perbandingan pemikiran teologi sifat sif

MAKALAH ILMU KALAM
PERBANDINGAN PEMIKIRAN TEOLOGI TENTANG SIFAT TUHAN,
KEHENDAK MUTLAK DAN KEADILAN TUHAN
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu
Kalam
Dosen Pembimbing: Bpk. Shadiqil Hafil, M.Fil.I

Disusun Oleh:

Teguh Abi Rahman
Semester III/KPI

INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH Al-AMIEN (IDIA)
PONDOK PESANTREN AL-AMIEN PRENDUAN
SUMENEP MADURA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Adanya perbedaan pendapat dalam aliran-aliran ilmu kalam mengenai
kekuatan akal, fungsi wahyu, dan kebebasan atau kehendak dan perbuatan

manusia telah memunculkan pula perbedaan pendapat tentan kehendak mutlak
dan keadilan Tuhan.
Persoalan lain yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-aliran
kalam adalah masalah sifat-sifat Tuhan. Tarik-menarik di antara aliran-aliran
kalam dalam menyelesaikan dalam persoalan ini, tampaknya dipicu oleh truth
claim yang di bangun atas dasar kerangka berfikir masing-masing dan klaim
menauhidkan Allah. Tiap –tiap aliran mengaku bahwa fahamnya dapat
menyucikan dan memelihara keesaan Allah.
Faham keadilan Tuhan, dalam pemikiran kalam, bergantung pada
pandangan, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan
berbuat? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja? Perbedaan pandangan
terhadap bebas atau tidaknya manusia ini menyebabkan perbedaan penerapan
makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan
sesuatu pada tempatnya.
Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan manusia cenderung
memahami keadilan Tuhan dari sudut kepentingan, sedangkan aliran kalam
tradisional yang memberi tekanan pada ketidakbebasan manusia di tengah
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, cenderung memahami keadilan tuhan
d ari sudut Tuhan sebagai alam semesta.
Di samping faktor-faktor di atas, perbedaan aliran-aliran kalam dalam

persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan ini didasari pula oleh
perbedaan pehaman terhadap kekuatan akal dan fungsi wahyu. Bagi aliran
yang berpendapat bahwa akal mempuyai daya yang besar. Kekuasaan Tuhan
pada hakikatnya tidak lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. Adapun aliran

yang berpendapat sebaliknya berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak
Tuhan tetap bersifat mutlak.
B. Rumusan masalah
1. Apa saja yang berkaitan dengan perbandingan pemikiran teologi?
2. Perbandingan antar aliran sifat-sifat Tuhan?
3. Perbandingan antar aliran kehendak mutlak Tuhan dan keadilan
Tuhan?
C. Tujuan
Dengan di tulisnya makalah ini penulis bertujuan memberikan penjelasan
tentang pengertian, perbandingan pemikiran teologi tentang antar aliran yang
mencakup tentang sifat-sifat Tuhan, juga memberikan penjelasan tentang
perbandingan antar aliran kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan.
Pangkal persolan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan sebagai pencipta alam
semesta, sebagai pencipta alam, Tuhan haruslah mengatasi segala yang ada,
bahkan harus mmelampaui segala aspek yang ada itu. Penulis berharap dapat

membantu

memberikan

sedikit

penjelasan

tersebut, dengan tujuan untuk membantu
dan istilah-istilah dalam perbandingan teologi.

tentang

materi

memberikan pemahamn makna

BAB II
PEMBAHASAN
A. Tentang Sifat –Sifat Tuhan

Pertentangan paham antara kaum mu’tazilah dengan kaum asy’ariyah
dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat
atau tidak.
1. Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan
mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang
Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh al-asy’ari, bersifat negatif. Tuhan
tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak
mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi
mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya.
Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi mengetahui,
berkuasa, dan sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam arti kata
sebenarnya.
Pandangan tokoh-tokoh mu’tazilah tentang sifat-sifat Tuhan: yaitu,
Pertama, “Tuhan mengetahui“ kata Abu al-huzail, ialah Tuhan mengetahui
dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan tersebut adalah Tuhan
sendiri. Dengan demikian, pengetahuan Tuhan sebagaimana dijelaskan
oleh Abu huzail adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat atau esensi Tuhan.
Kedua, “Tuhan mengetahui dengan esensinya” kata al-juba’i, ialah
untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk

pengetahuan

atau

keadaan

mengetahui.

Sebaliknya Abu

hasyim berpendapat bahwa arti “Tuhan mengetahui melalui esensinya”,
ialah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui.
2. Asy’ariyah
Kaum Ay’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan
mu’tazilah di atas. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat. Menurut al-asy’ari sendiri tidak dapat di ingkari bahwa

Tuhan

mempunyai


sifat

karena

perbuatan-perbuatanya.

Ia

juga

menyatakan bahwa tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan
sebagainya di samping mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Dan menurut al- baghdadi, terdapat konsensus di kalangan kaum
asy’ariah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran,
penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat –sifat ini kata al- ghazali,
tidaklah sama dengan, malahan lain dari, esensi Tuhan, tetapi berwujud
dalam esensi itu sendiri. Uraian –uraian ini juga membawa paham banyak
yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum asy’ariah mengatakan bahwa
sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena

sifat-sifat tidak lain dari tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa kepada
faham banyak kekal.
3. Maturidiyah
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan
pemikiran antara Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari, seperti dalam pendapat
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, bashar, dan sebaginya.
Walaupun begitu, pengertian Al-Matirudi tentang sifat tuhan berbeda
dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat tuhan sebagai sesuatu
yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan
menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan
pula dari esensi-Nya.
Kaum maturidiyah golongan bukhara, karena juga mempertahankan
kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifa-sifat.
Persoalan banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan
bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga
dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya kekal,tetapi
sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
Sedangkan kaum maturidiyah golongan samarkand dalam hal ini
kelihatanya tidak sepaham dengan mu’tazilah karena al-maturidi
mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan.


4. Syi’ah Rafidhah
Mayoritas tokoh Rafidhah menyifati Tuhannya dengan bada
(perubahan). Mereka beranggapan bahwa tuhan mengalami banyak
perubahan. Sebagian mereka mengatakan bahwa Allah terkadang
memerintahkan

sesuatu

lalu

mengubahnya.

Terkadang

pula

ia

menghendaki melakukan sesuatu lalu mengurungkannya karena ada

perubahan pada diri-Nya. Perubahan ini bukan dalam arti Naskh, tetapi
dalam arti bahwa pada waktu yang pertama ia tidak tahu apa yang bakal
terjadi pada waktu yang kedua.
B. Tentang kehendak mutlak dan keadilan Tuhan
Pangkal persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan adalah
keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebagai pencipta alam,
Tuhan haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan harus melampaui segala
aspek yang ada itu. Ia adalah eksistensi yang mempunyai kehendak dan
kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada eksistensi lain yang mengatasi
dan melampaui eksistensi-Nya.
1. Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa
kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi. Ketidak mutlakan kekuasaan
Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia
serta adanya hukum alam (sunnatullah) yang menurut Al-Qur’an.
Oleh sebab itu, dalam pandangan mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di tengah alam
semesta. Selanjutnya, aliran mu’tazilah mengatakan, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Abd Al-jabbar bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan
tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajibankewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik.

2. Asy’ariyah
Kaum asy’ariyah , karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan,
berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang
mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan

kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan
yang lain. Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada
tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta
yang dimiliki serta mempergunakanya sesuai dengan kehendak-Nya.
Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran
asy’ariyah memberi makna keadilan keadilan Tuhan dengan pemahaman
bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat
berbuat sekehendak hati-Nya. Dengan demikian, ketidak adilan difahami
dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya.
Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil, bilal difahami Tuhan tidak lagi
berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
3. Maturidiyah
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran ini terpisah
menjadi dua, yaitu maturidiyah samarkand dan maturidiyah bukhara.
Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi

penggunaan akal dan pemberian batas terhadap kekuasaan mutlak Tuhan.
Kaum maturidiyah samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat kepada
mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan
mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang diberikan aliran mu’tazilah.
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand, dibatasi oleh
keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya
adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan
kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.
Adapun maturidiyah bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan
menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa
Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.
Dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak
pada kehendak mutlak-Nya, tak ada satu dzat pun yang lebih berkuasa
daripada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya. Aliran maturidiyah
samarkand lebih dekat dekat dengan asy’ariyah.

Lebih jauh lagi, maturidiyah bukhara berpendapat bahwa ketidak adilan
Tuhan haruslah di pahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan. Secara jelas, al- bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos,
Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti, bahwa alam tidak
diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep
keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia, tetapi pada
Tuhan sebagai pemilik mutlak.
BAB III
KESIMPULAN
Adanya perbedaan pendapat dalam aliran-aliran ilmu kalam mengenai
kekuatan akal, fungsi wahyu, dan kebebasan atau kehendak dan perbuatan
manusia telah memunculkan pula perbedaan pendapat tentan kehendak mutlak
dan keadilan Tuhan. Persoalan lain yang menjadi bahan perdebatan di antara
aliran-aliran kalam adalah masalah sifat-sifat Tuhan.
Semua uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam faham mu’tazilah
kekusaan mutlak tuhan mempunyai batasan-batasan. Adapun kaum maturidi
golongan bukhara’ menganut pendapat bahwa tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak. Maturidiah golongan samarkan, tidaklah sekeras golongan bukhara’.
Maka dari itu tidak perlu ditegaskan bahwa yang menentukan batasan-batasan itu
bukanlah dzat selain dari tuhan, karena diatas tuhan tidak ada suatu dzatpun yang
lebih berkuasa. Tuhan adalah diatas segala-galanya. Batasan-batasan itu di
tentukan oleh tuhan sendiri dan dengan kemauan-Nya sendiri pula

DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 2010
Abdul Razaq dan Rasihan Anwar, Ilmu Kalam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2011