Tradisi Lisan Marosong-Osong Pada Upacara Perkawinan Adat Angkola

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP

2.1

Kajian Pustaka

2.1.1 Tradisi Lisan
Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang
diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain
baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan
lisan (non-verbal). Oral Traditions are the community‟s traditionally cultural activities
inherited orally from one generation to the other generation, either the tradition is
verbal or non-verbal (Sibarani, 2012: 47)
Menurut Koentjaraningrat (1997:9)

tradisi merupakan suatu kebiasaan

masyarakat yang secara historis keberadaannya dan keberlangsungannya bersifat turun
temurun. Tradisi masyarakat dapat berupa adat atau budaya masyarakat setempat.
Tradisi budaya merupakan berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun

temurun yang dijalankan oleh masyarakat dan menjadi kebiasaan yang bersifat rutin.
Inilah yang menjadi tradisi lisan.
Tradisi Lisan dengan tradisi dan adat istiadat masyarakat dapat dipandang
sebagai aset budaya penting dan berharga yang layak untuk dikaji dan dilestarikan. Hal
ini sependapat dengan Sibarani (2012: 15) yang menyatakan bahwa tradisi lisan dapat
menjadi kekuatan kultural dan salah satu sumber utama yang penting dalam
pembentukan identitas dan membangun peradaban. Penelitian khazanah tradisi lisan di
Indonesia pada awalnya digalakkan melihat realitas di masyarakat, para penutur dan

Universitas Sumatera Utara

komunitas tradisi lisan semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara
alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan
kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang
penting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa
sekarang dan yang akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya .
Tradisi lisan menurut Lord (2000:1) adalah sesuatu yang dituturkan dalam
masyarakat. Batasan tradisi lisan ini memberikan isyarat dalam menyampaikan tradisi
lisan unsur melisankan bagi penutur dan dan unsur mendengarkan bagi penerima
menjadi kata kuncinya. Si penutur tidak menuliskan apa yang dituturkan dan penerima

tidak membaca apa yang diterima. Menurut Pudentia (2009:59) tradisi lisan diartikan
sebagai sesuatu hal yang ditransmisikan melalui tuturan meliputi yang beraksara dan tak
beraksara. Tradisi lisan tidak hanya terdiri dari cerita rakyat (folklore) maupun berbagai
jenis cerita lainnya, tetapi juga berbagai hal yang yang menyangkut sistem pengetahuan
lokal, sistem genelogi, sejarah, hukum, lingkungan, alam semesta, adat-istiadat, tekstil,
obat-obatan, religi, kepercayaan, nilai-nilai moral, bahasa seni dan sebagainya. Tradisi
lisan haruslah membicarakan konteks masyarakat sebagai penghasil tradisi yang
bersangkutan dan masyarakat sebagai penikmatnya.
Tradisi lisan, dalam berbagai bentuknya sangat kompleks yang mengandung,
tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal
yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, seperti kearifan lokal
(local wisdom), sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), sejarah, hukum,
pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, hasil seni, dan upacara adat. Adat Kebiasaan

Universitas Sumatera Utara

tersebut disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan selanjutnya dilakukan
oleh masyarakat setempat menjadi sebuah tradisi.
Salah satu warisan budaya yang amat berharga dan penting dalam pembentukan
identitas dan karakter bangsa adalah Intangible Cultural Heritage (ICH). UNESCO

dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 menyebutkan salah satu unsur penting dalam
ICH adalah tradisi lisan.
Roger Tol dan Pudentia (dalam Hoed, 2008:184), mengemukakan, “...oral
traditions do not only contain folktales, myths, and legends (...), but store complete
indigeneous cognate system. To name a few: histories, legal practices, adat
lamedication...” (“...tradisi lisan tidak hanya berisikan pada cerita rakyat, mite, dan
legenda saja, melainkan berupa sistem kognasi kekerabatan lengkap misalnya seluruh
sejarah hukum adat, praktik hukum, dan pengobatan tradisional...”).
Pendapat yang menjelaskan bahwa tradisi lisan memiliki cakupan yang sangat
luas untuk didiskusikan, seperti yang diungkapkan oleh Sibarani (2012: 43-46) ada
beberapa ciri-ciri tradisi lisan sebagai berikut;
1) Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan,
sebagian lisan, dan bukan lisan; 2) Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai
konteks penggunaannya; 3) Dapat diamati dan ditonton; 4) Bersifat
tradisional. Ciri tradisional ini menyiratkan bahwa tradisi lisan harus
mengandung unsur warisan etnik, baik murni bersifat etnis maupun kreasi
baru yang ada unsur etnisnya; 5) Diwariskan secara turun temurun. Tradisi
lisan itu diwariskan dari satu generasi ke generasi lain; 6) Proses
penyampaian “dari mulut ke telinga”. Tradisi yang disampaikan, diajarkan,
disosialisasikan, dan diwariskan secara lisan disebut tradisi lisan; 7)

Mengandung nilai-nilai dan norma-norma budaya; 8) Memiliki versi-versi.
Sebagai tradisi yang disampaikan secara lisan, sebuah tradisi lisan berpotensi
memiliki bentuk-bentuk yang berbeda yang disebut dengan variasi atau
versi; 9) Milik bersama komunitas tertentu; 10) Berpotensi direvitalisasi dan
diangkat sebagai sumber industri budaya.

Universitas Sumatera Utara

Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai kebudayaan yang diciptakan
kembali (invented culture) untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan direvitalisasi, atau
sebagai suatu bentuk kebudayaan yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari
kepunahannya. Menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk
perlindungan kekayaan intelektual budaya Indonesia, melalui penelitian yang terstruktur
dan berkelanjutan. Karena, sumber utama kajian adalah penutur, pembawa, atau nara
sumber pemilik tradisi lisan yang diteliti yang meliputi pula masyarakat pemilik atau
pendukung yang berkaitan. Di samping tradisi dan nara sumber utamanya yang masih
hidup atau merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam
masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori
ini.
Tradisi lisan sebagai produk budaya dan masyarakat penghasilnya tidak dapat

dipisahkan. Keduanya sangat tergantung satu sama lain. Tanpa masyarakat
pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi diteruskan;
sebaliknya,

tanpa

tradisi,

masyarakat

pemiliknya

akan

kehilangan

identitas

kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting, khususnya pengetahuan
tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah menghidupi komunitas tersebut

Begitu pula tradisi lisan di Angkola, walaupun sudah mengalami perkembangan,
tetapi tidak melepaskan diri dari norma-norma tradisi yang telah berlaku turun-temurun.
Tradisi lisan ini memiliki tatanan aturan yang tertib pada upacara perkawinan, yang
salah satu mata acara yaitu marosong-osong. Tetapi tradisi lisan marosong-osong
sebagai tuturan yang sudah jauh dari komunitas adat bahkan mulai ditinggalkan
komunitasnya.

Universitas Sumatera Utara

Pada upacara adat tradisi lisan marosong-osong setiap orang diposisikan sesuai
dengan hubungan kekerabatanya dari posisi yang mempunyai horja sirion (upacara adat
perkawinan) apakah anak boru, mora, atau kahanggi. Sehingga tak jarang sesorang
yang tidak memahami posisinya pada tuturan akan berusaha meninggalkan komunitas
adat tersebut.
Penegasan pentingnya memahami marosong-osong pada tradisi upacara adat
Angkola sebagai warisan budaya, disebabkan terjadinya perubahan pada masyarakat
modern yang melupakan tuturan dari tradisi yang mengandung nilai-nilai filosofis,
budaya, kekerabatan, norma-norma, nilai-nilai didaktis, tenggang rasa, dan nilai-nilai
estetis serta nilai-nilai lainnya.
Hal ini menurut Fortes dalam Tilaar, dari pewarisan budaya ada variabelvariabel yang perlu dicermati, yakni: unsur-unsur yang ditransmisikan/ diwariskan,

proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Dalam hal ini unsur-unsur yang diwariskan
adalah nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi masyarakat, dan pandangan-pandangan hidup
masyarakat yang mengandung kearifan, kebenaran esensial, dan ide (2000: 54-55).
Pengetahuan tradisional atau Indigenous Knowledge (IK) memungkinkan masyarakat
pemilik dan atau pendukung sebagai kearifan lokal atau local wisdom dan berusaha
untuk memahami tradisi lisan.
Tradisi lisan marosong-osong pada upacara adat perkawinan Angkola yang
dianalisis dalam wujud teks, jadi yang akan dianalisis adalah tradisi marosong-osong
pada upacara adat perkawinan Angkola, dengan pendekatan Antropolinguistik dan
semiotika sebagai payung ilmu linguistik.

Universitas Sumatera Utara

Realitas di masyarakat, para penutur marosong-osong dan komunitas pengguna
tradisi marosong-osong semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara
alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan
kebudayaan berjalan dengan cepat. Sebab, dengan tidak dikuasai lagi tradisi marosongosong oleh penutur yang berakibat pada hilangnya tradisi marosong-osong padahal
sejatinya pemahaman nilai-nilai kearifan tradisi marosong-osong harusnya tetap
terjaga dengan baik.


2.1.2 Antropolinguistik
Hubungan bahasa dengan
kebudayaan.

Keduanya

saling

kebudayaan erat sekali, bahasa adalah bagian
mempengaruhi,

saling

mengisi,

dan

berjalan

berdampingan. Oleh karena itu, yang mendasari hubungan bahasa dengan kebudayaan

dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa. karena bahasa mencakup hampir
semua aktifitas manusia. karena bahasa mencakup hampir semua aktifitas manusia.
Hingga akhirnya linguistik memperlihatkan adanya pergerakan menuju kajian yang
bersifat multidisiplin, salah satunya adalah antropologi linguistik.
Antropologi linguistik biasa juga disebut etnolinguistik menelaah bukan hanya
dari strukturnya semata tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks
Ideologi, situasi, sosial, dan budaya. Hingga akhirnya linguistik memperlihatkan adanya
pergerakan menuju kajian yang bersifat multidisiplin, salah satunya adalah antropologi
linguistik. Antropologi linguistik biasa juga menelaah bukan hanya dari strukturnya
semata tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya.
Antropolinguistik adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan
secara menyeluruh. Di satu pihak manusia adalah pencipta kebudayaan, dipihak lain

Universitas Sumatera Utara

kebudayaan yang “menciptakan” manusia sesuai dengan lingkungannya. Dengan
demikian terjalin hubungan timbal balik yang sangat erat dan padu antara manusia dan
kebudayaan. Istilah Antropolinguistik sering dibedakan dengan linguistik antropologi.
Yang pertama lebih menekankan pemahaman antropologi dibanding linguistik,
sementara yang kedua lebih menitikberatkan linguistik daripada antropologi.

Kajian antropologi linguistik antara lain menelaah struktur dan hubungan
kekeluargaan melalui istilah kekerabatan, konsep warna, pola pengasuhan anak, atau
menelaah bagaimana anggota masyarakat saling berkomunikasi pada situasi tertentu
seperti pada upacara adat, lalu menghubungkannya dengan konsep kebudayaannya.
Melalui pendekatan antropologi linguistik, kita mencermati apa yang dilakukan orang
dengan bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi, diam, dan gesture dihubungkan
dengan konteks pemunculannya (Duranti, 2001:1). Dapat dikatakan pendekatannya
melalui performance, indexcality, dan participation.
Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi dan
penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan
tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku
bangsa. Antropolinguistik menitikberatkan

pada hubungan antara bahasa dan

kebudayaan di dalam suatu masyarakat seperti peranan bahasa di dalam mempelajari
bagaimana hubungan keluarga diekspresikan dalam terminologi budaya, bagaimana
cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya
tertentu, dan bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang dari budaya lain,
bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara tepat sesuai dengan


Universitas Sumatera Utara

konteks budayanya, dan bagaimana bahasa masyarakat dahulu sesuai dengan
perkembangan budayanya. (Robert Sibarani, 2004:50).
Antropological linguistics is that sub-field of linguistics which is concern
with the place of language in its wider social and cultural context, its role
in forging and sustaining cultural practices and social structures. As such,
it may be seen to overlap with another sub-field with a similar domain,
sociolinguistics, and in practice this may indeed be so. (Foley, 2003:3)
Foley‟s (1997:3) mendefenisikan linguistik antropologi sebagai sub
disiplin linguistik yang berkaitan dengan tempat bahasa dalam konteks
budaya maupun sosial yang memiliki peran menyokong dan menempa
praktek-praktek kultural dan struktur sosial.
Antropolinguistik memandang bahasa sebagai prisma atau inti dari konsep
antropologi budaya untuk mencari makna dibalik penggunaan, ketimpangan
penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam bentuk register dan gaya yang
berbeda. Dengan kata lain, Antropolinguistik memuat interpretasi bahasa untuk
menemukan pemahaman kultural.

Antropological linguistics views language through the prism of the core
anthropological concept, culture, and such, seeks to uncover the
meaning behind the use, misuse, or non-use of language, its different
forms, registers and style. It is an interpretive discipline peeling away at
language to find cultural understandings. ( Foley 1997:3)

Sebagai bidang interdisipliner, ada tiga bidang kajian antropolinguistik, yakni
studi mengenai bahasa, studi mengenai budaya, dan studi mengenai aspek lain dari
kehidupan manusia, yang ketiga bidang tersebut dipelajari dari kerangka kerja linguistik
dan antropologi. Kerangka kerja linguistik didasarkan pada kajian bahasa dan kerangka
kerja antropologi didasarkan pada kajian seluk-beluk kehidupan manusia.

Universitas Sumatera Utara

Dengan mendengar istilah antropolinguistik, paling sedikit ada tiga relasi
penting yang perlu diperhatikan. Pertama, hubungan antara satu bahasa dengan satu
budaya yang bersangkutan. Yang berarti bahwa ketika mempelajari suatu budaya, kita
juga harus mempelajari bahasanya, dan ketika kita mempelajari bahasanya kita juga
harus mempelajari budayanya. Kedua, hubungan bahasa dengan budaya secara umum
yang berarti bahwa setiap ada satu bahasa dalam suatu masyarakat, maka ada satu
budaya dalam masyarakat itu. Bahasa mengindikasikan budaya, perbedaan bahasa
berarti perbedaan budaya atau sebaliknya. Ketiga, hubungan antara linguistik sebagai
ilmu bahasa dengan antropologi sebagai ilmu budaya. (Sibarani, 2004:51).
Kajian Antropolinguistik terhadap tradisi lisan dimulai dari unsur-unsur nonverbal. Struktur dan formula unsur verbal dan non verbal tradisi lisan dapat dijelaskan
melalui pemahaman struktur teks dan konteksnya sehingga pemahaman bentuk juga
menjadi pemahaman performansi tradisi lisan. Dengan kata lain, antropolinguistik
mempelajari teks dan performansi tradisi lisan dalam kerangka kerja antropologi,
mempelajari konteks budaya, konteks ideologi, konteks sosial, dan konteks situasi
tradisi lisan dalam kerangka kerja linguistik. Disamping bertujuan menemukan formula
yang dirumuskan dari struktur teks dan konteks (bentuk) tradisi lisan, antropolinguistik
menggali nilai, norma, dan kearifan lokal (isi) tradisi lisan serta berupaya merumuskan
model penghidupan kembali, pengelolaan, dan proses pewarisan (revitalisasi) tradisi
lisan. Nilai dan norma budaya tradisi lisan dikristalisasi dan ditemukan makna dan
fungsinya. Dari makna dan fungsi bagian-bagian tradisi lisan serta makna dan fungsi
keseluruhan tradisi lisan sebagai wacana yang lengkap akan dapat diungkapkan nilai

Universitas Sumatera Utara

dan norma sebuah tradisi lisan melalui proses interpretasi yang dikaitkan dengan
konteksnya.
Sejalan dengan penelitian ini maka perlu diketahui beberapa fungsi bahasa.
Penulis mengacu pada fungsi bahasa yang dikemukakan oleh teori Buhler yang
disempurnakan tokoh aliran Praha, Roman Jakobson, yang dalam makalahnya berjudul
“Linguistics and Poetics” (1960). Penulis mengambil salah satu fungsi sebagai pisau
analisis yakni fungsi puitik (poetic function) yang berorientasi pada pesan atau amanat
yang disampaikan dalam komunikasi. Perlu diketahui pula dalam bahasa, apa yang
dimaksud dengan etik dan emik yang ada hubungan nya dengan analisis lingusitik
dalam antropolinguistik. Etic ialah “ a material manifestation that can be identified by
any characteristic that strikes the erya”. Emic ialah “ a formal unit within a closed
system” (Bolinger, 1975:520). Satuan emic adalah satuan formal dalam satu sistem
tertutup. Satuan etic adalah manifestasi material yang teridentifikasi lewat ciri-ciri
pemeriannya yang nampak.
Pengetahuan manusia terus berkembang dan berubah seturut dengan perjalanan
waktu, maka kebudayaan juga akan memiliki perubahan yang menghasilkan
keanekaragaman pemahaman. Keragaman pemahaman tersebut diakibatkan karena
kedinamisan kebudayaan itu sendiri. Dengan kata lain, kedinamisan pengertian
kebudayaan mengacu pada fungsi serta pemahaman dan penilaian atas kebudayaan itu
sendiri berdasarkan tempat, situasi, dan kondisi dimana kebudayaan itu berlangsung.
Pengertian seperti ini sering disebut dengan istilah relativisme kebudayaan.
Isu teoritis yang menjadi dasar dari Antropolinguistik adalah relativitas bahasa
„linguistic relativity‟. Inti dari isu itu sendiri terlahir dari keterkaitan antara ide dan

Universitas Sumatera Utara

maksud yang ada dalam bahasa dan untuk bahasa itu sendiri. Kerelativitasan bahasa ada
pada penekanan kemungkinan yang terjadi karena tidak seorangpun dapat memprediksi
bagaimana bahasa mengklasifikasi realitas pengalaman hidup manusia (linguistic
relativism). Oleh karena itu, system koseptual bahasa berbeda satu dengan yang lain
dalam menyuarakan aspek berbeda dari realitas yang ada dengan menggunakan bahasa
sebagai syarat dari refleksi pemikiran. Konsep teori konteks ditokohi oleh antropolog
Inggris Bronislaw Malinowski. Ia menyatakan pentingnya menempatkan kata-kata
dalam konteks keseluruhan ujaran pada situasinya (context of situation). Bagi
Malinowski konteks ini adalah lingkungan fisik sebenarnya dari satu ujaran.

Ia

berpendapat bahwa untuk memahami ujaran harus diperhatikan konteks situasi.
Berdasarkan analisis konteks situasi itu, kita dapat memecahkan aspek-aspek bermakna
bahasa sehingga aspek linguistik dan aspek nonlinguistik dapat dikorelasikan. Inti dari
teori konteks adalah:
a) Makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas yang berwujud kata, tetapi secara
keseluruhan terpadu pada ujaran.
b) Makna tidak boleh ditafsirkan secara dualis ( kata dan acuan) atau secara trialis
(kata, acuan, tafsiran), tetapi makna merupakan satu fungsi atau tugas yang
terpadu dalam tutur yang dipengaruhi oleh situasi.

Peranan bahasa sangat penting dalam memahami kebudayaan, dan peranan
kebudayaan juga sangat penting dalam memahami bahasa. Komunikasi dalam bahasa
akan mencapai sasaran apabila peserta komunikasi menempatkan bahasa didalam
konteks budayanya. Payung teori dalam kajian ini adalah Antropolinguistik yang
merupakan sub bidang dari linguistik dalam kaitannya tentang tempat bahasa di dalam

Universitas Sumatera Utara

konteks sosial maupun kultural. Tidak dapat disangkal istilah antropolinguistik dapat
saling berganti dengan sosiolinguistik dikarenakan keduanya mempunyai ranah yang
sama tentang peran bahasa dalam masyarakat.

2.1.3

Teks, Konteks, dan Koteks
Sibarani dan Talhah (2015) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan teks

adalah teks tertulis, teks lisan, dan teks pertunjukan. Teks tertulis adalah teks yang
ditemukan dalam bentuk tulisan yang bersifat tetap karena direkam dalam tulisan. Teks
lisan adalah teks yang dilisankan atau diucapkan saat pertunjukan. Teks lisan ini sangat
lentur, tergantung sekali pada saat pertunjukan. Teks lisan bisa menjadi teks tertulis jika
ditranskripsi ke dalam bentuk tulisan. Teks ini tidak berdiri sendiri di dalam seni tradisi,
tetapi wujudnya selalu muncul dalam setiap pertunjukan.
Pertunjukan merupakan objek tontonan yang melibatkan pelaku dan penonton.
Sebuah upacara ritual yang masih dianggap sakral, juga melibatkan publik yang
mungkin hanya menonton atau pada saat tertentu, ikut terlibat. Oleh karenanya,
peristiwa sosial semacam itu menjadi menjadi pertunjukan dan dibaca sebagai teks
pertunjukan. Pada teks pertunjukan terdapat unsur verbal dan nonverbal. Unsur verbal
berbentuk bahasa yang diucapkan oleh penyanyi, pemantun, dan pepantun saat
kelompok kesenian cenggok-cenggok mengadakan pertunjukan.
Menurut Fox (1986:44) teks sebagai wadah makna yang memaparkan dunia ide,
dalam setiap teks terdapat seperangkat hubungan internal yang mengatur koherensinya,
hubungan asosiatif yang menghubungkannya dengan teks-teks lain dalam sebuah
korpus budaya, acuan yang menunjuk pada satuan-satuan tertentu, dan kondisi di luar

Universitas Sumatera Utara

teks itu sendiri. Koherensi internal, pola asosiatif, dan tata acuannya membentuk
struktur komunikatif teks dan interaksi yang rumit antara hubungan teks yang satu dan
hubungan teks yang lain itu berdasarkan asumsi budaya para penuturnya.
Koteks merupakan bagian penting dalarn memberikan pemaknaan terhadap teks
tradisi lisan. Dalam tradisi lisan, sebuah teks seringkali didampingi oleh unsur-unsur
nonverbal yang disebut dengan “koteks” (co-text) koteks bisa saja terdiri atas
paralinguistic (suprasegmental), kinetic (gerak isyarat), prosemic (penjagaan jarak), dan
unsur-unsur material atau benda-benda yang digunakan untuk mengana1isis tradisi lisan
yang berbentuk upacara.
Konteks mempunyai peranan penting dalam pengkajian makna sebuah teks
wacana. Bertalian dengan fungsinya dalam konteks, menurut Osch (1988:8), wacana
merupakan seperangkat makna yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks
yang melatarinya yang dirajut oleh penutur dan pendengar dalam proses memproduksi
dan menafsirkan makna.
Dalam tradisi lisan konteks memberikan keutuhan pemaknaan sebuah tradisi.
Pertunjukan tradisi lisan akan memiliki interpretasi yang berbeda apabila konteksnya
berbeda. Konteks adalah segala keadaan atau kondisi yang berada di sekitar suatu tradisi
lisan yang membuat tradisi itu hidup dan tercipta. Melalui konteks pemahaman terhadap
keseluruhan tradisi lisan tercipta.
Konteks dapat dipilah atas konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi
adalah lingkungan langsung tempat sebuah teks berfungsi dengan unsur pembentuknya
mencakupi pembicara dan pendengar, pesan, latar atau situasi, saluran, dan kode.
Konteks budaya merujuk pada kumpulan pengetahuan, sikap dan perilaku bahasa milik

Universitas Sumatera Utara

bersama, suatu kelompok masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang sistematis dari
prinsip-prinsip budaya, pola komunikasi antaranggota masyarakat, wujud sikap, pola
perilaku lain secara bersama-sama berterima dan berlaku dalam realitas kehidupan suatu
guyub budaya tertentu (Hesselgrave dan Edward, 1989:200).
Bila hanya memadakan makna dalam penerjemahan tanpa mempertimbangkan
situasi komunikasi dan konteks budaya kedua bahasa tersebut, maka hasil terjemahan
tidak akan optimal. Larson (1984: 3) menyatakan bahwa penerjemahan semata-mata
memperhatikan ketepatan makna tetapi lebih dari itu, seorang penerjemah harus
memperhatikan situasi komunikasi dan konteks budaya kedua bahasa tersebut. Dari
contoh di atas, teks tidak terlepas dari konteks. Konteks itu sendiri „mengelilingil teks
atau teks itu berupa wadah untuk teks berfungsi. Konteks terdiri dari tiga lapisan yaitu
konteks situasi (register), konteks budaya (genre) dan konteks ideologi.
Gambar di bawah menunjukkan bahwa unsur yang terdekat ke teks atau bahasa
adalah konteks situasi dan disebut semiotik yang lebih konkret. Unsur yang lain yang
paling jauh dari teks disebut semiotik yang abstrak. Berdasarkan strata kedekatan
kepada teks atau bahasa, konteks sosial berurut mulai dari konteks situasi, budaya, dan
ideologi. Teks tradisi budaya marosong-osong bermakna upacara tradisi budaya
marosong-osong adalah bahwa anak boru memberikan bantuan kepada mora, pada
upacar perkawinan adat na godang (upacara adat yang besar). Ideologi yang terkandung
pada upacara tradisi marosong-osong adalah pemahaman adat yang masih melekat pada
diri setiap komunitas Angkola. Hal itu terlihat masyarakat adat masih melakukan
upacara adat walaupun agama samawi sudah masuk ke luhak Angkola, sehingga secara
ideology masyarakat menggabungkan antara adat dengan agama tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Teks dan Konteks Sosial Martin (Saragih, 2012:34)
Martin (Saragih, 2012:34) menyatakan bahwa konteks sosial terjadi dari tiga
unsur, yaitu konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi. Ketiga unsur
konteks sosial tersusun di atas teks dan membentuk semiotik berstrata. Ideologi
direalisasikan budaya, yang selanjutnya direalisasikan oleh situasi, yang seterusnya
direalisasikan oleh semantik.
Konteks dalam tradisi marosong-osong dapat diketahui dengan memahami di
mana, kapan, siapa, dan untuk apa tradisi lisan itu dipertunjukkan. Selain itu, yang juga
termasuk dalam konteks adalah keyakinan apa yang ada dalam pertunjukan itu dan apa
fungsinya. Konteks yang ada berkaitan dengan konteks situasi, konteks budaya,
konteks sosial, dan konteks ideologi. Konteks situasi adalah yang berkaitan dengan
waktu, tempat, suasana, dan cara; konteks budaya berkaitan dengan siklus mata
pencaharian, siklus kehidupan; konteks sosial adalah jenis kelamin, pendidikan, usia,
stratifikasi sosial, dan etnis; dan konteks ideologi menyangkut paham, pengetahuan,
aliran, keyakinan, dan latar belakang (Sibarani dan Talhah, 2015:25).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Semiotika
Semiotika merupakan ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang tanda-tanda,
tanda-tanda tersebut mempunyai arti dan makna yang ditentukan oleh kesepakatan
penggunanya. Bahasa sebagai media komunikasi memiliki struktur tanda-tanda yang
bermakna. Media komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai medium secara
eksplisit memiliki sistem semiotika ketandaan. Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk
mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda
verbal maupun nonverbal.
Sesungguhnya semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata seme atau
semeion, yang berarti penafsiran tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori
semiotika, berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana
cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia
dipenuhi oleh tanda dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi
dengan sesamanya sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap bahasa
bahkan dengan bahasa isyarat. Bahasa isyarat “silent language, gesture” memiliki
substansi utama yaitu gerak tubuh yang memberikan isyarat bermakna “non-vocalic,
non-orthographic” namun dalam tuturan bahasa adat memerlukan isyarat yang dilihat
dari pengiriman isyarat “code-sender” dan penerima isyarat “code-receiver”.
Seperti telah dijelaskan di atas, semiotik mengkaji tanda dan penggunaan tanda,
dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Perangkat pengertian semiotik (tanda
pemaknaan, denotatum, interpretan) dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan
asalkan prasyaratnya dipenuhi yakni ada arti yang diberikan, ada pemaknaan, ada
interpretasi (van Zoest 1993:54).

Universitas Sumatera Utara

Pada buku Kearifan Lokal yang ditulis Sibarani (2010:248) ada disebutkan
bahwa memahami tradisi lisan secara teoretis akan dapat memberi arah dalam
membongkar keseluruhan tradisi. Tanpa membongkar ketiga dimensi itu penelitian
tradisi lisan hanya sebagai inventarisasi yang akan tersimpan di perpustakaan. Teori ini
akan dilengkapi oleh teori pragmatis yang berusaha untuk melihat manfaat sebuah
tradisi, betapapun abstraknya, mulai dari pemahaman tradisi masa lalu, mengaitkannya
dengan manfaat masa kini dan proyeksi manfaat pada masa mendatang.

Untuk menguak tradisi marosong-osong yang berkaitan dengan upacara
perkawinan adat Angkola, yang salah satu rangkaiannya adalah memberikan bantuan
anak boru kepada mora dengan merujuk teori Semiotika yang dikembangkan Peirce.
Teori semiotik menurut Peirce dapat dikembangkan secara pragmatisme. Istilah
pragmatis adalah teori makna yang menekankan hal-hal yang dapat ditangkap dan
mungkin berdasarkan pengalaman subjek. (Christomy, 2004:115). Dasar pemikiran
tersebut dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni setiap gejala secara
fenemenologis mencakup (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada
sesuatu yang lain, (2) bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar
dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu, dan (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi
direpresentasikan, dikomunikasikan, dan ditandai.
Sebuah tanda dapat berkembang menjadi tanda lainnya. Dengan demikian,
semiotik pragmatik menjadi cukup penting untuk mendekonstruksi dan sekaligus
merekonstruksi proses signifikasi yang berlangsung dalam kehidupan manusia.
Beberapa tanda senantiasa memiliki 3 dimensi yang saling terkait. Representamen (R)

Universitas Sumatera Utara

sesuatu yang dapat dipersepsi (perseptible), objek (O) sesuatu yang mengacu kepada hal
lain (referential) dan interpretan (I) sesuatu yang dapat diinterpretasi (interpretible).

Objek
(O)

Representament (R)

Interpretan
(I)

Gambar 2.2. Tiga Dimensi Tanda
Proses epistemologi atau semiosis berlangsung menurut dua tahap. Tahap
pertama adalah lewat proses “logical argumentation” dalam urutan abduksi, deduksi,
dan induksi sehingga tiga tahap fenomenologi pun diterapkan pada tahap ini. Tahap
kedua adalah lewat sistem triadik, yakni penjelajahan relasi antar unsur-unsur tanda
secara tipologis. Dengan kata lain, tahap pertama memperhitungkan ketiga unsurnya,
sedangkan tahap kedua mengkaji kaitan antar unsur secara berturut-turut dalam tipologi
semiotik sebagaimana terlihat berikut :
Pengetahuan diperoleh lewat semiosis secara tidak langsung, yakni diperoleh
lewat tanda-tanda. Karena pengetahuan tidak diperoleh langsung dari objek atau
realistas, maka digambarkan dengan garis terputus-putus seperti terlihat di atas. Semua
unsur yakni tanda (representament atau ground), objek, dan interpretant dapat ditelaah
secara trikotomi. Ground ada tiga macam yaitu ikon, indeks, dan simbol,
Sehubungan dengan teori budaya yang memandang budaya sebagai sistem atau
organisasi makna tersebut, memahami tradisi lisan bukan hanya memahami bentuk
(struktur teks, ko-teks, dan konteks) sebagai lapisan permukaan, tetapi harus sampai

Universitas Sumatera Utara

pada isi (makna dan fungsi, nilai dan norma budaya serta kearifan lokal) ke lapisan
paling dalam (tacit knowledge). Dalam uraian sebelumnya ketiga hal itu disebut dengan
lapisan bentuk (teks, ko-teks, dan konteks), lapisan isi (makna dan nilai budaya), dan
lapisan kearifan lokal. Lapisan bentuk itu dapat juga dinamai dengan lapisan permukaan
(the surface layer), lapisan isi dinamai dengan lapisan tengah (the middle layer),
sedangkan lapisan kearifan lokal dinamai dengan lapisan inti (the core layer).
. Tokoh yang dianggap sebagai pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup
sezaman, yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak
saling memengaruhi), yang seorang ahli linguistik, yaitu Ferdinand de Saussure (18571913) dan seorang ahli filsafat yaitu, Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure
menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedang Peirce menyebutnya semiotik
(semiotics).
Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified).
Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda,
sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu, yaitu artinya.
Contohnya, kata inang “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti:
„orang yang melahirkan kita‟. Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada
beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang
utama ialah ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah
antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya
gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret
menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon. Indeks adalah tanda

Universitas Sumatera Utara

yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya,
misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin, dan
sebagainya.
Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah
antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (manasuka). Arti
tanda itu ditentukan oleh konvensi. Inang “Ibu” adalah simbol, artinya ditentukan oleh
konvensi masyarakat bahasa Batak (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother,
Perancis menyebutnya la mere, dan sebagainya. Adanya bermacam-macam tanda untuk
satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda yang
paling banyak digunakan adalah simbol.
Penganalisisan tuturan marosong-osong digunakan semiotika yang dikemukakan
oleh Ferdinand de Saussure dinamakan semiotik signifikasi dan yang bersumber dari
Charles Sanders Pierce, seorang filosof pragmatis dan sekaligus ahli logika Amerika,
teruji dalam menganalisis produk kebudayaan baik dari analisis bahasa dan linguistik.
Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk
kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang
sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
2.1.5

Upacara Adat Perkawinan
Upacara menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1) Tanda-tanda

kebesaran; 2) peralatan (menurut adat istiadat); rangkaian tindakan atau pebuatan yang
terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama; 3) perbuatan atau perayaanyang
dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting. (2001: 1250). Adat
menurut KBBI: 1. aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan

Universitas Sumatera Utara

sejak dahulu kala; 2. cara (kalakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan;
kebiasaan. 3. wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma,
hukum, dan aturan yang satu dan lainnya berkaitan dengan suatu sistem (2001: 7).
Upacara adat yaitu: upacara yang berhubungan dengan adat sesuatau masyarakat. (2001:
1250).
Ada beberapa jenis Upacara yang harus dilalui dalam pesta perkawinan adat
Angkola seperti horja haroan boru „kedatangan menantu perempuan‟ Horja Siriaon; 1)
Tahi Godang; 2) Manganaekkon Gondang; 3) Pajongjong Mandera; 4) marosongosong 5) Maralok-alok; 6) Manortor; 7) Mambaca goar; 8) Patuaekkon; 9) Mangupa;
10) dan lain-lain (Ritonga dan Azhar, 2002: 64-105)
Pelaksanaan upacara perkawinan adat Angkola menurut Lembaga Adat-Budaya
Sipirok (1996: 113-132) ada beberapa alur yang harus dilakukan yaitu: 1) Martahi 2)
panaek gondang, 3) Marosong-osong 4) Maralok-alok, 5) Manortor, 6) Membawa
pengantin ke Tapian Raya Bangunan, 7) Mangupa, 8) Paujung Harejo.
Sejalan dengan itu proses upacara perkawinan di kenal dengan istilah horja
patobang anak dan pabagas boru, peristiwa perkawinan disebut dengan haroan boru,
horja boru dengan alur upacara perkawinan adat seperti: 1) Mangkobar boru, 2)
Mangampar ruji, 3) horja pabuat boru, 4) manaekkon gondang, 5) marosong-osong, 6)
Maralok-alok,7) Manortor, 8) Manyambol horbo pangupa, 9) Patuaekkon, dan 10)
Mangupa. (Parsadaan Marga Harahap, 1993: 259-396)
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan upacara perkawinan adat (haroan
boru, horja boru) Angkola terbagi atas: 1) Mangkobar boru, 2) Mangampar ruji, 3)
horja pabuat boru, 4) manaekkon gondang, 5) marosong-osong, 6) Maralok-alok,7)

Universitas Sumatera Utara

Manortor, 8) Manyambol horbo pangupa, 9) Patuaekkon, dan 10) Mangupa. Berkaitan
dengan kenyataan yang disebutkan di atas mengundang perlunya peneliti untuk
melakukan pengkajian kronologis upacara perkawinan no. 5 yaitu tuturan marosongosong pada upacara perkawinan adat di Angkola.

2.1.6 Marosong-osong
Marosong-osong berasal dari verba osong (Indonesia usung) yang berarti
„dipikul‟ bersama. kemudian menjadi kata berulang yang berawalan dan memperoleh
perubahan huruf (vokal) „u‟ menjadi „o‟.(Perkasa Alam, 2012:30). Tuturan marosongosong dilaksanakan dalam pesta perkawinan adat (horja na godang) dengan memotong
kerbau (manyambol horbo) yang dilaksanakan selama tiga hari tiga malam.
Dalam tuturan marosong-osong ini pihak anak boru beserta rombongan
membawa dana bantuan untuk disumbangkan secara bersama-sama kepada suhut bolon
(yang punya hajatan) bentuk bantuan ini dimasukkan dalam sebuah bingkisan yang
bentuknya menyerupai rumah adat (sopo godang) yang dihiasi sedemikian rupa dengan
berbagai macam bahan seperti: umbut kelapa, buah-buahan yang disebut gala-gala,
inilah yang disebut dengan osong-osong.
Bingkisan osong-osong yang menyerupai rumah adat (sopo godang) ini dibalut
dengan abit Batak (ulos) yang diisi dengan wadah yang berisi beras yang ditancapkan
berbagai macam bendera-bendera kecil yang terdiri dari lembaran uang seratus ribu
rupiah, lima puluh ribu rupiah dua puluh ribu rupiah sampai pecahan terkecil. Selain
bantuan yang diberikan oleh anak boru dalam bentuk, uang anak boru yang datang ke
rumah mora juga membawa bantuan berupa beras, kelapa, kambing bahkan kerbau dan
lain-lain .

Universitas Sumatera Utara

Kedatangan rombongan anak boru ke rumah mora yang membawa osong-osong
akan disambut suhut bolon „yang memiliki hajatan/ pesta‟ dengan gondang dan tor-tor
sambil berjalan mundur menuju rumah. berbeda dengan anak boru, suhut bolon hanya
akan memyambut kedatangan anak boru di pintu rumah. Kedatangan anak boru agak
berbeda mora, sebab dalam rombongan pengiring anak boru ada anak-anak muda yang
lengkap dengan pakaian adat pengantin yang disebut dengan si dara doli (anak lajang)
putra dari anak boru yang membawa rombongan itu.
Penyambutan rombonghan ini tentunnya tuan rumah atau suhut akan
mempersiapkan pula anak-anak putrinya yang disebut dengan si dara bujing (anak
gadis). Rombongan si dara doli tidak boleh masuk ke rumah sebelum mengadakan
berbalas pantun dan mendapat izin dari si dara bujing. Kemudian kedua kelompok
muda-mudi ini akan manortor (menari adat) di halaman lengkap dengan pakaian adat
masing-masing, dan inilah masa perkenalan di antara muda-mudi dari kedua belah
pihak, sungguh perkenalan yang cukup bersahaja. Acara berbalas pantun menyambut
osong-osong dari pihak mora/ suhut bolon yang juga berpakaian adat lengkap.

2.1.7 Dalihan Na Tolu dan Fungsinya
Dalihan Na Tolu pada masyarakat adat Angkola, Mandailing, Batak
mengandung arti tiga kelompok masyarakat yang merupakan tumpuan. Pada upacara
adat lembaga dalihan na tolu ini memegang peranan yang penting dalam menetapkan
keputusan-keputusan. Dalihan secara etimologi berarti ”tungku” tolu berarti ”tiga”,
dalihan biasanya terbuat dari batu dengan ukuran yang sama, kalau besar dan
panjangnya tidak sama maka tungku itu tidak berfungsi sebagai mana mestinya
(Ritonga dan Azhar, 2002: 8). Dalihan Na Tolu yang terdiri dari 3 (tiga) unsur tersebut

Universitas Sumatera Utara

terdiri dari kelompok: a) Suhut dan kahangginya; b) Anak boru; c) Mora/ mora ni
mora (pisang raut). Setiap orang secara pribadi memiliki 3 (tiga) dimensi dalam
kedudukannya sebagai unsur Dalihan Na Tolu ataupun sebagai anggota masyarakat.
Oleh sebab itulah orang Mandailing dapat menyesuaikan diri jika dibutuhkan.
Pesta perkawinan merupakan horja siriaon, dalihan na tolu berperan penting
dalam menyelesaikan seluruh beban kerja yang dipikulkan ke pundak dalihan na tolu,
namun demikian pada saat ini banyak orang yang kurang menyadari tugas dan
fungsinya pada tataran dalihan na tolu sehingga fungsi dalihan na tolu diserahkan
kepada pihak yang memiliki hajatan untuk mencari orang yang mampu menggantikan
posisi dalihan na tolu sehingga tak jarang dalihan natolu diupahkan kepada orang lain.
Adat Angkola di luat-laut bona bulu hingga kini dalam mendayagunakan dalihan na
tolu belum maksimal disebabkan oleh pemahaman masyarakat adat akan tugas dan
fungsinya pada tuturan adat.
2.1.8

Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai

kebijakan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge”atau
kecerdasan setempat “local genious. Kearifan (wisdom) dan lokal adalah dua kata yang
sebenarnya memiliki arti sendiri-sendiri. Kearifan adalah kata sifat yang melekat pada
karakter seseorang, yang berati arif dan bijaksana. Sedangkan lokal adalah kondisi
sebuah tempat atau daerah. Kearifan lokal maknanya sangatlah luas, karena menyangkut
hal-hal yang berkaitan dengan tata nilai, kebiasaan, tradisi, budaya maupun agama, yang
menjadi aturan dan kesepakatan komunitas (lokalitas).

Universitas Sumatera Utara

Oleh karena itu, kearifan lokal bisa juga dimaknai sebagai gagasan-gagasan
setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik dan tertanam serta
diikuti oleh anggota masyarakatnya. Pengertian lain kearifan lokal sebagai usaha
manusia yang menggunakan akal budi (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap
sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu, wisdom dipahami
sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak
atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang
terjadi.

Sebagai

sebuah

istilah

wisdom

sering

diartikan

sebagai

„kearifan/

kebijaksanaan‟.
Jadi, kearifan lokal merupakan pandangan hidup dan pengetahuan serta strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam
menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal dapat
didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tuturan, falsafah atau semboyan hidup,
Unsur-unsur kearifan lokal ditemukan dalam tradisi lisan upacara perkawinan
adat Angkola yang sarat dengan aturan-aturan dan seremonial adat marosong-osong
yang mengadung nilai-nilai kekeluargaan, nilai gotong royong, kerukunan, nilai falsafah
kerukunan, nilai keikhlasan bekerja, nilai identitas dan falsafah sebagai penguat
identitas,
Menghargai nilai-nilai kearifan lokal sesungguhnya merupakan upaya terstruktur
dalam mengoptimalkan cultural identity, yaitu suatu identitas/ kepribadian budaya
bangsa yang menyebabkan sebuah bangsa mampu menyerap dan mengolah kebudayaan
daerah sesuai watak dan identitas budaya setempat yang telah berlangsung secara turun

Universitas Sumatera Utara

temurun dari generasi ke generasi. Padahal, sejatinya pesan penting nilai-nilai budaya
lokal perlu tereksplorasi sebagai muatan dasar pada kurikulum pendidikan yang dapat
menyerap kebudayaan lokal. Sehingga nilai-nilai kearifan lokal dapat mengadopsi
kekayaan nilai-nilai budaya lokal secara terencana dan berkesinambungan pada
pendidikan, agar

pendidikan

berkarakter

kultur

lokal

memiliki

kemampuan

memfilterisasi dan berkemampuan bertahan terhadap budaya luar.
Kearifan lokal selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam
bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya. Setiap masyarakat diharapkan
mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi lingkungan serta sistem
pengetahuan adat istiadat yang dimilikinya. Kearifan lokal (local wisdom) merupakan
bagian dari sistem budaya yang biasanya yang mengatur hubungan sosial
kemasyarakatan.
Kearifan lokal adat perkawinan Angkola sebagai aset yang dimiliki suatu
komunitas adat di ulayat Angkola, sehingga masyarakat adat dapat mengatur hidup
bermasyarakat dari generasi ke generasi berikutnya dengan tenteram dan harmoni. Oleh
sebab itu, kearifan lokal selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam
bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya.
Kearifan lokal pada tuturan marosong-osong merupakan produk budaya masa
lalu yang perlu secara berkesinambungan dijadikan pegangan hidup. Kearifan lokal
tuturan marosong-osong erat hubungannya dengan masyarakat, Kearifan lokal tuturan
marosong-osong memiliki nilai tersendiri pada nilai-nilai yang terkandung dalam
kearifan lokal yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Bermasyarakat dalam
bentuk tenggang rasa dalam membantu mora walaupun hal tersebut tidak diminta oleh

Universitas Sumatera Utara

mora, nilai-nilai kesadaran membantu dengan kesadaran yang tulus dari anak boru
memiliki

nilai kearifan lokal yang mencerminkan nilai budaya dalam bergotong

royong, kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong royong,
pengelolaan gender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan, kedamaian,
kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan

penyeselesaian

konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur (Sibarani 2012: 133-134).
Kearifan lokal tuturan marosong-osong merupakan modal utama masyarakat
Angkola dalam membangun komunitas masyarakat adat. Kearifan lokal tuturan
marosong-osong upacara perkawinan dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung
dalam struktur sosial masyarakat sendiri dan memiliki fungsi sebagai pedoman,
pengontrol berperilaku dalam berbagai dimensi kehidupan baik saat berhubungan
dengan sesama walaupun sekarang eksistensi kearifan lokal tuturan marosong-osong
dirasakan semakin memudar pada berbagai kelompok masyarakat. Padahal secara
implisit marosong-osong mengandung kearifan seperti: 1) nilai sosial 2) kesantunan
berbahasa, 3) perkenalan muda-mudi, 4) menjaga struktur kelompok sosial.

2.2 Kerangka Teori
Objek yang diteliti adalah tradisi lisan marosong-osong adat Angkola, dengan
pendekatan tradisi lisan akan diperoleh nilai-nilai tuturan marosong-osong dalam
rangkaian upacara perkawinan besar (horja godang) adat Angkola yang dikemukakan
oleh Barthes (1957) dan untuk pengkajian yang kedua analisis makna kajian semiotika
yang dikemukakan Saussure (1857-1913) dan Peirce (1839-1914). dari pendekatan
tersebut dipahamilah makna semiotika tuturan marosong-osong adat Angkola sebagai

Universitas Sumatera Utara

salah satu dari rangkaian upacara perkawinan adat Angkola, agar lebih jelas kerangka
teori yang akan dikemukakan pada penelitian ini meliputi tahap:
a) Bagaimanakah deskripsi tradisi lisan marosong-osong pada upacara perkawinan
adat Angkola?
b) Bagaimanakah bentuk teks, koteks, dan konteks tradisi lisan marosong-osong pada
upacara perkawinan adat Angkola?
c) Apakah makna, fungsi, dan Kearifan pada tradisi lisan marosong-osong adat
Angkola?

Berdasarkan pembahasan di atas, maka kerangka teori yang digunakan dalam
penelitian yang berjudul: Tradisi lisan Marosong-osong pada Upacara Perkawinan Adat
Angkola.

2.3 Kajian yang Relevan
Berdasarkan studi kepustakaan, ada beberapa penelitian yang relavan atau yang
dapat dijadikan pada kajian terdahulu tentang upacara perkawianan, tradisi lisan, dan
kajian lainnya berupa hasil penelitian, artikel, jurnal, buku, tesis, dan disertasi.
Penelitian sebelumnya yang ada relevansinya dengan penelitian ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Sudu (2012), dengan judul “Tradisi Lisan Kabhanti
Gambusu Pada Masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara”. Dalam Penelitiannya Sudu
berfokus pada sistem pewarisan tradisi lisan kabhanti gambusu dengan menggunakan
pendekatan etnografi

untuk mengungkapkan pengetahuan seorang tukang kabhanti

gambusu dalam melakukan pewarisan kepada generasi muda dan perubahan sosial
budaya pendukung tradisi lisan kabhanti gambusu sedangkan penelitian yang dilakukan

Universitas Sumatera Utara

penulis saat ini berfokus pada pengungkapan makna dan fungsi serta kearifan lokal
tradisi lisan marosong-osong dengan menggunakan pendekatan semiotik sosial
Penelitian yang berjudul: “Representasi Tradisi Berahoi pada Masyarakat
Melayu Langkat” yang ditulis oleh Umri (2014) menguraikan seni pertunjukan tradisi
berahoi pada masyarakat Melayu (Langkat Sumatera Utara) dalam upacara-upacara
tradisi agraris (tajak, semai, tanam, panen) yang hidup di masa dahulu. Para seniman
sebagai warga masyarakat bekerja dengan semangat berpartisipasi dalam kegiatan
komunal yang diwujudkan pada bentuk seni pertunjukan berahoi (ahoi-ahoi) yang
dilakukan setelah panen padi usai. Upacara ini mencerminkan ungkapan artistik budaya
gotong-royong.

Seni tradisi berahoi dapat dihidupkan kembali dalam festival

pertunjukkan rakyat. Di dalam pemaparan dan penganalisaaan digunakan teori
Hermeunika dengan pendekatan semiotika budaya dan estetika paradoks, penggunaan
teori dan pendekatan yang dilakukan ini untuk mengungkapkan sikap budaya
masyarakat Melayu Langkat sebagai realisasi historis dalam tradisi berahoi.
Kajian penelitian yang berjudul Marhata dalam Upacara Adat Perkawinan Batak
Toba, oleh: Napitupulu (2013). Penelitian ini membahas Marhata dalam upacara adat
perkawinan Batak Toba. adalah acara untuk 1) mendeskripsikan realisasi bentuk
pengenalan topik-topik peristiwa tutur marhata 2) merumuskan pola gilir bicara, dan 3)
merumuskan pola pasangan berdekatan. Masing-masing tujuan tersebut dilaksanakan
pada 3 (tiga) situasi tutur; situasi marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk pada upacara
adat perkawinan Batak Toba.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang menerapkan
kerangka berpikir pragmatik. Data yang dianalisis adalah ujaran-ujaran yang

Universitas Sumatera Utara

mengandung topik, gilir bicara dan pasangan berdekatan yang sudah diverifikasi
dan ditriangulasi. Data dianalisis berdasarkan isi sekuensial untuk menemukan pola
yang muncul berkali-kali dengan menggunakan pendekatan analisis percakapan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa: 1) pengenalan topik baru dikenalkan dengan realisasi
bentuk kalimat perintah, pertanyaa