BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Dasar-dasar Perpajakan 2.1.1.1 Pengertian Pajak - Analisis Pengaruh Penagihan Pajak Aktif Terhadap Penerimaan Tunggakan Pajak (Studi Kasus Pada KPP Pratama Medan Timur)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Dasar-dasar Perpajakan

2.1.1.1 Pengertian Pajak

  Para ahli di bidang perpajakan telah banyak memberikan definisi dari perpajakan. Menurut Soemitro (2010:1) , pengertian pajak adalah sebagai berikut: “ Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

  (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

  Dari defenisi pajak yang dikemukankan oleh Soemitro diatas, ‘dapat dipaksakan’ artinya: apabila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti Surat Paksa dan sita, dan juga penyanderaan; terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa timbal- balik tertentu, seperti halnya retribusi.

  Smeets dalam Suandy ( 2011 : 9 ) menyatakan bahwa: “ Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma- norma umum, yang dapat dipaksakan tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”

  Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 perubahan terakhir dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud dengan pajak adalah:

  “ Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.”

  Dari beberapa definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan ada 5 unsur yang terdapat dalam definisi pajak tersebut, yaitu:

  1. Pajak merupakan kontribusi wajib oleh rakyat kepada negara 2.

  Pajak bersifat dapat dipaksakan berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku

  3. Tidak memiliki kontraprestasi secara langsung atau dapat dikatakan apabila telah membayar pajak maka tidak akan mendapat imbalan secara langsung

  4. Pajak digunakan untuk sebesar-besarnya pembangunan negara dan kemakmuran rakyat.

2.1.1.2 Fungsi Pajak

  Secara umum dapat dikatan fungsi pajak sebagai pemasukan bagi kas negara. Dapat diartikan bahwa pajak sebagai sumber utama pendanaan negara yang diatur berdasarkan Undang-undang perpajakan yang berlaku. Selain itu pajak juga berfungsi untuk mengelola penganggaran negara. Dalam bukunya, Suandy ( 2010: 12 ) menyatakan bahwa fungsi pajak ada dua yaitu: 1.

  Fungsi Budgetair (financial) Disebut juga fungsi utama pajak atau fungsi fiscal adalah suatu fungsi dimana pajak digunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan Undang-Undang perpajakan yang berlaku

  2. Fungsi Regulerend (mengatur) Yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di bidang ekonomi, social, maupun politik dengan tujuan tertentu.

2.1.1.3 Jenis Pajak

  Jenis pajak dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Yaitu berdasarkan wewenang pemungutan, berdasrkan administrasi dan pembebanan, dan berdasarkan sasaran. (Purwono, 2010 : 10 ) 1.

  Berdasarkan Wewenang Pemungutan a.

  Pajak Negara ( Pusat) adalah pajak yang wewenang pemungutannya dimiliki oleh Pemerintah Pusat.

  Contohnya : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Materai.

  b.

  Pajak Daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana perubahan pertama Undang-undang No. 34 Tahun 2000 lalu perubahan kedua Undang-Undang No. tentang Pajak dan Reribusi Daerah, Pajak Daerah terdiri atas:

   Pajak Propinsi, contohnya: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah dan Permukan.

   Pajak Kabupaten/ Kota, contohnya: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, Pajak Parkir, dan Pajak lain yang dapat dipungut berdasarkan Peraturan Daerah.

  2. Berdasarkan Administrasi dan Pembebanan a.

  Pajak Langsung, yaitu pajak yg pembebanannya tidak dapat dialihkan kepada orang lain, serta dikenakan secara berkala.

  Contohnya: Pajak Penghasilan b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat dialihkan kepada orang lain, dan dikenakan hanya bila terjadi hal atau peristiwa yang dikenakan pajak Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

  3. Berdasarkan Sasaran

  a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang memperhatikan pertama-tama keadaan pribadi Wajib Pajak, seperti Pajak Penghasilan.

  b.

  Pajak Objektif, yaitu pajak yang memperhatikan pertama-tama pada objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak, seperti Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

  2.1.1.4 Asas Pemungutan Pajak

  Ada 3 asas pemungutan pajak ( Purwono, 2010: 13) : a.

  Asas Domisili Pajak dibebankan pada pihak yang tinggal dan berada di wilayah suatu negara tanpa memperhatikan sumber atau asal objek pajak yang diperoleh atau diterima Wajib Pajak.

  b.

  Asas Sumber Pembebanan pajak oleh negara hanya terhadap objek pajak yang bersumber atau berasal dari wilayah teritorialnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.

  c.

  Asas Kebangsaan Status Kewarganegaraan seseorang menentukan pembebanan pajak terhadapnya. Perlakuan perpajakan antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing itu berbeda.

  Dari ketiga asas pemungutan pajak diatas, terdapat perbedaan prinsipil dari ketiga asas terebut. Pada asas domisili dan asas kebangsaan, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai menjandi landasan adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara tersebut atau tidak.

  2.1.1.5 Sistem Pemungutan Pajak

  Sistem pemungutan pajak ada 3 (Purwono, 2010), yaitu: a.

   Official Assesment System

  Melalui sistem ini besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak ditentukan oleh fiskus. Sistem pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi sejak reformasi perpajakan tahun 1984.

  b.

   Self Assesment System

  Dalam sistem ini wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung sendiri, membayar sendiri, serta melaporkan sendiri pajak yang terhutang yang seharunya dibayar.

c. Withholding System

  Sistem pemungutan pajak ini memeberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut pajak yang terhutang. Dalam hal ini pihak ketiga yang dimaksud adalah pihak lain selain pemerintah dan wajib pajak. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan ciri-ciri dari masing-masing sistem pemungutan pajak:

  a.

   Official Assesment System

  Ciri dari sistem perpajakan ini adalah:  Pajak terhutang dihitung oleh petugas pajak (fiskus)  Wajib pajak bersifat pasif  Hutang pajak timbul setelah petugas pajak menghitung pajak yang terhutang dengan diterbitkannya surta ketetapan pajak.

  b.

   Self Assesment System

  Ciri dari sistem perpajakan ini adalah:  Pajak terhutang dihitung sendiri oleh wajib pajak  Wajib pajak bersifat aktif dengan menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak terhutangnya  pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak setiap saat kecuali oleh kasus-kasus tertentu saja seperti wajib pajak terlambat melaporkan atau membayar pajak terhutang atau terdapat pajak yang seharusnya dibayar tetapi tidak dibayar.

2.1.1.6 Hambatan Pemungutan Pajak

  Meskipun telah diupayakan dengan menciptakan kebijakan yang memadai, tidak jarang ditemui berbagai kendala atau hambatan atau perlawanan dalam pemungutan pajak. Perlawanan tersebut berupa: a.

  Perlawanan Pasif, yang keterjadiannya berkaitan erat dengan:  Struktur ekonomi suatu negara  Perkembangan intelektual dan moral penduduk  Teknik pemungutan pajak b. Perlawanan Aktif, yang meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap fiskus dengan tujuan menghindari pajak melalui:

   Penghindaran diri dari pajak  Pengelakan diri dari pajak  Melalaikan pajak

2.1.2 Utang Pajak

2.1.2.1 Timbulnya Utang Pajak

  Dalam Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Penagihan Pajak, utang pajak di definisikan sebagai berikut: “Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan

  .“ Dalam Resmi ( 2011 : 12) menyatakan bahwa terdapat dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak yaitu: a.

  Ajaran Materiil Ajaran ini menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya undang-undang perpajakan. Dalam ajaran ini seseorang akan secara aktif menentukan apakah dirinya dikenakan pajak atau tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Ajaran ini konsisten dengan penerapan

  self assessment system .

  b.

  Ajaran Formil Ajaran ini menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah). Untuk menentukan apakah seseorang dikenakan pajak atau tidak, berapa jumlah yang dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya dapat diketahui dalam dalam surat ketetapan pajak tersebut. Ajaran ini konsisten dengan penerapan official assessment.

  Dapat disimpulkan pada ajaran materiil, utang pajak timbuka dikarenakan ada ada sebab-sebab yang mengakibatkan seseorang atau suatu pihak dikenakan pajak, yaitu karena perbuatan, keadaan, dan peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak. Sementara itu, ajaran formil menyebutkan utang pajak timbul saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus/pemerintah.

2.1.2.2 Berakhirnya Utang Pajak

  Utang pajak akan berakhir atau terhapus jika terjadi hal-hal berikut: 1. Pembayaran/Pelunasan

  Pembayaran pajak dapat dilakukan dengan membayarkan sendiri oleh Wajib Pajak ke kantor penerimaan pajak (bank-bank persepsi dan kantor pos).

2. Kompensasi

  Utang pajak berakhir karena ditutupi oleh kelebihan pembayaran pajak periode sebelumnya atau kelebihan pembayaran pajak yang lain.

  3. Daluawarsa Daluwarsa berarti telah lewat batas waktu tertentu. jika dalam jangka waktu tertentu, suatu utang pajak tidak ditagih oleh pemungutnya maka utang pajak tersebut dianggap telah lunas/dihapus/berakhir dan tidak dapat ditagih lagi. Utang pajak akan daluwarsa setelah melewati waktu 5 tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan.

  4. Penghapusan Utang pajak dihapus apabila secara administrasi utang tersebut tidak dapat lagi ditagih dikarenakan penanggung pajak meninggal duni dengan tidak memiliki warisan maupun ahli waris yang menggantika, alamat penanggung pajak tidak diketemukan lagi, dan/atau sebab lain yang diatur dalam undang- undang seperti, Wajib Pajak mengalami kebangkrutan maupun kesulitan likuiditas.

  Upaya Hukum dilakukan apabila Wajib Pajak merasa penetapan pajak yang dilakukan DJP tidak benar. Upaya Hukum tersebut adalah: permohonan pembetulan, pengurangan, atau pembatalan sanksi, keberatan, banding, dan peninjauan kembali

2.1.3 Penagihan Pajak

  2.1.3.1 Pengertian Penagihan Pajak

  Penagihan pajak merupakan kewenangan yang dimiliki fiskus untuk menagih utang pajak yang tidak dilunasi oleh penanggung Pajak yang dilakukan dengan prosedur tertentu berdasarkan UU. Didalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000, Penagihan pajak didefinisikan sebagai berikut:

  “Serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita

  .”

  2.1.3.2 Dasar - dasar Penagihan Pajak

  Dasar yang digunakan dalam penagihan pajak adalah Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pembetulan, Surat Ketetapan keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan pajak yang mesti di bayar bertambah. Hal ini sesuai dengan Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

  1. Surat Tagihan Pajak (STP) Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

  Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.

  3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

  4. Surat Keputusan Pembetulan Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.

  5. Surat Keputusan Keberatan Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

  6. Putusan Banding

  Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

2.1.3.3 Tindakan Penagihan Pajak

  Purwono (2010: 50) menyatakan bahwa, Penagihan pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :

  1. Penagihan pajak pasif Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 hari belum dilunasi maka 7 hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan menerbitkan surat teguran.

  2. Penagihan pajak aktif Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, dimana dalam upaya penagihan ini fiskus lebih berperan aktif dalam arti tidak hanya mengirim STP atau SKP tetapi akan diikuti dengan tindakan sita dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang. Pelaksanaan penagihan aktif dijadwalkan paling cepat berlangsung selama 58 hari yang dimulai dengan penyampaian surat teguran, surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, dan pengumuman lelang.

2.1.3.4 Tahapan Dan Waktu Pelaksanaan Penagihan Pajak

  Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus, tahapan dan jadwal waktu pelaksanaan penagihan pajak dapat digambarkan melalui skema dibawah ini:

  7 hari 21 hari STP, SKPKB, SURAT SURAT

  SKPKBT, dll TEGURAN PAKSA Jatuh Tempo 2 x 24 Jam 14 hari 14 hari

  SPMP/PENYI Pengumum Pelaksanaa

  TAAN an Lelang n Lelang Kegiatan penagihan pajak sejak tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan pengajuan permintaan penetapan tanggal dan tempat pelelangan meliputi jangka waktu paling cepat 58 hari. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.

  Pejabat menerbitkan surat teguran, surat peringatan, atau surat lain yang sejenis apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya dalam jangka waktu 7 hari setelah jatuh tempo. setelah surat teguran, surat peringatan, atau surat lain yang sejenis diterbitkan namun penanggung pajak masih juga belum melunasi utang pajaknya.

  Kewajiban pajak sebagaimana tertuang dalam surat paksa harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam.

  3. Apabila utang pajak belum dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana tertuang dalam surat paksa yaitu 2x24 jam, maka pejabat dapat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP).

4. Empat belas hari setelah dilakukan penagihan pajak dengan Surat Perintah

  Melaksanakan Penyitaan (SPMP), ternyata penanggung pajak belum melunasi utang pajaknya, pejabat menerbitkan surat perintah tentang pengumuman lelang.

  5. Empat belas hari setelah pengumuman lelang ternyata penanggung pajak masih belum juga melunasi utang pajaknya, pejabat melakukan penjualan barang sitaan penanggung pajak melalui Kantor Lelang Negara.

2.1.4 Surat Teguran

  Tahapan paling awal dari tindakan penagihan aktif adalah dengan menerbitkan surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis. Surat Teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis, sesuai dengan Pasal 1 angka 10 (UU Penagihan Pajak) adalah “ surat yang diterbitkan oleh pejabat pajak untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya”.

  Surat Teguran diterbitkan apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya 7 hari setelah jatuh tempo pembayaran kecuali Wajib Pajak/ Penanggung Pajak telah mendapat persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

  Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Mentri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2010 tanggal 13 April 2010 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika Sekaligus, Surat Teguran diterbitkan pada saat-saat berikut: a.

  Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran, setelah 7 hari sejak saat jatuh tempo pelunasan b. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus di bayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan

  Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7 hari sejak saat jatuh tempo pengajuan kebaratan c.

  Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh Wajib Pajak, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran, setelah 7 hari sejak tanggal pencabutan d.

  Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran, setelah 7 hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding.

  e.

  Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran, setelah 7 hari sejak jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding.

  f.

  Surat Teguran dalam rangka Penagihan Pajak atas utang Pajak Bumi dan Bangunan, STP PBB, SKP PBB atau Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, dismapaikan kepada Wajib Pajak setelah 7 hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan.

2.1.5 Surat Paksa

2.1.5.1 Defenisi Surat Paksa

  Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukun yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. paksa sekurang-kurangnya harus memuat : 1.

  Nama Wajib Pajak atau nama Wajib Pajak dan penanggung pajak.

  2. Dasar Penagihan 3.

  Besarnya utang pajak.

  4. Perintah untuk membayar.

2.1.5.2 Penerbitan Surat Paksa

  Jangka waktu penerbitan Surat Paksa adalah selambat-lambatnya 21 hari sejak tanggal penerbitan Surat Teguran kecuali terhadap penanggung pajak telah dilakukan Penagihan seketika dan sekaligus.

  Pasal 8 Undang-Undang PPSP menyatakan Surat Paksa diterbitkan apabila terhadap Wajib Pajak/Penanggung Pajak:  Telah diterbitkan Surat Teguran, atau  Telah diterbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, atau  Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran dan penundaaan pembayaran pajak.

  Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana Pasal 10 UU Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dilakukan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan Surat Paksa kepada penaggung pajak.

  Dalam penerbitan Surat Paksa, pejabat dapat menerbitkan Surat Paksa Pengganti. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatur apabila terjadi keadaan di luar kekuasaan pejabat, misalnya kecurian, kebakaran, kebanjiran atau gempa bumi yang menyebabkan Surat Paksa asli rusak, tidak terbaca atau oleh sebab lain sebagai contoh Surat Paksa hilang atau tidak dapat diketemukan lagi, pejabat dapat menerbitkan Surat Paksa pengganti yang mempunyai kekuatan dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa. (Waluyo, 2011:93)

2.1.5.3 Pemberitahuan Surat Paksa

  Pemberitahuan Surat Paksa dituangkan dalam berita acara yang sekurang- kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama Juru Sita, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat Paksa.

  Berdasarkan Pasal 10 ayat 3 (UU Penagihan Pajak), surat paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh jurusita pajak kepada: a.

  Penanggung pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan.

  b.

  Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha penanggung pajak, apabila penanggung pajak tidak dapat dijumpai.

  c.

  Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi. warisan yang belum dibagi. Berdasarkan Pasal 10 ayat 4 (UU Penagihan Pajak), surat paksa terhadap badan diberitahukan oleh jurusita pajak kepada: a.

  Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan, atau b.

  Pegawai tetap di tempat kedudukan atau di tempat usaha badan yang bersangkutan apabila jurusita pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam huruf ( a ). Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, surat paksa diberitahukan kepada kurator, hakim pengawas atau Balai Harta Peninggalan, dan jika Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, maka surat paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk pemberesan atau likuidasi. Jika tidak dapat dilaksanakan surat paksa disampaikan melalui pemerintah daerah setempat.

  Dalam hal Wajib Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, maka penyampaian surat paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan surat paksa pada papan pengumuman kantor pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain yang ditetapkan oleh keputusan menteri atau keputusan kepala daerah.

  Penelitian mengenai tindakan penagihan pajak dengan surat paksa memang sudah banyak dilakukan sebelumnya. Perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini terletak pada tempat penelitian dan periode penelitian. Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tindakan penagihan pajak dengan surat paksa yang dikutip dari berbagai sumber antara lain:

  Variabel No. Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

  Penelitian Pengaruh Surat Teguran hasil uji hipotesis

  Andi Penagihan Pajak yang secara parsial (t-test)

  1. Marduati Dengan Surat diterbitkan, maupun simultan (F-

  (2012) Teguran dan Surat Paksa test)

  Surat Paksa yang membuktikan bahwa Terhadap diterbitkan, panagihan pajak

  Pencairan Pencairan dengan surat teguran Tuinggakan Tunggakan dan surat paksa

  Pajak di Kantor Pajak mempunyai pengaruh Pelayanan Pajak yang signifikan

  Pratama terhadap pencairan Makassar Barat tunggakan pajak.

  Koefisien determinasi menunjukkan 0.443 atau 44.3% yang artinya 44.3% pencairan tunggakan pajak dipengaruhi oleh jumlah surat teguran dan jumlah surat paksa yang diterbitkan. Sedangkan sisanya

  55,7% pencairan tunggakan pajak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar pembahasan ini. Hasil penelitian menunjukan data- data penagihan pajak dari tindakan penagihan

  Analisis pajak dengan surat Penagihan Pajak paksa, realisasi

  Dengan Surat penerimaan dari Paksa Terhadap Penerbitan Surat tindakan

  Adam Pencairan Paksa, penagihan pajak

  2 Maulan Tunggakan Penerimaan dengan surat paksa, (2012) Pajak Di KPP Tunggakan kontribusi realisasi

  Pratama Setia Pajak penerimaan dari Budi Jakarta tindakan penagihan

  Pada Tahun dengan 2010-2012 surat paksa terhadap target yang ditentukan oleh KPP

  Pratama Jakarta Setiabudi Satu.Dalam melakukan tindakan penagihan pajak dengan surat paksa di KPP Pratama Jakarta

  Setabudi Satu tidak selalu berjalan dengan apa yang diharapkan, terkadang KPP dihadapkan dengan berbagai kendala baik internal ataupun eksternal. Maka, untuk mengantisipasi kendala tersebut pihak KPP memiliki beberapa solusi yang telah diterapkan agar penagihan pajak dengan surat paksa dapat berjalan dengan efektif

  Pengaruh Tindakan Hasil penelitian Penagihan Pajak menunjukkan bahwa Aktif Dengan baik penerbitan surat

  Surat Teguran, Surat Teguran teguran maupun surat

  Riska Surat Paksa, Dan Surat Paksa paksa, tidak

  3 Rahayu Indra Pencairan Terhadap berpengaruh

  (2014) Tunggakan Penccairan signifikan terhadap

  Pajak Tunggakan pencairan tunggakan Pajak Di KPP pajak di KPP Pratama Pratama Padang.

  Padang.

2.3 Kerangka Konseptual

  Peran serta Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak tentu sangat diharapkan sesuai dengan kerangka sistem self assessment yang dianut dalam undang-undang perpajakan sejak tahun 1983 yang memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan pajaknya sendiri. Akan tetapi dalam kenyataanya, masih banyak Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajibannya membayar utang pajak berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan. Tidak dibayarnya utang pajak maka akan menimbulkan tunggakan pajak. Untuk menegakkan ketentuan undang-undang pajak yang ada maka dilakukan tindakan penagihan pajak.

  Tindakan penagihan terhadap utang pajak yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa mempunyai kekuatan hukum yang bersifat memaksa agar Wajib Pajak mau melunasi utang pajaknya. Tindakan penagihan pajak berdasarkan urutan proses dan waktu pelaksanaanya dimulai dengan menerbitkan surat teguran setelah 7 hari sejak tanggal jatuh tempo pembayaran. Selanjutnya diterbitkan surat paksa setelah 21 hari sejak diterbitkannya surat teguran dan akan diikuti dengan penyitaan apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam. Biasanya Wajib Pajak akan segera melunasi utang pajaknya setelah merusak kredibilitas Wajib Pajak tersebut, sehingga Wajib Pajak akan melunasi tunggakan pajaknya.

  Berdasarkan uraian penjelasan di atas dapat dituangkan dalam suatu skema kerangka konseptual sebagai berikut:

  Kerangka Konseptual

  H1 Surat Teguran

  (X1) H3

  Penerimaan Tunggakan Pajak (Y)

  Surat Paksa (X2)

  H2

  

Gambar 2.1: Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis Penelitian

  Penagihan pajak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 mengatur bahwa setelah lewat 7 hari jatuh tempo tunggakan pajak, tetapi Wajib bermaksud untuk mengingatkan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya dan hanya bersifat persuasif karena belum ada sanksi hukum. Setelah lewat 21 hari sejak diterbitkannya surat teguran, Wajib Pajak belum juga melunasi utang pajaknya maka langkah selanjutnya yaitu dengan menerbitkan surat paksa. Surat paksa memiliki kekuatan eksekutorial serta memberi kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, surat paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan.

  Tujuan diterbitkannya Surat Paksa adalah untuk menagih tunggakan pajak, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Penagihan Pajak. Setelah diterbitkannya Surat Paksa diharapkan Wajib Pajak yang menunggak pajak dapat melunasi utang pajaknya. Apabila dalam waktu 2 x 24 jam Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Paksa belum juga melunasi utang pajaknya, maka akan dilakukan penyitaan. Dengan cara seperti itu biasanya Wajib Pajak akan merasa takut, dan akan melunasi utang pajaknya baik secara langsung maupun dengan angsuran, yang nantinya pasti akan mempengaruhi Penerimaan Tunggakan Pajak.

  Oleh karena itu peneliti menduga ada pengaruh antara surat teguran dengan surat paksa terhadap Penerimaan Tunggakan Pajak. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H

  

1 : Surat Teguran berpengaruh signifikan terhadap Penerimaan Tunggakan

  Pajak di KPP Pratama Medan Timur H

  

2 : Surat Paksa berpengaruh signifikan terhadap Penerimaan Tunggakan

  H3 : Surat Teguran dan Surat Paksa secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Penerimaan Tunggakan Pajak di KPP Pratama Medan Timur.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Audit Internal dan Pengendalian Internal Terhadap Penerapan Good Corporate Governance pada PDAM Tirtanadi Medan

0 1 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Audit Internal 2.1.1.1. Definisi Audit Internal - Pengaruh Audit Internal dan Pengendalian Internal Terhadap Penerapan Good Corporate Governance pada PDAM Tirtanadi Medan

0 1 35

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Laporan Keuangan - Pengaruh Solvabilitas dan Rentabilitas Terhadap Kinerja Keuangan dengan Ukuran Perusahaan Sebagai Variabel Moderating Pada Grup Mopoli Raya Tahun 2005-2013

0 1 20

Pengaruh Tipe Industri, Ukuran Dewan Komisaris dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility Dengan Kepemilikan Institusional Sebagai Variabel Moderating pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Stakeholder - Pengaruh Tipe Industri, Ukuran Dewan Komisaris dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility Dengan Kepemilikan Institusional Sebagai Variabel Moderating pada

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pengaruh Tipe Industri, Ukuran Dewan Komisaris dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility Dengan Kepemilikan Institusional Sebagai Variabel Moderating pada Perusahaan Manufaktur

0 0 8

Pengaruh Tipe Industri, Ukuran Dewan Komisaris dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility Dengan Kepemilikan Institusional Sebagai Variabel Moderating pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 12

Analisis Pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Pemerintahan Daerah dan Kompetensi Sumber Daya Manusia terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah di Provinsi Sumatera Utara

0 0 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem 2.1.1 Pengertian Sistem - Analisis Pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Pemerintahan Daerah dan Kompetensi Sumber Daya Manusia terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah di Provinsi Sumatera Utara

0 0 25

Analisis Pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Pemerintahan Daerah dan Kompetensi Sumber Daya Manusia terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah di Provinsi Sumatera Utara

0 0 13