BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan Di Kota Banda Aceh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara

  keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang menjadi ahli waris.

  Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Ayat-- ayat Al Qur’an mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci : hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Sedemikian pentingnya kedudukan hukum waris Islam dalam hukum Islam dapat disimpulkan dari hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dan Darru Quthni sebagaimana dikutip Mukhlis Lubis yang menyatakan bahwa ”Pelajarilah faraidh (hukum waris) dan ajarkanlah kepada manusia (orang banyak), karena dia (faraidh) adalah setengah ilmu dan dia (faraidh) mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari

  1 umatku”. 1 Hukum waris menurut Pasal 171 (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah

Mukhlis Lubis, Ilmu Pembagian Waris, Pesantren Al Manar, Medan , 2011, hlm 4.

  1

  “hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa

  2

  bagiannya masing-masing”. Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dengan sebaik-baiknya. Al Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada ketentuannya dalam Al Qur’an.

  Setelah pewaris meninggal dunia, sebagaimana diatur dalam KHI membebankan beberapa kewajiban dan tanggung jawab kepada ahli waris. Adapun kewajiban dan tanggung jawab tersebut diatur dalam Pasal 175 KHI, yang menentukan bahwa :

  (1)Kewajiban sesama ahli waris terhadap ahli waris lainnya adalah :

  a. Mengurus dan menyelesaikan dampai pemakaman jenazah

  b. Menyelesaikan hutang piutang baik pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih hutang c. Menyelesaikan wasiat pewaris

  d. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak (2)Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya

  3 terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalan.

  Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa selain menyelesaikan ketiga hal pokok yang berkaitan dengan pewaris, yaitu penyelenggaraan jenazah, hutang piutang dan wasiat pewaris, pada ayat (1) sub d dinyatakan bahwa ahli waris juga harus melaksanakan pembagian warisan yang ditinggalkan pewaris kepada para 2 3 Pasal 171 (a) Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Pasal 175 Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

  ahli waris lainnya. Pembagian warisan ini dilakukan kepada seluruh ahli waris yang berhak dengan mendahulukan kewajiban lain terhadap pewaris. Selanjutnya mengenai kewajiban pembagian warisan ini Pasal 188 KHI juga menentukan bahwa :

  Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan. Kewajiban pembagian warisan yang diatur dalam Pasal 188 KHI ini dilakukan apabila harta warisan pewaris berada dalam kekuasaan salah satu ahli waris. Dalam Hukum Islam pembagian harta warisan ini dilakukan dengan didasarkan ketentuan Al Qur’an dan Sunnah Rasul (Hadits). M. Hasballah Thaib memberikan definisi Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta, kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum kewarisan ini juga disebut hukum faraidh yang sumbernya Al Qur’an, Sunnah dan

4 Ijtihad.

  Al Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada ketentuannya dalam Al Qur’an. Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa, bahwa ”Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan 4 M. Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, MKn USU, Medan, 2009, hlm. 1. kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An- Nisa: 7).

  Dalam syariat Islam telah ditetapkan bahwa bagian ahli waris laki-laki lebih banyak dari pada bagian perempuan, yakni ahli waris laki-laki dua kali bagian ahli waris perempuan. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT, yang artinya “Allah mensyari’atkan bagi mu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan dua orang anak perempuan…(An- Nisa: 11) Allah SWT menjanjikan surga bagi orang-orang yang beriman yang mentaati ketentuan-Nya dalam pembagian harta warisan dan ancaman siksa bagi mereka yang mengingkari-Nya.

  Ketentuan pembagian warisan tersebut bertujuan positif untuk menyelamatkan ummat dari perbuatan tercela, yakni mengambil dan memakai harta benda milik orang lain secara tidak sah atau tidak sesuai dengan ketentuan. Padahal hukum Islam menghendaki pembagian harta warisan kepada ahli waris sesuai dengan porsi masing-masing.

  Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris. Istilah hukum “waris” sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian, ada yang menggunakan istilah hukum warisan, hukum kewarisan dan hukum waris. Dengan kata lain dalam hal pembagian warisan ini dapat pula dilakukan sesuai kebiasaan dan adat istiadat setempat.

  Adat yang dimaksud disini diartikan sebagai kebiasaan yang menurut asumsi

  5 masyarakat telah terbentuk baik sebelum maupun sesudah adanya masyarakat.

  Istilah hukum adat di kalangan masyarakat umum (awam) sangat jarang dijumpai. Masyarakat cenderung mempergunakan istilah “adat” saja. Penyebutan ini mengarah kepada suatu kebiasaan yaitu serangkaian perbuatan yang pada umumnya harus berlaku pada struktur masyarakat bersangkutan dan merupakan pencerminan dari

  6 kepribadian suatu bangsa.

  Kondisi ini juga terjadi pada masyarakat adat Aceh di Provinsi Aceh, dimana banyak ditemukan berbagai permasalahan dalam masyarakat diselesaikan melalui lembaga adat setempat, baik berupa persoalan kecil seperti perkelahian anak, perselisihan dalam perjanjian termasuk pula perselisihan dalam pembagian warisan.

  Dalam hal pembagian warisan ini di Provinsi Aceh salah satu kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh adalah selalu menyelesaikan berbagai persoalan dan sengketa melalui musyawarah yang melibatkan lembaga-lembaga adat, di mana pembagian warisan melalui lembaga adat yang bersendikan syariat Islam.

  Hal ini terjadi karena masyarakat Aceh yang umumnya menganut agama Islam memegang teguh prinsip syariah. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan sebuah aturan yang lengkap dan sempurna, yang mengatur segala aspek kehidupan untuk keselamatan dunia dan akhirat. Salah satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni 5 6 I Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 3.

  Ibid pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Harta waris yaitu segala jenis harta benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah dan sebagainya.

  Pada masyarakat adat Aceh di Provinsi Aceh yang menganut syariat Islam persoalan pembagian warisan sering dilakukan dengan melibatkan lembaga adat. Hal ini dilakukan karena kehidupan masyarakat tidak terlepas dari kehidupan adat. Adat merupakan sumber hukum yang terlebih dahulu diterapkan di Aceh. Meskipun jarang terdapat hasil peraturan yang tertulis, pelaksanaan adat di Aceh selalu beriringan dengan prinsip syariat Islam. Dalam masyarakat Aceh berkembang istilah adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah. Hal ini menurut Zainuddin diartikan bahwa :

  Pengertiannya yaitu bahwa agama bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits serta adat dirumuskan melalui undang-undang dan reusam negeri yang disusun oleh Sultan dengan bermusyawarah bersama orang-orang besarnya. Apabila agamanya kuat,maka kuat pula adatnya. Begitu juga sebaliknya, apabila

  7 adatnya kuat maka kuat pula agamanya.

  Kemudian kesuksesan Sultan Iskandar Muda dalam penerapan sistem politik pemerintahan, kemasyarakatan, ekonomi, maupun sosial budaya yang kuat, tangguh serta perannya dalam segala hal termasuk dunia internasional, telah menjadi acuan sebagai standar rujukan. Ketangguhan pemerintahan Sultan Iskandar Muda saat itu, karena dilatarbelakangi kemampuannya membangun suatu kultur dan struktur tatanan masyarakat Aceh menjadi salah satu segmen peradaban manusia yang terkumpul dalam nilai-nilai filosofi “adat ngon hukom lagei zat ngon 7 M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Djilid I, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961, hlm. 334

  sifeut”

  (adat dan hukum seperti zat dengan sifatnya) yang struktur implementasinya disimpulkan dalam “Adat bak Po Teumeuruhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun

  8 bak Putroe Phang

  , Reusam bak Laksamana”. Kalimat tersebut dapat diartikan bahwa dalam masyarakat Aceh, adat berasal dari kebiasaan nenek moyang (orang tua-tua terdahulu), hukum berasal dari syiah kuala/cendekiawan/para ahli hukum, peraturan bersumber dari penguasa dan perintah bersumber dari para pemimpin/panglima perang.

  Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa di Provinsi Aceh hukum agama dan hukum adat memegang peranan penting dalam masyarakat, walaupun pernah mengalami kevakuman di Aceh pada masa orde baru, maka masyarakat Aceh menuntut pemerintah agar memberlakukan kembali syari’at Islam di Aceh. Tuntutan ini disikapi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan mencetuskan Undang- Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

  Pasal 6 UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh menentukan bahwa “Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. Kemudian dalam Pasal 7 UU No. 44 Tahun 1999 juga diatur bahwa “Daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan 8 Badrulzaman, dalam T. Mukhlis, Lembaga Adat Gampong Sebagai Pengendalian

  http://id.scribd.com/doc/ Diakses Sosialmasyarakat Terhadap Pelaksanaansyari’at Islam Di Aceh, Desember 2012 kedudukannya masing-masing di Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan,

  9 Pemukiman, dan Kelurahan/Desa atau Gampong.

  Salah satu inti dari undang-undang tersebut adalah penyelenggaraan kehidupan beragama yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat. Kemudian dipertegas pula dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, harapan untuk terlaksananya syari’at Islam lebih besar karena memungkinkan pembentukan

10 Peradilan Syari’at Islam di Aceh.

  Kemudian dalam Pasal 98 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ditentukan bahwa :

  1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dibidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. 2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat.

  Perkembangan pemerintahan Aceh dewasa ini dengan dikeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor

  7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, maka telah ditetapkan sepuluh lembaga adat,

  Imeum Mukim Geuchik

  yaitu (kepala/pemimpin pemerintahan mukim), (kepala/pemimpin pemerintahan Gampong), Tuha Peuet (empat orang tetua 9 Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Nomor 44 tahun 1999 tentang

  Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh 10 Muchlis, ,

  Membangun Peradilan Syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam www.komisihukum.go.id/, Diakses pada tanggal 10 Juni 2007. Gampong), Tuha Lapan (delapan orang perwakilan gampong), Imeum Meunasah (Imam Mesjid/Meunasah), Keujruen Blang (pemimpin atau yang dituakan di kalangan petani), Panglima Laot (pemimpin atau yang dituakan di kalangan nelayan), Peutua Seneubok (pemimpin atau yang dituakan di kalangan petani ladang), Haria Peukan (pemimpin atau yang dituakan pedagang pasar, dan

  Syahbanda (pemimpin atau yang dituakan di pelabuhan/Bandar).

  Kemudian dalam Pasal 98 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terdapat satu lembaga adat lagi yaitu Majelis Adat Aceh (MAA). Di antara lembaga-lembaga adat yang disebutkan di atas, geuchik atau keuchik yang setingkat dengan lurah berperan besar sebagai pengendali sosial masyarakat dalam mengatur setiap kebijakan yang berada dalam wilayah hukumnya, termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan tentang hukum syari’at Islam. Geuchik/keuchik dalam menjalankan tugas dan fungsinya dibantu oleh lembaga-lembaga adat lain yang berkompeten dengan cara musyawarah termasuk dalam hal ini dalam menyelesaikan sengketa pembagian warisan.

  Hasil pengamatan sementara diketahui bahwa pada tingkat gampong (desa), pelaksanaan penyelesaian sengketa pembagian warisan secara adat biasanya merupakan tanggung jawab keuchik (kepala gampong), imuem meunasah (pemimpin keagamaan di gampong), ulama lokal dan tuha peut (tetua gampong). Kalau terjadi suatu sengketa, para pemimpin gampong tersebut akan berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu melalui musyawarah atau konsultasi. Dalam proses tersebut, seorang pemimpin gampong (desa) akan membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan bersama, dimana kedua belah pihak akan mencari jalan keluar yang dihasilkan lewat perdamaian (mediasi).

  Berdasarkan uraian latar belakang tersebut tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai peran dan fungsi lembaga adat dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa pembagian warisan di Kota Banda Aceh. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “ANALISIS YURIDIS

PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA ACEH.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:

  1. Mengapa masyarakat Aceh di Kota Banda Aceh memilih lembaga adat Aceh sebagai tempat menyelesaikan sengketa pembagian warisan ?

  2. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan oleh lembaga adat Aceh di Kota Banda Aceh ?

  3. Bagaimanakah pelaksanaan putusan lembaga adat Aceh dalam penyelesaian sengketa pembagian warisan di Kota Banda Aceh ?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :

  1. Untuk mengetahui alasan masyarakat Kota Banda Aceh memilih lembaga adat Aceh sebagai tempat menyelesaikan sengketa pembagian warisan.

  2. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan oleh lembaga adat Aceh di Kota Banda Aceh.

  3. Untuk mengetahui pelaksanaan putusan lembaga adat Aceh dalam penyelesaian sengketa pembagian warisan di Kota Banda Aceh.

D. Manfaat Penelitian

  Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

  1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, serta perkembangan hukum di bidang kewarisan dalam hal ini hukum waris adat, yang berhubungan dengan masalah penyelesaian sengketa dalam pembagian warisan melalui lembaga adat Aceh.

  2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat, khususnya kepada masyarakat adat Aceh di Kota Banda Aceh yang mengalami sengketa pembagian warisan agar dapat lebih mengetahui tentang mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui lembaga adat Aceh.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan beberapa beberapa penelitian yang menyangkut lembaga adat dan penyelesaian sengketa waris diantaranya :

  1. Penelitian dengan judul “Efektifitas Putusan Lembaga Adat Aceh dalam Penyelesaian Sengketa (Studi di LAA tingkat Gampong di Kabupaten Aceh Besar) oleh Gelora Dee Sarah Nim. 087011047. Penelitian ini walaupun objek nya juga menyangkut Lembaga Adat Aceh tetapi tidak ditujukan terhadap penyelesaian sengketa pembangian warisan tetapi hanya penyelesaian sengketa secara umum.

  2. Penelitian dengan judul Pelaksanaan Pembagian Warisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau (Studi Kasus di Kabupaten Agam) oleh Cahaya Masita Nasution, Nim 047011077. Pada penelitian ini walaupun mengacu pada pelaksanaan pembagian warisan tetapi objeknya bukan pada Masyarakat Adat Aceh tetapi ditujukan Pada Masyarakat Adat Minangkabau. Kedua penelitian sebelumnya tersebut tidak membahas objek yang sama dengan penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini yang berjudul

  “ANALISIS YURIDIS PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM

  

PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA

ACEH” adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Dalam sebuah penulisan ilmiah termasuk dalam penulisan karya tulis di bidang hukum tentunya tidak terlepas dari adanya teori yang dijadi kerangka pikir di dalam penulisan. Teori yang dimaksud adalah untuk menerangkan atau menjelaskan

  11

  mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak

  12

  benarannya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan

  13 perbandingan, pegangan teoritis.

  Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, maka kerangka teori yang digunakan juga yang berkaitkan dengan masalah hukum waris juga telah ada aturan yang dapat dipedomani oleh masyarakat sebagai hukum positif, baik menurut hukum perdata, hukum adat maupun hukum Islam. Salah satunya adalah teori aliran hukum positif dari Jhon Austin yang mengartikan:

  Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang 11 kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap 12 M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hlm. 203.

  hlm. 203 13 Ibid.,

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80 sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical

  system

  ). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.

  14 Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin, juga

  digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan bahwa: Sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.

  15 Hal yang sama juga

  dikatakan oleh Sunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.

  16 Jadi dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan.

  Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.

  17 Mengenai kewarisan hukum Islam telah menetapkan peraturan-peraturan

  mawaris di atas sebaik-baik aturan, terjelas dan paling adil sebab Islam mengakui pemilikan seseorang atas harta, baik ia laki-laki atau perempuan melalui jalan yang dibenarkan syari’at, sebagaimana Islam mengakui berpindahnya sesuatu yang 14 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hlm 55. 15 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hlm 15. 16 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, 1991, Bandung, hlm. 56. 17 Lihat, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal, yakni pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas

  bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan

kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. dimiliki oleh seseorang ketika hidupnya kepada ahli warisnya sesudah matinya, baik ahli waris itu laki-laki atau perempuan, tanpa membedakan antara anak kecil atau dewasa. Dimana hal ini sama sekali berbeda dengan hukum kewarisan sebelum Islam

  18 yang sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat yang ada.

  Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian yang besar karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati. Warisan adalah soal apa dan bagaimana berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia

  19

  meniggal akan beralih kepada keluarga yang masih hidup. Harta benda yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia, di samping berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya dalam upaya mengabdi kepada yang maha pemberi, juga antara lain untuk mempererat hubungan persaudaraan. Namun kematian seseorang sering berakibat timbulnya silang sengketa dikalangan ahli waris mengenai harta peninggalannya. Hal seperi ini sangat mungkin terjadi, bilamana pihak-pihak terkait tidak konsisten dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan.

  Pembagian harta warisan menurut hukum Islam sesuai dengan petunjuk Al- Qur’an dan hadis, bertujuan positif dan konstruktif untuk menyelamatkan umat Islam dari perbuatan tercela. Jadi sistem kewarisan menurut hukum Islam secara jelas dan rinci telah diatur baik mengenai tata cara pembagian dan peralihan harta si pewaris kepada para ahli waris, harta waris, serta hal-hal yang menghalangi ahli waris untuk 18 19 Muhammad Ali Aş-Şabǔnī, Hukum Waris Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1998, hlm. 47.

A. Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2003. hlm 356.

  mendapatkan harta warisan dari si pewaris. Tata cara pembagian dan peralihan harta waris dari si pewaris kepada ahli waris antara lain dengan cara menyerahkan harta waris tersebut pada ahli waris yang berhak dan ada kalanya dengan jalan wasiat.

  Apabila dikaitkan dengan proses pewarisan dapat pula dijelaskan bahwa para ahli waris yang mempunyai hak waris dari seseorang yang meninggal dunia, baik yang ditimbulkan melalui hubungan turunan (zunnasbi), hubungan periparan (asshar), maupun hubungan perwalian (mawali). Hal ini dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu:

  1. Golongan yang hak warisnya mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq oleh para ulama dan sarjana hukum Islam.

  2. Golongan yang hak warisnya masih diperselisihkan (ikhtilaf) oleh para

  20 sarjana hukum Islam.

  Berdasarkan dua golongan tersebut diatas, maka golongan ahli waris yang telah disepakati hak warisnya terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.

  Kelompok Ahli Waris laki-laki adalah sebagai berikut :

  1. Anak laki-laki

  2. Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya ke bawah

  3. Bapak

  4. Kakek shaih dan seterusnya keatas

  5. Saudara laki-laki sekandung

  6. Saudara laki-laki sebapak

  7. Saudara laki-laki seibu

  8. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung 9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak.

  10. Paman sekandung. 20 Suparman Usman, Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, Gaya Media Pratama, Jakarta,

  1997, hlm. 63

  11. Paman sebapak

  6. Saudara perempuan sekandung

  Golongan ahli waris yang masih diperselisihkan hak warisnya adalah keluarga terdekat sebelah ibu (dzul arham), yang tidak disebutkan dalam Kitab Allah (Al-Quran) tentang bagiannya (fardh), ataupun tentang ‘ushbat. Mereka dikenal dengan sebutan ahli waris dzawil al-arham.

  ; sebagian lainnya tidak mempunyai bagian tertentu, tetapi mereka menerima sisa pembagian setelah diambil oleh ahli waris ashhabul furudh, mereka disebut ahli waris ashabah.

  ashhabul furudh

  Kedua puluh lima ahli waris tersebut sebagian mempunyai bagian (fardh) tertentu, yakni bagian yang sudah ditentukan kadarnya, mereka disebut ahli waris

  9. Isteri 10. Orang perempuan yang memerdekakan budak.

  8. Saudara perempuan seibu

  7. Saudara perempuan sebapak

  5. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya keatas

  12. Anak laki-laki paman sekandung

  4. Nenek dari pihak bapak dan seterusnya keatas

  3. Ibu

  2. Cucu perempuan pancar laki-laki

  1. Anak perempuan

  15. Orang laki-laki yang memerdekakan budak Kelompok Ahli waris Perempuan adalah sebagai berikut :

  14. Suami

  13. Anak laki-laki paman sebapak

  Anak laki-laki berhak menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana anak perempuan juga berhak menerimanya. Misalnya, kandungan Pasal 174 ayat (1) KHI dinyatakan bahwa ayah, anak laki-laki paman dan kakek (golongan laki-laki), juga ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek (golongan perempuan) adalah kelompok ahli waris karena hubungan darah yang sama-sama mewarisi. Dengan demikian, tidak ada diskriminasi jenis kelamin dalam hukum kewarisan Islam yang ada dalam KHI. Hal tersebut disebabkan asas-asas yang terkandung dalam Hukum Kewarisan Islam dalam KHI.

21 Ahli waris yang telah disepakati hak warisnya, dapat memperoleh warisan

  jika memenuhi syarat warisan, sebagai berikut :

  a. Pewaris benar-benar telah meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan telah meninggal; misalnya, orang yang tertawan dalam peperangan dan orang hilang yang telah lama meninggalkan tempat tanpa diketahui hal ihwalnya.

  b. Ahli Waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada saa pewaris meninggal.

  c. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau dengan kata lain, benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris bersangkutan berhak waris.

  d. Tidak terdapat penghalang warisan. Penghalang warisan yang dimaksud adalah berbeda agama, membunuh, serta menjadi budak orang lain.

  22 Lajnah ulama Mesir mengemukakan, seperti halnya waladin dan aqrabin

  yang kafir, atau mereka mukmin tetapi terhijab untuk mendapatkan warisan, misalnya ibnu akhi (anak laki-laki dari saudara laki-laki) karena ada akhun (saudara laki-laki), atau kalau mereka termasuk dzawil arham. Menurut Al-Qurthubi, artinya : ………… ayat tersebut adalah mahkamah, lahir ayat adalah umum, dan artinya khusus bagi waladain dan aqrabain yang tidak menerima warisan, seperti keduanya kafir atau hamba sahaya, dan bagi kerabat yang tidak mendapatkan warisan.

  23 21 M. Hasballah Thaib, Op.Cit., hlm 14 22 Ibid . 23 Ibid ., hlm. 175 Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa selain pembagian dengan cara menyerahkan harta waris tersebut pada ahli waris yang berhak pewarisan dapat juga dilakukan dengan cara perdamaian antara para ahli waris. Hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya sengketa dalam pembagian warisan sebagaimana dalam masyarakat adat Aceh penyelesaian sengketa dalam pembagian warisan dilakukan dengan melibatkan lembaga adat Aceh. Kondisi inilah yang menunjukkan keunggulan hidup masyarakat di gampong (kampung) adalah kebersamaan menyelesaikan masalah secara musyawarah.

  Musyawarah dan mufakat itu sendiri merupakan bagian dari budaya manusia, sementara kesepakatan yang dilakukan antara anggota masyarakat mengandung komponen budaya yang disebut budaya hukum. Nilai-nilai budaya mempunyai kaitan erat dengan hukum karena hukum yang baik adalah hukum yang

  24

  mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Nilai tidak bersifat kongkrit melainkan sangat abstrak dan dalam prakteknya bersifat subjektif, agar dapat berguna maka nilai abstrak dan subjektif itu harus lebih dikongkritkan. Wujud kongkrit dari nilai adalah dalam bentuk norma. Norma hukum bersifat umum yaitu

  25 berlaku bagi siapa saja.

  Nilai dan norma berkaitan dengan moral dan etika, moral akan tercermin dari sikap dan tingkah laku seseorang. Pada situasi seperti ini maka sudah memasuki

  24 25 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op.Cit., hlm 80.

  R. Rosjidi Rangga Widjaja, Ilmu Perundang-undangan Indonesia Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 24.

  26

  wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia. Sikap masyarakat yang patuh dan taat pada hukum akan memperlancar penegakan hukum

  27

  (law enforcement). Sikap moral masyarakat yang ada akan melembaga dalam suatu budaya hukum (legal culture). Sikap kepatuhan terhadap nilai-nilai hukum sangat mempengaruhi bagi berhasil atau tidaknya penegakan hukum itu sendiri dalam kehidupan masyarakat.

  Lawrence M. Friedmen menyatakan bahwa yang dimaksud dengan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu

  28

  jalannya proses hukum. Beliau juga menyatakan bahwa budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum tidak

  29 akan berdaya jika diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

  Selain itu, menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor sarana atau fasilitas merupakan faktor yang cukup penting dalam upaya penegakan hukum.

  Tanpa adanya sarana dan prasarana yang mendukung, maka tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan lancar. Hal ini meliputi sumber daya

  26 Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Gramedia Pustaka, Jakarta, 1996, hlm. 250. 27 Law Enforcement adalah pelaksanaan hukum atau penegakan hukum. Lihat John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, Gramedia, Jakarta 1989, hlm. 140. 28 Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction (Hukum Amerika Sebuah

), Penerjemah Wishnu Basuki, Second Edition, PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hlm. 8.

  Pengantar 29 Ibid . manusia yang terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai serta

  30 keuangan yang cukup.

  Penyelesaian sengketa di Indonesia biasanya memiliki pola tersendiri, Ade Maman Suherman mengutip pendapat Daniel S.Lev. mengatakan bahwa budaya hukum di Indonesia dalam penyelesaian sengketa mempunyai karakteristik tersendiri

  

31

  yang disebabkan oleh nilai-nilai tertentu. Istilah budaya hukum digunakan untuk

  32

  menunjukkan tradisi hukum dalam mengatur kehidupan suatu masyarakat. Faktor penting dalam menyelesaikan sengketa yaitu konsensus antara para pihak yang bersengketa. Kenyataannya bahwa setiap masyarakat mengenal pembagian

  33 kewenangan atau otoritas (authority) secara tidak merata.

  Pemikiran di atas dibedakan dengan apa yang dikenal dengan sosiologi hukum yang tumbuh dan berkembang di Eropa Kontinental dan hukum sebagai gejala sosial. Perbedaan antara sosiologi hukum dan hukum sebagai gejala sosial di antara keduanya ialah bahwa kalau “sosiological jurisprudence itu merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum

  34 dan masyarakat dan sebaliknya”. 30 31 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 27 Ade Maman Suherman, Perbandingan Sistem Hukum RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 16 32 33 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Op.Cit., hlm. 108.

  Authority menurut Mark Weber yang ia bedakan dari pengertian Power, ia mengartikan

authority sebagai kemungkinan perintah-perintah seseorang di dalam posisi ataukedudukan tertentu

diikuti oleh sekelompok orang tertentu. Power bersumber dari dalam kepribadian seseorang, maka

authority bersumber atau melekat di dalam kedudukan orang yang memilikinya. Lihat Ralph

Dahrendorf, Case and Class Conflict in Industrial Society, Stanford University Press, Jakarta, 1959, hlm. 162. 34 Ibid ., hlm. 66. Sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauhmana gejala dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut di samping juga diselidiki, sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dengan demikian, yang terpenting adalah bahwa “sociological jurisprudence” merupakan cara pendekatan yang bermula dari hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum”.

  35 Mashab sociological jurisprudence ini mengetengahkan tentang:

  Pentinganya living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat, dimana kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthese dari

  these nya, yaitu positivisme hukum dan antithesenya mashab sejarah. Dengan

  demikian, “sociological `jurisprudence berpegang pada pendapat pentingnya baik akal maupun pengelaman dimanna pandangan ini berasal dari Rescoe Pound yang inti sarinya adalah konsepsi masing-masing aliran yaitu positivisme hukum dan mashab sejarah.

  36 Berdasarkan uraian di atas, kemudian lahir konsep law as a tool of social engineering

  yang berati bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah secara sadar masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Oleh karena itu, dalam upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan pengoptimalan efektifitas hukum pun menjadi salah satu topik bahasan sosiologi hukum.

  Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengembangan Ilmu Hukum yang bercirikan Indonesia tidak saja dilakukan dengan mengoper bagitu saja Ilmu-ilmu

  35 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi, LP3S, Jakarta, 1986, hlm 1-25. 36 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional , Bina Cipta, Bandung, 1986. hlm 56. Hukum yang bersal dari luar dan yang dianggap modern, tetapi juga tidak secara

  37 membabi buta mempertahankan yang asli. Keduanya harus berjalan secara selaras.

  Salah satu tuntutan aspirasi yang berkembang dalam era reformasi sekarang ini adalah reformasi di bidang hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di Indonesia. Sistem hukum yang hendak diwujudkan sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan kehidupan nasional. Jimly Assiddqqie mengatakan bahwa :

  Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumber daya manusia, kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus

  38 menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan.

  Peran hukum dalam masyarakat memang sering menimbulkan banyak persoalan, hukum bahkan dianggap sebagai instrumen pengatur yang sah dalam negara hukum. Dengan kedudukan yang demikian, hukum mempunyai kekuatan untuk memaksa. Berkaitan dengan keberadaan hukum itu sendiri di tengah masyarakat, Mochtar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa tujuan utama adanya

  39 hukum adalah jaminan ketertiban, keadilan, dan kepastian.

  Dengan demikian, hukum adalah sebuah sistem yang mempunyai ciri dan karakteristik yang menjadi penggerak dan pengatur kehidupan masyarakat. Terkait dengan ciri dan karakteristik hukum dan masyarakat tersebut, Roscoe Pound, 37 38 Ibid .

  Jimly Asshiddiqie, Tata Urut Peraturan Perundang-undangan dan Problematika , makalah, 2005.

  Peraturan Daerah 39 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam Pembangunan, Alumni-Bandung, 2002, hlm. 5-6. mengenalkan lebih lanjut apa yang disebut sebagai law as a tool of social

  40

engineering . Selanjutnya dengan mengilhami dari teori law as a tool of engineering

yurisprudence

  dari ajaran Roscoe Pound yang beraliran sociological Mochtar Kususmaatmadja menghasilkan teori hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Beberapa karakteristik dari teori beliau yang membedakan dengan teori dari Roscoe Pound adalah:

  a. Lebih menekankan peranan peraturan perundang-undangan dalam proses pembaharuan di Indonesia, sedangkan teori dari Roscoe Pound terutama ditujukan pada peranan pembaharuan terhadap putusan pengadilan, khususnya putusan Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi; b. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat yang menolak penerapan mekanistis dari konsepsi law as a tool of social

  engineering

  . Penerapan secara mekanistis demikian, yang digambarkan dengan kata tool akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan penerapan legisme yang dalam sejarah hukum di Indonesia telah dikritik banyak pihak.

  c. Apabila ada pengertian hukum termasuk pula hukum internasional, maka Indonesia sebenarnya sudah menjalankan asas hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan secara resmi

  41 sebagai landasan kebijaksanaan luhur.

  Jadi fungsi hukum itu pasif, yaitu mempertahankan status quo sebagai a tool

  of social control

  , sebaliknya hukum pun dapat berfungsi aktif sebagai a tool of social

  

engineering . Oleh karena itu, penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial

  didominasi oleh kekuasaan negara. Dengan demikian, sesuai dengan pendapat

  42 Satjipto Raharjo bahwa Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial. 40 . 41 Ibid . 42 Ibid Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hlm. 254. Lebih lanjut mengenai metode penelitian hukum Satjipto Raharjo mengatakan bahwa Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya

  43

  yang tertinggi. Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita

  44 merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.

  Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis ini mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam

  45 penelitian ini.

2. Konsepsi

  Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau definisi operasional sebagai berikut :

  1. Lembaga adat adalah gabungan dari kata “lembaga” dan “adat”, di mana 43 lembaga diartikan sebagai pola perilaku manusia yang mapan yang terdiri 44 Ibid. 45 Ibid.

  

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80. dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai dan relevan sehingga lembaga adat diartikan sebagai pola perilaku masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai dan relevan.

  2. Lembaga adat Aceh adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan

  46 adat Aceh.

  3. Masyarakat Adat adalah masyarakat kelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu, mempunyai pemimpin, dan mempunyai norma-norma hukum sendiri yang mereka taati bersama atau kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua

  47 anggotanya.

  4. Putusan lembaga Adat adalah putusan yang diambil oleh lembaga adat guna penyelesaian suatu permasalahan dalam masyarakat adat termasuk dalam hal ini putusan terhadap penyelesaian sengketa dalam pembagian 46 warisan. 47 Pasal 1 ayat (5) Perda No. 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,

  hlm. 93.

  5. Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris termasuk dalam hal ini pusaka dan surat wasiat. Pewaris, adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat. Ahli waris, yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris. Mewarisi, yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya.

  Proses pewarisan

  merupakan Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu (1) berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup; dan berarti pembagian harta warisan

  48 setelah pewaris meninggal.

  6. Pembagian Warisan adalah upaya yang dilakukan untuk melaksanakan pembagian harta warisan peninggalan dari pewaris kepada ahli waris yang berhak.

  7. Sengketa waris adalah sengketa atau perselisihan yang timbul dalam pembagian warisan.

  8. Banda Aceh adalah salah satu kota di Provinsi Aceh yang juga merupakan ibukota Provinsi Aceh dan wilayahnya juga terdiri dari kecamatan dan

  gampong (desa) yang dipimpin oleh keuchik.

48 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW), Rafika Aditama, Bandung, 2005, hlm 4 – 5.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

  Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan gejala- gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan pembentukan hukum untuk dalam menyelesaikan permasalahan pembagian warisan dalam masyarakat adat Aceh.

  Metode Pendekatan penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan

  

yuridis normatif dan yuridis empiris untuk mengkaji mekanisme penyelesaian

  sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan meng inventarisasi hukum positif yang mengatur dan berkaitan dengan efektifitas putusan Lembaga Adat Aceh dalam penyelesaian sengketa pembagian warisan. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan melalui penelitian lapangan yang diharapkan akan diperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Dengan demikian, walaupun penelitian ini merupakan penelitian normatif namun juga tidak terlepas dari pendekatan yuridis

  empiris

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan Di Kota Banda Aceh

6 89 155

Efektifitas Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Di Lembaga Adat Aceh Tinggkat Gampong Di Kabupaten Aceh Besar)

4 142 125

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Komparisi Penghadap Dalam Akta Notaris Berdasarkan Putusan No. 51 Pk/Tun/2013

0 0 21

Model Penyelesaian Sengketa dan Peradilan Adat di Aceh

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Peraturan Bersama Antar Lembaga Negara Dalam Penanganan Pecandu Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi

0 0 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Problematika Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah Melalui Ajudikasi Pasca Bencana Tsunami Di Kota Banda Aceh

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Batas Waktu Di Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/ Pn-Mdn)

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Mekanisme Penyelesaian Sengketa oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam Penyelesaian Sengketa Antar Negara Anggota ASEAN.

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peran Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Harta Bersama Setelah Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Medan)

0 0 14

BAB II LEMBAGA ADAT ACEH SEBAGAI TEMPAT MENYELESAIKAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN A. Pengertian Adat dan Masyarakat Adat - Analisis Yuridis Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan Di Kota Banda Aceh

0 0 49