Anak Anak Korban Kekuasaan docx

Anak-Anak Korban Kekuasaan
FAJAR KURNIANTO
Judul : Dilarang Gondrong; Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an
Penulis : Aria Wiratma Yudhistira
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun : 2010
Halaman : xxii+161 halaman
Berakhirnya era Orde Lama (Orla) di bawah Presiden Soekarno menandai dimulainya era
Orde Baru (Orba) di bawah Presiden Soeharto. Prioritas kebijakan pun berubah, dari yang
terfokus pada persoalan politik kepada perbaikan dan pembangunan ekonomi. Stabilitas menjadi
kunci utama keberhasilan pembangunan. Karena itu, berbagai upaya untuk mencipta dan
menjaga stabilitas agar kondusif bagi pembangunan diupayakan. Pada titik inilah, kekuasaan
dipraktikkan.
Buku yang merupakan hasil riset penulisnya ini coba menunjukkan bagaimana kekuasaan
dipraktikkan pada masa-masa awal Orba, antara 1967-1974. Titik fokusnya pada bagaimana
kekuasaan itu dipraktikkan terhadap generasi muda, anak-anak muda pembangunan, yang tiada
lain adalah anak-anak generasi tua yang dalam buku ini dikategorikan sebagai generasi yang
lahir dan besar pada masa sebelum kemerdekaan. Generasi tua di buku ini dibatasi pada mereka
yang tengah berkuasa, baik di pemerintahan, sekolah, serta institusi-institusi militer dan sipil
lainnya.
Anak-anak muda di sini juga dibagi menjadi dua jenis. Pertama, mereka yang bersikap

apatis terhadap persoalan politik di dalam negeri. James Siegel (1986) menyebut mereka sebagai
golongan remaja. Mereka adalah anak-anak muda yang memiliki kesamaan berupa selera,
aspirasi, dan gaya hidup yang ingin selalu berubah yang umumnya mengacu pada perkembangan
yang terjadi di luar negeri, terutama Barat.
Kedua, mereka yang memiliki kesadaran lebih tinggi akan persoalan bangsanya. Mereka
juga memiliki idealisme yang sering kali bertentangan dengan keadaan yang tengah terjadi di
masyarakatnya. Mereka ini disebut sebagai kelompok mahasiswa (Raillon, 1989).

Dalam model kekuasaan yang paternalistik ala Jawa, negara diimajinasikan layaknya
suatu keluarga besar di mana ada “Bapak”, “Ibu”, dan “Anak”. Di era Orba, Soeharto
menempatkan dirinya sebagai “Bapak Tertinggi” (Shiraishi, 2001). Di era Orla, Soekarno
sebetulnya juga menyebut dirinya sebagai “bapak”. Baik anak-anak muda jenis pertama maupun
jenis kedua, mereka tetaplah dianggap “anak” yang berkewajiban untuk hormat dan patuh pada
“ayah” mereka. Mereka harus dibimbing, dikontrol, diarahkan, dan diselamatkan, serta tidak
boleh memberontak.
Sejak Soeharto membuat kebijakan ekonomi yang lebih terbuka sebagai wujud dari
pembangunan ekonomi yang diprioritaskannya, dengan mempersilakan pihak asing untuk
menjadi bagian dari pembangunan Indonesia, anak-anak muda, baik itu yang apolitis maupun
politis, dihadapkan pada suatu situasi baru. Di satu sisi, masuknya pihak asing ikut serta
membawa budaya asing yang berbeda dengan budaya Indonesia, salah satunya adalah masuknya

budaya hippies. Di sisi lain, pembangunan ekonomi memunculkan praktik-praktik kotor di
pemerintahan, seperti korupsi.
Hippies adalah gerakan counter-culture (budaya tandingan) dari kalangan anak-anak
muda yang muncul pada era ‘60-an di dunia Barat (khususnya Amerika Utara dan Eropa Barat)
dengan kebebasan sebagai prinsip dasarnya. Baik itu kebebasan dalam cara pandang,
penampilan, maupun tingkah laku. Secara kasatmata, keberadaan mereka dapat dilihat dari
penampilan mereka yang eksentrik. Rambut gondrong, jenggot dibiarkan tak dicukur, pakaian
longgar aneka warna (psikedelik), sandal, memakai manik-manik, serta kaum perempuannya
tidak memakai bra. Secara orientasi, ada yang politis (political activism) dan ada yang semata
mencari kesenangan (personal hedonism) (Simmon dan Tout, 1972). Urakan, minum minuman
keras, narkotika, dan seks bebas, menjadi gaya hidup mereka.
Masuknya budaya hippies membuat para orang tua atau generasi tua mengkhawatirkan
anak-anak muda mereka yang diharapkan menjadi penerus estafet pembangunan bangsa menjadi
rusak. Ini dianggap sebagai persoalan besar, menyangkut masa depan bangsa, dan karena itu
mereka berharap pemerintah ikut campur tangan menangani. Larangan rambut gondrong adalah
kebijakan pemerintah yang kemudian dikeluarkan dan berlaku secara nasional dengan alasan
kekhawatiran itu. Rambut gondrong dikriminalkan. Rambut gondrong menjadi “musuh baru”
selain komunis. Bahayanya dianggap sama dengan bahaya komunis. Rambut gondrong

dicitrakan negatif. Razia rambut gondrong pun dilakukan di berbagai tempat. Di kampus, para

mahasiswa dilarang gondrong.
Buku ini menunjukkan bahwa baik terhadap anak-anak muda yang apolitis maupun
politis, penguasa telah mengontrol mereka melalui suatu kebijakan yang tendensius, lebay, dan
penuh kecurigaan, dengan dalih menjaga stabilitas. Bagi penguasa, stabilitas hanya bisa dicipta
dengan jalan melakukan pendisiplinan, pengaturan, dan pembatasan. Dalam perspektif Michel
Foucault, kekuasaan didefinisikan sebagai alat untuk menormalisasi individu-individu dalam
masyarakat melalui disiplin dan norma (Haryatmoko, 2002). Pesan dari buku ini antara lain
bahwa kekuasaan mestinya tidak membuat pemegangnya menjadi otoriter dan sewenangwenang, atau melihat persoalan secara simplistis.
*Resensi ini dimuat di koran Sinar Harapan, Sabtu 12 Februari 2011