MAKALAH AGAMA ISLAM TENTANG HIJAB DALAM

MAKALAH AGAMA ISLAM TENTANG HIJAB DALAM ISLAM
KATA PENGANTAR
Assalamu’allaikum Wr. Wb.
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan karunia-Nya,
kami dapat menyusun makalah tentang problematika Kehidupan yang berkaitan
dengan hukum Islam yang berjudul Hijab Dalam Syariat Islam. Makalah ini kami
susun agar pembaca dapat mengetahui syariat-syariat Islam mengenai hijab.
Di era modern ini banyak sekali kita temui jenis-jenis dan variasi dalam
berhijab. Tentunya, ada yang memenuhi syariat, dan ada yang tidak memenuhi
syariat. Makalah ini akan mengulas masalah tersebut. Kami berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada gading yang tak retak, mohon maaf bila
terdapat salah kata yang kurang berkenan di hati pembaca sekalian.
Wassalamu’allaikum Wr. Wb.

Penyusun

BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jilbab merupakan kata yang tidak asing lagi diperdengarkan oleh telinga kita saat ini. Suatu
kain yang berfungsi sebagai penutup aurat wanita kini sedang ramai dipergunakan sebagai
trend center dunia fashion. Banyak terdapat model dan tipe-tipe jilbab disugguhkan kepada

wanita muslimah untuk mempercantik diri. Bahkan sampai diadakan suatu pameran untuk
mengenalkan produk jilbab dengan berbagai model. Karena terdapat fenomena, jilbab
digunakan hanya saat mengikuti perkulihan agar terlihat rapi dan elegan bersama-sama teman
kuliah. Lalu setelah selesai mengikuti perkulihan dan sampai dirumah, kos, atau bermain
jilbab sudah tergeletak dan tidak digunakan lagi.
Minimnya pengetahuan tentang hakikat menggunakan jilbab serta tuntunan yang
diberlakukan oleh agama Islam, membuat wanita-wanita muslim seenaknya mengenakan
jilbab. Pada dasarnya jilbab berfungsi untuk menutup aurat kewanitaan agar terhindar dari hal
maksiat. Akan tetapi, terkadang saat ini hanya digunakan sebagai kedok atau identitas bagi
wanita-wanita tertentu agar terkesan baik, sopan, santun, dan berbudi luhur. Dan bahkan
hanya dijadikan sebagai trend dan fashion style saja. Bila fenomena ini terus berkelanjutan,
betapa mirisnya kondisi wanita muslim dan harga diri dari wanita muslim sekarang ini.

Untuk menghadapi fenomena-fenomena dewasa ini tentang pengetahuan menggunakan
jilbab. Maka, akan dibahas tentang hakikat berjilbab, fungsi jilbab, manfaat jilbab, dan
hukum serta ketentuan berjilbab. Selain itu, pembahasan ini agar bermanfaat bagi pembaca
dan dijadikan sebagai suatu pengetahuan yang berupa referensi menggunakan jibab yang baik
dan benar seuai syariat Islam yang sesungguhnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari paparan yang telah dijelaskan diatas, dapat ditentukan suatu rumusan masalah sebagai

berikut :
1.
Apakah hakikat berjilbab itu?
2.
Apakah kriteria jilbab yang baik menurut syariat islam?
3.
Apa saja kah hadis-hadis yang membahas tentang hijab?

BAB II PEMBAHASAN (ISI)
I.
HAKIKAT JILBAB
a.
Pengertian jilbab secara bahasa
Jilbab menurut kamus Al-Mu’jam al Wasith memiliki makna sebagai berikut:
1.
Qomish (sejenis jubah).
2.
Kain yang menutupi seluruh badan.
3.
Khimar (kerudung).

4.
Pakaian atasan seperti milhafah (selimut).
5.
Semisal selimut (baca: kerudung) yang dipakai seorang wanita untuk menutupi
tubuhnya.
Sedangkan jilbab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kerudung lebar yang
dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada. Sedangkan kerudung
berarti kain penutup kepala perempuan. Dan dalam bahasa Arab jilbab memiliki arti sebagai
kain lebar yang diselimutkan ke pakaian luar yang menutupi kepala, punggung, dan dada,
yang biasa dipakai wanita ketika keluar dari rumahnya.
b.
Pengertian jilbab secara istilah
Menurut Ibnu Hazm, jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, bukan hanya
sebagiannya. Menurut Ibnu Katsir jilbab adalah semacam selendang yang dikenakan di atas
khimar yang sekarang ini sama fungsinya seperti izar (kain penutup). Menurut Syaikh bin
Baz jilbab adalah kain yang diletakkan di atas kepala dan badan di atas kain (dalaman). Jadi,
jilbab adalah kain yang dipakai perempuan untuk menutupi kepala, wajah dan seluruh badan.
Sedangkan kain untuk menutupi kepala disebut khimar. Jadi perempuan menutupi dengan
jilbab, kepala, wajah dan semua badan di atas kain (dalaman). Beliau juga mengatakan bahwa
jilbab adalah kain yang diletakkan seorang perempuan di atas kepala dan badannnya untuk

menutupi wajah dan badan, sebagai pakaian tambahan untuk pakaian yang biasa (dipakai di
rumah).
Pada dasarnya jilbab berbeda dengan kerudung. Kerudung merupakan kain yang
digunakan untuk menutupi kepala, leher, hingga dada sedangkan jilbab maliputi
keseluruhan pakaian yang menutup mulai dari kepala sampai kaki kecuali muka dan
telapak tangan hingga pergelangan tangan. Sehingga seseorang yang mengenakan
jilbab pasti berkerudung tetapi orang yang berkerudung belum tentu berjilbab.
II.
KRITERIA JILBAB/ HIJAB YANG BAIK MENURUT SYARIAT
Jilbab bukanlah berarti merendahkan martabat wanita, melainkan meninggikannya serta
melindungi kesopanan dan kesuciannya.
Jilbab yang sesuai dengan syariah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Menutup Seluruh Badan Kecuali Wajah dan Telapak Tangan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan

kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya…” (QS. An Nuur: 31)
Dari syarat pertama ini, maka jelaslah bagi seorang muslimah untuk menutup seluruh badan
kecuali yang dikecualikan oleh syari’at. Maka, sangat menyedihkan ketika seseorang
memaksudkan dirinya memakai jilbab, tapi dapat kita lihat rambut yang keluar baik dari
bagian depan ataupun belakang, lengan tangan yang terlihat sampai sehasta, atau leher dan
telinganya terlihat jelas sehingga menampakkan perhiasan yang seharusnya ditutupi.
Namun terdapat keringanan bagi wanita yang telah menopause yang tidak ingin kawin
sehingga mereka diperbolehkan untuk melepaskan jilbabnya, sebagaimana terdapat dalam
surat An Nuur ayat 60:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada
ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (jilbab) mereka dengan
tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.”
2. Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan
Sebagaimana terdapat dalam surat An Nuur ayat 31, “…Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya…” Ketika jilbab dan pakaian wanita dikenakan agar aurat dan
perhiasan mereka tidak nampak, maka tidak tepat ketika menjadikan pakaian atau jilbab itu
sebagai perhiasan karena tujuan awal untuk menutupi perhiasan menjadi hilang. Banyak
kesalahan yang timbul karena poin ini terlewatkan, sehingga seseorang merasa sah-sah saja

menggunakan jilbab dan pakaian indah dengan warna-warni yang lembut dengan motif bunga
yang cantik, dihiasi dengan benang-benang emas dan perak atau meletakkan berbagai pernakpernik perhiasan pada jilbab mereka.
Namun, terdapat kesalahpahaman juga bahwa jika seseorang tidak mengenakan jilbab
berwarna hitam maka berarti jilbabnya berfungsi sebagai perhiasan. Hal ini berdasarkan
beberapa atsar tentang perbuatan para sahabat wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang mengenakan pakaian yang berwarna selain hitam. Salah satunya adalah atsar
dari Ibrahim An Nakhai,
“Bahwa ia bersama Alqomah dan Al Aswad pernah mengunjungi para istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan ia melihat mereka mengenakan mantel-mantel berwarna merah.” (HR.
Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf)
Dengan demikian, tolak ukur sebagai perhiasan ataukah bukan adalah berdasarkan kebiasaan
(keterangan dari Syaikh Ali Al Halabi). Sehingga suatu warna atau motif menarik perhatian
pada suatu masyarakat maka itu terlarang dan hal ini boleh jadi tidak berlaku pada
masyarakat lain.
3. Kainnya Harus Tebal, Tidak Tipis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang dua kelompok yang termasuk ahli
neraka dan beliau belum pernah melihatnya,
“Dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya, suatu kaum yang
memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengan cambuknya dan wanita


yang kasiyat (berpakaian tapi telanjang, baik karena tipis atau pendek yang tidak menutup
auratnya), mailat mumilat (bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang), kepala mereka
seperti punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya, padahal
baunya didapati dengan perjalanan demikian dan demikian.” (HR. Muslim)
Banyak wanita muslimah yang seakan-akan berjilbab, namun pada hakekatnya tidak berjilbab
karena mereka memakai jilbab yang berbahan tipis dan transparan.
4. Tidak Diberi Wewangian atau Parfum
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan tentang wanita-wanita yang
memakai wewangian ketika keluar rumah,
“Siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar
mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (HR. Tirmidzi)
“Siapapun perempuan yang memakai bakhur, maka janganlah ia menyertai kami dalam
menunaikan shalat isya’.” (HR. Muslim)
5. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki
Terdapat hadits-hadits yang menunjukkan larangan seorang wanita menyerupai laki-laki atau
sebaliknya (tidak terbatas pada pakaian saja). Salah satu hadits yang melarang penyerupaan
dalam masalah pakaian adalah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan
wanita yang memakai pakaian pria.” (HR. Abu Dawud)
Dan hadist lain berbunyi:

“Allah melaknat kaum laki-laki yang menyerupai kaum perempuan dan kaum perempuan
yang menyeerupai kaum laki-laki”(HR. Bukhari).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kesamaan dalam perkara lahir mengakibatkan
kesamaan dan keserupaan dalam akhlak dan perbuatan.”
Dengan menyerupai pakaian laki-laki, maka seorang wanita akan terpengaruh dengan
perangai laki-laki dimana ia akan menampakkan badannya dan menghilangkan rasa malu
yang disyari’atkan bagi wanita. Bahkan yang berdampak parah jika sampai membawa kepada
maksiat lain, yaitu terbawa sifat kelaki-lakian, sehingga pada akhirnya menyukai sesama
wanita.

3. MENURUT HADIS
Banyak hadis-hadis atau riwayat-riwayat yang membahas tentang hijab, oleh karenanya perlu
kita pilah-pilah dan kelompokkan riwayat-riwayat tersebut dalam beberapa kategori.
a. Hadis tidak diwajibkannya menutup wajah dan telapak tangan
Mas’adah bin Ziyad menukil dari Imam Ja'far Shadiq a.s. ketika beliau ditanya tentang
perhiasan yang boleh untuk ditampakkan, Imam menjawab:”Wajah dan telapak tangan.”[18]
Mufaddhal bin Umar bertanya kepada Imam Shadiq a.s. tentang wanita yang meninggal di
perjalanan dan di sana tidak ada laki-laki muhrim atau wanita yang memandikannya. Imam
menjawab: “Anggota-anggota tubuh yang wajib untuk ditayamumi hendaklah dibasuh akan
tetapi tidak boleh menyentuh badannya, dan juga tidak boleh menampakkan kecantikan yang

Allah wajibkan untuk ditutupi. Mufaddhal bertanya kembali: “Bagaimana caranya?” Imam
menjawab: “Pertama membasuh bagian dalam telapak tangan, kemudian wajah dan bagian
luar tangannya.”[19] Dari sini kita dapat memahami bahwa tangan dan wajah bukan termasuk
anggota badan yang wajib untuk ditutupi.
Ali bin Ja'far ditanya tentang batasan seorang laki-laki dapat melihat wanita non muhrim,
Imam menjawab: “Wajah, telapak tangan dan pergelangan tangan.”[20]
Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa pada suatu hari Jabir bin Abdullah bersama
Rasulullah menuju rumah putrinya Sayyidah Fathimah. Sesampainya di pintu rumah,

Rasulullah mengucapkan salam dan meminta izin kepada putrinya untuk masuk sambil
memberitahukan bahwa dia bersama Jabir bin Abdullah. Sayyidah Fathimah meminta beliau
untuk menunggu sebentar karena pada waktu itu beliau belum menutup rambutnya. Setelah
Sayyidah Fathimah menutup rambutnya, Rasulullah dan Jabir masuk ke rumah Sayyidah
Fathimah. Rasulullah melihat wajah putrinya pucat dan kekuning-kuningan, kemudian
bertanya mengapa hal ini terjadi. Sayyidah Fathimah menjawab bahwa wajah pucatnya
dikarenakan rasa lapar yang menderanya. Mendengar hal itu Rasulullah langsung berdoa
kepada Allah agar menghilangkan rasa lapar yang diderita oleh putrinya.[21]
Dari hadis di atas kita dapat mengambil dua kesimpulan: pertama, Sayyidah Fathimah tidak
menutup wajahnya di hadapan laki-laki non muhrim. Kedua, tidak wajib menutup wajah di
hadapan laki-laki non muhrim.

b. Hadis tentang diwajibkannya berhijab di hadapan Yahudi dan Nasrani
Imam Shadiq a.s. bersabda: “Tidak dibenarkan seorang wanita muslim menampakkan
auratnya di hadapan wanita Yahudi dan Nasrani, karena mereka akan menceritakan ciri-ciri
jasmaninya kepada suami-suami mereka.”[22]
c. Hadis tentang ciri-ciri dan waktu hijab
Imam Shadiq a.s. bersabda: “Bukan termasuk maslahat jika wanita memakai kerudung dan
baju yang tipis.”[23]
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib bersabda: “Selamat bagi kalian yang memakai baju
yang tebal, karena sebenarnya orang yang memakai baju yang tipis maka imannya pun
tipis.”[24]
Imam Shadiq a.s. bersabda: “Cukuplah sebagai tolok ukur kehinaan seseorang ketika dia
memakai baju yang menyebabkan kemasyhurannya.”[25]
Imam Shadiq bersabda: “Rasulullah Saw selalu melarang laki-laki untuk menyerupai wanita
dan melarang wanita untuk menyerupai laki-laki dalam segi berpakaian.”[26]
d. Hadis tentang balasan bagi mereka yang tidak berhijab
Rasulullah saw bersabda: “Wanita yang di neraka menggantungkan dirinya dengan
rambutnya adalah wanita yang tidak menutup rambutnya di hadapan selain muhrim.”[27]
Rasulullah saw bersabda: “Dua golongan penghuni Jahanam belum pernah aku lihat.
Kelompok yang disiksa dengan sebuah pecut (menyerupai ekor sapi). Kedua para wanita
yang berbusana namun telanjang (mereka yang mengenakan baju tipis dan transparan)...”[28]

Dengan melihat dan memperhatikan beberapa hadis di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa
Allah swt telah mewajibkan hijab bagi wanita muslimah.
Note:
[18] Himyari, Abdullah bin Ja’far, Qurb al-Isnad, Nainawa, Tehran, juz 2, hal 40.
[19] Ibnu Babuwaih Qumi, Muhammad bin Ali, Man La Yahdhuruhul Faqih, Intisyarat
Jamiah Mudarrisin, Qom, tahun 1413 H. Q, jilid 1, hal 156.
[20] Qurb al-Isnad, hal 102.
[21] Al-Kafi, jilid 5, hal 528
[22] Al-Hurr al-Amili, Muhammad bin Hasan, Wasail as-Syiah, cetakan pertama, Muassasah
Alul Bait li Ihya’i Turats, Qum, tahun 1409 H. Q, juz 20, hal 184.
[23] Ibid, juz 4, hal 388.
[24] Akbari, Muhammad Ridha, Tahlil-e Nu wa ‘Amali az Hejab dar Ashre Hazer, cetakan
keempat, Payame Itrat, Isfahan tahun 1377 H. Sy, hal 60.
[25] Wasail as-Syiah, juz 5, hal 24.
[26] Ibid, juz 5, hal 25.
[27] Tahlil-e Nu wa ‘Amali az Hejab dar Ashre Hazer, hal 88.
[28] Sahih Muslim, juz 3, hal 1680, sesuai penukilan kitab Tahlile Nu wa ‘Amali az Hejab
dar Ashre Hazer.

BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Untuk menetapkan kewajiban hijab bagi kaum wanita, kita juga bisa merujuk sirah kaum
wanita muslimah pada zaman Rasulullah. Mereka selalu menutupi tubuh dan rambut mereka
ketika berada di hadapan non muhrim, [Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di Tahlile nu wa
Amali az Hijab dar Asre Hadzir, hal 49] seperti yang kita lihat dari hadis tentang kedatangan
Rasulullah bersama Jabir ke rumah Sayyidah Fathimah as.
Begitu juga dengan akal manusia, akal manusia juga dapat membuktikan kewajiban hijab
bagi kaum wanita. Akal akan senantiasa memerintahkan segala perbuatan yang membawa
manfaat dan akan memerintahkan untuk melakukan hal itu, begitu juga sebaliknya akal akan
selalu memperingatkan manusia dari hal-hal yang membahayakan manusia.
Oleh karena itu, ketika melihat bahwa hijab akan memberikan keamanan, ketenangan atau
dapat memupuk rasa cinta kasih di antara sesama maka akal yang sehat dan tidak tertawan
oleh hawa nafsu akan memerintahkan untuk berhijab. Wallahu a’lam

DAFTAR PUSTAKA
http://mustyka-mustyka.blogspot.com/2011/12/makalah-jilbab-hijab.html
http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/044.htm