BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja - Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pekerja dengan Tindakan Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Pendengaran di Bagian Produksi Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV Adolina Tahun 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja

  Keselamatan merupakan suatu faktor yang penting dalam terlaksananya kegiatan perusahaan. Setiap karyawan akan bekerja secara maksimal apabila terdapat jaminan terhadap keselamatan kerja karyawan. Adapun pengertian dari keselamatan kerja menurut para ahli adalah sebagai berikut : a.

  Sedangkan menurut Suma’mur (1981), “Keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara- cara melakukan pekerjaan”.

  b.

  Menurut Silalahi dan Rumondang (1995), “Keselamatan merupakan suatu usaha untuk mencegah setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat yang dapat mengakibatkan kecelakaan”.

  Menurut Suma’mur (1981), perusahaan perlu menjaga keselamatan kerja terhadap karyawannya karena tujuan program keselamatan kerja diantaranya sebagai berikut: a.

  Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.

  b.

  Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada ditempat kerja.

  c.

  Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.

  9 Program kesehatan kerja merupakan suatu hal yang penting dan perlu diperhatikan oleh pihak pengusaha. Karena dengan adanya program kesehatan yang baik akan menguntungkan para karyawan secara material, karena karyawan akan lebih jarang absen, bekerja dengan lingkungan yang lebih menyenangkan, sehingga secara keseluruhan karyawan akan mampu bekerja lebih lama. Menurut Silalahi dan Rumondang (1995) menyatakan kesehatan kerja yaitu terhindarnya dari penyakit yang mungkin akan timbul setelah memulai pekerjaannya.

  Jadi dapat disimpulkan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu upaya perlindungan yang diajukan kepada semua potensi yang dapat menimbulkan bahaya. Hal tersebut bertujuan agar tenaga kerja dan orang lain yang ada di tempat kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat serta semua sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien (Suma’mur, 1981).

2.2 Higiene Industri

  Maksud dan tujuan higiene perusahaan adalah melindungi pekerja dan masyarakat sekitar suatu perusahaan atau industri dari risiko bahaya khususnya faktor fisis, kimiawi, dan biologis yang mungkin timbul oleh karena beroperasinya suatu proses produksi. Sasaran suatu kegiatan higiene perusahaan adalah faktor lingkungan dengan jalan identifikasi bahaya dan pengukuran agar tahu secara kualitatif dan kuantitatif bahaya yang sedang dihadapi atau yang mungkin timbul, dan dengan pengetahuan yang tepat tentang risiko faktor bahaya tersebut diselenggarakan tindakan korektif yang merupakan prioritas utama waktu itu serta selanjutnya upaya pencegahan yang bersifat lebih menyeluruh. Cara kerja higiene perusahaan (industri) adalah teknis-teknologis yang ditujukan kepada lingkungan kerja dengan pengenalan, identifikasi, pengukuran, evaluasi dan pengendalian bahaya dan risiko faktor fisis, kimiawi, dan biologis (Suma’mur, 2014).

2.3 Penyakit Akibat Kerja

  Penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja (pasal 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No Per 01/Men/1981 tentang kewajiban melapor penyakit akibat kerja (Permen.Nakertrans No. Per 01/Men/1981).

  Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja (pasal 1 Keputusan Presiden No.

  22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul karena hubungan kerja (Keppres No.

  22 Tahun 1993).

  Baik penyakit akibat kerja maupun penyakit yang timbul karena hubungan kerja mempunyai pengertian yang sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.

  Faktor-faktor yang menjadi penyebab penyakit akibat kerja sebagai berikut:

1. Faktor fisis seperti: a.

  Suara yang dapat mengakibatkan tuli akibat kerja b.

  Radiasi sinar rontgen atau sinar radioaktif, yang menyebabkan antara lain penyakit susunan darah dan kelainan kulit. Radiasi sinar inframerah dapat mengakibatkan katarak (cataract) kepada lensa mata, sedangkan sinar ultraviolet menjadi sebab konjungtivitis fotoelektrika (conjunctivitis photoelectica ).

  c.

  c.

  3. Faktor biologis, misalnya bibit penyakit antraks atau brusela (brucella) yang menyebabkan penyakit akibat kerja pada pekerja penyamak kulit.

  Awan atau kabut misalnya racun serangga (insektisides), racun jamur dan lainnya yang menimbulkan keracunan.

  e.

  Larutan zat kimia yang misalnya menyebabkan iritasi kepada kulit.

  d.

  Gas, misalnya keracunan oleh Co, H 2 S dan lainnya.

  Uap yang daintaranya menyebabkan demam uap logam (metal fume fever) dermatosis (penyakit kulit) akibat kerja atau keracunan oleh zat toksis uap formaldehida.

  Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan heatstroke atau (pukulan panas), kejang panas (heatcramps) atau hiperpireksia (hyperpyrexia), sedangkan suhu terlalu rendah antara lain menimbulkan frostbite.

  b.

  Debu yang menyebabkan pneumokoniosis (pneumoconiosis), diantaranya silikosis, asbestosis dan lainnya.

  2. Faktor kimiawi, antara lain: a.

  Penerangan lampu yang buruk dapat menyebabkan kelainan kepada indera penglihatan atau kesilauan yang memudahkan terjadinya kecelakaan.

  e.

  Tekanan udara tinggi menyebabkan penyakit kaison (caisson disease).

  d.

  4. Faktor fisiologis/ergonomis yaitu antara lain kesalahan konstruksi mesin, sikap badan yang tidak benar dalam melakukan pekerjaan dan lain-lain yang kesemuanya menimbulkan kelelahan fisik dan gangguan kesehatan bahkan lambat laun dapat terjadi perubahan fisik tubuh pekerja atau kecacatan.

  5. Faktor mental-psikologis yang terlihat misalnya pada hubungan kerja atau hubungan industrial yang tidak baik dengan akibat timbulnya misalnya depresi atau penyakit psikosomatis.

2.4 Kebisingan

  2.4.1 Definisi Kebisingan

  Kebisingan adalah bunyi atau suara yang keberadaannya tidak dikehendaki (noise is unwanted sound). Dalam rangka perlindungan kesehatan tenaga kerja kebisingan diartikan sebagai semua suara/bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Suma’mur, 2014).

  Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan yang direkomendasikan menurut ACGIH (American Conference of Governmental Industrial Hygienist), PPKKH RI (Pusat Pengembangan Keselamatan Kerja dan Hiperkes Republik Indonesia) dan NIOSH (National Institute for Occupational Safety and Health) adalah sebesar 85 dB (A) sedang menurut OSHA (Occupational Safety and Health

  

Administration ) sebesar 90 dB (A) untuk waktu kerja 8 jam sehari (Harrianto,

2013).

  2.4.2 Jenis Kebisingan

  Menurut Suma’mur (2014), jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan adalah:

  1. Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus dengan spektrum frekuensi yang lebar (steady state, wide band noise), misalnya bising mesin, kipas angin, dapur pijar, dan lain-lain.

  2. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis (steady

  state, narrow band noise ), misalnya bising gergaji sirkuler, katup gas, dan lain-lain.

  3. Kebisingan terputus-putus (intermitten noise), misalnya bising lalu lintas, suara kapal terbang di bandara.

  4. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti bising pukulan palu, tembakan bedil atau meriam, dan ledakan.

  5. Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di perusahaan atau tempaan tiang pancang bangunan.

2.4.3 Dampak Kebisingan

  Menurut Nasri (1997) dalam Noviadi (2000) dampak kebisingan pada manusia dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:

  1. Pengaruh pada indera pendengaran (auditory effect), ada tiga kemungkinan yaitu: a.

  Trauma akustik Yaitu pendengaran yang disebabkan oleh pemaparan tunggal (single

  

exposure ) terhadap intensitas kebisingan yang sangat tinggi dan terjadi secara

  tiba-tiba, misalnya suara ledakan bom. Hal ini dapat menyebabkan robeknya membran timpani atau dislokasi dan kerusakan tulang-tulang pendengaran.

  b.

  Kenaikan ambang pendengaran sementara (Temporary Threshold Shift)

  Mula-mula seseorang akan merasa terganggu di tempat kerja baru yang bising, tapi setelah beberapa jam kemudian dia akan merasa terbiasa dan tidak terganggu, suara tidak lagi sekeras semula. Maka dengan kata lain orang tersebut telah mengalami ketulian. Bila orang ini selesai bekerja dan keluar dari ruang kerja, daya dengarnya sedikit demi sedikit akan pulih kembali sediakala. Jadi gangguan pendengaran yang dialami orang tersebut bersifat sementara. Waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan kembali berkisar dari beberapa menit sampai beberapa hari serta paling lama 10 hari.

  c.

  Kenaikan ambang pendengaran menetap (Permanent Threshold Shift) Bila seseorang mengalami kenaikan ambang pendengaran sementara dan kemudian terpajan kebisingan sebelum pemulihan secara bertahap terjadi, maka akan terjadi akumulasi sisa ketulian. Bila hal ini berlangsung secara berulang dan menahun, maka sifat ketulian akan berubah menetap (permanen).

2. Pengaruh pada bukan indera pendengaran (Non Auditory Effect) a.

  Gangguan perasaan atau mudah marah (annoyance) Bising juga dapat menimbulkan perasaan tidak enak atau mudah marah, biasanya faktor yang mempengaruhinya adalah karakteristik kebisingan, sikap individu terhadap bising, kepekaan individu dan lain-lain.

  b.

  Gangguan komunikasi Kebisingan dapat mengganggu pembicaraan sebagai alat komunikasi, sehingga kita tidak dapat menangkap pembicaraan dan mengerti apa yang dibicarakan. c.

  Gangguan tidur Adanya suara bising dapat menimbulkan gangguan tidur pada seseorang pekerja.

  d.

  Gangguan fisiologis Berupa peningkatan tekanan darah, denyut nadi dan gastro intestinal.

  e.

  Gangguan psikologis Kebisingan dapat mempengaruhi stabilitas mental dan reaksi psikologis yaitu rasa khawatir, jengkel dan sebagainya.

2.4.4 Pengendalian Kebisingan

  Menurut Olishifski (1998) dalam Noviadi (2000), pencegahan terhadap bahaya kebisingan pada prinsipnya adalah mengurangi tingkat atau lamanya pemajanan terhadap kebisingan. Apabila pola kebisingan berasal dari sumber (noise source) dan ditransmisikan melalui work area (path) menuju pekerja (receiver), maka secara konsepsi dapat dilakukan prioritas pengendalian kebisingan sebagai berikut:

1. Pengendalian kebisingan pada sumbernya

  Pengendalian kebisingan pada sumbernya, dapat dilakukan dengan mengendalikan antara lain: a.

  Pemilihan dan pemasangan mesin dengan tingkat kebisingan yang rendah.

  b.

  Bentuk disain, seperti: disain pipa gas buang, jumlah daun propeller, proses kerja motor, jumlah silinder, menambah daya efektif motor, bentuk dan kedudukan katup, dan sebagainya.

  c.

  Pengurangan energi yang menimbulkan getaran and kebisingan (isolasi). d.

  Perubahan sistem dan jenis kopling yang digunakan.

  e.

  Perawatan berupa pemberian gemuk dan pelumas dengan teratur.

  f.

  Substitusi, pergantian suku cadang/ mesin/ proses.

  2. Pengendalian Kebisingan pada Work Area Pengendalian kebisingan pada work area dapat dilakukan antara lain: a. memperpanjang jarak antara sumber dengan penerima.

  b.

  Memperpanjang silencer yang dapat memperhalus suara seperti pemasangan fan exhauster atau air intake.

  c.

  Mempergunakan enclosure atau pemisah yang terbuat dari bahan/ konstruksi yang mampu mengurangi penjalaran suara, baik berupa tabir ataupun ruang tertutup.

  3. Pengendalian Kebisingan pada Tenaga Kerja Ada 3 rangkaian kegiatan dalam rangka mengendalikan kebisingan pada tenaga kerja yang disebut juga Hearing Conservation Programme (HCP), yaitu: a.

  Testing (noise testing), yaitu pemantauan kebisingan melalui pengukuran kebisingan di lingkungan kerja dengan sound level meter dan pengukuran kebisingan yang diterima tenaga kerja dengan personal noise dosimeter dan

  

hearing test , untuk pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan

audiometer.

  b.

  Training, yaitu pemberian pelatihan kepada tenaga kerja, terutama bagi tenaga kerja high risk group, pelatihan ini dilakukan secara berkala dan kontinu. c.

  Hearing protection, yaitu penggunaan alat pelindung pendengaran (hearing

  

protector ) untuk mengurangi tingkat pemajanan kebisingan yang diterima

tenaga kerja.

  Program dasar pengendalian kebisingan menurut Goetsch (1996) dalam Noviadi (2000) adalah meliputi Three E’s of Safety yaitu Engineering, Education,

  

Enforcement . Terhadap kebisingan, engineering control (pengendalian teknik):

  menciptakan/ mengubah mesin produksi yang aman dari kebisingan, education (pendidikan/penyuluhan) dengan memberikan penyuluhan mengenai bahaya kebisingan dan dampaknya bila tidak menggunakan APD Telinga dan

  

enforcement (peraturan perundangan) dengan pemberlakuan peraturan-peraturan

  di perusahaan khususnya mengenai kebisingan dan penggunaan alat pelindung pendengaran.

2.5 Alat Pelindung Pendengaran (APP)

  Menurut Olishifski (1998) dalam Noviadi (2000), alat pelindung pendengaran adalah penghalang akustik yang mengurangi besarnya energi bunyi yang dipancarkan melalui lubang telinga ke reseptor di dalam bagian telinga bagian dalam.

  Menurut Siswanto (1983) dalam Noviadi (2000) menyatakan bahwa APD telinga (hearing protector/hearing protection devices) dirancang untuk memberikan perlindungan maksimum dengan dilengkapi penyaring dan mampu menyerap bising. APD telinga ini bekerja sebagai penghalang antara bising dengan telinga dalam.

  Alat pelindung pendengaran harus diberikan satu untuk setiap pekerja, menyediakan atenuasi yang cukup (dapat mengurangi sejumlah kebisingan yang mencapai telinga) untuk menjamin pendengaran terlindung dengan baik, dan para pengguna harus terbiasa dengan tingkat bunyi yang berbeda-beda yang dapat didengar melalui alat pelindung pendengaran (Ridley, 2008).

  Alat pelindung pendengaran (APP) hendaknya dipakai sebagai upaya terakhir setelah segala usaha menghilangkan atau mengurangi sumber bising tidak berhasil. Hal yang harus dipertimbangkan sewaktu memilih alat pelindung telinga adalah:

  1. Alat pelindung telinga harus dapat melindungi pendengaran dari bising yang berlebihan. Jumlah penurunan tingkat kebisingan yang dibutuhkan untuk tiap area harus dicocokkan dengan kemampuan penurunan tingkat kebisingan alat pelindung telinga.

  2. Alat pelindung telinga harus ringan, nyaman dipakai, sesuai dan efisien (ergonomik).

  3. Harus menarik.

  4. Tidak memberi efek samping (aman), baik oleh karena bentuknya, konstruksi maupun bahan (Buchari, 2007).

2.5.1 Jenis Alat Pelindung Pendengaran

  Menurut Siswanto (1983) dalam Noviadi (2000), umumnya APD Telinga dibedakan mnejadi dua jenis yaitu: sumbat telinga (Ear plug) dan tutup telinga (Ear muff).

2.5.1.1 Sumbat Telinga (Ear Plug)

  Ear plug adalah jenis pelindung telinga yang dipasang secara langsung ke

  kanal atau saluran telinga. Ukuran, bentuk dan posisi saluran telinga untuk tiap- tiap individu berbeda-beda dan bahkan antara kedua telinga dari individu yang sama berlainan pula. Oleh karena itu sumbat telinga harus dipilih sesuai dengan ukuran, bentuk dan posisi saluran telinga pemakainya. Ear plug mempunyai bermacam konfigurasi dan terbuat dari karet, plastik atau cotton.

  a.

  Jenis sumbat telinga berdasarkan bentuknya Berdasarkan bentuknya sumbat telinga dibedakan atas: 1.

  Semi insert type, yaitu jenis sumbat telinga yang hanya menyumbat lubang masuk telinga luar.

2. Insert type, yaitu sumbat telinga yang menutupi seluruh saluran telinga luar.

  b.

  Jenis sumbat telinga berdasarkan cara penggunaannya Berdasarkan cara penggunaannya, sumbat telinga dibedakan atas: 1.

  Disposable plug, yaitu sumbat telinga yang digunakan sekali pakai saja, kemudian langsung dibuang, biasanya sumbat telinga yang terbuat dari busa dan malam (WAX). Cara penggunaannya yaitu sumbat digulung dengan ujung-ujung jari, lalu salah satu tangan diangkat mengelilingi bagian belakang kepala dan telinga bagian luar ditarik untuk meluruskan liang telinga. Kemudian sumbat dimasukkan sampai dirasakan alat tersebut menyumbat, lalu sumbat tersebut dipegang sebentar sampai sumbat tersebut mengembang. Sebelum digunakan, tenaga kerja memeriksa sumbat dari kotoran, lilin, lemak dengan mencuci tangan terlebih dahulu. Beberapa disposable plug butuh dibentuk sebelum digunakan, dan setelah digunakan maka sumbat dibuang.

  2. Reusable plug, yaitu sumbat telinga yang digunakan berulang kali, dalam waktu yang lama, biasanya terbuat dari karet yang fleksibel, silikon atau plastik yang dicetak. Ada berbagai bentuk reusable plug dan sesuai dengan liang telinga untuk menahan kebisingan, kotoran dan lemak. Alat ini bisa berbentuk flengs (seperti pinggiran roda), atau berbentuk kerucut, dan sering dihubungkan dengan tali sehingga tidak mudah hilang dan agar mudah diawasi oleh pengawas. Cara penggunaan alat ini yaitu dengan mengangkat salah satu tangan mengelilingi bagian belakang kepala dan menarik telinga bagian luar untuk meluruskan liang telinga. Kemudian reusable plug dimasukkan sampai merasa menutup dan nyaman. Cara perawatan alat ini yaitu dengan mencuci tangan terlebih dahulu sebelum memakai, dan memeriksa alat dari kotoran dan lemak pada sumbat.

  

Reusable plug ini dicuci minimal sekali sehari, kemudian dibilas dan dikeringkan.

  Setelah digunakan, alat ini disimpan di kotak plastik atau botol kecil yang bersih. Dan penggantian sumbat dilakukan ketika sumbat telah mengeras dan berubah warna.

  3. Headband plug, yaitu jenis sumbat yang menggunakan ikat kepala (hamper menyerupai ear muff). Alat ini dibuat dari bahan-bahan yang dapat dicuci dan dapat memberikan kenyamanan yang sesuai serta dapat digunakan bersamaan dengan pelindung mata, helm (pelindung kepala), atau tutup kepala yang lain.

  Bagaimanapun headband plug lebih serbaguna daripada penutup telinga (ear

  

muff ). Alat ini seharusnya sering dibersihkan dan meskipun alat ini dapat tahan lama dan digunakan dalam waktu yang lama, alat ini tidak boleh menjadi menekuk atau membengkok. Setelah digunakan, headband plug disimpan ditempat yang aman.

  Keuntungan sumbat telinga: 1. Mudah dibawa karena ukurannya kecil.

  2. Relatif lebih nyaman dipakai ditempat yang panas.

  3. Tidak membatasi gerak kepala.

  4. Harganya relatif murah daripada penutup telinga.

  5. Dapat dipakai secara efektif tanpa dipengaruhi oleh pemakaian kacamata, tutup kepala, anting-anting dan rambut.

  Kekurangan sumbat telinga: 1. Memerlukan waktu yang lebih lama dari penutup telinga untuk pemasangan yang tepat.

  2. Tingkat proteksinya lebih kecil daripada penutup telinga.

  3. Sulit untuk memonitor tenaga kerja, apakah ia memakai atau tidak karena pemakaiannya sukar dilihat oleh pengawas.

  4. Hanya dapat dipakai oleh pekerja yang saluran telinganya sehat.

  5. Bila tangan yang digunakan untuk memasang sumbat telinga kotor, maka saluran telinga akan mudah terkena infeksi karena iritasi.

2.5.1.2 Penutup telinga (Ear muff)

  Adalah kubah plastik yang menyelimuti telinga dan dihubungkan dengan pita pegas. Pita pegas tersebut dapat disesuaikan dengan bervariasi bentuk, ukuran kepala dan posisi telinga serta mampu memberikan ketegangan antara kepala dan kubah sehingga tetap terjaga kerapatannya. Kubah plastik ini dilengkapi dengan

  

open-cell busa yang bermanfaat untuk menyerap dan meredam bunyi serta

  dilekatkan pada suatu bantalan yang berhubungan dengan kepala. Dalam bantalan ini berisi udara atau fluida lainnya yang dapat memberikan kenyamanan jika melakukan kontak dengan bentuk-bentuk yang tidak teratur (seperti cacat muka atau bekas operasi). Dimensi lubang kubah juga harus cukup besar supaya dapat melingkupi seluruh bagian telinga luar.

  Keuntungan penutup telinga: 1. Tingkat proteksinya lebih besar dibandingkan sumbat telinga.

  2. Mudah dimonitor pemakaiannya oleh pengawas.

  3. Dapat digunakan oleh telinga yang terkena infeksi (ringan).

  4. Tidak mudah hilang (terselip).

  Kerugian penutup telinga: 1. Tidak nyaman digunakan di tempat kerja yang panas.

  2. Efektifitas dan kenyamanan penggunanya dipengaruhi oleh penggunaan kacamata, tutup kepala, anting-anting, dan rambut yang menutup telinga.

  3. Relatif tidak mudah dibawa/disimpan.

  4. Dapat membatasi gerakan kepala pada ruang kerja yang agak sempit.

  5. Harganya relatif lebih mahal daripada sumbat telinga.

  6. Pada penggunaannya yang terlalu sering/bilamana pita penghubungnya yang berpegas sering tertekuk oleh penggunanya, daya proteksinya akan berkurang.

Gambar 2.1 Macam-macam APD Telinga

  

Sumber: http://www.ilo.org/safework_bookshelf/english

2.6 Perilaku

  Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan perkataan lain, perilaku kita pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan spesifik tersebut tidak selalu diketahui secara sadar oleh individu yang bersangkutan (Winardi, 2004).

  Skinner (1938) dalam Notoadmodjo (2010), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), oleh karena perilaku itu terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons. Respons dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a.

  Respondent respons atau refleksif, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut eliciting stimuli, karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Misalnya: makanan lezat akan menimbulkan nafsu untuk makan. Respon-dent respons juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah akan menimbulkan rasa sedih. b.

  Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan yang lain. Misalnya, apabila seorang petugas kesehatan melakukan tugasnya dengan baik adalah sebagai respons terhadap gaji yang cukup, misalnya (stimulus). Kemudian karena kerja baik tersebut, menjadi stimulus untuk memperoleh promosi pekerjaan. Jadi, kerja baik tersebut sebagai reinforce untuk memperoleh promosi pekerjaan.

  Perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a. Perilaku tertutup (Covert behavior)

  Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.

  b.

  Perilaku terbuka (Overt behavior) Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar.

2.6.1 Domain Perilaku

  Teori Bloom yang dikutip dalam Notoadmodjo (2010) membedakan perilaku dalam 3 domain perilaku, yaitu: kognitif (cognitive), afektif (affective) dan psikomotor (Psychomotor). Untuk kepentingan pendidikan praktis, teori ini kemudian dikembangkan menjadi 3 ranah perilaku yaitu:

2.6.1.1 Pengetahuan (knowledge)

  Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Menurut Notoatmodjo (2010) mengungkapkan bahwa pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda, secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan yaitu: a.

  Tahu (know) diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

  b.

  Memahami (comprehension) artinya memahami suatu objek bukan sekadar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekadar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.

  c.

  Aplikasi (application) diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

  d.

  Analisis (analysis) adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.

  e.

  Sintesis (synthesis) menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi- formulasi yang telah ada.

  f.

  Evaluasi (evaluation) berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.

2.6.1.2 Sikap

  Sikap adalah determinan perilaku, karena mereka berkaitan dengan persepsi, kepribadian, dan motivasi. Sebuah sikap merupakan suatu keadaan sikap mental, yang dipelajari dan diorganisasi menurut pengalaman, dan yang menyebabkan timbulnya pengaruh khusus atas reaksi seseorang terhadap orang- orang, objek-objek, dan situasi-situasi dengan siapa ia berhubungan (Winardi, 2004).

  Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya).

  Terdapat tiga komponen sikap, sehubungan dengan faktor-faktor lingkungan kerja, sebagai berikut: a.

  Afeksi (affect) yang merupakan komponen emosional atau perasaan.

  b.

  Kognisi adalah keyakinan evaluatif seseorang. Keyakinan-keyakinan evaluatif, dimanifestasi dalam bentuk impresi atau kesan baik atau buruk yang dimiliki seseorang terhadap objek atau orang tertentu. c.

  Perilaku, yaitu sebuah sikap berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap seseorang atau hal tertentu dengan cara tertentu (Winardi, 2004).

  Sikap juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut: a.

  Menerima (receiving) diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek).

  b.

  Menanggapi (responding) diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

  c.

  Menghargai (valuing) diartikan subjek atau seseorang memberi nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain dan bahkan mengajak atau memengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.

2.6.1.3 Tindakan

  Seperti telah disebutkan diatas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam bentuk tindakan. Untuk mewujudkannya sikap menjadi suatu tindakan diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan seperti fasilitas atau sarana dan prasarana setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktik (practice) kesehatan (Notoadmodjo, 2010).

  Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu: a.

  Praktik terpimpin (guided response) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.

  b.

  Praktik secara mekanisme (mechanism) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.

  c.

  Adopsi (Adoption) Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekadar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.

2.7 Kerangka Konsep Penelitian

  

Variabel Bebas Variabel Terikat

  Pengetahuan Tindakan Penggunaan Alat Pelindung Pendengaran

  Sikap

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Penerapan Program Keselamatan Kerja dengan Tindakan Tidak Aman oleh Karyawan PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) Unit Usaha Teh Bah Butong

0 7 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisa Penetapan Harga Jual Unit Rumah pada Perumahan La Grandia Setia Budi

0 1 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Dampak Program Desa Mandiri Pangan Terhadap Pendapatan Masyarakat (Studi Kasus: Kel.Ladang Bambu, Kec. Medan Tuntungan, Kota Medan)

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN - Dampak Program Desa Mandiri Pangan Terhadap Pendapatan Masyarakat (Studi Kasus: Kel.Ladang Bambu, Kec. Medan Tuntungan, Kota Medan)

0 1 8

Hubungan Profil Peternak Dengan Pendapatan Usaha Ternak Kerbau Lumpur di Kecamatan Lintong Nihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan

0 0 10

Implementasi Sistem Pendukung Keputusan dalam Menentukan Predikat Kelulusan Santri dan Dyah dengan Algoritma Electre dan Simple Additive Weighting (SAW)

0 0 11

BAB II LANDASAN TEORI - Implementasi Sistem Pendukung Keputusan dalam Menentukan Predikat Kelulusan Santri dan Dyah dengan Algoritma Electre dan Simple Additive Weighting (SAW)

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Dan Strategi Pengembangan Nilai Tambah Produk Perikanan (Studi Kasus: Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai)

0 1 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menejemen Pemeliharaan pabrik - Optimasi Pemesinan Pada Mesin Bubut Tipe M-300 Horrison Dengan Metode Optimasi Algoritma Genetika

0 2 48

1. Nama: 2. Umur - Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pekerja dengan Tindakan Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Pendengaran di Bagian Produksi Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV Adolina Tahun 2015

0 0 21