar hubungan
darah, maupun adat istiadat yang bersifat kedaerahan (Mutakin 2003). Hal ini terjadi di
masyarakat Sumbawa, keterikatan masyarakat oleh kesatuan adat ke-Sumbawa-an akan
muncul jika sentimen eksistensi ke-Tau Samawa-an (perasaan sebagai orang Sumbawa)
mereka diganggu atau jika dihadapkan pada rivalitas dengan etnis lain di luar kesatuan adat
masyarakat Sumbawa (Soerjo 2015). Dari beberapa uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
masih-masing masyarakat antar etnis tersebut memiliki karakternya masing-masing. Terkait
dengan konflik antar etnis yang terjadi, akan lebih baik jika ditinjau juga dari sejarahnya.
Apakah ada sejarah yang melatarbelakangi munculnya konflik yang terjadi saat ini, ataukah

karena kuatnya rasa primordial, sehingga memicu timbulnya konflik yang melibatkan etnis
tersebut.
Sejarah menunjukan bahwa, pernah terjadi konflik antar etnis (etnis Bali dan etnis
Samawa/Sumbawa) pada tahun 1980-an, yaitu diawali dengan perkelahian antar pemuda
etnis Bali dan etnis Samawa, juga dengan maraknya kasus kawin lari yang dilakukan oleh
pemuda Bali dengan perempuan Sumbawa (Damayanti). Selanjutnya, isu tewasnya
perempuan dari etnis Sumbawa karena kecelakaan saat bersama dengan pacarnya (dari etnis
Bali) yang juga memicu timbulnya konflik antar kedua etnis tersebut. Pihak keluarga merasa
ada yang mengganjal dari kecelakaan itu, karena sekujur tubuhnya lebam-lebam, namun
polisi tidak memberikan penjelasan apa-apa mengenai hal tersebut. Hal ini menimbulkan isuisu yang kurang dapat dipastikan kebenarannya. Isu tersebut menyatakan bahwa perempuan
dari etnis Sumbawa bukan meninggal karena kecelakaan, melainkan karena dibunuh oleh
pacarnya. Isu yang menyebar ini menggerakkan warga etnis Sumbawa dan pada akhirnya,
bukan lagi konflik antar keluarga yang muncul, akan tetapi konflik antar etnis. Etnis
Sumbawa membakar rumah-rumah, bahkan toko-toko milik etnis Bali, pihak polisi pun tidak
ikut andil untuk memberhentikan amuk warga ini. Hal ini menyebabkan kerugian besar yang
dialami etnis Bali (Damayanti). Alasan lain yang melatarbelakanginya yaitu ketika warga dari
etnis Sumbawa ini melakukan unjuk rasa ke Mapolres Sumbawa, namun pihak polisi tetap
menyatakan bahwa hal tersebut adalah kecelakaan. Akhirnya warga dari etnis Sumbawa ini
melakukan pengrusakan dan pembakaran di jalan baru dan jalan jambora (Hatta 2013).


2

Pembahasan
- Perspektif Solidaritas Etnik Durkheim
Sebelum masuk ke analisis kasus di atas, terlebih dahulu akan dipaparkan teori terkait
kasus tersebut. Di sini, penulis mencoba menggunakan perspektif solidaritas etnisnya
Durkheim. Pandangan Durkheim mengenai solidaritas sendiri, menyatakan bahwa solidaritas
sosial merupakan suatu moral dalam tatanan sosial, kemudian ia perjelas lagi dengan
menggunakan konsep kesadaran kolektif (Hasbullah 2012). Solidaritas sosial juga Durkheim
gunakan dalam menganalisis pembagian kerja pada masyarakat. Adanya pembagian kerja
yang berbeda-beda membuat masyarakat memiliki ketergantungan satu sama lain, dan oleh
karenanya akan terikat satu sama lain (Laeyendecker 1983). Durkheim membagi solidaritas
tersebut ke dalam dua bagian, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Durkheim
dalam Laeyendecker (1983), menyebutkan bahwa:
“Solidaritas mekanik didasarkan atas persamaan. Pada solidaritas ini, semua
anggotanya mempunyai kesadaran kolektif yang sama. Kesadaran kolektif ini
merupakan keseluruhan keyakinan dan perasaan yang membentuk sistem
tertentu, yang mempunyai kehidupan sendiri, dan dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri.”
Kesadaran kolektif yang ada di masyarakat ini pada dasarnya akan membentuk suatu

tatanan sosial yang didasarkan atas nilai-nilai yang dianut bersama. Hal ini tentu akan
berbeda antar masyarakatnya, karena kesadaran kolektif juga mempunyai sifat keagamaan
yang mengharuskan rasa hormat dan ketaatan, individu-individu selalu tunduk pada
kolektivitas masyarakatnya (Laeyendecker 1983). Ini yang menjadikannya berbeda antara
masyarakat satu dengan yang lainnya. Dalam kaitannya dengan etnis, di dalam etnis terdapat
sistem kebudayaan yang berbeda antar anggotanya. Sistem kebudayaan ini menjadi acuan
dalam melihat ketidakseragaman antar etnis. Apabila dikaitkan dengan kesadaran kolektifnya
Durkheim, di dalam etnis sendiri terdapat sistem kebudayaan yang di dalamnya tentu
memiliki nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, selalu ada perbedaan
pandangan pada masing-masing etnis. Sementara itu, di dalam konsep kesadaran kolektifnya
Durkheim, individu-individu didasarkan atas rasa persamaan antar anggotanya.
Lebih lanjut, Durkheim mengatakan bahwa kesadaran kolektif merujuk pada norma dan
kepercayaan bersama, yang ia gunakan sebagai konsep dalam memahami masyarakat primitif
(Ritzer 2011). Ia juga meninjau lebih lanjut mengenai kesadaran kolektif, bahwa kesadaran
kolektif ini tidak bisa dipahami dari individu semata, melainkan dari interaksi-interaksi di
dalamnya. Ritzer (2011) memaparkan bahwa pandangan Durkheim mengenai kesadaran
kolektif mengalami keterbatasan, sehingga Durkheim memilih konsep yang lebih spesifik
yaitu representasi kolektif yang secara harfiah berarti gagasan (Ritzer 2011):
“Merepresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan mendorong
kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif. Representasi kolektif juga

tidak bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi
sosial.”
Durkheim memandang etnik sebagai realitas, etnik juga dipandang sebagai ikatan
kekuatan budaya kolektif, bukan sebagai konflik atas kesenjangan, namun lebih pada
integrasi antar anggotanya (Sjaf 2012). Dalam hal ini, Durkheim memandang etnik lebih pada
3

bentuk keteraturan, artinya ia memandang bahwa dengan adanya kelompok-kelompok etnik
ini dapat dimungkinkan adanya kekuatan kolektif antar anggotanya. Hal ini merupakan
sebagai wujud dari berfungsinya bagian-bagian yang ada di masyarakat, yang menurutnya
seperti tubuh manusia, jika salah satunya tidak berfungsi maka akan menyebabkan bagian
yang lainnya (disfungsi). Dalam kaitannya dengan pandangan Durkheim, Sjaf (2012) sendiri
memaparkan beberapa asumsi dasar dari pemikiran Durkheim; (1) Setiap kesejarahan
kelompok sosial yang ada saat ini, tidak lepas dari kesejarahan masa lalunya (solidaritas
organik terbentuk dari solidaritas mekanik), (2) Tindakan individu adalah tindakan kelompok
sosialnya, (3) Sifat dan karakteristik kelompok sosial tercermin dari sifat dan karakteristik
individu-individu dari kelompok sosial tersebut.
- Analisis Kasus
Dalam kaitannya dengan perspektif solidaritas etnik Durkheim, konflik yang terjadi
pada etnis Bali dengan etnis Sumbawa ini karena adanya kekuatan kolektif. Kekuatan

kolektif ini dibangun dengan mengatasnamakan etnis. Pada dasarnya, konflik tersebut
merupakan konflik antar keluarga, namun berujung pada konflik antar etnis. Hal ini jelas
bahwa kekuatan kolektif merupakan suatu ikatan kekuatan.
Konflik bisa saja terjadi pada kedua etnis tersebut (etnis Bali dan etnis Sumbawa),
namun dari konflik tersebut dapat memunculkan solidaritas pada masing-masing etnis.
Berikut gambaran singkat mengenai solidaritas etnik menurut Durkheim.
Skema 1. Gambaran Solidaritas Etnik
- Nilai
- Norma
- Kelembagaan

Masyarakat

Etnis
A

Sistem Kebudayaan
Etnis B

Etnis

B

Sistem Kebudayaan
Etnis A

Solidaritas Etnis

Disintegrasi

Konflik

Solidaritas Etnis

Sumber: Hasil olahan sendiri berdasarkan analisis bacaan

Pada masyarakat tentu memiliki nilai, norma, yang tercakup di dalam kelembagaannya.
Nilai-nilai tersebut diwariskan dari waktu ke waktu melalui sosialisasi pada anggota
masyarakatnya. Ini juga sama halnya dengan etnis, etnis ada karena adanya perbedaanberbedaan sistem kebudayaan yang terklasifikasi pada tiap masyarakatnya. Seperti yang telah
4


disinggung sebelumnya, bahwa etnis merupakan kelompok sosial dalam sistem sosial atau
kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama,
bahasa, dan sebagainya (KBBI).
Perbedaan-perbedaan ini tentu akan tetap berjalan sesuai dengan fungsinya masingmasing. Seperti yang dikatakan Durkheim, bahwa perbedaan-perbedaan dalam pembagian
kerja bukanlah sebuah masalah atau kesenjangan, namun lebih akan menciptakan saling
membutuhkan. Jika kita lihat pada isu yang terjadi antara kedua etnis yang berkonflik, bisa
jadi terdapat disintegrasi di dalamnya, sehingga berpengaruh pada fungsi-fungsi lainnya.
Namun, menurut Durkheim konflik tidak hanya dimaknai sebagai bentuk perpecahan, tetapi
juga dapat menciptakan integrasi antar anggota kelompok yang berkonflik. Pandangan
Durkheim ini, menurut saya hanya berlaku untuk anggota dari kelompoknya saja. Ketika
tidak ada “kehangatan” di dalam anggota kelompok, kemudian berubah karena adanya
konflik dengan anggota kelompok lain, sehingga muncul integrasi antar anggota
kelompoknya. Jadi dalam hal ini, integrasi terjadi pada masing-masing anggota kelompok,
bukan pada kelompok yang berkonflik.
Pada dasarnya konflik ini merupakan akumulasi dari konflik-konflik sebelumnya.
Seperti yang telah disebutkan, bahwa sebelumnya pernah terjadi konflik antar pemuda etnis
Bali dengan etnis Sumbawa. Adanya latar belakan sejarah konflik ini menjadi dasar dari
memuncaknya konflik yang terjadi saat ini. Selain itu, apabila kita lihat dari karakteristik
masing-masing etnis, seperti pada etnis Sumbawa yang memiliki rasa primordialisme.
Apabila keberadaannya terganggu (etnisnya), maka akan timbul sentimen antar anggotanya.

Sementara pada etnis Bali sendiri cenderung lebih toleran terhadap budaya-budaya luar. Hal
ini dikarenakan banyaknya budaya luar yang masuk ke Bali, sehingga sudah terbiasa dengan
budaya-budaya luar (Damayanti). Selanjutnya, analisis konflik antar etnik ini juga dapat
dilihat dari bagaimana kekuatan dari ikatan budaya kolektif antar keduanya. Apabila dari
kedua etnis ini memiliki ikatan budaya kolektif yang kuat, maka bisa dipastikan ketika terjadi
disintegrasi maka akan menimbulkan konflik. Konflik antar golongan/etnis, namun dapat
menciptakan integrasi pada masing-masing anggota dari kedua etnis tersebut.
Simpulan dan Saran
Bagi Durkheim, konflik tidak harus selalu dimaknai dengan sesuatu yang bersifat
negatif, namun justru konflik juga dapat memunculkan integrasi antar anggota kelompoknya.
Integrasi ini muncul karena adanya kesamaan, baik nilai-nilai maupun adat-istiadat yang ada
di dalamnya. Konflik yang terjadi pada kedua etnis ini dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi
positif dan negatif. Pada sisi positif, konflik yang terjadi dapat dikatakan bahwa kelompok
etnis Sumbawa memiliki kekuatan kolektif, yaitu terbukti dengan adanya unjuk rasa yang
dilakukan atas kejadian yang menimpa anggota masyarakatnya. Hal ini jelas menyangkut keetnisan, atau dapat dikatakan rasa primordial. Adapun saran dan solusi atas konflik yang
terjadi ini yaitu:
1. Kejelasan hukum
Hukum yang tegas sangat diperlukan dimanapun tempatnya. Hal ini dimaksudkan agar
tidak ada ketimpangan yang terjadi di dalamnya. Selain itu, hukum yang jelas juga dapat
menjadi acuan bagi masyarakat ketika terjadi perselisihan, terlebih lagi perselisihan yang
menyangkut etnis. Hukum juga harus netral, artinya tidak boleh berpihak pada salah satu
etnis, melainkan harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut kedua etnis tersebut.
2. Adanya keterlibatan antar kedua etnis dalam ranah politik, hukum, dan ekonomi
Hal ini bertujuan agar masing-masing etnis memiliki kesempatan yang sama pada
masing-masing bidang tersebut. selain itu, agar dapat tercipta hubungan yang saling
melengkapi. Seperti yang dikatakan Durkheim, akan tercipta hubungan yang saling
membutuhkan satu sama lain.
5

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Laeyendecker. L. 1983. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan. Jakarta: PT Gramedia
Mutakin A, dkk. 2003. Dinamika Masyarakat Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Ritzer George, Dauglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Post Modern. Bantul: Kreasi Wacana.
Sumber Disertasi, Jurnal:
Hasbullah. 2012. REWANG: Kearifan Lokal Dalam Membangun Solidaritas Dan Integrasi
Sosial Masyarakat Di Desa Bukit Batu Kabupaten Bengkalis. Jurnal Sosial Budaya
[Internet]. [Diunduh 2016 April 18]; 9: 2. Tersedia pada: http://ejournal.uinsuska.ac.id/index.php/SosialBudaya/article/view/385/367.
Najwan J. 2009. Konflik Antar Budaya dan Antar Etnis di Indonesia Serta Alternatif
Penyelesaiannya. Jurnal Hukum [Internet]. [Diunduh 2016 April 17]; 16: 195-208.
Tersedia
pada:
http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/5%20Johni%20Najwan.pdf.
Sjaf S. 2012. Pembentukan Identitas Etnik Dalam Arena Ekonomi Politik Lokal Di Era
Desentralisasi [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sumber Lainnya:
Damayati M. Konflik Sumbawa-Bali: Akibat Miscommunication Antar Etnis [Internet].
Dapat
dilihat
melalui
http://www.academia.edu/11323317/Konflik_Sumbawa_Bali_Akibat_Miscommunication_antar_etnis. Diakses pada tanggal 18 April 2016.
Gunadha IB. 2016. Identitas Manusia Bali: Perspektif Adat, Agama, dan Budaya [Internet].
Dapat dilihat melalui http://www.cakrawayu.org/artikel/8-i-wayan-sukarma/106identitas-manusia-bali.html. Diakses pada tanggal 17 April 2016.
Hatta RT. 2013. Bentrok Antar Etnis Terjadi Di Sumbawa [Internet]. Dapat dilihat melalui
http://news.liputan6.com/read/494122/bentrok-antar-etnis-terjadi-di-sumbawa. Diakses
pada tanggal 18 April 2016.
[KBBI] Kamus Besar Bahasa Indonesia. Definisi Etnis [Internet]. Dapat dilihat melalui
http://kbbi.web.id/etnik. Diakses pada tanggal 17 April 2016.
Soerjo PA. 2015. Konsepsi Elit Bagi Etnis NTB [Internet]. Dapat dilihat melalui
http://www.kompasiana.com/www.sumbawanews.com/konsepsi-elit-bagi-etnis-di
ntb_5500f33d813311c161fa8288. Diakses pada tanggal 18 April 2016.
6