Keanekaragaman Jenis Ikan Di Aliran Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun Chapter III V

47

BAB 3
BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2016
di aliran Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun. Sampel yang diperoleh
dibawa untuk diidentifikasi ke Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Sumatera Utara.

3.2. Metode Penelitian
Penentuan titik lokasi pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan
dengan metode Purposive Random Sampling, yaitu dengan menentukan 4 stasiun
pengambilan sampel. Masing-masing stasiun ditentukan berdasarkan aktivitas
yang terdapat di daerah tersebut.

3.3. Deskripsi Area
3.3.1. Lokasi Penelitian Stasiun 1
Stasiun 1 berada di Desa Karanganom, Pane Tongah yang secara geografis

terletak pada 02057’21,80” LU dan 099007’26,49” BT. Stasiun 1 ini merupakan
daerah pengerukan pasir dan batu serta terdapat bendungan. Substrat dasar pada
lokasi ini adalah pasir dan batu (Gambar 2.).

Gambar 2. Sungai Bah Bolon Pada Stasiun 1 yang Terletak di Desa
Karanganom, Pane Tongah.

Universitas Sumatera Utara

48

3.3.2. Lokasi Penelitian Stasiun 2
Stasiun 2 merupakan daerah pariwisata yang dikelola oleh penduduk yang berada
di kota Pematang Siantar.Secara geografis stasiun 2 ini terletak pada
02057’29,58”LU dan 099004’25,44’’BT. Substrat dasar pada lokasi ini
berupa bebatuan dan berpasir (Gambar 3.)

Gambar 3. Sungai Bah Bolon pada Stasiun 2 yang Merupakan Daerah
Pariwisata Terletak di Kawasan Kota Pematang Siantar.
3.3.3. Stasiun 3

Stasiun 3merupakan daerah pembuangan limbah rumah sakit dan pabrik es yang
berada tidak jauh dari aliran sungai, lokasi sungai terletak di Kota Pematang
Siantar. Secara geografis stasiun 3 terletak pada

02057’16,27’’ LU dan

099003’50,70’’ BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir, bebatuan dan
sedikit berlumpur (Gambar 4.).

Gambar 4. Sungai Bah Bolon Pada Stasiun 3 yang Merupakan Badan Air,
Penerima Air Limbah Rumah Sakit dan Pabrik Es Yang
Terdapat di Kota Pematang Siantar

Universitas Sumatera Utara

49

3.3.3. Stasiun 4
Stasiun 4merupakan daerah yang terdapat aktivitas dari pemukiman penduduk
seperti mencuci, pemandian dan penangkapan ikan. Lokasi stasiun 4 terletak di

Kota Pematang Siantar, yang secara geografis terletak pada 02056’32,61’’ LU
dan

099002’33,27’’ BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir dan batu

(Gambar 5).

Gambar 5. Sungai Bah Bolon Pada Stasiun 4 yang Terdapat Dekat
Pemukiman Penduduk Di Kota Pematang Siantar.
3.4. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah jala dengan luas 12,56 m2
dan diameter mata jala 1,5 cm, cool box, tool box, camera digital, pH meter, DO
meter, turbidity meter, termometer, lux meter, keping secchi, pipet tetes,
erlemeyer 150 ml, spit 5 ml, spit 3 ml, ember 5 liter dan botol alkohol. Bahan
yang digunakan adalah alkohol 70%, kertas grafik, aluminium foil, plastik 10 kg,
MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum.

3.5. Pengambilan Sampel Ikan
Pengambilan sampel ikan dilakukan bersamaan dengan pengukuran faktor-fisik
kimia perairan. Cara pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menebar jala

dengan luas 12,56 m2 sebanyak 30 ulangan pada masing-masing stasiun.
Penebaran jala dilakukan berdasarkan penentuan 3 titik sampling secara acak di
setiap lokasi pengambilan sampel. Sampel ikan yang diperoleh dimasukkan ke
dalam toples plastik berukuran 5 kg dan diawetkan dengan alkohol 70% untuk

Universitas Sumatera Utara

50

selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dengan menggunakan
buku identifkasi Kottelat.

3.6. Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan
3.6.1. Suhu
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan alat termometer dengan skala
0-100oC. Termometer dimasukkan ke badan air dan biarkan beberapa saat lalu
dibaca skala dari termometer tersebut dan dicatat hasil yang tertera pada skala
termometer.

3.6.2. Intensitas Cahaya

Lux meter diletakkan pada lokasi penelitian setelah terlebih dahulu dinyalakan
dan diatur Lux meter pada perbesaran 200.000, kemudian dicatat nilai yang tertera
pada layar.

3.6.3. Penetrasi Cahaya
Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping Sechii,
caranya dengan keping Sechii dimasukkan ke dalam perairan sungai, sampai
keping Sechii tersebut tidak kelihatan, kemudian diukur panjang talinya.

3.6.4. Kecepatan Arus Sungai
Bola ping pong dimasukkan ke badan sungai bersamaan dengan menghidupkan
stopwatch, hingga mencapai jarak 10 m. Kemudian dimatikan stopwatch dan
dicatat waktunya. Pengukuran kecepatan arus dilakukan sebanyak 5 x ulangan.

3.6.5. Derajat Keasaman (pH)
Pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sebelumnya
dikalibrasi dulu pH dengan pH 7. Pengukuran pH air dilakukan dengan cara
ujung dari pH meter dimasukkan ke permukaan badan air lalu dibaca nilai yang
tertera pada pH meter dan dicatat hasil yang didapatkan.


Universitas Sumatera Utara

51

3.6.6. Dissolved Oxygen (DO)
Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode Winkler,
yaitu sampel air dimasukkan ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan masingmasing 1 ml MnSO4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan dihomogenkan.
Sampel didiamkan sebentar hingga terbentuk endapan putih, kemudian
ditambahkan 1 ml H2SO4, dihomogenkan dan didiamkan hingga terbentuk
endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu
dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat, lalu sampel
ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru.
Kemudian sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga terjadi
perubahan warna menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai
dihitung dan hasilnya dicatat. (Lampiran 3).

3.6.7. Biochemical Oxygen Demand (BOD5)
Pengukuran BOD5 dilakukan setelah sampel air yang diambil, diinkubasi selama 5
hari, kemudian dengan metode Winkler yang memakai reagen-reagen kimia yaitu
MnSO4 dan KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, amilum. Sampel air dimasukkan ke dalam

botol Winkler, lalu ditambahkan masing-masing 1 ml MnSO4 dan KOH-KI ke
dalam botol tersebut dan dihomogenkan. Sampel didiamkan sebentar hingga
terbentuk endapan putih, kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4, dihomogenkan dan
didiamkan hingga terbentuk endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga
berwarna kuning pucat, lalu sampel ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan
dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru. Kemudian sampel dititrasi
menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga terjadi perubahan warna menjadi bening.
Volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai dihitung dan hasilnya dicatat. Nilai
BOD5 adalah nilai DO awal dikurang dengan nilai DO akhir. Prosedur kerja BOD5
dapat dilihat pada lampiran 4.

Universitas Sumatera Utara

52

3.6.8. Kejenuhan Oksigen
Nilai kejenuhan oksigen (%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
DO u


Kejenuhan O2 =

DO t

x 100%

Keterangan:
O2 [U] : Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)
O2 [t] : Nilai konsentrasi pada tabel (lampiran 5) sesuai besar suhunya.

3.6.9. Kadar Nitrat (NO3)
Sampel air diambil sebanyak 5 ml, lalu ditambahkan 1 ml NaCL dengan
pipet volum dan ditambahkan 5 ml H2SO4 75% lalu ditambah 4 tetes Brucine
Sulfat Sulfanic Acid. Larutan yang terbentuk dipanaskan selama 25 menit.
Kemudian larutan tersebut didinginkan lalu diukur dengan spektrofotometer pada
λ= 410 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera pada spektrofotometer.
3.5.10.Total Suspended Solid (TSS)
Pengukuran


kandungan

TSS

dilakukan

dengan

menggunakan

metode

spektrofotometer di Laboratorium Lingkungan Shafera Enviro.

3.5.11.Total Disolved Suspended (TDS)
Pengukuran kandungan TDS dilakukan dengan menggunakan metode
spektrofotometer di Laboratorium Lingkungan Shafera Enviro.

3.6.12. Kadar Posfat (PO4)
Sampel air diambil sebanyak 5 ml lalu ditambahkan 1 ml Amstrong Reagen dan 1

ml Ascorbic Acid. Larutan yang terbentuk dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur
dengan spektrofotometer pada λ= 880 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera
pada spektrofotometer.
Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia perairan beserta satuan
dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Universitas Sumatera Utara

53

Tabel 1. Alat dan satuan yang digunakan dalam pengukuran faktor
fisik-kimia perairan
No

Parameter Fisik-Kimia

1
2
3
4

5

Suhu
Penetrasi cahaya
Intensitas cahaya
pH air
Kecepatan Arus

6
7
8
9

DO
BOD5
Kejenuhan Oksigen
Kadar Nitrat (NO3)

10
11
12
13

Kadar Posfat (PO4)
Kekeruhan
Konduktivitas
TSS(Total Suspended
Solid)
TDS (Total Dissolved
Solid)

14

Satuan

Alat

°C
Meter
Candela
m/det

Termometer
Keping secchi
Lux meter
pH meter
Stopwatch, Bola ping-pong,
Meteran
Metoda Winkler
Metode Winkler dan Inkubasi
Spektrofotometri

mg/l
mg/l
%

mg/l

Tempat
Pengukuran
In situ
In situ
In situ
In situ
In situ
In situ
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium

mg/l
p mhos/cm
mg/L

Spektrofotometri
Turbidity meter
DO meter
Spektrofotometri

Laboratorium
In situ
In situ
Laboratorium

mg/L

Spektrofotometri

In situ

3.7. Analisis Data
3.7.1. Ikan
Data ikan yang diperoleh dianalisis dengan menghitung kepadatan populasi,
kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon Wiener, Indeks
keseragaman dan indeks kesamaan.

a. Kepadatan Populasi

KP (ind/m2) =

Jumlah individu suatu spesies
Luas Jala

(Michael, 1994)

b. Kepadatan Relatif Ikan

KR (%) =

jumlah K dalam setiap spesies
x 100 %
total K

Apabila KR > 10 % dan FK > 25%, maka suatu habitat dikatakan cocok
dan sesuai bagi kehidupan dan perkembangan suatu organisme (Krebs, 1985).

Universitas Sumatera Utara

54

c.

Frekuensi Kehadiran (FK)

FK =

Jumlah plot yang ditempati suatu jenis
x 100%
Jumlah total plot

Dimana nilai FK :

0 - 25 %
25 - 50 %
50 -75 %
75 - 100 %

= kehadiran sangat jarang
= kehadiran jarang
= kehadiran sering
= kehadiran absolut (sangat sering)
(Michael, 1994)

d. Indeks Diversitas Shannon – Wiener (H’)
H’ = − ∑ pi ln pi

Dimana :
H’
ln
pi

= indeks diversitas Shannon – Wiener
= logaritma Nature
= ∑ ni / N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan
keseluruhan jenis)

0 < H´ < 2,302
2,302 < H´ < 6,907
H´ > 6,907

= keanekaragaman rendah
= keanekaragaman sedang
= keanekaragaman tinggi
(Krebs, 1985)

e.

Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E)
E =

H'
H max

Dimana :
H’
H max

= indeks diversitas Shannon – Wienner
= keanekaragaman spesies maximum
= ln S (dimana S banyaknya genus)
(Krebs, 1985)

Universitas Sumatera Utara

55

f.

Indeks Similaritas (IS)
IS =

2c
X 100%
a+b

Dimana:
IS = Indeks Similaritas
a = Jumlah spesies pada lokasi a
b = Jumlah spesies pada lokasi b
c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b
(Michael, 1994)

3.7.4. Analisis Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan
yang berkorelasi terhadap nilai keanekaragaman ikan. Analisis korelasi dihitung
menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver.
17.00.
Keterangan:
0,00-0,199
0,20-0,399
0,40-0,599
0,60-0,799
0,80-1,00

: Sangat rendah
: Rendah
: Sedang
: Kuat
: Sangat kuat

Universitas Sumatera Utara

56

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Jenis-Jenis Ikan yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun
Hasil penelitian diperoleh jenis ikan yang

terdapat pada keempat stasiun

penelitian di sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun terdiri dari 3 ordo, 6
famili dan 11 spesies, seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi dan Jenis-jenis Ikan Yang Diperoleh Pada Stasiun Penelitian
No

Ordo

Famili

1.

Cypriniformes

1.

Cyprinidae

2.

Perciformes

2.

Channidae

3.

Siluriformes

3.
4.
5.
6.

Cichlidae
Bagridae
Clariidae
Loricariidae

Spesies
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Cyprinus carpio
Neolissochilus sumatranus
Puntius binotatus
Tor douronensis
Tor soro
Channa gachua
Channa striata
Oreochromis niloticus
Mystus nemurus
Clarias tjesmani
Hypostomus Plecostomus

1
+
+
+
+
+
+
+
+
8

Stasiun
2 3
- +
- + +
- - + +
+ +
- + + +
+ +
6 6

4
+
+
+
+
+
+
6

Keterangan: Tanda (+) : didapatkan, tanda (-) : tidak didapatkan.

Tabel 2. memperlihatkan bahwa jumlah spesies ikan yang didapatkan
berbeda pada setiap stasiun, pada stasiun 1 didapatkan sebanyak 8 spesies ikan,
sedangkan pada stasiun 2, 3 dan 4 yang masing-masing terdapat 6 spesies ikan.
Stasiun 1 memiliki jumlah spesies ikan lebih banyak dari stasiun lainnya
disebabkan oleh kondisi faktor fisik dan kimia perairan di stasiun 1 lebih baik
untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi
fisik dan kimia perairan seperti suhu, intensitas cahaya, penetasi cahaya,
kekeruhan, dan kadar nitrat dari stasiun 1 lebih mendukung pertumbuhan ikan
dibandingkan dengan stasiun lainnya. Kordi (2010), menyatakan suhu yang cocok
untuk biota air antara 23-320C. Tinggi rendahnya suhu suatu perairan sangat
dipengaruhi oleh faktor antara lain ketinggian, curah hujan dan intensitas cahaya
matahari. Maniagasi, et al (2013), menyatakan kemampuan cahaya matahari untuk
menembus sampai ke dasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan suatu perairan.
Hal ini dapat dilihat dari kondisi intensitas dan penetrasi cahaya pada stasiun 1

Universitas Sumatera Utara

57

yang dipengaruhi oleh kekeruhan, dimana pada Tabel 6. dapat dilihat bahwa
stasiun 1 memiliki nilai kekeruhan terendah. Kekeruhan mepengaruhi jarak
pandang ikan saat beraktifitas di dalam air, sehingga ikan lebih menyukai perairan
yang tidak terlalu keruh.
Stasiun 1 memiliki 2 spesies ikan yang tidak terdapat pada stasiun lainnya
yaitu ikan Neolissochilus sumatranus dan Oreochromis niloticus. Tabel 2.
menunjukkan terdapat dua jenis ikan Tor yakni Tor soro dan Tor douronensis
serta satu jenis ikan Neolissochilus yakni Neolissochilus sumatranus. Ketiga
spesies ini dikategorikan sebagai ikan batak oleh masyarakat setempat. Ketiga
spesies ini merupakan ikan ekonomis tinggi dan bernilai sosio-kultural khususnya
bagi masyarakat dari suku batak. Neolissochilus sumatranus merupakan spesies
endemik yang sudah sangat jarang ditemukan di daerah Sumatera Utara
(Simanjuntak, C. 2012). Neolissochilus sumatranusmerupakan jenis ikan yang
menyukai perairan dengan tingkat kekeruhan yang rendah, perairan jernih,
berbatu dengan oksigen terlarut yang tinggi. Kondisi ini dapat dilihat bahwa ikan
ini hanya didapatkan pada stasiun 1 yaitu daerah bendungan dengan kekeruhan
7,61 dan oksigen terlarut 8,19. Stasiun 1 dapat dikatakan daerah aliran sungai
yang lebih dekat dengan hulu sungai Bah Bolon, terletak di Kecamatan Pane
Tongah. Secara spasial dan temporal, ikan Neolissochilus sumatranus memiliki
distribusi yang luas di daerah hulu sungai dengan perairan yang jernih dan
kekeruhan rendah (Simanjuntak, C. 2012).
Puntius binotatus dan Clarias tjesmani merupakan ikan yang didapatkan
pada setiap stasiun penelitian. Ikan Lele ataupun Clarias tjesmani merupakan ikan
yang dapat ditemukan dalam berbagai kondisi air tawar baik keruh maupun jernih.
Hal ini disesuai dengan kondisi fisik kimia perairan sungai Bah Bolon seperti
suhu, kecepatan arus, pH, dan dengan substrat dasar berpasir maupun berbatu
disukai oleh ikan tersebut. Menurut Roberts (1989), ikan Puntius binotatus
tergolong benthopelagik, hidup di perairan tawar daerah tropis dengan kisaran pH
6,0-6,5 dan suhu perairan 24-260C. Umumnya ikan ini banyak ditemukan di
sungai dengan arus deras maupun tidak terlalu deras.
Tabel 2. menunjukkan famili Cyprinidae merupakan yang paling banyak
didapatkan jumlah spesiesnya dari 11 spesies yang ada pada keempat stasiun

Universitas Sumatera Utara

58

penelitian, yaitu Cyprinus carpio, Neolissochilus sumateranus, Puntius binotatus,
Tor douronensis dan Tor soro. Hal ini disebabkan kondisi faktor fisik kimia
perairan, seperti suhu, pH air, substrat dasar berbatu maupun berpasir, serta faktor
fisik kimia perairan lainnya di Sungai Bah Bolon mendukung sebagai habitat
untuk kelangsungan hidup ikan dari famili Cyprinidae. Menurut Kottelat et al
(1993), famili Cyprinidae merupakan penghuni terbesar ikan air tawar yang
memiliki adaptasi yang cepat terhadap perubahan kondisi perairan.
Ikan dari kelompok Channidae menempati urutan kedua jumlah spesies
paling banyak ditemukan di Sungai Bah Bolon yaitu Channa striata dan Channa
gachua. Hal ini dikarenakan habitat kelompok ikan Channidae dalam hal ini dari
genus Channa, umumnya di perairan sungai yang dicirikan dengan suhu kisaran
25-290C, oksigen terlarut tinggi dan bersubstrat batu maupun pasir. Tabel 2.
menunjukkan setelah kelompok Channidae, terdapat kelompok ikan Cichlidae,
Bagridae, Clariidae dan Locaridae masing-masing 1 spesies. Beberapa hasil
penelitian di beberapa sungai di kawasan Sumatera Utara menunjukkan hal
serupa, seperti di sungai Batang Toru, ditemukan bahwa famili Cyprinidae (11
spesies) merupakan penghuni utama, disusul oleh Channidae (2), Balitoridae (2),
Gobiidae (2), Cichlidae, Bagridae, Mastacembelidae, dan Sisoridae masingmasing 1 spesies (Roesma, et al., 2016); di Sungai Asahan ditemukan kelompok
Cyprinidae yang paling banyak didapatkan, disusul oleh Balitoridae, Clariidae,
Bagridae, dan 7 famili lainnya (Simanjuntak, C. 2012).
Karakteristik morfologi dari masing-masing ikan yang diperoleh di
keempat stasiun penelitian, sebagai berikut:

1. Cyprinus carpio/ Ikan Mas (Linnaeus, 1758)
Panjang total: 6,2-14,7 cm; panjang standar: 4,4-13,9 cm; panjang kepala: 1,8-1,9
cm; tinggi badan: 2,2-3,8 cm; panjang ekor: 1,2-1,7 cm; lebar bukaan mulut: 0,20,8 cm. Bentuk badan memanjang dan sedikit pipih kesamping, mulut terletak di
ujung tengah (terminal) serta terdapat dua pasang sungut. Sirip ekor berbentuk
heterocercal (cagak) dan tipe sisik berbentuk lingkaran (cycloid), empat buah
sungut; sirip punggung mempunyai 17-181�2jari-jari bercabang (Gambar. 6).

Universitas Sumatera Utara

59

Gambar 6. Cyprinus carpio Linn.

2. Neolissochilus sumatranus/Ikan Batak(Weber & de Beaufort, 1916)
Panjang total: 15,6-25,2 cm; panjang standar: 12,5-20,9 cm; panjang kepala: 3,14,3 cm; tinggi badan: 4,7-6,1 cm; panjang ekor: 3,3-4,1 cm; lebar bukaan mulut:
0,5-1, cm.Tipe sisik sikloid, tipe ekor homocercal, bentuk ekor forked, alur dari
bagian belakang sampai ke bibir bawah terputus di bagian tengah. Terdapat bintik
putih disekitar mulut (Gambar.7).

Gambar 7. Neolissochilus sumatranus

3. Puntius binotatus/ Ikan Kaperas(Valenciennes, 1842)
Panjang total: 9-32,4 cm; panjang standar: 6,9-26,1 cm; panjang kepala: 2,1-6,3
cm; tinggi badan: 4,3-7,5 cm; panjang ekor: 2,2-4,3 cm; lebar bukaan mulut: 0,51,3 cm. Mempunyai sebuah bintik bulat pada bagian depan sirip punggung dan
sebuah lagi ditengah batang ekor (Gambar. 8). Menurut Roberts, (1989), ikan ini
juga dikenal dengan nama spotted barb karena memiliki ciri khusus berupa bintik
hitam pada pangkal ekor dan di bagian depan pangkal sirip pungung.

Universitas Sumatera Utara

60

Gambar 8. Puntius binotatus
4. Tor douronensis/ Ikan Batak(Valenciennes, 1842)
Panjang total: 18,9-20,2 cm; panjang standar: 15,9-17,1cm; panjang kepala: 3-3,1
cm; tinggi badan: 4,6-5 cm; panjang ekor: 3,9-4,4 cm; lebar bukaan mulut: 0,5-1,2
cm. Tipe sisik sikloid, tipe ekor homocercal, bentuk ekor forked. Cuping
berukuran sedang pada bibir bawah tidak mencapai sudut mulut; bagian jari-jari
terakhir sirip punggung yang mengeras panjangnya sama dengan panjang kepala
tanpa moncong (Gambar. 9).

Gambar 9. Tor douronensis

5. Tor soro/ Ikan Jurung(Valenciennes, 1842)
Panjang total: 10,6-38,2 cm; panjang standar: 8,5-32,9 cm; panjang kepala: 3,15,3 cm; tinggi badan: 4,7-9,1 cm; panjang ekor: 3,3-7,1 cm; lebar bukaan mulut:
0,5-1,2

cm.

Tipe

sisik

sikloid,

tipe

ekor

homocercal,

bentuk

ekor

forked(Gambar.10). Ikan batak memiliki tiga warna kombinasi yaitu warna hitam
sebagai warna dominan terletak pada bagian atas badan ikan, keemasan terletak di
atas warna hitam, dan putih pada bagian bawah tubuh ikan.

Universitas Sumatera Utara

61

Gambar 10. Tor soro

6. Oreochromis niloticus/ Ikan Nila(Linnaeus, 1758)
Panjang total: 5-13,7 cm; panjang standar: 3,1-10,4 cm; panjang kepala: 1,1-1,8
cm; tinggi badan: 1,8-3,9 cm; panjang ekor: 0,8-1,5 cm; lebar bukaan mulut: 1,52,5 cm. Tipe ekor membundar, tipe sisik sikoid dan bentuk tubuh fusiform. Ikan
ini memiliki sirip punggung yang tajam dan memanjang (Gambar. 11).

Gambar 11. Oreochromis niloticus

7. Clarias teijsmanni/ Ikan Lele(Bleeker, 1857)
Panjang total: 11,9-16,2 cm; panjang standar: 9,9-14,1 cm; panjang kepala: 2-2,1
cm; tinggi badan: 3-3,1 cm; panjang ekor: 1,4-1,6 cm; lebar bukaan mulut: 0,4-0,8
cm. Sirip dubur, sirip ekor dan sirip pungung tidak bersatu; jarak antara sirip
punggung dan tonjolan di belakang kepala kira-kira 2,5 kali lebih pendek dari
panjang antara jatak moncong dan tonjolan di belakang kepala (Gambar. 12).

Universitas Sumatera Utara

62

Gambar 12. Clarias tjeismanni

8. Mystus nemurus/ Ikan Baung(Valenciennes, 1842)
Panjang total: 6,9-13,3 cm; panjang standar: 5-10 cm; panjang kepala: 1,5-2,4 cm;
tinggi badan: 1,8-2,5 cm; panjang ekor: 1,6-2,7 cm; lebar bukaan mulut: 1,2-2,2
cm. Tipe ekor homocercal, bentuk tubuh anguiliform, tipe mulut inferior, kepala
pipih datar. Tubuh agak pipih dan memanjang berwarna hitam serta licin
(Gambar. 13).

Gambar 13. Mystus nemurus

9. Hypostomus Plecostomus/ Ikan Sapu Kaca(Linnaeus, 1758)
Panjang total: 7-26,2 cm; panjang standar: 5-19,1 cm; panjang kepala: 1,2-3,3 cm;
tinggi badan: 2,4-5 cm; panjang ekor: 1,7-6 cm; lebar bukaan mulut: 1,2-2,3

Universitas Sumatera Utara

63

cm.Mempunyai badan yang tertutup oleh kulit yang mengeras dan mulutnya
berbentuk seperti cakram. 7 jari-jari bercabang pada sirip punggung (Gambar. 14).
Menurut Geerinckx, (2007), karakteristik utama dari golongan Locariidae adalah
mulut penghisap untuk makan, bernafas, dan menempel pada objek.

Gambar 14. Hypostomus plecostomus
10. Channa gachua/ Ikan Bogo(Hamilton, 1822)
Panjang total: 12,5-17,5 cm; panjang standar: 10,5-14 cm; panjang kepala: 3-4,5
cm; tinggi badan: 3-3,3 cm; panjang ekor: 2-3,5 cm; lebar bukaan mulut: 0,5-1,1
cm. Tubuh silindris di depan dan sedikit memipih tegak di belakang. Kepala agak
gepeng mendatar, rata di sisi atasnya, miring rata ke depan atau agak cembung.
Celah mulut miring ke atas, dengan rahang bawah menonjol ke depan (Gambar.
15).

Gambar 15. Channa gachua

11. Channa striata/ Ikan Gabus(Bloch, 1793)
Panjang total: 11,4-20,5 cm; panjang standar: 9,2-16 cm; panjang kepala: 2,9-4,5
cm; tinggi badan: 3-3,3 cm; panjang ekor: 2-3,5 cm; lebar bukaan mulut: 0,5-1,1

Universitas Sumatera Utara

64

cm. Tipe ekor homocercal, bentuk ekor pointed, sirip punggung memanjang dan
sirip ekor membulat di ujungnya, tubuh berwarna hitam kecoklatan (Gambar. 16).

Gambar 16. Channa striata

4.2. Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Ikan
Nilai kepadatan, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran ikan yang
diperoleh di setiap stasiun di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun dapat
dilihat pada Tabel 3. Nilai K, KR dan FK setiap stasiun penelitian didapatkan
pada kisaran yaitu K 0,002-0,055 ind/m3 , KR 1,54-55,17%, dan FK 3,3-46,6%.
Pada stasiun 1 dan 4 nilai kepadatan, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran
tertinggi adalah ikan Puntius binotatus dengan nilai K 0,055 ind/m3, nilai KR
32,31 % dan nilai FK 46,6 % pada stasiun 1 sedangkan pada stasiun 4 nilai
kepadatan 0,042 ind/m3, nilai KR 55,17%, dan nilai FK 40 %. Hal ini disebabkan
stasiun 1 dan stasiun 4 dapat mendukung kelangsungan hidup ikan Puntius
binotatus yang menyukai perairan dengan kecepatan arus deras 0,8 -1,2 m/detik,
substrat berbatu, dan kualitas air yang baik.
Stasiun 2 dan 3 nilai K, KR dan FK tertinggi terdapat pada ikan Hypostomus
plecostomus, dimana nilai K 0,029 ind/m3, KR 24,44 % dan FK 30% untuk
stasiun 2 dan nilai K 0,055 ind/m3, KR 38,10% dan FK 6,6 % pada stasiun 3. Pada
stasiun 2 ikan Channa gachua memiliki nilai K, KR dan FK tertinggi,
dikarenakan kondisi lingkungan pada stasiun 2 sesuai untuk pertumbuhan ikan
tersebut.

Pada

stasiun

3

dapat

dilihat

bahwa

ikan

Hypostomus

Universitas Sumatera Utara

65

plecostomusmemiliki nilai K, KR dan FK tertinggi, dimana stasiun 3 merupakan
daerah pembuangan limbah domestik dan limbah industri Kota Pematang Siantar.
Hal ini disebabkan ikan Hypostomus plecostomusmerupakan salah satu ikan
yang dapat beradaptasi dengan berbagai kondisi perairan, bahkan pada saat
kondisi perairan tersebut ekstrem bagi biota air yang lainnya. Walaupun ikan sapu
kaca biasa hidup pada perairan dalam, namun mereka memiliki kemampuan untuk
menghirup udara dari permukaan air atau pada saat kandungan oksigen dalam air
rendah (Armbruster, 1998).
Nilai K, KR dan FK terendah pada stasiun 1 dan 2 adalah ikan Clarias
tjesmani, ikan Cyprinus carpio, dan ikan Channa striata. Sedangkan pada stasiun
3 terdapat ikan Puntius binotatus dan ikan Channa striata, dan pada stasiun 4
terdapat ikan Tor soro yang memiliki nilai K, KR dan FK terendah. Hal tersebut
dikarenakan kondisi lingkungan perairan kurang cocok untuk kelangsungan hidup
ikan tersebut. Perubahan faktor lingkungan tersebut sangat berpengaruh terhadap
kepadatan populasi suatu jenis organisme pada suatu daerah. Bila suatu daerah
misalnya, kepadatan suatu organisme berlimpah, dank arena suatu sebab faktor
lingkungannya berubah maka dapat terjadi penurunan kepadatan populasi secara
drastis, umpamanya karena adanya pengaruh pencemaran yang berupa racun.
Tabel 3. memperlihatkan jumlah individu, jumlah spesies dan pola distribusi dari
ikan mempengaruhi nilai keanekaragaman yang didapatkan pada setiap stasiun.
Meskipun pada stasiun 1 terdapat 8 spesies ikan, tetapi yang memiliki nilai
keanekaragaman tertinggi adalah stasiun 3 (1,63 ind/m2). Hal ini disebabkan
terdapat beberapa spesies di stasiun satu yang mendominasi, seperti Puntius
binotatus, Neolissochillus sumatranus dan Tor douronensis. Berbeda halnya
dengan stasiun 3 yang memiliki nilai keanekaragaman yang tinggi dipengaruhi
oleh nilai K, KR dan FK setiap jenis hampir sama.
Tabel 3. Menunjukkan bahwa sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun dapat
menjadi habitat yang sesuai bagi pertumbuhan ikan Tor douronensis, Puntius
binotatus, Channa gachua, dan Hypostomus plecostomus.

Universitas Sumatera Utara

66

Tabel 3. Data kepadatan (ind/m2), kepadatan relatif (%) dan frekuensi kehadiran (%) ikan pada setiap stasiun pengamatan di
Sungai Bah Bolon.
No

Spesies

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Tor soro
Tor douronensis
Clarias tjesmani
Puntius binotatus
Cyprinus carpio
Mystus nemurus
Oreochromis niloticus
Channa gachua
Channa striata
Hyspostomus Plecostomus
Neolissochilus sumatranus
Total
H’

Stasiun 1
K
KR
FK
0,010
6,15
6,6
0,039 23,08 36,6
0.002
1,54
3,3
0,055 32,31 46,6
0,002
1,54
3,3
0,005
3,08
6,6
0,007
4,62
6,6
0,047 27,69
6,6
0,172
100
1.60

Stasiun 2
K
KR
0,007 6,67
0,018 15,56
0,010 8,89
0,045 37,78
0,007 6,67
0,029 24,44
0,119 100
1.57

FK
30
12
6,6
40
10
30
-

Stasiun 3
K
KR
FK
0,010 19,05 6,6
0,005
9,52
13,3
0,005
9,52
6,6
0,007 14,29
40
0,021
9,52
6,6
0,055 38,10 6,6
0,030
100
1.63

K
0,002
0,010
0,005
0,042
0,008
0,005
0,077

Stasiun 4
KR
3,45
17,24
6,9
55,17
10,34
6,9
100
1.35

FK
3,3
13,3
6,6
40
6,6
6,6
-

Keterangan :
Stasiun 1 : Daerah Bendungan (Kecamatan pane Tongah, Kabupaten Simalungun)
Stasiun 2 : Daerah Pariwisata (Kota Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun)
Stasiun 3 : Daerah Pembuangan Limbah (Kota Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun)
Stasiun 4 : Daerah Aktifitas Masyarakat (Kota Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun)

Universitas Sumatera Utara

Hal ini dapat dilihat dari nilai kepadatan relatif (> 10%) dan nilai frekuensi
kehadiran (> 25%) dari keempat ikan tersebut di stasiun 1 dan 2. Suatu habitat
dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme apabila nilai KR
> 10% dan FK > 25% (Barus, 2004).

4.3. Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wienner) dan Indeks Keseragaman
Keanekaragaman dan keseragaman jenis ikan diperairan dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan dan interaksi antara organisme yang hidup disana (Defira &
Muchlisin, 2004). Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wienner) dan Indeks
Keseragaman spesies ikan yang telah diperoleh pada setiap stasiun penelitian
dapat dilihat pada tabel 4.berikut ini :
Tabel 4. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
1.60
1.57
1.63
1.35
H'
0.773
0.880
0.911
0.753
E
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat dilihat dari tabel 4, bahwa nilai
keanekaragaman (H’) dari keempat stasiun penelitian hampir sama yaitu antara
1,35-1,63 ind/m2 dalam hal ini tergolong kedalam keanekaragaman rendah. Nilai
keanekaragaman tertinggi dari keempat stasiun penelitian adalah stasiun 3 yaitu
1,63 ind/m2. Dimana dari tabel 2. sebelumnya dapat dilihat bahwa stasiun 1 yang
memiliki lebih banyak jumlah spesies dibandingkan dengan stasiun 2 yaitu 8
spesies, sedangkan stasiun 3 hanya terdapat 6 spesies ikan yang ditemukan.
Stasiun 1 memiliki nilai keanekaragaman lebih rendah dibandingkan dengan
stasiun 3 yaitu 1,60 ind/m2. Hal ini disebabkan jumlah individu yang tidak merata
pada stasiun 1 ataupun terdapat beberapa spesies ikan yang mendominasi seperti
Puntius binotatus dan Neolissochilus sumateranus. Berbeda halnya dengan
stasiun 3 yang memiliki nilai kepadatan individu setiap jenisnya hampir merata,
seperti yang terlihat pada Tabel. 3.
Indeks keanekaragaman menyatakan kekayaan spesies dalam komunitas
dan memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian individu/spesies (Krebs,
1978). Tinggi rendahnya nilai keanekaragaman ikan dipengaruhi oleh pola
penyebaran jumlah individu yang merata pada setiap spesies. Faktor lain yang

Universitas Sumatera Utara

mendukung yaitu adanya perbedaan aktifitas manusia pada badan perairan seperti
adanya pembuangan limbah yang mempengaruhi kualitas perairan sebagai faktor
pendukung bagi kelangsungan hidup ikan. Stasiun 2 merupakan daerah
pariwisata, memiliki nilai keanekaragaman 1,57ind/m2. Stasiun 4 memiliki nilai
keanekaragaman paling rendah yaitu 1,35ind/m2. Dimana stasiun 4 merupakan
stasiun dengan nilai keanekaragaman yang paling rendah dari keempat stasiun
penelitian. Hal tersebut dikarenakan stasiun 4 merupakan daerah pemukiman
masyarakat, dimana terdapat aktifitas seperti mencuci, mandi dan daerah ini juga
merupakan daerah pemancingan ikan bagi masyarakat setempat. Indeks
keanekaragaman tidak hanya ditentukan oleh jumlah spesies dan jumlah individu
saja tetapi juga dipengaruhi oleh pola penyebaran jumlah individu pada masingmasing spesies. Dapat disimpulkan bahwa nilai indeks keanekaragaman sangat
dipengaruhi oleh faktor jumlah spesies, jumlah individu dan penyebaran individu
pada masing-masing spesies (Barus, 2004). Dari tabel 4. dapat disimpulkan bahwa
sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, memiliki nilai keanekaragaman jenis
ikan yang rendah yaitu 1,35-1,63 ind/m2.
Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa nilai keseragaman (E) pada lokasi
penelitian berada diantara 0,753-0,911 tergolong merata/seragam pada setiap
stasiun. Nilai keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,911.
Sedangkan nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 0,753. Hal ini
disebabkan jumlah dan jenis spesies ikan pada keempat stasiun tidak terlalu
berbeda, seperti terlihat pada Tabel 3. stasiun 1 memiliki 8 spesies, dimana dua
diantaranya hanya terdapat pada stasiun 1, dan 6 spesies lainnya tersebar di stasun
2, 3 dan 4. Indeks keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui kemerataan
proporsi masing-masing jenis ikan di suatu ekosistem, hal ini sesuai dengan
pendapat Krebs, (1978), bahwa semakin kecil nilai E maka semakin kecil pula
keseragaman suatu populasi dan penyebaran individunya mendominasi populasi
yang ada. Sedangkan semakin besar nilainya maka akan semakin besar pula
keseragaman suatu populasi dimana jenis dan jumlah individu tiap jenisnya
merata/seragam. Dari tabel 4. menunjukkan nilai keseragaman atau jumlah
individu tiap jenis yang paling merata yaitu stasiun 3 dengan nilai 0,911.

Universitas Sumatera Utara

4.4. Indeks Similaritas (IS)
Nilai indeks similaritas (IS) pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada tabel
5 berikut ini:
Tabel 5. Data Indeks Similaritas (IS) di setiap stasiun
IS
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4

Stasiun 1
-

Stasiun 2
57.14%
-

Stasiun 3
42.85 %
16.66 %
-

Stasiun 4
57.14 %
33.33 %
50 %
-

Tabel 5. Menunjukkan bahwa nilai IS pada keempat stasiun penelitian antara
16,66%-57,14%. Nilai tertinggi dari keempat stasiun penelitian adalah stasiun 1
dengan stasiun 2 yaitu 57,14%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa stasiun 1 dan
stasiun 2 memiliki tingkat kesaamaan yang paling tinggi dibandingkan dengan
stasiun yang lainnya. Hal ini disebabkan antara stasiun 1 dan 2 memiliki nilai
keanekaragaman dan keseragaman yang hampir sama pada jumlah spesies ikan
yang didapatkan (dapat dilihat pada tabel 3). Nilai IS terendah dari keempat
stasiun adalah pada stasiun 2 dengan 3 yaitu 16,66%. Dimana pada stasiun 2
terdapat 6 spesies ikan, sedangkan pada stasiun 3 terdapat 2 spesies ikan yang
berbeda pada hasil penelitian (dapat lihat pada tabel 2). Hal ini disebabkan
perbedaan aktifitas pada kedua stasiun yang menyebabkan perubahan kondisi
lingkungan perairan seperti intensitas cahaya, pH, kecepatan arus dan substrat
berbeda (seperti terlihat pada tabel 6.) yang menjadi faktor pendukung dari
keanekaragaman spesies ikan pada kedua stasiun tersebut. Pada stasiun 2 terdapat
aktifitas pariwisata, sedangkan pada stasiun 3 merupakan daerah pembuangan
limbah.
Menurut Odum (1971), nilai indeks similaritas (IS) berkisar antara 0-100%
atau 0-1. Jika nilai indeks similaritas mendekati 0 maka berarti tingkat kesamaan
rendah dan sebaliknya, jika nilai IS mendekati angka 1 atau 100% maka tingkat
kesamaan tinggi.

4.5 Faktor Abiotik Lingkungan
Pengukuran faktor fisik kimia di Sungai Bah Bolon dari hasil penelitian
dilapangan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 6. Data pengukuran faktor fisik-kimia perairan Sungai Bah Bolon pada
setiap stasiun penelitian.
Parameter
Parameter Fisika
Suhu

Satuan

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

Stasiun 4

°C

22.7

26.8

25.7

25.6

m/Detik

0,93

0.90

0.81

0.81

Intensitas Cahaya

Cd

1344

745

504

766

Penetrasi Cahaya

Cm

100.5

32.6

30

40.7

Kecepatan Arus

Kekeruhan

-

7.61

64

77

59

p mhos/cm

81

84.2

94.7

82

mg/L

8.19

7.2

7.56

7.4

Kejenuhan Oksigen

%

98.79

91.25

94.26

92.03

Derajat Keasaman (pH)

-

7.2

7.9

7.29

7.36

BOD

mg/L

0.9

1.3

1.5

1.1

TDS(Total Dissolved
Solid)
TSS(Total Suspended
Solid)
Kadar Nitrat (NO2)
Kadar Fosfat (PO4)
Substrat

mg/L

55.25

52.65

60.45

53.75

mg/L

45,56

40,21

54,22

40,19

mg/L
mg/L
-

1,82
0,023
Batu dan Pasir

0,97
0,028
Batu dan Pasir

0,5
0,092
Pasir

0,5
0,090
Batu

Konduktivitas
Parameter Kimia
Oksigen Terlarut(DO)

Setiap mahluk hidup memiliki ciri-ciri tertentu, salah satunya menerima dan
menanggapi rangsang. Ketika terjadi perubahan terhadap kondisi lingkungan,
maka mahluk hidup akan melakukan penyesuaian diri atau adaptasi untuk merasa
lebih nyaman dan bisa beraktivitas dengan normal. Ketika mahluk hidup tersebut
tak mampu untuk menyesuaikan diri, maka ia akan mengalami kematian atau
terkana seleksi alam (Amdah, 2011).

a. Suhu
Dari tabel 6 di atas diperoleh bahwa nilai suhu di setiap stasiun penelitian berada
pada kisaran 22,7-26,80C. Suhu tertinggi diperoleh pada stasiun 2 yaitu 26,80C
dan suhu terendah pada stasiun 1 yaitu 22,70C. Menurut Boyd (1990), suhu yang
baik untuk kehidupan ikan di Indonesia khususnya daerah tropis berkisar antara
250C-320C, namun kadang-kadang suhu permukaan dapat mencapai 350C atau
lebih sehingga berada diluar batas optimal yang bisa digunakan untuk kehidupan
ikan. Kisaran suhu di kawasan perairan Sungai Bah Bolon tergolong baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan ikan, meskipun pada stasiun 1 nilai suhu

Universitas Sumatera Utara

terbilang lebih rendah dari kisaran suhu yang baik untuk ikan di sungai. Hal ini
disebabkan oleh faktor lain seperti kecepatan arus, oksigen terlarut dan suhu dari
udara.
Menurut Yuliani dan Rahardjo (2012), Suhu air dipengaruhi oleh suhu udara.
Tinggi rendah suhu juga berpengaruh terhadap aktivitas ikan. Tingginya suhu air
akan mengurangi kadar oksigen terlarut. Keadaan suhu air dan DO akan
mempengaruhi aktivitas ikan. Suhu air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi
oksigen terlarut dan laju konsumsi oksigen hewan air.

b. Kecepatan Arus
Nilai kecepatan arus perairan pada stasiun penelitian berkisar antara 0,93-0,81
m/detik. Stasiun 1 memiliki nilai kecepatan arus tertinggi yaitu 0,93 m/detik
disebabkan karena stasiun 1 merupakan stasiun yang paling dekat ke hulu sungai
dan substrat batu besar dan pasir, sehingga kecepatan arus stasiun 1 lebih besar
dibandingkan dengan stasiun penelitian yang lain. Stasiun 3 dan 4 memiliki nilai
kecepatan arus yang sama dan lebih rendah dari kedua stasiun yang lainnya yaitu
0,81 m/detik.
Arus sangat penting sebagai faktor pembatas, terutama pada aliran air.
Pengaruh arus terhadap organisme aquatik adalah ancaman bagi organisme
tersebut dihanyutkan oleh arus yang deras. Oleh karena itu organisme mempunyai
adaptasi morfologis yang spesifik untuk dapat bertahan hidup. Berbagai jenis ikan
juga mempunyai adaptasi morfologis yang khas untuk bertahan pada habitat yang
berarus deras. Selain itu adaptasi yang dilakukan oleh organisme akuatik terhadap
arus deras adalah melakukan kompensasi terhadap hanyut dengan melakukan
gerakan melawan arus. Pada prinsipnya organisme akuatik akan berusaha mencari
perlindungan untuk menghindarkan diri dari ancaman hanyut, terutama pada
substrat batu-batuan besar yang terlindung dari arus air yang deras (Odum, 1994)
Arus air sangat membantu pertukaran air, membersihkan timbunan sisa
metabolisme ikan dan membawa oksigen terlarut yang sangat dibutuhkan ikan.
Namun, harus dicegah arus yang terlalu berlebihan karena menyebabkan ikan
stress, energi banyak yang terbuang dan selera makan berkurang, kecepatan arus
yang ideal sekitar 0,5-1,5 meter/detik (Kordi, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang
dipengaruhi oleh arus yaitu dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada
arus. Arus tampak jelas dalam organ mechanoreceptor yaitu garis mendatar pada
tubuh ikan. Mechanoreceptor adalah reseptor yang ada pada organisme yang
mampu memberikan informasi perubahan mekanis dalam lingkungan seperti
gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu mengarah menuju
arus (Reddy, 1993). Hasil penelitian menunjukkan kecepatan arus di sungai Bah
Bolon berkisar antara 0,81-0,93 m/detik tergolong ideal bagi pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan.

c. Intensitas Cahaya
Berdasarkan tabel 6, nilai intensitas cahaya di sungai Bah Bolon berada pada
kisaran 1344-504 Candela. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada waktu
pagi hingga menjelang siang. Hasil pengukuran intensitas tertinggi terdapat pada
stasiun 1 yaitu 1344 candela, disebabkan pada saat pengukuran cuaca sangat
cerah. Sedangkan nilai intensitas cahaya terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu
504 candela disebabkan pada saat pengukuran cuaca mendung. Namun kisaran
intenstas cahaya di Sungai Bah Bolon masih tergolong baik untuk kelangsungan
hidup ikan.
Intensitas cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran ikan.
Intensitas cahaya bagi organisme akuatik berfungsi sebagai alat orientasi yang
akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Apabila
intensitas berkurang maka proses fotosintesis akan terlambat sehingga oksigen
dalam air makin berkurang, dimana oksigen dibutuhkan organisme untuk
metabolismenya (Barus, 1996).
Cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan.
Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari
predator, membantu dalam pengelihatan, proses metabolisme dan pematangan
gonad. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan
adalah melalui rantai makanan (Rifai et al, 1983).

Universitas Sumatera Utara

d. Penetrasi Cahaya
Hasil pengukuran pada stasiun penelitian nilai penetrasi cahaya berkisar antara
30-100.5cm. Nilai penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 100,5
cm hal ini disebabkan stasiun 1 memiliki air yang lebih jernih dibandingkan
dengan ketiga stasiun penelitian yang memiliki nilai kekeruhan yang paling
rendah (dapat dilihat pada tabel 6). Sedangkan nilai penetrasi cahaya terendah
terdapat pada stasiun 3 yaitu 30 cm, disebabkan oleh kondisi perairan yang paling
keruh dibandingkan dengan semua stasiun penelitian yang lain. Penetrasi cahaya
di sungai Bah Bolon masih tergolong baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan
hidup ikan.
Tinggi rendahnya penetrasi cahaya pada keempat stasiun disebabkan adanya
bahan-bahan terlarut seperti buangan limbah dan juga akibat curah hujan yang
menyebabkan warna air menjadi keruh sehingga menghambat cahaya yang dating.
Kemampuan penetrasi cahaya matahari kedalam perairan sangat ditentukan oleh
warna perairan, kandungan bahan organic maupun anorganik tersuspensi di
perairan dan kepadatan plankton (Wardoyo, 1981)
Nilai kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan adalah lebih dari 45 cm atau
lebih, karena bila kecerahan kurang dari 45cm, maka batas pandangan ikan akan
berkurang (Kordi, 2004).

e. Kekeruhan
Hasil pengukuran kekeruhan di lokasi penelitian berkisar antara 7,61-77. Stasiun 1
memiliki nilai kekeruhan terendah yaitu 7,61 disebabkan oleh rendahnya partikel
terlarut dalam air sehingga nilai penetrasi cahaya pada stasiun 1 tinggi yang
dipengaruhi oleh rendahnya nilai kekeruhan. Sedangkan nilai kekeruhan tertinggi
terdapat pada stasiun 3 yaitu 77 yang dikarenakan stasiun 3 merupakan daerah
pembuangan limbah domestik maupun industri yang mengakibatkan tingginya
partikel terlarut sehingga air berwarna kecoklatan.
Banyaknya partikel terlarut dalam perairan akan menyebabkan kekeruhan
yang tinggi (Abdunnur, 2002). Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang
disebabkan oleh jasad renik atau plankton seperti padatan terlarut dalam air

Universitas Sumatera Utara

umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, lumpur, sisa tanaman, hewan,
dan limbah industri (Sastrawijaya, 1991).
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik
yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan
organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain. Nilai
kekeruhan di perairan alami merupakan salah satu faktor terpenting untuk
mengontrol produktivitasnya. Kekeruhan yang tinggi akan mempengaruhi
penetrasi cahaya matahari. Kekeruhan di suatu sungai tidak sama sepanjang tahun.
Air akan sangat keruh pada musim penghujan karena aliran air maksimum dan
adanya erosi dari daratan (Effendi, 2003).

f. Konduktivitas
Berdasarkan tabel 6, nilai konduktivitas di sungai Bah Bolon berada pada kisaran
yang tidak jauh beda yaitu 81-94,7 p µhos/cm. Stasiun 3 memiliki nilai
konduktivitas tertinggi yaitu 94,7 p µhos/cm, sedangkan stasiun 1 memiliki nilai
konduktivitas terendah yaitu 81 p µhos/cm. Jumlah konduktivitas terlarut terkait
dengan konsentrasi total padatan terlarut dan ion utama. Konduktivitas untuk air
tawar berkisar antara 10 sampai 1000 µmhos/cm, tetapi dapat melebihi 1000
µmhos/cm, terutama di perairan tercemar, atau perairan yang menerima jumlah
run offyang besar dari tanah (Tessema et al (2014) dalam Rizki et al, 2015). Jadi
nilai konduktivitas sungai Bah Bolon tergolong masih baik untuk mendukung
kelangsungan dan pertumbuhan ikan.
Nilai Konduktivitas erat kaitannya dengan TDS dan ion utama perairan,
karena semakin tinggi TDS dan ion utama maka daya hantar listrik/konduktivitas
dari air tersebut juga semakin tinggi (Rizki et al, 2015). Semakin banyak garamgaram yang terlarut maka semakin baik daya hantar listrik air tersebut (Barus,
2004).

Universitas Sumatera Utara

g. DO (Dissolved oxygen)
Dari Tabel 6. Dapat dilihat bahwa nilai oksigen terlarut pada kempat stasiun
penelitian berkisar antara 8,19-7,2 mg/L. Nilai oksigen terlarut tertinggi terdapat
pada stasiun 1 yaitu 8,19 mg/l yang dipengaruhi oleh suhu pada stasiun 1 lebih
rendah, dan kecepatan arus yang tinggi. Sedangkan nilai oksigen terlarut terendah
terdapat pada stasiun 2 yaitu 7,2 mg/l yang disebabkan suhu pada stasiun 2
memiliki nilai yang lebih tinggi diantara stasiun penelitian yang lain.
Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan proses fotosintesis.
Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung di permukaan air oleh angin
dan arus. Jumlah oksigen yang terkandung dalam air tergantung pada daerah
permukaan yang terkena suhu dan konsentrasi garam (Michael, 1994).
Ikan merupakan mahluk air yang paling membutuhkan oksigen tertinggi.
Biota di perairan tropis memerlukan oksigen terlarut minimal 5 ppm, sedangkan
biota beriklim sedang memerlukan oksigen terlarut mendekati jenuh. Konsentrasi
Oksigen terlalu rendah akan menyebabkan ikan-ikan dan biota lainnya akan mati
(Fardiaz, 1992)

h. Kejenuhan Oksigen (O2)
Hasil pengukuran nilai kejenuhan oksigen dari keempat stasiun berada pada
kisaran 98,79-91,25 %. Stasiun 1 memiliki nilai kejenuhan oksigen tertinggi yaitu
98,79% yang disebabkan stasiun 1 memiliki nilai DO yang tinggi dan nilai suhu
terendah (dapat dilihat pada tabel 6). Sedangkan nilai kejenuhan oksigen terendah
terdapat pada stasiun 2 yaitu 91,25% yang disebabkan stasiun 2 memiliki nilai DO
terendah dan nilai suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun penelitian
yang lainnya.
Tinggi rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan juga dipengaruhi
oleh faktor temperatur, tekanan dan berbagai konsentrasi ion yang terlarut dalam
air pada perairan tersebut. Kandungan oksigen terlarut pada keempat stasiun
masih tergolong sangat layak dalam mendukung kehidupan organisme sebab
menurut Sastrawijaya (1991), kehidupan organisme akuatik berjalan dengan baik
apabila kandungan oksigen terlarut minimal 5 mg/l.

Universitas Sumatera Utara

i. Derajat Keasaman (pH)
Berdasarkan hasil pengukuran derajat keasaman dilokasi penelitian berkisar antara
7,2-7,9. Stasiun 2 merupakan stasiun dengan nilai pH tertinggi yaitu 7,9
sedangkan stasiun 1 merupakan stasiun dengan nilai pH terendah yaitu 7,2.
Kehidupan organisme aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH. Pada
umumnya organisme aquatik toleran pada kisaran nilai ph netral menyatakan pH
yang ideal bagi organisme aquatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5 (Odum,
1994). Jadi kisaran pH di sungai Bah Bolon tergolong baik untuk pertumbuhan
dan kelangsungan hidup ikan.
Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebebasan suatu perairan.
Pescod (1973), menyatakan bahwa toleransi organisme air terhadap pH bervariasi.
Hal ini tergantung pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan
kation serta jenis dan stadium organisme. Kondisi perairan yang bersifat sangat
asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme
karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.

j. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Hasil pengukuran nilai BOD pada keempat stasiun penelitian berada pada kisaran
0,9-1,5 mg/l. Nilai BOD tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 1,5 mg/l yang
disebabkan tingginya partikel terlarut didalam air (dapat dilihat pada tabel 6)
karena stasiun 3 merupakan daerah pembuangan limbah domestik dan industri
yang mengandung kandungan organic yang tinggi. Sedangkan pada stasiun 1
memiliki nilai BOD terendah yaitu 0,9 mg/l disebabkan oleh kondisi air pada
stasiun 1 lebih jernih dapat dilihat dari nilai kekeruhan yang rendah.
Kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme di dalam air lingkungan untuk memecah (mendegradasi) bahan
buangan organik yang ada di dalam air lingkungan tersebut. Jumlah
mikroorganisme tergantung pada tingkat kebersihan air. Air yang jernih biasanya
mengandung mikroorganisme yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan air
yang telah tercemar oleh bahan buangan (Wardhana, 2004).

Universitas Sumatera Utara

k. TDS (Total Dissolved Solid)
Hasil pengukuran nilai TDS pada keempat stasiun penelitian berada pada kisaran
52,65-60,45 mg/l. Nilai TDS tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 60,45 mg/l
sedangkan nilai TDS terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu 52,65 mg/l.
Tingginya padatan terlarut pada suatu perairan dikarenakan area tersebut
dekat dengan aktivitas manusia sehingga banyak menghasilkan limbah yang
masuk ke dalam badan perairan dan akhirnya menambah jumlah partikel terlarut.
Sedangkan rendahnya nilai

TDS pada suatu perairan dikarenakan perairan

tersebut jauh dari segala aktivitas manusia dan tidak adanya limbah yang masuk
ke perairan (Yazwar, 2008).

l. TSS (Total Suspended Solid)
Hasil pengukuran TSS di laboratorium lingkungan Shafera Enviro, Provinsi
Sumatera Utara berkisar antara 40,19-54,22 mg/l. Nilai TSS tertinggi terdapat
pada stasiun 3 yaitu 54,22 mg/l yang disebabkan tingginya nilai kekeruhan pada
stasiun 3, sedangkan nilai TSS terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 40,19 mg/l.
TSS merupakan faktor utama yang menyebabkan tinggi atau rendahnya
kecerahan dari suatu perairan. Peningkatan nilai TSS ini dapat disebabkan oleh
naiknya kadar bahan organik yang bersifat koloid. Peningkatan TSS akan
menyebabkan meningkatnya penyakit dan menurunkan tingkat pertumbuhan ikan
(Rizki, et al. 2015).
Peningkatan padatan tersuspensi dapat membunuh ikan secara langsung,
meningkatkan penyakit dan menurunkan tingkat pertumbuhan ikan serta
perubahan tingkah laku dan penurunan reproduksi ikan (Aisyah & Luki, 2012).

m. Kadar Nitrat (NO2)
Berdasarkan hasil pengukuran nilai kadar nitrat pada lokasi penilitian berkisar
antara 0,5-1,82 mg/l. Stasiun 1 memiliki nilai kadar nitrat tertinggi yaitu 1,82
mg/l. Sedangkan nilai kadar nitrat terendah terdapat pada stasiun 3 dan 4 yaitu 0,5
mg/l. Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan.
Perairan oligotrofi