Keamana Uni Eropa Pasca Perang Dingin

Keamanan Uni Eropa Pasca Perang Dingin
Oleh : Gigih AL Islami
Abstraksi
European was estabilish trough existence of United State for decade, this was made by
NATO as one of US tool to estabilish European stability. US had been being an hegmonic
state at Europena region, to estabilish from any treat as long as cold war did. By the end of
cold war, NATO and US at Europe have been irelevan. Some plitical intervence of US
interest to the European Countries trough NATO was delegitimate US in Europe. Europe is
growing to build it’s independence of security by European Security ang Defence Policy.
Curent ESDP has been going to be next capter of Europe stability. How is ESDP and NATO
been going in the curent estabilishment of Europe.
Key word: EU, ESDP, US, NATO

Pendahuluan
Usaha Masyarakat Batubara dan Baja Eropa (ECSC) sebagai cikal bakal integrasi
eropa1 mengawali usaha pembentukan kerjasama mengenai keamanan dalam wadah
Komunitas Pertahanan Eropa (EDP). Diusung oleh Jean Monet, Ia mempromosikan ide
tentang usaha kolektif enam Negara anggota ECSC untuk membentuk suatu usaha kolektif
menangkal ancaman Uni Soviet sebagai usaha memperkuat potensi militer dan membentuk
tentara Eropa yang beranggotakan enam Negara anggota ECSC. Usaha ini mengalami
kegagalan setelah Prancis menolak proposal Monnet dengan alasan ketidaksetujuan pola

federalisme kinerja EDC.2
Tidak lama setelah kegagalan perencanan ini, dilanjutkan dengan pengajuan
perencanan Prancis untuk integrasi eropa. Dikenal dengan Fouchet Plan, rancangan yang
diajukan Prancis ini bertumpu atas identitas Negara anggota. Hingga mencapai kerjasama
yang bertujuan membentuk koordinasi kebijakan luar negri, kebijakan keamanan bersama
dan memperkuat keamanan Negara anggota dari agresi militer. Kerjasama politik Eropa
terbentuk dua tahun kemudian melalui penandatanganan Akta Tunggal Eropa (SEA) yang
secara resmi menyertakan Kerjasama Politik Eropa (EPC) sebagai bagian dari Masyarakat
Eropa (ME). SEA memiliki tiga sasaran utama di dalamnya; pembentukan pasar tunggal

1 European intergrations after world war II dalam artikel J. Sucheck dipublikasikan melalui
http://www.kakanien.ac.at/beitr/fallstudie/JSuchacek1.pdf diakses pada 4/2/12 12 : 50 pm
2 CFSP dan Integrasi Uni Eropa oleh Zalvin Prakoso diakses melalui
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4108118138.pdf 21/042012 8:02 pm

eropa, merancang kebijakan luar negri dan keamanan bersama, dan memperluas ruang gerak
Me ke bidang yang belum tersentun (bidang keamanan).3
Setelah berjalan SEA segera dihadapkan pada tantangan eksternal di daratan Eropa.
Selain akibat unifikasi Jerman menjadi satu kesatuan, runtuknya Uni Soviet menumbuhkan
suasana baru Eropa Kala itu. Mundurnya Uni Soviet dari perang dingin dengan AS

memunculkan gelombang kemerdekaan Negara – Negara baru ekswilayah Soviet di Eropa
Tengah dan Timur (ETT). EPC mengalami kelemahan menghadapi situasi ini, Eropa kurang
mampu beradaptasi terhadap perkembangan dan perubahan situasi keamanan internasional
masa itu.
Mula keadaan ini yang melatar belakangi kebutuhan EU untuk menjamin
keberlanjutan Pasar Tunggal Eropa (PTE) dan Uni Moneter Eropa (UME) untuk mampu
mempenetrasikan perluasan kepentingan Masyarakat Eropa menuju ranah internasional.
Walaupun NATO telah menjadi salah satu elemen keamanan Eropa Barat melalui eksistensi
AS dalam hal penyelaras keamanan Eropa, namun keadaan internasional yang berubah
seiring perubahan konteks Pernag Dingin, merubah pula persepsi keamanan eropa.
Keberadaan NATO sebagai wadah penangkal ancaman terbesar Eropa saat itu (Uni Soviet)
berubah dengan runtuhnya Uni Soviet. Sementara itu alasan kehawatiran akan agresivitas
Jerman segera terbantahkan dengan penyegeraan diri integrasi Jerman kedalam Eropa dengan
pengorbanannya atas mata uang “Deutsch Mark” menyatukan diri kedalam UME. NATO
disisi lain terlihat sebagai usaha AS melakukan Penetrasi kepentingan politiknya di daratan
Eropa Barat melalui berbagai oprasi militernya. Sementara itu di sisi lain Jerman juga segera
mendukung pembentukan “European rapid-response force”.4
Penetrasi kepentingan AS melalui NATO dapat segera terlihat setelah program agresi
milter AS ke Irak melalui Nato pada tahun 2003. Kondisi ini memicu berbagai pertentangan
ekonomi maupun politik. Seketika itu pula legitimasi atas kepemimpinan AS di Eropa

memudar, hal lain adalah semakin terlihatnya kekeroposan AS setelah mengalami krisis
Ekonomi akibat kebijakan yang offensive dalam kebijakan luar negrinya. Mengantisipasi hal
ini, pula yang akhirnya merelevansikan uasaha keamanan Ekonomi ME membentuk mata
uang tunggal Euro sebagai mata uang mereka. Tanda – tanda ini melatarbekangi kepercayaan

3 Duke, S. 2000, The Elusive Quest for European Security, St. Anthony’s Series, MacMillan
Press dalam Zalvin Prakoso ibid.
4 Ibid.

diri UE untuk terus mengutamakan independensi setelah lama mngenatungkan keamanan
melalui eksistensi AS.

Landasan Teoritis
Regional security complex/kompleksitas keamanan regional merupakan hasil
interkasi unsur – unsur geografis, entitas dan budaya dalam satu wiayah, dimana keadaan ini
akan mengakibatkan kesaling tergantungan antar aktor Negara yang akhirnya memicu
terbentuknya keompleksitas keamanan regional. Regional scurity compleks dipahami sebagi
suatu kedekatan yang muncul diantara sekumpulan negra dikarenakan satu dan lain hal, yang
mengakibatkan keamanan dasar Negara – Negara tersebut tergabung dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain5. Dalam hal ini, keamana satu Negara sangat berhubungan erat

dengan Negara yang lain, sehingga keamanan nasional tidak mungkin ada tanpa
memperhatikan keamanan wilayah. Meski demikian, tidak berati hubungan antar Negara
dalam kawasan ini akan berlangsung harmonis, tetap terjadi persaingan dan perimbangan
kekuasaan serta serta bentuk aliansi yang mungkin muncul di dalam kawasan, selain itu juga
bermuara pada masuknya faktor eksternal kedalam kawasan dalam membentuk pola tertentu
dalam regional.
Buzan dan Waefer juga menyebutkan empat variabel penyusun struktur esensial RSC6, yaitu:
1.
2.
3.
4.

batas wilayah (yang membedakan RSC dengan Negara sekitarnya),
struktur anarkis (RSC harus terdiri dari dua atau lebih unit-unit otonom),
polaritas (adanya penyebaran kekuasaan antar unit), dan
konstruksi sosial (yang meliputi pola persepsi amity dan enmity antar unit).
Dalam analisa regional security complex dapat dilakukan melalui pengamatan pola

amity and enmity dan melalui pengamatan atas pola distribusi kekuasaan Negara – Negara
utama/penting di kawasan.7 Yang dimaksud dengan amity oleh Buzan adalah hubungan antar

Negara yang terjalin berdasarkan mulai dari rasa persahabatan sampai pada ekspektasi
(expectation) akan mendapatkan dukungan (support) atau perlindungan satu sama lain.

5 Barry Buzan dan Ole Waefer, ( 2003), Regions and Power : The Structure of
International Security, Oxford, Cambridge University Press
6 Ibid. p: 45 – 50
7 Barry Buzan, (1991), People, States, and Fear, London: Harvester Wheatsheaf p: 186 –
226

Enmity itu sendiri adalah digambarkan sebagai suatu hubungan antar Negara yang terjalin
atas dasar kecurigaan (suspicion) dan rasa takut (fear) satu sama lain.
Pattern of amity/enmity dapat muncul dan berkembang akibat dari berbagai hal yang
bersifat spesifik seperti sengketa perbatasan, kepentingan yang berkaitan dengan etnik
tertentu, pengelompokan ideologi dan warisan sejarah lama, baik yang bersifat negatif
maupun yang bersifat positif. Selain itu terdapat pula pola distribusi kekuasan di dalam
kawasan yang dapat berupa pengaruh faktor internal mauun eksternal.
Dalam bentuk faktor internal, pergeseran kekuasaan dapat dipicu oleh peningkatan
keberhasilan pembangunan oleh satu Negara. Sedangkan dalam bentuk faktor eksternal, pola
arus kekuasaan dapat tercipta melalui tiga suasana. Yang pertama adalah dengan ikut
bergabung langsung di dalam kawasan, bentuknya dapat berupa bantuan langsung militer

terhadap Negara – Negara di dalam kawasan atau pun dengan menempatkan kekuatan
militernya di dalam kawasan. Yang kedua, dapat dilakukan dengan pembentukan aliansi
dengan Negara di dalam kawasasn. Dan yang terakhir adalah melalui penarikan diri dari
dalam satu kawasan.
Teori ini akhirnya berimplikasi pada pembentukan pengaturan keamanan sebagai
usaha regionalisasi yang berbasis keamanan kawasan. Terdapat lima model dalam pengaturan
keamanan, integrasi, model pluralistik, kolektif, great power concert, dan power restraining
power.
Model integrasi merupakan bentuk dimana kawasan akan membentuk lembaga suprastate yang memegang otonomi kusus untuk membentuk badan pertahanan kawasan, saat
terjadi konflik, Negara tidak lagi bertindak atas nama Negara, melainkan atasnama badan
supra state yang menaunginya. Model ini tercermin dalam uni eropa.
Kedua adalah pluralistic security community yang mencapai keamanan melalui
integrasi Negara – Negara di dalamnya berdasarkan komitmen untuk menjaga keamanan
bersama, tetapi Negara masih memiliki otoritas atas badan pertahanannya. ASEAN
mencerminkan model ini. Selanjutnya model great-power concert yang menegaskan
pencapaian stabilitas regional melalui penciptaan pengaturan keamanan pada satu kekuatan
besar dalam kawasan, dimana Negara dengan powerful dalam kawasan yang bertindak
sebagai hegemon sekaligus penanggungjawab atas keamanan regional.

Terkahir adalah bentuk power restraining power, dimana keamanan regional

merupakan hasil usaha pencapaian distribusi power di kawasan, konsep ini mengedepankan
faktor penyeimbang dalam kawasan guna menghindari hegemon di kawasan tersebut.

Pembahasan
Eropa sempat diwarnai oleh dinamika peperangan antar Negara modern selepas
perjanjian Westphalia. Perselisihan yang dapat terekam dalam sejarah adalah Perang Dunia.
Terdapat tiga Peranng Dunia yang memiliki dampak yang besar dalam sejarah Eropa.
Pertama adalah Perang Dunia I, sejarah mencatat masa ini merupakan masa yang kelam bagi
Eropa. Banyak masyarakat sipil yang menjadi korban serta infrastruktur yang rusak berat.
Aktor dibalik kekacauan dunia masa itu adalah neagra, diawali dengan agresivitas
Austria – Hungaria atas Bosnia, mengundang solidaritas Russia atas Bosnia. Masih atas dasar
yang sama, Jerman mendukung Hungaria – Austria menghadapi Rusia. Secara serentak,
Prancis menyertakan diri menghadapi Jerman bersama Rusia yang turut mengundang simpati
UK melihat perilaku Jerman atas Belgium. Situasi ini mengawali pola persaingan antara
Jerman dengan Negara – Negara adikuasa di Eropa.
Persaingan yang menyeret Jerman menghadapi Inggris dan Prancis ini menjadi awal
pola hubungan Negara Eropa sebelum perang dingin. Hal ini terlihat tidak lama stelah PD I
berakhir. Kembali Jerman dibawah Adolf Hitler menunjukan agresifitasnya, kali ini Jerman
berniat menyatukan dunia di bawah kekuasaan Jerman mlalui fasisme. Dengan segera Jerman
menduduki sebagian besar daratan Eropa. Kondisi ini langsung memicu respon aktif negar

lain di kaawasan kala itu, berbekal persaingan masa silam, Rusia yang kala itu segera menjadi
sasran agresivitas Jerman; mengundang UK, Prancis dan AS untuk bergabung kembali
menghadapi Jerman. Di fihak lain, Jerman menyertakan Italia dan Jepang atar landasan
kesamaan tujuan dan fasisme.
Gambaran singkat situasi sejarah hubungan Prancis bersama Ingsris dan Jerman
bersama Italia sebagai bagian dari daratan Eropa menunjukan persaingan yang mendalam
atas dasar keamanan masing – masing. Situasi ini melatri pola interaksi Negara Eropa pasca
PD II, antara Ingris dan Prancis bersama memiliki kehawatiran tinggi atas Jerman. Situasi ini
yang mewarnai definisi keamanan Eropa pasca PD II.

Berakhirnya PD II menghadirkan kembali masa perang yang dikenal dengan istilah
Perang dingin. Dilatari oleh persaingan ideologis antara AS dan Uni Soviet, menjamah
daratan Eropa. Pada situasi ini, muncul gagasan mengenai usaha keamanan Eropa
menghindari pecahnya perang. Melalui kerjasama batu bara dan baja (ECSC) melatari usaha
ini, hingga akhirnya mulai muncul gagasan integrasi Eropa. Setelah kegagalan usaha
pembentukan komunitas Pertahanan Eropa akibat penolakan Prancis, Prancis menggagas
kembali pembentukan akta tunggal Eropa sebagai landasan integrasi Masyarakat Eropa (ME).
Baik Inggris maupun Prancis masih menunjukan sisi sensitifitas atas segi politik (persoalan
keamana) dalam kerjasama ini, meskipun telah terbentuk Pasar tunggal Eropa dan Uni
Moneter Eropa yang menunjukan keberhasilan yang signifikan. Faktor keterpurukan masa

silam atas perilaku Jerman mempengaruhi kekhawatiran Eropa untuk menyertakan Jerman
dalam urusan keamanan mereka dalam bentuk integrasi keamanan.
Akhir perang dingin membawa dampak baru bagi hubunga Negara – Negara Eropa,
terutama tanggapan atas Jerman. Setelah Jerman bersatu kembali akibat perselisihan
ideologis semasa perang dingin, segera Jerman menunjukan itikad yang baik dalam
mendukung integrasi Eropa. Setelah menyerahkan perubahan mata uangnya mengikuti aturan
bersama Eropa, Jerman menyatakan dukungannya dalam perencanaan pembentukan pasukan
pertahanan Eropa.
Situasi ini yang melatarbelakangi kelonggaran sikap Inggris dan Prancis menghadapi
kerjasama politik, faktor lain adalah ketidak sesuaian identitas Eropa dengan NATO yang
cenderung mengimplementasikan kepentingan politik AS atas Eropa. Hal ini jelas terlihat
stelah agresi NATO atas Irak yang kala itu mendapat tentangan keras Negara – Negara Eropa
Barat termasuk Inggris dan Prancis yang akhirnya harus turut serta dengan tanpa suka rela.
Keterbukaan atas hubungan keamanan bersama Jerman ditunjukan melalui
penandatanganan kerjasama dalam deklarasi St. Paulo 1998. Perjanjian ini berisi tentang
kebutuhan Eropa untuk memiliki kemampuan ayng otonom dalam berbagai tindakannya yang
didukung dengan kemampuan militer yang memadai.8 Keberhasilan kerjasama yang
ditunjukan Negara – Negara Eropa Barat pasca perang dunia kedua merubah pola hubungan
di antara mereka. Keberhasilan ini telah mapu mebawa integrasi di antara mereka untuk
membentuk satu lembaga yang cenrung supra state untuk mengatur dan menjaga kstabilan


8 Zalvin Opcit.

hubungan di antara mereka. Situasi ini memunculkan pola amity yang cukup kuat di antara
Negara anggota Uni Eroap.
Berakhirnya perang dingin disisi lain, merubah pola hubunga politik internasional. Isu
keamanan mulai meluas bukan hanya terbatas akan masalah perang dan damai, kondisi ini
memunclkan inisiatif baru Uni Eropa untuk menjalankan fungsinya lebih mendalam. Setelah
menyandarkan urusan keamanan militer kepada AS melalui NATO, kini tuntutan akan
keadaan yang berubah mendorong EU untuk cepat melakukan langkah adaptif. Berbagai
kebutuhan akan independensi demi efektifitas peranan EU kedepan menjaga stabilitas dan
keamanan kawasan berdasarkan interpretasi mandiri melatari EU untuk memiliki kemampuan
pengamanan secara mandiri.
Salah satu gagasan yang muncul adalah Kebijakan Keamanan dan Pertahanan Eropa
(ESDP). Institusi ini dicanangkan sebagai wadah bagi integrasi keamanan bersama egara Uni
Eropa, situasi integrasi ekonomi yang telah terbentuk akan melatari pola kerjasama ini
menuju integrasi selanjutnya. Intergrasi Eropa dalam hal politik, menyandarkan kembali
persoalan politik kepada NATO pasca Perang Dingin menjadi sedikit kurang relevan.
Beberapa yang melatari pandangan ini adalah perubahan yang signifikan di Eropa,
NATO sebagai penangkal Russia telah kehilangan lawannya. Disisi lain fungsinya menjaga

Eropa atas kehawatiran agresifitas Jerman talah tebantahkan dengan bergabungnya Jerman
terintegrasi bersama kedalam EU. Faktor penetrasi AS atas NATO memunculkan skeptisme
tersendiri atas NATO.
Perilaku AS yang tidak mencerminkan identitas Eropa sekarang ini menjadi
penghalang bagi keberlanjutan fungsi EU. AS di satu sisi mengedepankan unipolaritas,
penggunaan military power dalam urusan keamanan dan perang adalah alasan membela diri.
Di sisi lain EU berpegang teguh dengan pengutamaan jalan damai dan diplomatik dalam
penyelsaian sengketa, penegakan aturan dan norma dalam melakukan aksi politik luar negri
dan mengagungkankan multipolaritas.9 Situasi ini memberkan peluang bagi perjalanan ESDP
kedepan untuk mendapat dukungan penuh identitas EU.
Pertentngan kepentingan dan sasaran tindakan antara EU dan NATO dapat dilihat pula
melalui tujuan dan latar belakang berdirinya ESDP. Pertama yang harus diperhatikan adalah
terkait sasaran pembentukan ESDP sebagai usaha penciptaan manajemen pertahanan mandiri
9 Opcit.

melalui Franco-British Summit di St-Malo Desember 1998. Prancis bersama Inggris
mempelopori peningkatan kerjasama militer untuk meningkatkan CSFP untuk semakin
terorganisir dengan kemampuan yang lebih mapan dalam melaksanakan oprasi militer yang
berorientasi kepada eropa secara utuh. Semuanya ini dilakukan terkait kebutuhan EU untuk
menanggulangi krisis eksternal yang berpengaruh kepada stabilitas “Euro” dalam pentas
global, seperti maslah kehancuran Yugoslavia atau masalah Kosovo atau krisis yang sempat
dialami dunia internasional. Pembentukan ESDP adalah untuk memastikan kapabilitas eropa
untuk mengimplementasikan efektifitas kebijakan untuk memenejemen krisis eksternal.10
Dalam tindakan ini EU melaksanakan kebijakan yang berorientasi pembangunana dan
penanggulangan jangka panjang untuk mengorientasikan pemulihan negara victim.
Artinya bahwa EU tidak memproyeksikan aksi militer dalam berbagai usahanya
menghadapi konflik, keamanan EU lebih diarahkan untuk menunjang stabilitas ekonomi.
Sebagaimana dalam kasus Iraq, disaat NATO melancarkan aksi militer, meskipun dengan
alsan yang sama yaitu untuk menegakan HAM dari rezim ortoriter, namun dalam aksinya EU
mempromosikan melalui cara yang berbeda. EU pada 2005 melakukan penanggulangan krisis
di Iraq melalui program EUJUST LEX (Integrated Rule-of-Low for Iraq). Program ini telah
dilaksanakan hingga 2009, EU melakukan misinya melalui ESDP untuk menggelontorkan
bantuan dana dalam bentuk program pelatihan dan pembentukan kader profesional untuk
kepolisian, lembaga kehakiman serta sektor lembaga permasyarakatan (penjara) untuk
meningkatkan dan mepromosikan kepedulian akan hak asasi manusia. Program ini di
laksanakan EU bekerjasama dengan Yordania dan Mesis sebagai tuan rumah penylenggara
kegiatan selama pelatihan berlangsung. Untuk tahapan awal pelaksanaan pada 2005, EU
menggelontorkan dana hingga 10 juta euro, kemudian pada 2007 di lanjutkan dengan
pendanaan mencapai 21 juta euro dan ditutup hingga 2009 dengan jumlah 8 juta euro.11
EU juga melaksanakan aksi serupa untuk banyak wlayah krisis lainya, seperti EUPM
di bosnia dan Hersegovina pada 2003 dengan pelaksanaan program jangka panjang. Ddalam
program ini EU juga melakukan pendekatan diplomatis dengan membantu pendanaan
pelaksanaan pelatihan ini hingga mencapai angka 122, 3 juta euro. 12 Begitu juga dengan
fYROM di Concordia dengan melakukan peace keeping untuk pelaksanaan implementasi
10 Institute for Security Studies, 2004, EU security and Defence Policy: The First Five
Years (1999-2004), European Union: Prancis. P. 12
11 Institute for Security Studies, 2009, EU security and Defence Policy: The First Ten
Years (1999-2009), European Union: Prancis. P. 231 – 140.
12 Ibid. P. 161.

Ohird Framework Agreement dengan pendanaan mencapai 6, 2 juta euro.13 Hingga banyak
lagi program EU yang berorientasi pembangunan jangka panjang dan menghindari oprasi
militer untuk melaksanakan pembangunannya. Semisal dalam oprasi EU dalam kasua
Afganistan, EU menerjukan EUPOL sebagai program ESDP. Program ini ditunjukan kepada
segi institusional di Afganistan untuk menlaksanakan pelatihan, pengawalan, pembimbingan
dan pengawasan perihal institusional kelembagaan di Afganistan untuk mempromosikan
penegakan HAM dengan menciptakan pembentukan standar oprasional pelaksanaan
kelembagaan pemerintahan.14
Gambaran situasi yang dicerminkan EU melalui ESDP ini dapat menggambarkan
sasaran EU untuk menciptakan standar oprasional yang tersendiri dalam pelaksanaan
oprasinya yang berorientasi keamanan. Bukan berorientasi militersristik semta namun dalam
hal ini adalah melaksanakan program jangka panjang yang sangat bertentangan dengan
standar opraasional yang diterapkan NATO yang lebih menggunakan pendekatan militeristik.
Situasi di atas yang menggambarkan dualisme kepemimpinan di Eropa antara EU dan
NATO dalam segi keamanan. Orientasi EU yang mengedepankan stabilitas melalui
kemapanan ekonomi yang dapat terlihat dari pelaksanaan kebijakan kedalam maupun keluar
untuk memprioritaskan pembangnunan menjadi orientasi utama EU. Sementara NATO
melalui dominasi AS dalam berbagai aktifitasnya seperti di Afganistan dan Iraq yang hingga
kini belum usai memberikan tantangan bagi orientasi EU ini. Keanggotaan NATO yang juga
didominasi oleh anggota – anggota EU memaksa mereka untuk melakukan standar oprasional
NATO. Maka ESDP mengalami tantangan dalam pelaksanaan tujuan – tujuannya yang
mencitrakan tujuan dan standar oprasional sebagaimana telah dilaksanakan di berbagai aksi
ESDP.

Kesimpulan
Akhir dari perang dingi telah merubah dinamika keamanan Eropa, pencapaian
integrasi menandai pola hubungan baru anta negara di kawasan ini. EU talah menandai babak
baru perhatian atas Jerman, masa perang dingin yang berakhir telah membawa arah baru
dalam perhatian di Eropa menuju pembangunan. Di sisi lain, NATO sebagai bagian dari
tradisi perang merupakan warisan yang berdiri kokoh di tengah keberadaan EU. Perbedaan
13 Ibid. P. 173.
14 Ibid. P. 235 – 337.

dinamika keamanan dengan akhir perang dingin turut berimbas kepada orientasi keamanan
Eropa dengan banyak pencapaian yang telah dilakukannya. EU membentuk ESDP untuk
mencapai orientasi keamanannya yang lebih mandiri.
Keberadaan ESDP telah menebalkan dualisme antara NATO dan EU di Eropa pasca
Perang Dingin. Perbedaan orientasi antara EU dan NATO mengarahkan standar oprasional
yang berbeda dalam orientasi keamanan, NATO yang merupakan akses utama AS di Eropa,
membawa Eropa pada beberapa kasus untuk melaksanakan hal yang berlawanan dengan
tujuan EU. Seperti yang terjadi di Iraq dan Afganistan. Hal ini yang menjelaskan usaha EU
membentuk ESDP untuk menciptakan standar oprasional aksi penunjangan keamanan. Hal ini
dapat diliihat dalam banyak aksi yang digalang melalui oprasi ESDP, sebagaimana yang
dilakukan di Iraq dan Afganistan.

Daftarpustaka
Barry Buzan dan Ole Waefer, ( 2003), Regions and Power : The Structure of International
Security, Oxford, Cambridge University Press
CFSP dan Integrasi Uni Eropa oleh Zalvin Prakoso diakses melalui
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4108118138.pdf 21/042012 8:02
Duke, S. 2000, The Elusive Quest for European Security, St. Anthony’s Series, MacMillan
Press dalam Zalvin Prakoso
European intergrations after world war II dalam artikel J. Sucheck dipublikasikan melalui
http://www.kakanien.ac.at/beitr/fallstudie/JSuchacek1.pdf diakses pada 4/2/12 12 : 50
Institute for Security Studies, 2004, EU security and Defence Policy: The First Five Years
(1999-2004), European Union: Prancis.
Institute for Security Studies, 2009, EU security and Defence Policy: The First Ten Years
(1999-2009), European Union: Prancis.