Peran Masyarakat Sipil dalam Transformas

PERAN MASYARAKAT SIPIL DALAM TRANSFORMASI KONFLIK DI
KALIMANTAN BARAT1
Dini Suryani
Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Gedung Widya Graha LIPI Lt. XI, Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 10, Jakarta Selatan
E-mail: dini.suryani@yahoo.co.id

ABSTRACT
This paper aims to describe the role of civil society in conflict transformation efforts in
West Kalimantan. Civil societies in question are non-governmental organizations
(NGOs), academics, and media. After 12 yearsof riots ethnic conflict in 1999 in Sambas
West Kalimantan, relations among ethnic communities are not fully well. Unfortunately,
the government has not had a comprehensive policy in response to this problem.
Therefore, the role of civil society is vital in accelerating the conflict transformation
and peace building. This research was conducted with qualitative methods which data
were analyzed descriptively. The results showed that civil society actors have a huge
potential in promoting conflict transformation efforts in the postconflict areas, with
various challenges.
Key words: Conflict Transformation, Civil Society, West Kalimantan
Pendahuluan
Pasca runtuhnya rezim otoriter pada tahun 1998, Indonesia dilanda berbagai macam

konflik dan kekerasan.Beberapa di antaranya bersifat sangat massif dan eskalatif. Hal
ini sejalan dengan tesis yang dikemukakan oleh Jack Snyder bahwa dalam proses
transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi dapat menyebabkan konflik.2
Salah satu konflik massif yang terjadi pasca jatuhnya Orde Baru adalah konflik
horizontal di Sambas, Kalimantan Barat yang bermula pada tahun 1999.Konflik antara
komunitas etnis Melayu Sambas dan Madura ini membawa dampak yang sangat besar.
Konflik Sambas melibatkan massa dalam jumlah yang sangat besar dengan jumlah
korban tewas sekitar ± 177 jiwa, 71 luka berat, 40 luka ringan, dan menyebabkan sekitar
± 21.626 orang mengungsi.3Durasinya juga cukup lama dan melibatkan aktor yang


1

Dimuat di Jurnal Nasion, Volume 9 No. 2, 2012, hlm. 39-50.
Jack Snyder,Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan Konflik Nasionalis,
(Jakarta: KPG, 2003),hlm. 3-36.
3
Laporan Khusus Kepolisian Resor Sambas 1999 dalam Heru Cahyono (ed.), Negara dan Masyarakat
dalam Resolusi Konflik di Indonesia,(Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI,2006),hlm. 57.


2

beragam. Konflik ini berdampak tidak hanya pada retaknya hubungan sosial di antara
komunitas etnis yang berkonflik, tetapi juga meninggalkan duka yang mendalam dan
kerugian sosio-kultural yang amat besar pada masyarakat Kalimantan Barat secara
umum.4
Pasca lebih kurang 12 tahun meletusnya konflik antar komunitas etnis di Sambas
menjadi penting untuk melihat bagaimana pembangunan perdamaian yang telah terjadi
di wilayah ini. Pembangunan perdamaian yang dimaksud dalam tulisan ini dilihat dalam
perspektif transfomasi konflik.Sebagaimana yang dikatakan oleh Timo Kivimaki,
bahwa transformasi konflik sebagai pendekatan penyelesaian konflik adalah
mentransformasi (mengubah) struktur-struktur interaksi yang semula merupakan
struktur konflik menjadi struktur damai.5
Dalam sebuah riset yang dilaksanakan oleh LIPI di tahun 2011, transformasi
konflik yang terjadi di Sambas dilihat dari empat level dimensi transformasi, yaitu
perubahan personal, relasional, struktural, dan kultural. Riset tersebut menunjukkan
bahwa secara personal, komunitas Melayu Sambas dan Madura memahami bahwa
damai itu penting. Selain itu, masing-masing etnis merasakan adanya perubahan
perilaku pada komunitas etnis lain menjadi lebih baik. Di level relasional, tak dapat
dipungkiri stigma negatif terhadap komunitas etnis lain masih ada. Bahkan komunitas

Madura masih dilarang memasuki wilayah Sambas. Di sisi lain hubungan sosialekonomis tetap terjalin dengan baik walau pembicaraan tentang konflik cenderung
dihindari. 6
Di level struktural yang berkaitan dengan hal-hal prosedural, perubahan yang
ada memperlihatkan bahwa pemerintah belum berupaya penuh mengakselerasi
transformasi konflik di level kebijakan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan sebelumnya di tahun 2006, mengenai resolusi konflik di Sambas. Kajian
tersebut menyatakan bahwa pemerintah (baik propinsi maupun kabupaten) bersikap
pasif dalam resolusi konflik yang di dalamnya termasuk tahap peace building

4

Mochammad Nurhasim, “Pendahuluan: Konflik dan Resolusi Konflik di Sambas dan Sampit”, dalam
Hermawan Sulistyo (eds.), Konflik dan Resolusi Konflik: Perbandingan di Sambas dan Sampit(Jakarta:
LIPI Press, dalam proses penerbitan) hlm. 9.
5
Timo Kivimaki,“The Study of Ethnic Conflicts In Multi-Cultural Societies”, dalam Dewi Fortuna Anwar
(eds.),Violent Internal Conflict In Asia Pacific(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; LIPI; LASEMA_CNRS;
KITLV-Jakarta, 2005), hlm. 114.
6
Dini Suryani,“Perbandingan Resolusi Konflik di Sambas dan Sampit”, dalam Hermawan Sulistyo (eds.).

Konflik dan Resolusi Konflik: Perbandingan di Sambas dan Sampit (Jakarta: LIPI Press, dalam proses
penerbitan), hlm. 125.

(pembangunan perdamaian). Pemerintah menekankan pada ‘perdamaian alamiah’ yang
sebetulnya bermakna bahwa negara secara sadar mempertaruhkan proses resolusi
konflik pada inisiatif masyarakat.7
Pada level kultural, terdapat perubahan yang terjadi di salah satu komunitas etnis
yang berkonflik, terdapat penerapan sanksi di internal komunitas untuk kesalahankesalahan yang dilakukan oleh anggota komunitasnya. Meski di sisi lain rendahnya
penerapan modal sosial dalam permasalahan sosial menjadi penghambat dalam
transformasi konflik.
Secara khusus tulisan ini akan memfokuskan pada pembahasan mengenai peran
masyarakat sipil dalam transfomasi konflik dan pembangunan perdamaian di Sambas,
Kalimantan Barat. Masyarakat sipil terbukti berperan penting dalam upaya
pembangunan perdamaian di banyak daerah paska konflik di Indonesia, seperti di
seperti di Maluku, Papua, dan Poso.8 Dalam kasus Kalimantan Barat, pentingnya peran
masyarakat tersebut terasa semakin vital karena pemerintah bersikap pasif dalam
mendorong

perubahan


untuk

transformasi

konflik

sebagaimana

yang

telah

disampaikan.Untuk itu, kajian mengenai peran masyarakat sipil dalam pembangunan
perdamaian

dan

transformasi

konflik


di

Kalimantan

Barat

penting

untuk

dilakukan.Untuk membatasi pembahasan, maka masyarakat sipil yang dimaksud dalam
tulisan ini adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, dan media.

Peran Masyarakat Sipil dalam Transformasi Konflik: Sebuah Kerangka Teoritik
Menurut Lederach dan Maiesse, transformasi konflik dapat dipahami sebagai suatu
proses jangka panjang untuk menyelesaikan sebab-sebab dan akar konflik sosial dan
politik di satu sisi, dan di sisi lain mengubah dampak perang yang bersifat negatif
kearah yang lebih positif. Dalam perspektif ini, transformasi konflik kerapkali dikaitkan
dengan sejumlah kebutuhan yang dapat dilakukan untuk mengubah konflik.

Transformasi konflik memiliki beberapa komponen penting, yaitu:9


7

Heru Cahyono (ed.) op.cit, hlm. 207.
Cate Buchanan (ed.), Conflict Management in Indonesia – An Analysis of the Conflicts in Maluku,
Papua, and Poso(Jenewa: Centre for Humanitarian Dialogue dan Indonesian Institute of Sciences, 2011).
9
John Paul Lederach dan Michelle Maiese,“Conflict Transformation”, http://www.tetrasconsult.gr/resources/Resources/Dialogue,%20Conflicts%20%20%20Creativity/Conflict%20Transformati
on.pdf, (diakses tanggal 22 Maret 2012).

8

1. To Envision and Respond: Transformasi konflik dimulai dari dua hal 1) orientasi
positif terhadap konflik, 2) pengaturan konflik untuk mencapai perubahan yang
konstruktif
2. Ebb and Flow: Konflik dilihat sebagai hal yang alamiah dalam relasi. Dalam
pandangan yang transformasional, konflik tidak dilihat sebagai episode particular
yang ada dalam pola-pola hubungan manusia.

3. Life-Giving Opportunities: Konflik dilihat bukan sebagai ancaman tetapi sebagai
sebuah kesempatan berharga untuk meningkatkan kesepahaman terhadap diri kita
sendiri (self) dan orang lain (others).
4. Constructive Change Processes: Transformasi konflik dimulai dari tujuan sentral:
membangun perubahan konstruktif terhadap energi yang diciptakan oleh konflik.
5. Reduce Violence and Increase Justice: untuk mengurangi kekerasan kita harus
melihat tidak hanya isu dan konten yang terlihat tetapi juga sebab dan pola yang
tidak terlihat. Sedangkan untuk meningkatkan keadilan, kita harus yakin bahwa
masyarakat memiliki akses untuk prosedur politik dalam keputusan yang
mempengaruhi kehidupan mereka.
6. Direct Interaction and Social Structures: Dalam pendekatan ini, transformasi
konflik adalah sebuah kebutuhan untuk membangun kapasitas dalam rangka
mengatur perubahan proses interpersoalan, inter-gorup, dan level-level struktur
sosial.
7. Human Relationships: Hubungan antar manusia sebagai inti dari transformasi
konflik.

Seteah menelaah konsep transformasi konflik, kita patut pula melihat konsepsi
mengenai civil society atau masyarakat sipil. Masyarakat sipil sebagai sebuah konsep
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Konsepnya berkembang dengan sangat

dinamis sesuai dengan konteks, setting, ideologi, dan kepentingan setiap subjek.
Dalam pandangan Alexis de Tocqueville, masyarakat sipil dilihat sebagai
kekuatan yang positif dalam menindaklanjuti demokrasi dengan catatan tercipta suatu
kondisi kesamaan sosial dan saat bersamaan pemerintah mengalami penurunan.
Masyarakat sipil juga dipahami sebagai kekuatan penyeimbang kekuatan negara. Lebih
lanjut menurut Tocqueville, menguatkan civil society berarti menguatkan organisasi-

organisasi dan asosiasi independen dalam masyarakat dan melakukan inkubasi budaya
keadaban (civic culture) untuk membangun jiwa demokrasi.10
Definisi serupa dikemukakan pula oleh AS. Hikam yang mengatakan bahwa
civil society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan
antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-supporting), kemandirian
tinggi “berhadapan” dengan negara, dan keterikatan tinggi dengan norma-norma atau
nilai-nilai hukum yang diikuti warganya.11 Di sisi lain, menurut UNDP, masyarakat
sipil tidak diposisikan berlawanan dengan negara tetapi berdampingan dengan
pemerintah dan bisnis dalam konsep governance.12
Yang dimaksud dengan masyarakat sipil atau civil society adalah semua bentuk
aksi politik yang diinisiasi oleh warga dari tingkat individu, sampai komunitas yang
teroganisir atau organisasi massa. Beberapa di antaranya adalah partai politik, asosiasi
bisnis dan pekerja, berbagai kelompok yang berfokus pada isu-isu tertentu dan

organisasi lain yang yang ada untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan.
Masyarakat sipil mencakup media, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat,
dan akademisi.13
Dalam kaitannya dengan transformasi konflik, Martina Fischer mengatakan
bahwa aktor masyarakat memiliki potensi penting untuk pembangunan perdamaian baik
di level internasional, nasional, dan lokal. Mendukung masyarakat sipil harus lebih jauh
dikembangkan sebagai elemen kunci dari pembangunan dan politik yang damai,
khususnya dalam proses regenerasi pasca perang dan pembangunan perdamaian.14
Secara lebih jauh Fischer menjelaskan peranan masyarakat dalam transformasi
konflik dan pembangunan perdamaian.
“Civil society organisations are indispensable for peacebuilding and in
particular for processes of reconciliation between hostile communities. In the
field of dealing with the past they are often the first ones to give important
15
impulses that influence the discourse on issues of truth and justice.”

10

Endang Sriningsih,“Perdebatan Teoritis tentang Civil Society di Negara-Negara Asia”, proceeding
Seminar Nasional Demokrasi Masyarakat Madani (Tangerang: FISIPOL Universitas Terbuka, 2011),

hlm. 102
11
Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 3.
12
Dyah Mutiarin, “Emerging Civil Society towards Good Local Governance”, Jurnal Spirit Publik 3(2):
2007, hlm. 77-78.
13
Ibid. hlm. 84.
14
Martina Fischer, “Civil Society in Conflict Transformation: Strengths and Limitations. Dalam
Handbook
of
Conflict
Transformation”,
http://www.berghofhandbook.net/documents/publications/fischer_cso_handbookII.pdf, 2011 (diakses 21 Maret 2012)
15
Ibid.

Pendapat Fischer tersebut didukung oleh Lederach yang mengatakan bahwa
perdamaian harus dicapai dari tiga arah, yaitu top-down, middle-out, dan juga bottomup, yang mana dapat diupayakan oleh masyarakat sipil.16
Di lain pihak, AS Hikam melihat bahwa, civil society atau masyarakat sipil tidak
sekedar dapat dilihat sebagai sebuah ‘alat’ menuju demokrasi, dilihat sebagai sebuah
tujuan itu sendiri. Masyarakat dapat mengawasi konflik-konflik sosial secara damai
secara institusional.Syaratnya, civil society harus bersikap aktif.Warga negara yang aktif
merupakan syarat mutlak demokrasi.17

Peran LSM dalam Transformasi Konflik
LSM memegang peranan penting dalam upaya resolusi dan transformasi konflik di
Sambas, baik LSM lokal maupun LSM dari luar.Pada tahap awal, upaya LSM secara
umum untuk mendorong rekonsiliasi dirasa kurang memadai. Tahap tertinggi yang
dilakukan oleh LSM adalah rangkaian dialog yang masih di tataran formal.
Kegiatan LSM juga terkesan parsial dengan ego sektoral yang tinggi.Beberapa
LSM bahkan terlihat seperti berebut kavling tanpa memiliki program yang menyeluruh
dan kontinyu.Banyak sekali akhirnya LSM yang programnya berhenti atau “mati suri”
karena tidak mendapatkan funding.18 Hal ini sejalan dengan tulisan Martina Fischer
yang mengatakan bahwa tantangan yang cukup besar bagi organisasi masyarakat sipil
dukungan dari pihak luar termasuk di dalamnya adalah pendanaan. Meski ia juga
memperingatkan bahwa LSM perlu selektif dalam memilih mitra kerja agar tidak
dikooptasi oleh kepentingan tertentu dan indepedensinya tetap terjaga.19
Atas berbagai masalah yang ada, hanya ada beberapa LSM yang hingga kini
masih berupaya membangun perdamaian di Kalimantan Barat.Beberapa di antaranya
adalah Common Ground Indonesia (CGI) dan Yayasan Swadaya Dian Khatulistiwa
(YSDK). Belakangan, YSDK-lah yang benar-benar konsisten untuk tetap melanjutkan
program perdamaian hingga saat ini.
Terdapat sebuah program menarik yang digagas oleh LSM YSDK, yaitu
program cross visit atau kunjungan silang. Program cross visit ini dijalankan dengan

16

John Paul Lederach, Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies (Washington DC:
United States Institute for Peace, 1997), hlm. 39
17
Muhammad AS Hikam, loc.cit,.
18
Heru Cahyono (ed.) op.cit, hlm. 115.
19
Martina Fischer,op.cit.

memfasilitasi komunitas Melayu Sambas untuk tidur di rumah-rumah komunitas etnis
Madura eks-Sambas di wilayah relokasi dan sebaliknya.
Namun ada satu permasalahan yang menjadi kendala dalam pelaksanaan
program kunjungan silang ini. Berdasarkan wawancara dengan Direktur YSDK
diketahui bahwa, program cross visit saat ini masih didominasi oleh kunjungan
(menginap) komunitas Melayu Sambas ke komunitas Madura di relokasi. Sedangkan
komunitas Madura masih mengalami sedikit terhalang untuk menginap di Sambas.
Menurutnya, terdapat dua penyebab yang berkaitan dengan hal ini.Pertama, masyarakat
Madura sendiri memang belum berani untuk menginap di Sambas karena sebab-sebab
psikologis seperti trauma, tidak merasa aman, dsb.Kedua, masyarakat di Sambas sendiri
tidak berani untuk menjamin keamanan orang Madura yang akan menginap di Sambas.
Akhirnya, ketika cross visit dilakukan komunitas Madura ke wilayah Sambas mereka
hanya berkeliling, untuk bertemu dan berdiskusi.20
Program cross visit ini bertujuan menumbuhkan pemahaman antar etnis bahwa
saat ini tidak ada lagi yang perlu ditakutkan, sehingga kedua etnis bisa berinteraksi
dengan baik.Meski begitu, kendala yang dihadapi sebagaimana diceritakan di atas
bukanlan persoalan yang mudah diatasi.Pada kenyataannya, progam cross visit ini
memang belum terlalu sering dilakukan karena terkait dengan keamanan masing-masing
komuitas etnis di tempat tujuan kunjungan, meski memang kunjungan komunitas etnis
Madura ke wilayah Sambas cenderung lebih beresiko dibanding kunjungan komunitas
etnis Melayu Sambas ke wilayah-wilayah relokasi Madura. Walaupun belum banyak
dilakukan, program cross visit ini kemudian bisa menjadi model rekonsiliasi antar-etnis
yang cukup efektif.
Di lain pihak, terdapat tantangan yang cukup besar bagi upaya LSM untuk
mengakselerasi transformasi konflik di Sambas. Tantangan tersebut adalah masih
eksisnya organisasi pemuda Melayu yang memiliki cabang-cabang di seluruh wilayah
Kalimantan Barat, termasuk di Sambas. Organisasi tersebut bernama Forum
Komunikasi Pemuda Melayu (FKPM).FKPM menurut Gerry van Klinken dalam
tulisannya mengenai konflik etnis di Sambas, menjadi representasi dari pelaku-pelaku
konflik.FKPM merupakan organisasi atau jaringan preman remaja dan jagoan-jagoan
lapangan yang dikenal luas serta menjadi kendaraan politik untuk menggapai

20

Wawancara dengan Marcel Lodo, Direktur YSDK tanggal 13 Mei 2011 di Pontianak.

pemenuhan berbagai kepentingan politik dan ekonomi bagi elite dan pemimpinnya.
Elite FKPM banyak yang duduk dalam struktur pemerintahan Kabupaten Sambas,
anggota legislatif, atau pemimpin organisasi yang punya basis massa serta kalangan
birokrat pemerintah daerah Kabupaten Sambas.21
Para elite FKPM ini kemudian berusaha menyeragamkan pandangan mengenai
akar konflik, resolusi konflik, dan transformasi konflik.Salah satu contoh upaya aktor
FKPM untuk mempengaruhi wacana mengenai akar konflik, mereka mempengaruhi
pendapat umum bahwa konflik itu disebabkan oleh persoalan kultural, dimana karakter
dan perilaku orang Madura dianggap negatif. Pandangan yang bersifat umum ini
memperlihatkan

bahwa

sesungguhnya

aktor

FKPM

secara

implisit

ingin

mempertahankan status quo ‘ketidakamanan’ dalam masyarakat Sambas, sehingga basis
legitimasi

FKPM

sebagai

pihak

yang

mengatasi

masalah

keamanan

tidak

terganggu.22Permasalahan ini secara khusus menganggu kegiatan cross visit yang
dilakukan oleh LSM YSDK dan secara umum menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh
upaya transformasi konflik para penggiat perdamaian.

Kiprah Akademisi dalam Transformasi Konflik
Di samping LSM, akademisi juga memegang peranan yang signifikan dalam
mewujudkan perdamaian di Kalimantan Barat pasca konflik 1999.Sebut saja Universitas
Tanjungpura Pontianak yang memang memiliki banyak akademisi yang mefokuskan
diri mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan konflik komunal.Sebut saja Prof. Syarief
Ibrahim Al Qadrie, Dr. Kristianus Atok, atau Hardi Suja’ie, M.Si.Selain itu ada pula
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak dengan lembaga Center for
Acceleration of Inter Religious and Ethnic Understanding (CAIREU) yang
dimilikinya.Beberapa akademisi yang aktif di lembaga ini adalah Eka Hendry, M.Si dan
Dr. M. Haitami Salim.
Para akademisi Kalimantan Barat secara tidak langsung juga menjadi aktivis
perdamaian dari ranah masyarakat. Berbagai kegiatan ilmiah seperti penelitian, kajian,


21

Gerry van Klinken, “Pembentukan Identitas di Kalimantan Barat”, dalam Gerry van Klinken., Perang
Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia(Jakarta: KITLV, 2007), hlm. 100.
22
Kristianus Atok,“Studi Etnisitas di Kalimantan Barat”, dalam Kristianus Atok, Menemukan Jalan
Transformasi Konflik Di Kalimantan Barat. (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2010), hlm. 71

seminar, dan inisatif dialog antar komunitas etnis banyak diinisiasi oleh komunitas
intelektual dalam rangka mendukung transformasi konflik di Kalimantan Barat.
Salah satunya adalah seminar konflik etnis yang diadakan pada tanggal 18
November 2009 lalu. Seminar yang bertajuk “Upaya Mewujudkan Keharmonisan di
Kalimantan Barat Akibat Konflik Sosial di Tahun 1999 di Sambas” itu dilaksanakan
oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Tanjungpura (Untan)
di Pontianak, dengan disponsori oleh Menkokesra. Seminar tersebut mempertemukan
perwakilan komunitas Melayu dari beberapa kecamatan di Sambas dengan masyarakat
Kota Pontianak yang notabene adalah eks-pengungsi dari Sambas yang menjadi korban
kerusuhan sosial pada tahun 1999 yang lalu. Seminar ini bertujuan untuk mengubah
persepsi masyarakat terhadap konflik dan secara lebih jauh dapat meredam berbagai
gejolak konflik yang mungkin muncul di tengah masyarakat.23
Kegiatan serupa ternyata tidak hanya dilaksanakan di Pontianak yang relatif
dirasa aman oleh komunitas etnis Madura yang hingga saat ini belum diterima dengan
baik di Kabupaten Sambas. Pada tanggal 9 dan 10 Desember 2010 terdapat 16
mahasiswa dari komunitas etnis Madura perwakilan perguruan tinggi negeri dan swasta
dari Pontianak mengadakan seminar bertema pendidikan multikultural di Hotel Pantura
Sambas dan menginap di tempat tersebut. Sayangnya, Kepolisian Resort Sambas tidak
berani memberi jaminan keamanan atas mahasiswa-mahasiswa dari komunitas etnis
Madura itu.Bupati dan Wakil Bupati yang diundang juga tidak datang.Jaminan
keselamatan justru datang dari kalangan mahasiswa Politeknik Sambas dan Sekolah
Agama Islam Tsaifudin Sambas.24 Peristiwa tersebut semakin memperlihatkan bahwa
pemerintah bersikap pasif terhadap upaya perdamaian dan transformasi konflik di
wilayah ini.
Tidak hanya di level perguruan tinggi, inisiatif dari dunia pendidikan dalam
mendorong transformasi konflik juga datang dari SMA Negeri 1 Sambas yang
mengenalkan model pembelajaran pemahaman atas konflik untuk peserta didik.
Berdasarkan keterangan dari seorang aktivis perdamaian dari LSM yang dimotori oleh
komunitas Madura, LSM Misem, tokoh pencetusnya adalah seorang guru bernama Ibu

23

FISIPOL Fasilitasi Etnis Sambas dan Madura. 2008(http://www.untan.ac.id/?p=166, diakses 23 Maret
2012)
24
Bambang Hendra Suta Purwana, “Beberapa Catatan Tentan Resolusi Konflik Sambas”, Makalah dalam
Focus Group Discussion“KonflikdanResolusiKonflik: Perbandingan Sambas danSampit” (Jakarta: P2P
LIPI, 2011), hlm. 6-11.

Eny. Beliau menekankan pada para siswa/i untuk mengembangkan rasa empati, turut
merasakan penderitaan korban kerusuhan, dan menumbuhkan rasa toleransi terhadap
keragaman kultur.Ibu Eny mengajak murid-muridnya untuk memaknai konflik dari segi
budaya. Ia dan para murid membuat beberapa puisi mengenai konflik dan dimuat dalam
Majalah Horison serta diterbitkan dalam Buku Kumpulan Puisi Terbaik dari Majalah
Horison.25 Metode pembelajaran semacam ini sesungguhnya cukup efektif untuk
mengubah cara pandang masyarakat dalam melihat konflik dengan mengubah cara
pandang generasi mudanya. Dengan begini, kalangan akademisi telah menjalankan
perannya sebagai kalangan masyarakat sipil yang memiliki kekuatan moral (moral
force) untuk menyebarkan nilai-nilai positif di masyarakat.
Meski begitu, di lain pihak, upaya akselerasi transformasi konflik juga mendapat
tantangan dari kalangan akademisi sendiri. Berdasarkan wawancara dengan aktivis
perdamaian dari Pontianak Institute, seorang akademisi ternama Kalimantan Barat
memunculkan teori bahwa konflik merupakan fenomena berulang yang secara periodik
muncul. Baginya ini merupakan hal yang justru kontradiktif dengan upaya perdamaian
karena dengan tersosialisasikannya teori konflik semacam itu masyarakat akan merasa
terbiasa dengan konflik yang ada, sehingga upaya menghindari konflik (antar etnis)
menjadi minimal.26 Seharusnya pihak perguruan tinggi mengembangkan teori yang
progresif

terhadap

transformasi

konflik,

bukan

malah

sebaliknya.

Peran Media dalam Transformasi Konflik
Media merupakan salah satu pilar masyarakat sipil yang seharusnya juga memiliki
kontribusi terhadap akselerasi upaya perdamaian di Kalimantan Barat.Sebagai jendela
informasi masyarakat media dapat berperan dalam mempublikasikan hal-hal positif
mengenai interaksi antar etnis.Namun apabila melihat pada saat konflik terjadi, menurut
hasil riset yang dilakukan oleh Hardi Suja’ie dari FISIPOL Untan, media tidak
melakukan fungsi yang baik dalam meredam konflik.
Studi yang dilakukan pada tahun 1998-2002 tersebut menunjukkan bahwa
terdapat 30 persen pemberitaan media malah cenderung memprovokasi konflik.Hanya
10 persen yang berusaha meredam konflik.Sedangkan sisanya biasa saja dalam

25

Ibid. hlm. 10-11. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Subro, aktifis LSM MISEM dalam
wawancara tanggal 11 Mei 2011, di Pontianak.
26
Wawancara dengan Aris Bahariyono, Pontianak Institute, tanggal 16 Mei 2011, di Pontianak.

memberitakan suatu konflik. Menurut akademisi dari Untan tersebut perilaku media
yang tidak sensitif konflik, bisa terjadi karena berbagai hal. Salah satunya adalah
dinamika politik yang berkembang menumbuhkan kebebasan pers yang berakibat pada
tidak adanya kontrol bagi pers. Kontrol dari pers sendiri sulit dilakukan karena
kurangnya pemahaman atas konflik.27
Pada tanggal 28 September 2009, di tiga media cetak terbesar di Kalimantan
Barat yaitu Pontianak Post, Borneo Tribune, dan Tribun Pontianak menerbitkan sebuah
seruan damai yang dinamai “Seruan Pontianak”. Seruan tersebut yang diinisiasi oleh
lebih dari 70 aktivis, akademisi, jurnalis, serta tokoh masyarakat Kalimantan Barat
menyusul insiden pertengkaran yang melibatkan seorang warga dari etnis Melayu
dengan seorang etnis Tionghoa. Pertengkaran yang sesungguhnya bersifat pribadi itu
berakibat pada perusakan kolektif rumah-rumah di suatu wilayah komunitas Tionghoa
oleh beberapa orang dari etnis Melayu di Pontianak.28
Walaupun menyerukan perdamaian, ternyata penerbitan Seruan Pontianak
menimbulkan pro kontra.Banyak tokoh Melayu dan Dayak yang tersinggung dengan
pemakaian kata-kata yang dianggap vulgar dan membuka luka lama konflik etnis yang
pernah dialami oleh masyarakat Kalimantan Barat di masa lalu. Akhirnya karena
tekanan sosial yang bertubi-tubi, para penggagas Seruan Pontianak meminta maaf
melalui iklan satu halaman penuh di surat kabar harian.29 Peristiwa Seruan Pontianak ini
menunjukkan bahwa media memiliki peran besar dalam pertarungan wacana utamanya
mengenai politik identitas di Kalimantan Barat yang dalam banyak peristiwa berpotensi
memicu konflik sosial.
Meski begitu, media dinilai beberapa pihak belum berperan aktif dalam
transformasi konflik. Menurut pendapat seorang aktivis perdamaian dari Pontianak
Institute terdapat kecenderungan bahwa media masih memunculkan istilah ‘suku
mayoritas’ dan ‘suku minoritas’. Jika begini, alih-alih berkontribusi terhadap upaya
perdamaian, media di Kalimantan Barat justru memperlebar jarak sosial (social


27

Muhlis Suaeri dan Jessica Wuysang, “Media MilikiPeranPentingMenyikapiKonflik”, Borneo Tribune.
29 Juli 2008, hlm. 1.
28
“UsungPerdamaian, Digalang ‘Seruan Pontianak’”. 2008. (http://www.jpnn.com/berita.detail-46493,
diakses 23 Maret 2012)
29
Muhlis Suaeri dan Jessica Wuysang,loc. cit.

distance). Selain itu, media juga cenderung memberitakan masalah konflik daripada
pemulihan konflik.30
Media sejatinya bertugas untuk melihat, memperkaya data dan fakta, kemudian
melaporkannya kepada masyarakat. Intepretasi sepenuhnya berada di tangan
masyarakat.Melihat keadaannya sekarang, peran media dalam mengakselerasi upaya
pembangunan perdamaian dan transformasi konflik masih harus didorong lebih jauh.

Penutup
Aktor masyarakat sipil yang dinilai berupaya mendorong transformasi konflik di
Kalimantan Barat yang dilihat dalam tulisan ini adalah LSM, akademisi, dan media.
LSM di Kalimantan Barat menjalankan peran cukup signifikan dalam upaya
transformasi konflik di Sambas. Program seperti kunjungan silang yang diprakarsai oleh
salah satu LSM sedikit banyak berupaya memperbaiki human relationship yang menjadi
inti dari transformasi konflik.Meski begitu, LSM masih harus menghadapi tantangan
dari beberapa kelompok masyarakat sendiri yang pro status-quo terhadap ‘perdamaian
semu’ yang terjadi di Kalimantan Barat.
Aktor masyarakat sipil yang lain, yaitu akademisi, berperan pada menciptakan
kesepahaman terhadap diri (self) dan orang lain (others) melalui kajian-kajian yang
dipublikasikan, forum-forum ilmiah, dan dialog antar etnis yang diadakan. Di tingkat
pendidikan dasar, perubahan cara pandang generasi muda Kalimantan Barat terhadap
konflik secara lebih positif dengan metode pembelajaran melalui pendekatan budaya
juga patut diapresiasi. Meski di lain pihak, beberapa teori mengenai konflik yang dibuat
oleh akademisi Kalimantan Barat dinilai belum cukup transformatif.
Sedangkan media berfungsi sebagai tempat bertarungnya wacana yang dalam
hal ini mengenai politik identitas yang dalam banyak peristiwa berpotensi memicu
konflik sosial di Kalimantan Barat.Namun perannya baru sebatas itu, karena hingga saat
ini pemberitaan media di Kalimantan Barat masih cenderung memberitakan masalah
konflik semata dan belum banyak memberitakan soal pemulihan konflik.Hal ini
menunjukkan bahwa upaya media untuk berperan dalam pembangunan perdamaian dan
transformasi konflik masih harus didorong lebih jauh.

30

“Usung Perdamaian, Digalang ‘Seruan Pontianak”, 2008. (http://www.jpnn.com/berita.detail-46493,
diakses 23 Maret 2012)

Uraian di atas menunjukkan bahwa masyarakat sipil sejatinya merupakan aktor
yang sangat potensial dalam mendorong upaya transfomasi konflik di wilayah-wilayah
paska-konflik terlepas dari berbagai keterbatasan yang ada.
Bagaimanapun upaya transformasi konflik dan pembangunan perdamaian di
wilayah paska-konflik harus diupayakan oleh semua pihak. Masyarakat sipil tidak bisa
mengupayakannya sendiri. Berikut ini adalah saran yang dapat diajukan kepada pihak
pemerintah dan sektor bisnis sebagai dua aktor pembangunan lain, yaitu:
1. Pemerintah dalam hal ini patut membuat kebijakan yang mendukung transformasi
konflik secara signifikan. Misalnya membangun pemukiman yang plural dan berisi
warga dari beberapa etnis, sehingga memungkinkan etnis yang ada untuk
berinteraksi dan memupuk relasi yang lebih baik.
2. Dukungan sektor bisnis juga sangat penting terutama melalui program corporate
social responsibility (CSR) yang mereka lakukan. Upaya pembangunan perdamaian
dan transformasi konflik dapat dilakukan melalui program CSR dan dikerjasamakan
dengan organisasi masyarakat sipil.

Daftar Pustaka
Atok, Kristianus. 2010. “Studi Etnisitas di Kalimantan Barat”, dalam Kristianus Atok.
Menemukan Jalan Transformasi Konflik Di Kalimantan Barat. Pontianak:
STAIN Pontianak Press.
Buchanan, Cate (ed.). 2011. Conflict Management in Indonesia – An Analysis of the
Conflicts in Maluku, Papua, and Poso. Jenewa: Centre for Humanitarian
Dialogue dan Indonesian Institute of Sciences.
Cahyono, Heru. (ed.) 2006. Negara dan Masyarakat dalam Resolusi Konflik di
Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI.
Fischer, Martina. 2011. Civil Society in Conflict Transformation: Strengths and
Limitations. Dalam Handbook of Conflict Transformation (http://www.berghofhandbook.net/documents/publications/fischer_cso_handbookII.pdf, diakses 21
Maret 2012)
“FISIPOL Fasilitasi Etnis Sambas dan Madura”. 2008(http://www.untan.ac.id/?p=166,
diakses 23 Maret 2012)
Hikam, Muhammad AS. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.
Kivimaki, Timo. 2005.“The Study of Ethnic Conflicts In Multi-Cultural Societies”,
Dewi Fortuna Anwar (eds.). Violent Internal Conflict In Asia Pacific.Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia; LIPI; LASEMA_CNRS; KITLV-Jakarta.
Klinken, Gerry van. 2007. “Pembentukan Identitas di Kalbar”, Gerry van Klinken.
Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia.
Jakarta: KITLV.
Lederach, John Paul. 1997. Building Peace. Sustainable Reconciliation in Divided
Societies.Washington DC: United States Institute for Peace.

Lederach, John Paul. Maiese, Michelle. (tanpa tahun) Conflict Transformation.
(http://www.tetrasconsult.gr/resources/Resources/Dialogue,%20Conflicts%20%20%20Creativity/
Conflict%20Transformation.pdf, diakses tanggal 22 Maret 2012)
Mutiarin, Dyah. 2007. Emerging Civil Society towards Good Local
Governance.JurnalSpirit Publik 3(2).
Nurhasim, Mochammad. (dalam proses penerbitan). “Pendahuluan: Konflik dan
Resolusi Konflik di Sambas dan Sampit”, Hermawan Sulistyo dan Dini Suryani
(eds.). Konflik dan Resolusi Konflik: Perbandingan di Sambas dan Sampit.
Jakarta: LIPI Press.
Purwana, Bambang Hendra Suta. 2011. Beberapa Catatatan Tentang Resolusi Konflik
Sambas.Makalah dalam Focus Group Discussion“Konflik dan Resolusi Konflik:
Perbandingan Sambas dan Sampit” Jakarta: P2P LIPI.
Snyder, Jack. 2003. Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi
dan Konflik Nasionalis. Jakarta: KPG.
Sriningsih, Endang. 2011. Perdebatan Teoritis tentang Civil Society di Negara-Negara
Asia. Makalah dalam Seminar Nasional Demokrasi Masyarakat
Madani.Tangerang: FISIPOL Universitas Terbuka.
Suaeri, Muhlis. Wuysang, Jessica.2008. Media Miliki Peran Penting Menyikapi
Konflik, Borneo Tribune. 29 Juli: 1
Suryani, Dini. (dalam proses penerbitan). “Perbandingan Resolusi Konflik di Sambas
dan Sampit”, Hermawan Sulistyo dan Dini Suryani (eds.). Konflik dan Resolusi
Konflik: Perbandingan di Sambas dan Sampit. Jakarta: LIPI Press.
“Usung Perdamaian, Digalang ‘Seruan Pontianak’”. 2008.
(http://www.jpnn.com/berita.detail-46493, diakses 23 Maret 2012)