Pengaruh Penambahan Polimer terhadap Kad

LAPORAN PENELITIAN FTKE 2012-2013 PENGARUH PENAMBAHAN POLIMER

TERHADAP KADAR AIR TOTAL DAN NILAI KALOR

BATUBARA

Ketua Peneliti: Ir. Irfan Marwanza, MT Anggota : Dr. Pancanita Novi Hartami, ST, MT Dra. Suliestyah, MSi FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS TRISAKTI

APRIL 2013

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Batubara merupakan salah satu komoditas utama di bidang energi baik pada pasar domestik maupun pada pasar internasional. Batubara sebagai salah satu komoditas utama di bidang energi memiliki nilai ekonomi sebagai akibat dari meningkatnya kebutuhan manusia akan energi, ditandai dengan semakin meningkatnya persaingan di bidang industri seiring dengan era pasar bebas dan globalisasi. Semakin tinggi kualitas batubara, maka semakin tinggi pula nilai ekonominya, begitu juga sebaliknya.

Dengan melimpahnya sumber daya mineral dan batubara di Indonesia, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen batubara terbesar di dunia. Kekayaan batubara Indonesia tersebar di berbagai daerah terutama di pulau Sumatera dan pulau Kalimantan. Berdasarkan data jumlah sumberdaya batubara yang terdapat di Indonesia, pulau Sumatera merupakan daerah yang memiliki sumberdaya batubara terbesar. Batubara yang terdapat di Indonesia secara umum dan secara khusus di pulau Sumatera mengandung persentase kadar air total (total moisture) yang tinggi. Semakin tingginya kadar air total yang terkandung pada batubara akan menurunkan kualitasnya dan juga nilai jualnya. Oleh karena itu, dibutuhkan metoda untuk dapat menurunkan kadar air total yang terkandung pada batubara, salah satu caranya adalah dengan menggunakan polimer jenis tertentu.

Penggunaan polimer jenis tertentu sebagai absorben untuk mengurangan kadar air total sudah diuji coba pada beberapa perusahaan batubara, namun belum dilakukan kajian mengenai optimalisasi penggunaan polimer berkaitan dengan fakto-faktor yang mempengaruhi seperti ukuran butir batubara, konsentrasi polimer dan waktu kontaknya. Penelitian ini mengacu pada dua penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada kegiatan penelitian dosen di Fakultas Teknologi Kebumian Universitas Trisakti. Penelitian pertama yang dilakukan oleh Edy Jamal, dkk (2011), tentang pengaruh penambahan polimer terhadap kualitas batubara dengan menggunakan variasi ukuran butir batubara (3 cm, 5 cm dan 7 cm) dengan konsentrasi polimer 10 %. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan adanya penurunan kadar air total batubara sebesar 19% - 21%.

Penelitian kedua tentang pengaruh penambahan polimer terhadap kualitas batubara telah dilakukan oleh Edy Jamal, dkk (2012). Adapun variabel yang dipakai pada penelitian kedua ini adalah variasi ukuran butir batubara ( 3 cm, 5 cm dan 7 cm ) yang telah digunakan dalam penelitian sebelumnya dengan variasi konsentrasi polimer ( 7 %, 10% dan 13 % ). Hasil dari penelitian kedua didapat Penelitian kedua tentang pengaruh penambahan polimer terhadap kualitas batubara telah dilakukan oleh Edy Jamal, dkk (2012). Adapun variabel yang dipakai pada penelitian kedua ini adalah variasi ukuran butir batubara ( 3 cm, 5 cm dan 7 cm ) yang telah digunakan dalam penelitian sebelumnya dengan variasi konsentrasi polimer ( 7 %, 10% dan 13 % ). Hasil dari penelitian kedua didapat

Penelitian pada tahap ketiga ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian kedua dengan menambah variable waktu kontak polimer terhadap sampel batubara. Diharapkan dari penelitian ini dapat menemukan variasi yang mendekati optimal pada ukuran butir batubara, konsentrasi polimer dan waktu kontak tertentu.

I.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kualitas batubara sebelum disemprotkan polimer terutama total moisture dan nilai kalornya?

2. Bagaimana kualitas batubara yang didapat dari perusahaan sesudah disemprotkan polimer?

3. Berapa lama waktu kontak polimer yang dapat mempengaruhi kualitas batubara?

4. Berapa persen peningkatan kualitas batubara yang didapat setelah penambahan polimer dilihat dari waktu kontak yang paling mempengaruhi kualitas batubara?

I.3 Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih fokus pada tujuan penelitian, maka penelitian dilakukan dengan batasan - batasan sebagai berikut :

 Pengambilan sampel batubara hanya dilakukan pada satu lokasi tambang saja,yakni di PT Citra Tobindo Sukses Perkasa,

Kab. Sarolangun, Provinsi Jambi.  Variabel yang digunakan berasal dari distribusi ukuran batubara

yaitu 3cm,5cm dan 7cm.

I.4 Tujuan Penelitian

- Mengetahui nilai parameter – parameter kualitas batubara as received - Mengetahui nilai parameter – parameter kualitas batubara setelah

percobaan - Menentukan variasi butir serta konsentrasi yang optimal untuk meningkatkan kualitas batubara - Mengetahui persentase peningkatan kualitas batubara

I.5 Langkah-langkah Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini, langkah-langkah penelitian dapat dilihat pada diagram alir berikut ini:

Perumusan masalah

Penetapan tujuan & batasan masalah

Studi Literature

 Karakteristik Batubara  Teknik Sampling dan

Preparasi Batubara

 Polimer

Pengambilan Sampel : Manual Hand Picking

Preparasi Sampel : -Pengecilan Ukuran -Pengayakan

Pengujian Sampel : -Variasi Butir -Variasi Konsentrasi Polimer

Analisis Data:Rcmdr

 Peningkatan Nilai

Kalori Batubara

 Penurunan Persentase

Kandungan Air Batubara

Kesimpulan & Saran

Gambar 1.1 Diagram alir penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batubara

Batubara merupakan senyawa hidrokarbon padat alami, dapat dibakar, menyerupai batu, berwarna cokelat sampai hitam, berasal dari akumulasi degradasi tumbuhan yang terbentuk dalam kondisi anaerobik, mengalami tekanan dan pengerasan secara bertahap dan berlangsung sangat lama.

Hampir seluruh pembentuk batubara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batubara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:

- Alga : dari zaman pre-kambrium hingga ordovisium dan bersel

tunggal, sangat sedikit endapan batubara dari perioda ini. - Silofita : dari zaman silur hingga devon tengah, merupakan turunan dari Alga. Sedikit endapan batu bara dari periode ini. - Pteridofita : umur devon atas hingga karbon atas, merupakan material utama pembentuk batubara berumur karbon di Eropa dan Amerika Utara. Berbentuk tumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.

- Gimnospermae : kurun waktu mulai dari zaman permian hingga kapur tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti Gangamopteris dan Glossopteris adalah penyusun utama batubara permian seperti di Australia, India dan Afrika.

- Angiospermae : dari zaman kapur atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae, sehingga secara umum kurang dapat terawetkan.

2.2 Rank dan Grup Batubara

Pengelompokan batubara berdasarkan tingkat energinya (SNI 13 – 6011- 1999) dikelompokan menjadi dua jenis:

Batubara energi rendah ( brown coal )

Merupakan jenis batubara yang paling rendah peringkatnya, bersifat lunak, mudah rapuh, mengandung kadar air yang tinggi ( 10-70 % ), terdiri atas batubara energi rendah lunak (soft brown coal) dan batubara lignitik atau batubara energi tinggi yang memperlihatkan struktur kayu. Nilai kalorinya < 7000 kalori/gram(dry ash free–ASTM).

Batubara energi tinggi ( hard coal )

Semua jenis batubara yang peringkatnya lebih tinggi dari brown coal, bersifat lebih keras, tidak mudah rapuh, kompak, mengandung kadar air yang relatif rendah, umumnya struktur kayu tidak tampak lagi, dan relatif tahan terhadap kerusakan fisik pada saat penanganan (coal handling). Nilai kalorinya > 7000 kalori/gram(dry ash free–ASTM). Sedangkan pengelompokan batubara oleh American Society for Testing and

Materials digambarkan oleh tabel berikut :

Gambar 2.1 Classification Of Coals By The American Society

For Testing And Materials

Dari tabel pengelompokan batubara oleh American Society for Testing and Materials diatas dapat dilihat beberapa rank dan grup dari batubara :

 Rank Anthracitic Rank batubara paling tinggi yang memiliki kualitas paling baik, dimana persentase kandungan fixed carbonnya 86 % - 98 %. Terdiri dari beberapa grup:

1.a Meta – Anthracite

Merupakan grup batubara dalam rank anthracite yang memiliki kualitas paling baik, dimana persentase kandungan fixed carbonnya >98 % dan persentase kandungan volatile matternya <2 % dalam keadaan dry.

1.b Anthracite

Merupakan grup batubara dalam rank anthracite yang memiliki persentase kandungan fixed carbonnya >92 % hingga< 98 % dan persentase

kandungan volatile matternya > 2 % hingga<8 % dalam keadaan dry.

1.c Semi – Anthracite

Merupakan grup batubara dalam rank anthracite yang memiliki persentase kandungan fixed carbon > 86 % hingga < 92 % dan presentase kandungan volatile matter > 9 % hingga < 14 % dalam keadaan dry.

 Rank Bituminous Rank batubara yang memiliki persentase kandungan fixed carbon sebesar <

69 % hingga< 86 % dan persentase kandungan volatile matter >32 % hingga<22 %. Terdiri dari beberapa grup :

2.a Low - Volatile bituminous

Merupakan grup batubara dalam rank bituminous yang memiliki persentase kandungan fixed carbon sebesar > 78 % hingga < 86 %dan persentase kandungan volatile matter sebesar >14 hingga < 22 dalam keadaan dry.

2.b Medium – Volatile bituminous

Merupakan grup batubara dalam rank bituminous yang memilikipersentase kandungan fixed carbon sebesar > 69 % hingga < 78 % danpersentase kandungan volatile matter sebesar > 22 % hingga < 31 % dalam keadaan dry.

2.c High – Volatile A bituminous

Merupakan grup batubara dalam rank bituminous yang memilikipersentase kandungan fixed carbon sebesar < 69 % , persentase kandunganvolatile matter sebesar > 31 %, dan nilai kalori > 14000 BTU / lb dalamkeadaan dry.

2.d High – Volatile B bituminous

Merupakan batubara dalam rank bituminous yang memiliki nilai kalorisebesar > 13000 BTU / lb hingga < 14000 BTU / lb dalam keadaan dry.

2.e High – Volatile C bituminous

Merupakan batubara dalam rank bituminous yang memiliki nilai kalorisebesar > 11500 BTU / lb hingga < 13000 BTU / lb dalam keadaan dry.

 Rank Subbituminous Rank batubara yang memiliki nilai kalori > 8300 BTU / lb hingga < 11500 BTU / lb. Terdiri dari beberapa grup :

3.a Subbituminous A

Merupakan batubara dalam rank subbituminous yang memiliki nilai kalorisebesar > 10500 BTU / lb hingga < 11500 BTU / lb dalam keadaan dry.

3.b Subbituminous B

Merupakan batubara dalam rank subbituminous yang memiliki nilai kalorisebesar > 9500 BTU / lb hingga < 10500 BTU / lb dalam keadaan dry.

3.c Subbituminous C

Merupakan batubara dalam rank subbituminous yang memiliki nilai kalori sebesar > 8300 BTU / lb hingga < 9500 BTU / lb dalam keadaan dry.

 Rank Lignitic Rank batubara yang paling rendah dan memiliki kualitas yang rendah,

memiliki nilai kalori < 6300 BTU / lb hingga < 8300 BTU / lb. Terdiri dari beberapa grup :

4.a Lignite A

Merupakan grup batubara dalam rank lignitic yang memiliki nilai kalori sebesar > 6300 BTU / lb hingga < 8300 BTU / lb dalam keadaan dry.

4.b Lignite B

Merupakan grup batubara dalam rank lignitic yang memiliki nilaikalori < 6300 BTU / lb dalam keadaan dry.

Tabel diatas juga menunjukan bahwa dalam keadaan dry apabila persentase kandungan fixed carbon dijumlahkan dengan persentase kandungan volatile matter menjadi 100 %, hal tersebut membuktikan bahwa dalam keadaan as received persentase kandungan fixed carbon didapat dengan cara :

100 %  proksimat Dimana:

Proksimat = ( % IM + % VM + % Ash )

2.3 Analisis Kualitas Batubara

Analisis kualitas batubara merupakan proses yang sangat penting dilakukan untuk mengetahui kualitas batubara. Didalam kegiatan studi kelayakan, kualitas batubara merupakan salah satu parameter yang dipertimbangkan disamping jumlah cadangan batubara dan kondisi pasar. Kegiatan analisis batubara ini dilakukan di dalam laboratorium oleh seorang analis dengan terlebih dahulu sebelumnya dilakukan pengambilan sampel dan preparasi sampel.

Di dalam analisis kualitas batubara terdapat parameter yang harus dianalisis, meliputi :

I. Analisis proksimat

Di dalam analisis proksimat dilakukan pengujian untuk menentukan kadar air lembab ( moisture content ), kadar abu ( ash content ), persentase zat terbang ( volatile matter ), dan persentase karbon padat

II. Analisis ultimate

Di dalam analisis ultimate dilakukan pengujian untuk menentukan kadar karbon dan hidrogen, kadar sulfur, kadar nitrogen, dan kadar oksigen.

III. Analisis lain - lain

Di dalam analisis lain -lain dilakukan pengujian untuk menentukan total moisture, nilai kalor, analisis komposisi abu, titik leleh abu, berat jenis, dan lain-lain.

IV. Pengujian sifat fisika

Di dalam pengujian sifat fisika dilakukan pengujian untuk menentukan nilai ketergerusan, type cocas cara Grayking, dilatasi, abrasivity.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan polimer terhadap kadar air total (total moisture) dan nilai kalor, dan jenis analisis kualitas dalam penelitian ini lebih difokuskan pada analisis proksimat, analisis total moisture, analisis kadar sulfur, dan analisis nilai kalori batubara.

2.4. Moisture

Moisture merupakan kandungan air yang terdapat pada batubara, hal ini terjadi tidak lepas dari genesa batubara itu sendiri, baik lingkungan pengendapannya maupun materi pembentuk batubara. Berdasarkan lingkungan pengendapannya batubara terbentuk di daerah berawa, sehingga memungkinkan air mengisi pori – pori ataupun rekahan batubara. Kemudian berdasarkan materi pembentuk batubara, kandungan air yang terdapat pada batubara merupakan kandungan air yang terdapat pada tumbuhan pembentuk batubara yang terperangkap di dalam matriks batubara. Sehingga dari hal tersebut air yang terkandung pada batubara dapat dibedakan menjadi inherent moisture yang merupakan kandungan air bawaan dari tumbuhan dimana kandungan air ini akan

hilang dengan pemanasan 105 – 110 o

C selama 1 – 2 jam, dan extraneous moisture yang merupakan kandungan air yang terdapat pada lokasi pengendapan batubara dimana kandungan air ini akan hilang bila mengalami pengeringan oleh udara saja.

Sehingga total kandungan air batubara terdiri dari inherent moisture dan extraneous moisture, kandungan total moisture (TM) ini tergantung pada :

 Peringkat batubara Semakin tinggi peringkat suatu batubara, maka semakin kecil

porositas batubara tersebut atau semakin padat batubara tersebut. Dengan demikian, semakin kecil juga moisture yang dapat diserap atau ditampung dalam pori batubara tersebut. Hal ini menyebabkan semakin kecil kandungan moisturenya khususnya extraneous moisturenya.

 Size distribusi Semakin kecil ukuran partikel batubara, maka semakin besar luas permukaanya. Hal ini menyebabkan akan semakin tinggi surface moisturenya. Pada nilai inherent moisture tetap, maka TM-nya akan naik yang dikarenakan naiknya surface moisture.

 Kondisi pada saat pengambilan sampel Total Moisture dapat dipengaruhi oleh kondisi pada saat batubara

tersebut diambil, yang termasuk dalam kondisi sampling adalah :  Kondisi batubara pada saat disampling

 Size distribusi sample batubara yang diambil terlalu besar atauterlalu kecil.  Cuaca pada saat pengambilan sample. Kandungan air dalam batubara cukup berarti pengaruhnya terhadap

penanganannya. Kadar air yang tinggi dari batubara peringkat rendah menjadi kendala serius pada pemanfaatannya. Misalnya:

 Bila akan digunakan untuk pembangkit listrik ; dibutuhkan rancangan khusus furnace dan boiler agar stabil dalam pembakaran dan memiliki transfer panas yang cukup

 Tidak ekonomis dari segi transportasinya bila dalam kondisi bahan mentah dipindahkan ke tempat lain, sehingga perlu dikeringkan atau

diubah menjadi bentuk lebih padat, cairan, atau gas  Kadar air pada batubara bukan suatu nilai yang bersifat mutlak, kondisi untuk menentukannya disesuaikan dengan standar yang

diambil. Selain hal-hal di atas kandungan Total Moisture (TM) juga mempengaruhi nilai kalor (calorivic value) yang terkandung dalam batubara tersebut, sehingga kadar TM dalam batubara menjadi salah satu faktor yang menentukan harga batubara.

2.5. Volatile Matter

Volatile Matter adalah zat terbang yang terkandung dalam batubara.Zat yang terkandung dalam volatile matter ini biasanya gas hidrokarbon terutama gas methane.Volaitile matter ini berasal dari pemecahan struktur molekul batubara pada rantai alifatik pada temperature tertentu.

Kandungan volatile matter ini mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api. Penilaian itu didasarkan pada rasio atau perbandingan antara kandungan karbon dengan zat terbang yang disebut rasio bahan bakar (fuel ratio). Berdasarkan ASTM, semakin tinggi nilai fuel ratio maka jumlah karbon di dalam batubara yang tidak terbakar juga semakin banyak. Jika perbandingan tersebut Kandungan volatile matter ini mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api. Penilaian itu didasarkan pada rasio atau perbandingan antara kandungan karbon dengan zat terbang yang disebut rasio bahan bakar (fuel ratio). Berdasarkan ASTM, semakin tinggi nilai fuel ratio maka jumlah karbon di dalam batubara yang tidak terbakar juga semakin banyak. Jika perbandingan tersebut

Zat-zat mineral yang terikat dengan sampel mungkin juga akan hilang pada saat tes ini dilakukan, tingkat kehilangan massa zat mineral bergantung pada sifat dan jumlah mineral tersebut. Pada sampel batubara dengan kadar karbonat tinggi, dibutuhkan suatu koreksi pada penentuan kadar volatile matter.Pada pengujian di laboratorium persentase volatile matter ini dapat dihitung

sebagai massa yang hilang setelah batubara dipanaskan pada temperatur 900 o C selama 7 menit dikurangi massa kadar air lembab yang ikut hilang dibagi massa

sampel awal. Sifat – sifat dari volatile matter adalah sebagai berikut :

 Kadar Volatile Matter dalam batubara ditentukan oleh peringkat batubara.  Semakin tinggi peringkat suatu batubara akan semakin rendah kadar volatile

matternya.  Volatile matter memiliki korelasi dengan vitrinite reflectance.Semakin rendah

volatile matter, semakin tinggi vitrinite reflectancenya

Gambar 2.2 Grafik Hubungan antara Volatile Matter dan Vitrinite Reflectance

2.6. Ash Content

Ash merupakan residu yang tersisa setelah pembakaran batubara pada kondisi tertentu ( ASTM D – 3174 ; ISO 1171 ) dengan komposisi utama adalah oxides dan sulfates. Ash terbentuk sebagai hasil dari perubahan kimia yang berlangsung pada mineral matter selama “Ashing process”. Kuantitas dari ash bisa lebih, sama dengan, ataupun kurang dari kuantitas mineral matter dari Ash merupakan residu yang tersisa setelah pembakaran batubara pada kondisi tertentu ( ASTM D – 3174 ; ISO 1171 ) dengan komposisi utama adalah oxides dan sulfates. Ash terbentuk sebagai hasil dari perubahan kimia yang berlangsung pada mineral matter selama “Ashing process”. Kuantitas dari ash bisa lebih, sama dengan, ataupun kurang dari kuantitas mineral matter dari

Macam – macam perubahan yang terjadi terdiri dari hilangnya air dari mineral silikat, hilangnya karbon dioksida dari mineral karbonat, oksidasi besi pyrite menjadi besi oksida melalui fiksasi oksida sulfur oleh senyawa basa seperti kalsium dan magnesium. Pada faktanya, kondisi pembakaran menentukan dimana perubahan berat terjadi.

Ada dua tipe mineral matter di dalam batubara :

1. Extraneous mineral matter, terdiri dari material – material seperti kalsium, magnesium, ferro karbonat, pyrite, markasit, clay, shale dan sand.

2. Inherent mineral matter, mewakili unsur – unsur inorganik dikombinasikan dengan unsur – unsur organik dari batubara yang berasal dari material tumbuhan dimana batubara itu terbentuk.

Penggunaan batubara dengan kandungan mineral matter akan menghasilkan abu dengan oksidasi basa yang tinggi, sehingga selalu menimbulkan permasalahan slagging dan fouling. Sebagai oksida, unsur – unsur yang dimiliki oleh abu kebanyakan memiliki titik leleh yang tinggi, tetapi unsur – unsur tersebut cenderung membentuk senyawa yang kompleks ( biasa disebut eutectic mixture ) yang memiliki titik leleh relatif rendah.Disisi lain, abu batubara dengan kandungan kalsium yang tinggi, dan kadar besi yang rendah cenderung menghasilkan slag dengan kisaran titik leleh yang rendah, terutama jika slag mengandung sodium kurang lebih 4 % w/w.

Komposisi kimia dari abu batubara merupakan faktor yang penting dalam masalah fouling dan slagging.

2.7. Fixed Carbon

Fixed carbon adalah material sisa setelah penentuan kandungan air, volatile matter dan ash. Faktanya, fixed carbon merupakan perhitungan material padat yang dapat terbakar pada batubara setelah hilangnya volatile matter. Hal ini seperti penentuan sisa karbon pada minyak bumi dan produk minyak bumi ( Speigh, 1999, 2001 ) dan juga mewakili perkiraan hasil dari thermal coke dari batubara ( Zimmerman, 1979 ).

Nilai fixed carbon merupakan salah satu nilai yang digunakan dalam penentuan efisiensi alat pembakaran batubara. Nilai fixed carbon merupakan perhitungan material padat yang dapat terbakar setelah volatile matter dalam batubara hilang. Untuk alasan ini pula nilai fixed carbon juga digunakan sebagai indikasi hasil dari coke pada cooking process. Fixed carbon ditambah ash pada dasarnya mewakili hasil dari coke. Nilai fixed carbon dikoreksi ke dry basis dan Nilai fixed carbon merupakan salah satu nilai yang digunakan dalam penentuan efisiensi alat pembakaran batubara. Nilai fixed carbon merupakan perhitungan material padat yang dapat terbakar setelah volatile matter dalam batubara hilang. Untuk alasan ini pula nilai fixed carbon juga digunakan sebagai indikasi hasil dari coke pada cooking process. Fixed carbon ditambah ash pada dasarnya mewakili hasil dari coke. Nilai fixed carbon dikoreksi ke dry basis dan

2.8. Sulfur

Sulfur merupakan hal yang penting dipertimbangkan dalam pemanfaatan batubara, karenanya cukup banyak karya yang diterbitkan terkait dengan pengembangan metode untuk meningkatkan efisiensi, teknik, serta meningkatkan akurasi dalam penentuan nilai sulfur ( Ahmed and Whalley, 1978, chakrabarti, 1978a ; Attar, 1979 ; Gorbaty et al., 1972 ).

Total sulfur data ( ASTM D – 3177 ; ASTM D – 4239 ) diperlukan sebagai kontrol yang efektif terhadap emisi dari oxida sulfur ketika batubara digunakan sebagai bahan bakar. Emisi dari oksida sulfur mengakibatkan pengkorosian alat dan slagging pada alat pembakar atau boiler. Emisi dari oksida sulfur ini merupakan kontribusi besar terhadap polusi udara dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu data sulfur perlu diambil sebagai evaluasi penggunaan batubara untuk tujuan pembakaran.

Kebanyakan untuk konversi batubara dan proses pencucian batubara memerlukan dua nilai sulfur, yakni kandungan sulfur batubara sebelum digunakan dan kandungan sulfur pada saat batubara itu dibentuk. Pada coking coal, sejumlah kandungan sulfur hilang pada saat coking proses. Hal ini membuat sulfur perlu untuk diketahui nilainya baik sebelum proses maupun setelah proses.

Penggunaan komersial dari coke, seperti dalam proses metalurgi memerlukan kandungan sulfur yang rendah dan nilai sulfur harus akurat. Teknik untuk mengurangi kandungan sulfur pada batubara adalah dengan teknik pencucian batubara. Sulfur sebelum proses pencucian dan setelah proses pencucian perlu diketahui sebagai bahan evaluasi dari proses pencucian yang dilakukan.

Saat ini sulfur dalam batubara dibagi menjadi tiga macam :

1. Sulfur organik

2. Sulfur inorganik ( Pyrite atau marcasite dan FeS2 )

3. Sulfat inorganik ( ASTM D – 2492 ; ISO 157 ; KUHN 1977 )

2.9. Caloric Value

Calorific Value atau disebut juga Specific Energy, higher heating value merupakan parameter yang sangat penting, karena pada dasarnya yang dibeli dari batubara adalah energy. Nilai CV yang dibutuhkan oleh pengguna batubara bervariasi tergantung dari design peralatan yang dibuat. Ada yang memerlukan Calorific value tinggi, ada yang menengah, bahkan ada pula yang kalori rendah.

Pada prinsipnya batubara yang dibakar pada suatu industri atau boiler harus memiliki nilai kalori yang sesuai dengan capasitas energy yang ditargetkan Pada prinsipnya batubara yang dibakar pada suatu industri atau boiler harus memiliki nilai kalori yang sesuai dengan capasitas energy yang ditargetkan

Dalam hal ini batubara yang bervariasi tersebut diblending. Yang kedua ini biasanya disebabkan oleh alasan ekonomi dan di mana dengan cara ini harga batubara dapat diatur. Dan juga supaya terjamin bahwa supply batubara yang diperlukan dapat terus secara konsisten sehingga tidak terjadi kekurangan bahan bakar. Menggunakan single supplier biasanya riskan konsistensinya karena apabila perusahaan tersebut mengalami masalah dan stop produksinya maka akan berdampak sangat besar terhadap kelangsungan industri tersebut terutama dalam supply energy.

Calorific Value batubara biasanya dinyatakan dalam Kcal/kg, atau cal/g. Namun ada juga yang menggunakan MJ/kg, dan Btu/lb. Sedangkan basis yang digunakan dalam transaksi jual beli batubara tersebut bervariasi ada yang menggunakan adb, ar dan ada pula yang menggunakan NAR (Net as Received). Basis ketiga ini dianggap yang lebih mendekati dengan energy yang akan dihasilkan pada saat batubara tersebut dibakar.

2.10 . Polimer

Definisi Polimer

Polimer merupakan molekul besar atau makromolekul yang tersusun oleh unit-unit molekul sederhana yang tersusun secara berulang-ulang. Molekul sederhana penyusun polimer dinamakan monomer. Jika hanya ada beberapa unit monomer (3 hingga 9 monomer) yang tergabung bersama, maka polimer dengan berat molekul kecil yang terbentuk, polimer hasil penyusunan beberapa monomer ini disebut oligomer (bahasa Yunani oligos "beberapa").

Klasifikasi Polimer Berdasarkan Strukturnya

A. Polimer linear Polimer linear terdiri dan rantai panjang atom-atom skeletal yang dapat mengikat gugus substituen. Polimer ini biasanya dapat larut dalam beberapa A. Polimer linear Polimer linear terdiri dan rantai panjang atom-atom skeletal yang dapat mengikat gugus substituen. Polimer ini biasanya dapat larut dalam beberapa

Polietilena, poli(vinil klorida) atau PVC, poli(metil metakrilat) (juga dikenal sebagai PMMA, Lucite, Plexiglas, atau perspex), poliakrilonitril (orlon atau creslan) dan nylon 66.

B. Polimer bercabang Polimer bercabang dapat divisualisasi sebagai polimer linear dengan percabangan pada struktur dasar yang sama sebagai rantai utama. Struktur polimer bercabang diilustrasikan sebagai berikut.

Polimer jaringan tiga dimensi adalah polimer dengan ikatan kimia yang terdapat antara rantai, seperti digambarkan pada gambar berikut. Bahan ini biasanya di"swell" (digembungkan) oleh pelarut tetapi tidak sampai larut. Ketaklarutan ini dapat digunakan sebagai kriteria dari struktur jaringan. Makin besar persen sambung-silang (cross-links) makin kecil jumlah penggembungannya (swelling). Jika derajat sambung- silang cukup tinggi, polimer dapat menjadi kaku, titik leleh tinggi, padat yang tak dapat digembungkan, misalnya intan (diamond).

Klasifikasi Polimer Berdasarkan Jenis Monomer Penyusunnya

A. Homopolimer Polimer yang tersusun dari unit-unit monomer yang

sejenis. -AAAAAAAAAAAAAAAA

B. Kopolimer

Polimer yang terbentuk dari dua atau lebih monomer yang berbeda. Berdasarkan penyusunannya kopolimer dapat diklasifikasikan dalam 4 jenis :

I. Kopolimer alternasi : -A-B-A-B-A-B-A-B-A-B-A-B-A-B

II. Kopolimer acak : -A-A-B-A-B-B-A-A-A-B-B-B-A-B

a. Kopolimer blok : -A-A-A-A-A-A-A-B-B-B-B-B-B-B

b. Kopolimer cangkok : -A-A-A(B-B-B)A-A-A-A(B-B-B)A

2.11. Polimer Emulsi

Definisi Polimer Emulsi

Polimer emulsi adalah polimer organik sintetik berbentuk koloid dengan air sebagai medium pendispersi. Proses polimerisasinya disebut juga sebagai polimerisasi heterogen karena terdapat perbedaan kepolaran antara monomer (non-polar) dengan air (polar), sehingga dibutuhkan surfaktan sebagai penstabil.

Polimerisasi emulsi menjadi salah satu teknik yang dapat digunakan untuk membuat partikel dalam skala nano sampai mikrometer. Berbagai variasi kondisi percobaan, dapat dilakukan untuk membuat partikel sesuai dengan sifat-sifat yang diinginkan. Polimer jenis ini banyak digunakan dalam industri-industri berskala besar, seperti pada industri cat dan bahan perekat dimana produk yang teremulsikan digunakan langsung tanpa dipisahkan dan pelarut airnya. Polimerisasi emulsi juga cocok untuk pembuatan polimer-polimer lengket, karena partikel- partikelnya yang sangat kecil cukup stabil dan tahan terhadap penggumpalan. .

Komponen dalam Polimerisasi Emulsi

Di dalam proses polimerisasi emulsi terdapat empat komponen utama yang diperlukan, yaitu air, surfaktan, monomer dan inisiator. Fungsi air yang digunakan adalah sebagai medium pendispersi yang dapat menyerap dan menyebarkan panas yang timbul dan reaksi eksotermis.Penggunaan air dalam polimerisasi emulsi ini biasanya berkisar antara 35-65%. Air yang digunakan harus memiliki kualitas yang baik agar tidak mengganggu proses polimerisasi. Oleh karena itu, perlu digunakan air demineral.

Surfaktan

Surfaktan atau surface active agent adalah suatu zat yang ketika dilarutkan dalam pelarut maka molekul-molekulnya akan tertarik ke permukaan dan kehadirannya dapat menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan dalam polimer emulsi berfungsi sebagai pengemulsi yang berperan dalam penyediaan tempat Surfaktan atau surface active agent adalah suatu zat yang ketika dilarutkan dalam pelarut maka molekul-molekulnya akan tertarik ke permukaan dan kehadirannya dapat menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan dalam polimer emulsi berfungsi sebagai pengemulsi yang berperan dalam penyediaan tempat

Surfaktan sendiri merupakan suatu zat dengan struktur yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian liofilik (suka pelarut) dan liofobik (tidak suka pelarut). Dalam hal pelarut air, bagian liofilik yang bersifat polar disebut gugus hidrofilik sedangkan bagian liofobik yang nonpolar disebut hidrofobik.

Berdasarkan gugus hidrofiliknya, surfaktan dikelompokkan sebagai berikut : + Surfaktan anionik, bagian aktif permukaan mengandung muatan negatif.

Contoh : sodium lauryl sulfate dan sodium dodecyl sulfate. + Surfaktan kationik, bagian aktif permukaan mengandung muatan positif. Contoh : garam dari amina rantai panjang. + Surfaktan non-ionik, bagian aktif permukaan tidak bermuatan. Contoh : asam lemak rantai panjang. + Surfaktan zwitter ion, bagian aktif permukaan mengandung muatan positif dan muatan negatif. Contoh : asam amino rantai panjang.

Umumnya pada proses polimerisasi emulsi menggunakan surfaktan anionik. Dalam penelitian ini, surfaktan yang digunakan adalah sodium lauryl sulfate (SLS) yang termasuk surfaktan anionik. Spesifikasi dari SLS dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Parameter SLS

Nilai

Wujud

Bubuk kristal putih

Berat molekul

288,38 g/mol

Berat j enis 3 1,01 g/cm CMC (25°C)

Titik leleh ° 206 C Kelarutan dalam air ° 250 g/L (20 C)

Tabel 2.2 Spesifikasi sodium lauril sulfat (SLS)

Saat surfaktan dilarutkan dalam pelarut, maka molekul-molekulnya akan teradsorpsi pada permukaan. Pada konsentrasi molekul surfaktan berkumpul dan membentuk suatu kelompok yang disebut misel. Konsentrasi surfaktan saat mulai terbentuk misel disebut critical micelles concentration (CMC). Proses pembentukan misel pada konsentrasi sufaktan di atas CMC dapat dilihat pada Gambar 2.2. Misel umumnya berukuran antara 2-10 nm, dan setiap misel mengandung 50-150 molekul surfaktan. Dalam pelarut air, molekul surfaktan tersusun pada misel dengan bagian hidrofobnya menghadap ke dalam misel (di dalam inti misel) dan bagian hidrofiliknya menghadap fasa air. Jumlah misel dan ukurannya bergantung pada konsenrasi dan struktur kimia surfaktan.

Gambar 2.2 . Pembentukan misel mat konsentrasi SLS di atas CMC [71

Secara teoritis diketahui bahwa semakin besar konsentrasi surfaktan yang digunakan, maka ukuran partikel polimer yang dihasilkan semakin kecil. Hal ini terjadi karena jumlah misel yang terbentuk lebih banyak, sehingga monomer yang terdistribusi dan berpolimerisasi pada tiap misel lebih sedikit. Sementara itu untuk persen konversi terjadi hal sebaliknya. Dalam hal ini, terjadi kecenderungan kenaikan persen konversi untuk konsentrasi surfaktan yang semakin besar. Ini terjadi karena dengan semakin banyaknya misel yang terbentuk maka semakin banyak pula radikal bebas dan inisiator yang terabsorpsi sehingga laju polimerisasi semakin bertambah. Akibatnya, persen konversi meningkat.

Butil akrilat, atau dikenal sebagai butakrilat merupakan turunan monomer akrilat. Butil akrilat berwujud cair dengan aroma buah-buahan, larut dalam pelarut organik, dan bersifat iritasi. Butil akrilat dapat digunakan sebagai homopolimer, kopolimer, dan terlibat di dalam reaksi adisi pada sintesa organik dan anorganik. Dalam penelitian ini digunakan polimer emulsi Butilakrilat SLS yang berfunfsi sebagai adsorben untuk menyerap air pada permukaan batubara.

Melalui hukum kesetimbangan maka air yang diserap akan dilepaskan dan polimer emulsi akan membentuk film tipis pada lapisan batubara. Oleh karena itu polimer emulsi butiakrilat SLS ini diharapkan dapat mrnurunkan kadar air total (Total Moisture) dalam batubara. Turunnya kadar air total akan berpengaruh pada meningkatnya nilai kalor batubara, hal tersebut akan meningkatkan harga jual batubara pada konsumen.

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Data primer pada penelitian ini didapat melalui uji coba di laboratorium, maka penelitian ini menggunakan metode eksperimentasi di laboratorium . Pengolahan data dilakukan dengan membandingkan antara hasil analisis kualitas sampel batubara kondisi awal dengan kualitas sampel batubara setelah disemprotkan polimer. Variasi waktu kontak polimer yang digunakan adalah

1 jam, 2 jam, dan

3 jam pada sampel batubara berukuran 5 cm dan 7 cm.

3.2 Data dan sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data yang terdiri dari :

1. Data primer Data primer pada penelitian ini didapat melalui pengujian langsung di

laboratorium batubara. Adapun data yang diperoleh berupa data analisis kualitas sampel batubara kondisi asli dan kualitas sampel batubara setelah disemprotkan polimer yang terdiri dari analisis proksimat, nilai kalori, kadar sulfur dan kadar air total batubara.

2. Data sekunder. Data sekunder didapat dari hasil eksplorasi yang yang dilakukan oleh PT

Citra Tobindo Sukses Perkasa ( PT CTSP ). Data ini berupa data lokasi penambangan batubara dan data kualitas endapan batubara Adb milik PT CTSP. Untuk mendapatkan data ada 2 tahapan yang harus dijalankan untuk dapat mendapatkan data, yaitu :

1. Pengambilan sampel

Tahap awal untuk mendapatkan data yaitu pengambilan sampel di lapangan. Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah grab sampling dengan bantuan alat berat untuk memberai batubara insitu. Sampel ukuran ± 30 cm dimasukan ke dalam plastik 10 kg. Plastik yang sudah penuh dengan batubara diikat dan dimasukkan ke dalam karung guna upaya pengiriman batubara ke laboratorium. Dengan perlakuan tersebut diharapkan batubara masih dalam kondisi fresh ketika sampai di laboratorium. Selanjutnya batubara tersebut akan melewati uji laboratorium berupa uji proximat dan uji ultimat.

2. Proses Laboratorium

Setelah batubara di laboratorium, batubara di reduksi ke ukuran 5 cm dan 7 cm sebanyak tiga sampel pada setiap ukuran batubara untuk membedakan waktu kontak polimer ( 1 jam, 2 jam, dan 3 jam) dengan konsentrasi polimer 10 %. Kemudian sampel disemprot polimer secara merata. Setelah waktu kontak polimer memenuhi ketentuan, batubara kemudian di preparasi agar lebih mudah untuk Setelah batubara di laboratorium, batubara di reduksi ke ukuran 5 cm dan 7 cm sebanyak tiga sampel pada setiap ukuran batubara untuk membedakan waktu kontak polimer ( 1 jam, 2 jam, dan 3 jam) dengan konsentrasi polimer 10 %. Kemudian sampel disemprot polimer secara merata. Setelah waktu kontak polimer memenuhi ketentuan, batubara kemudian di preparasi agar lebih mudah untuk

3.3 Prosedur Kerja Pengambilan Sampel Batubara

Sebelum melakukan pengujian di laboratorium, terlebih dahulu dilakukan pengambilan sampel batubara yang akan diuji kualitasnya di laboratorium. Berdasarkan perumusan masalah yang dibuat, maka diambil sejumlah tertentu batubara yang memiliki kadar air yang tinggi. Proses pengambilan sampel batubara ini dilakukan di PT CTSP dengan menggunakan teknik grab sampling dibantu dengan alat mekanis dan palu geologi. Sampel batubara yang dibutuhkan diambil langsung dari permukaan kerja seberat kurang lebih 120 kg. Kemudian sampel batubara yang telah diambil dikemas ke dalam plastik sampel berukuran 10 kg guna menjaga kualitas sampel batubara. Setelah itu sampel batubara dikirim ke laboratorium batubara FTKE Universitas Trisakti.

Preparasi Sampel batubara

Proses preparasi sampel batubara dilakukan di laboratorium batubara FTKE Universitas Trisakti. Sampel batubara dibagi menjadi dua :

1. Sampel batubara kondisi asli yang tidak direduksi.

2. Sampel batubara yang telah direduksi ukurannya dan telah disemprotkan polimer dengan variabel waktu kontak yang telah ditentukan.

Kegiatan awal yang dilakukan dalam proses preparasi sampel batubara adalah reduksi ukuran. Sampel batubara dari lapangan yang berupa bongkahan - bongkahan batubara berukuran 10 – 30 cm direduksi ukurannya menjadi kurang lebih 5 cm dan 7 cm. Kegiatan reduksi ukuran sampel batubara ini dilakukan secara manual menggunakan palu geologi. Kemudian pekerjaan preparasi ini dilanjutkan sesuai dengan standar prosedur kerja tiap pengujian ( SNI, ISO, ASTM ).

Setelah dilakukannya preparasi sampel, sampel batubara yang sudah dipreparasi siap untuk diuji kualitasnya di laboratorium. Adapun analisis yang dilakukan ada empat:

1. Analisis kandungan air total

2. Analisis Proksimat

3. Analisis kandungan sulfur

4. Analisis nilai kalori

3.2 Analisis Proksimat

Analisis proksimat terdiri dari analisis kadar air lembab, analisis kadar abu, analisis kadar zat terbang dan analisis kadar karbon terikat. Dimana prosedur kerja adalah sebagai berikut :

Analisis Kadar Air Lembab

Pada prinsipnya, untuk menentukan kadar air lembab dari sampel batubara yang telah dihaluskan menjadi ukuran 60 mesh ( lolos ayakan 60 mesh ). Sampel

dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 o

C selama kurang lebih satu jam, kemudian ditimbang dalam keadaan dingin sampai bobot tetap. Selisih sebelum dikeringkan dengan sesudah dikeringkan dihitung sebagai kadar air lembab batubara.

Analisis Kadar Abu

Prinsip kerja pada analisis kadar abu batubara adalah sejumlah tertentu sampel batubara adb ukuran < 0,2 mm dimasukan ke dalam ash vessel, kemudian

dipanaskan sampai temperatur 500 o

C sampai beberapa waktu. Temperatur dinaikan sampai temperatur 815 o

C dan pertahankan temperatur ini selama 60 menit. Residu pembakaran merupakan abu, persentase beratnya terhadap sampel batubara adalah kadar abu yang dihasilkan.

Analisis Kadar Zat Terbang

C pada kondisi tidak kontak dengan udara, selama tujuh menit. Persentase zat terbang dihitung sebagai massa yang hilang setelah dikurangi massa kadar air lembab yang ikut hilang dibagi massa sampel batubara awal.

Sampel batubara dipanaskan pada temperatur 900 o

Analisis Kadar Air total

Penentuan kadar air total batubara pada dasarnya terdiri dari penentuan kadar air bebas dan penentuan kadar air lembab dari batubara. Penentuan kadar air bebas batubara di laboratorium dilakukan dengan mengeringkan batubara pada

suhu kamar atau pada temperatur maksimal 40 o

C, kadar air bebas dihitung sebagai berat sampel yang hilang selama proses pengeringan. Sedangkan penentuan kadar air lembab sesuai dengan prosedur penentuan kadar air lembab. Analisis Ultimat

Analisa ultimat terdiri dari analisa kadar sulfur dan nilai kalori. Dimana prosedur kerja adalah sebagai berikut :

Kadar Sulfur

Pada prinsipnya, sampel batubara dibakar dalam atmosfir oksidasi dan berkontak secara intensif dengan campuran escha untuk mengambil zat pembakar dan mengubah sulfur menjadi sulfat. Selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan larutan Pada prinsipnya, sampel batubara dibakar dalam atmosfir oksidasi dan berkontak secara intensif dengan campuran escha untuk mengambil zat pembakar dan mengubah sulfur menjadi sulfat. Selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan larutan

Analisis Nilai Kalori

Alat yang digunakan dalam menganalisis nilai kalori batubara adalah kalorimeter adiabatik. Kalorimeter ini terdiri dari bom kalorimeter dan pengukur temperatur.

a. Thermostat ( water jacket ) Thermostat mengelilingi kalorimeter secara penuh, terpisahkan oleh ruangan

berbentuk lingkaran yang terisi oleh udara. Thermostat diisi oleh air selama percobaan dilakukan.

Perubahan temperatur air dalam thermostat adalah sangat kecil bias dianggap konstan, hal ini disebabkan kapasitas panas yang besar dari air. Dengan demikian thermostat dapat menyediakan temperatur ruang yang konstan, hal ini disebabkan kapasitas panas yang besar dari air. Dengan demikian thermostat dapat menyediakan temperatur ruang yang konstan terhadap kalorimeter can.

b. Kalorimeter can Kalorimeter can dibuat dari plat tembaga yang dilapisi dengan krom dan terlapisi

secara baik pada kedua sisinya. Can mampu menampung sejumlah air, sehingga airnya bias menutupi bagian atas dari bom pada saat stirer dijalankan.

c. Stirer Stirer dibuat oleh mikromotor dengan kecepatan 500 rpm secara konstan,

sehingga terjadi sirkulasi air di dalam kalorimeter can. Dengan adanya sirkulasi ini, diharapkan adanya homogenisasi temperatur di setiap titik pada kalorimeter can.

d. Combustion Bomb Dibuat dari stainless, tahan terhadapa zat asam yang dihasilkan oleh proses

pembakaran sampel batubara, tidak berubah dengan adanya proses pembakaran. Pembakaran sampel batubara terjadi karena adanya pembakaran ignition wire oleh aliran listrik, dan adanya muatan oksigen dalam bom, akhirnya terjadilah proses pembakaran secara sempurna sampel batubara.

e. Instrumen Pengukur Temperatur Kalorimeter menggunakan platinum resistance thermistor sebagai alat pengukur

temperatur yang mengkonversikan perubahan nilai temperatur ke dalam perubahan besarnya nilai tahanan teliti, maka digunakan jembatan wheatstone dan rangkaian microsignal amplification yang bisa mengukur nilai tahanan. amplifier ini harus dirancang oleh pabrik yang khusus membuat kalorimeter.

f. Stirer Circuit Sircuit ini memberikan tenaga pada stirer - motor dan dikontrol oleh boat-shape

switch.

3.5. Proses Penyemprotan Polimer

Proses penyemprotan batubara dengan polimer dilakukan di laboratorium menggunakan peralatan dan cara kerja sebagai berikut:

Peralatan:

1. Alat semprot

2. Gelas ukur

3. Aquades

4. Kantong plastik sampel

5. Alas

Prosedur kerja:

1. Batubara yang sudah dikecilkan ukuran dengan distribusi ukuran 5 cm dan 7 cm ditimbang sebanyak 5 kg per ukurannya.

2. Kemudian letakan batubara yang sudah ditimbang ke nampan sebagai alas sesuai dengan distribusi ukurannya masing-masing.

3. Siapkan polimer yang akan disemprotkan, terlebih dahulu harus dicampur dengan air.

4. Konsentrasi polimer yang digunakan adalah 10 % dengan komposisi larutan dengan konsentrasi 10 % membutuhkan polimer pekat sebanyak 5 ml dicampur dengan air 45 ml.

5. Tiap konsentrasi polimer 10 % yang dibuat digunakan untuk penyemprotan tiap distribusi ukuran sampel batubara.

6. Semua sampel batubara yang disemprotkan polimer berjumlah 12 sampel batubara, sehingga dibutuhkan 60 ml larutan polimer pekat.

7. Setelah semua sampel batubara disemprotkan oleh polimer, pada penelitian ini menggunakan variabel waktu kontak selama 1 jam, 2 jam , dan 3 jam pada masing-masing ukuran batubara.

8. Apabila larutan polimer sudah memenuhi waktu kontak terhadap batubara, lalu segera sampel batubara tersebut dimasukan kembali ke dalam kantong plastik untuk nantinya dianalisis kembali kualitasnya.

3.6. Konversi Batubara Adb ke Ar

Hasil Analisis di laboratorium merupakan batubara dalam kondisi sudah diangin-anginkan (Adb). Namun pada kenyataan batubara di lapangan merupakan batubara dalam kondisi Ar. Sehingga diperlukan konversi dari batubara kondisi Adb ke Ar. Adapun perhitungan yang digunakan ( lihat tabel 3.2 ) sebagai berikut

Perhitungan:

Adb to Ar  Parameter Adb X

(100 - TM)

(100 - IM)

Keterangan :

Adb to Ar

= Perubahan parameter batubara Adb ke Ar

Parameter Adb = Parameter kualitas batubara yang diperoleh di laboratorium TM

= Kadar air total batubara IM

= Kadar air lembab batubara

Gambar 4.1 Alur Kerja di Laboratorium

Gambar 4.2 Diagram Alir Penelitian

IV. DATA PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Pada pembahasan ini, data yang diperoleh di laboratorium saat ini dibandingkan batubara sebelum perlakuan dan batubara sesudah perlakuan. Sehingga dapat diketahui pengaruh penyemprotan polimer terhadap kualitas batubara yang diuji dan pada waktu kontak polimer berapa yang paling mempengaruhi perubahan kualitas batubara yang diuji. Karena konsentrasi polimer pada penelitian ini sama yaitu 10 %, maka kita lebih melihat ke waktu kontak polimer (1 jam, 2 jam, dan 3 jam) dan ukuran batubara (5 cm dan 7 cm) terhadap peningkatan kualitas batubara yang diuji. Variasi ukuran batubara dan konsentrasi polimer batubara mengacu pada penelitian sebelumnya (Proboseno, 2013), dimana variasi ukuran batubara dan konsentrasi polimer batubara pada penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang maksimal pada percobaannya.

4.1 Perbandingan Hasil Kualitas Batubara dengan Hasil Penelitian Sebelumnya

Pada penelitian Saputro (2011) dilakukan kajian peningkatan nilai kalori batubara dengan penurunan kadar air menggunakan polimer. Penelitian menggunakan variabel ukuran batubara (3 cm, 5 cm dan 7 cm) dengan konsentrasi polimer 10 %. Dari penelitian tersebut dapat diketahui pemberian polimer dapat menurunkan kadar air batubara dan meningkatkan nilai kalori batubara.

Kemudian penelitian dilanjutkan oleh Proboseno (2013) dengan menambahkan variabel konsentrasi polimer (7 %, 10 % dan 13 %) dengan waktu kontak polimer 1 jam dengan sampel batubara yang berbeda lokasi dengan penelitian Saputro (2011).

Penelitian Proboseno (2013) mendapatkan hasil bahwa konsentrasi polimer 10 % paling mempengaruhi kualitas batubara uji pada ukuran 7 cm. Penurunan terjadi pada kadar air total sebesar 7.64 %, kadar abu sebesar 3.74 % dan kadar sulfur sebesar 0.13 %. Kenaikan terjadi pada karbon terikat batubara sebesar 5.29 %, nilai kalori batubara sebesar 891 cal / gr, dan kadar zat terbang sebesar 5.93 %.

Penelitian sekarang mengacu pada hasil penelitian Proboseno (2013) dengan menambahkan variabel waktu kontak polimer (1 jam, 2 jam dan 3 jam) dan ukuran batubara (5 cm dan 7 cm). Batubara ukuran 5 cm merupakan variasi ukuran batubara yang juga ditambahkan karena juga paling dipengaruhi oleh konsentrasi polimer 10%.

Penelitian ini mendapat hasil bahwa waktu kontak polimer 2 jam sangat mempengaruhi kualitas batubara pada ukuran 5 cm dalam peningkatan kualitas batubara uji. Penurunan terjadi pada kadar air total batubara sebesar 1.03 %, kadar zat terbang batubara

1.24 %, kadar abu sebesar 1.74 %, dan kadar sulfur sebesar 0.1 %. Kenaikan terjadi pada kadar karbon terikat batubara sebesar 4.2 % dan nilai kalori batubara sebesar 102 cal / gr. Semua persentase yang diperoleh mengacu pada persentase batubara setelah perlakuan terhadap batubara tanpa perlakuan.

Penelitian ini menggunakan sampel batubara yang diambil dari lokasi yang sama dengan penelitian Proboseno (2013) yaitu di PT CTSP demgan kadar air total batubara 30 % - 35 %.

Namun dalam dua penelitian ini penurunan kadar air total sesudah perlakuan menunjukan penurunan yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh perlakuan

(penyemprotan dan penyimpanan batubara uji) dan lingkungan di laboratorium pada saat penelitian tersebut sedang berjalan. Adapun penelitian sekarang keseluruhan pengujiannya berada di laboratorium analisa kualitas batubara FTKE Universitas Trisakti, sedangkan data nilai kalori batubara pada penelitian Nayung ( 2013 ) diperoleh dari laboratorium Tekmira, Bandung.

4.2 Pengaruh Penyemprotan Polimer terhadap Kadar Air Total Batubara

Pengaruh waktu kontak polimer terhadap kadar air total batubara merupakan penentuan waktu kontak polimer yang paling mempengaruhi kadar air total batubara pada variasi ukuran batubara yang digunakan, adapun ukuran batubara yang digunakan dalam penelitian adalah 5 cm dan 7 cm.

Pada penelitian sebelumnya batubara berukuran 5 cm dan 7 cm, konsentrasi polimer 10% dengan rata-rata 1 jam waktu kontak polimer didapat hasil kadar air total batubara berturut-turut yaitu 26.38 % dan 25.16 % .

Pada penelitian saat ini, pada batubara berukuran 5 cm dan 7 cm dengan waktu kontak polimer yang telah ditentukan (1 jam, 2 jam, dan 3 jam) didapat hasil (lihat gambar 6.1).

Pada batubara berukuran 5 cm penurunan kadar air (TM) terjadi pada waktu kontak polimer 2 jam, namun kenaikan kadar air (TM) terjadi ketika waktu kontak polimer 3 jam. Hal ini mengindikasikan adanya kontaminasi kembali oleh free moisture.

Sedangkan pada batubara berukuran 7 cm penurunan terus terjadi sampai waktu maksimal yang telah ditentukan (3 jam). Oleh karena itu pada sampel batubara berukuran 7 cm masih belum dapat diambil kesimpulan.

A 32 T

31 O

T 30

IR 28 AR

A WAKTU KONTAK POLIMER ( JAM )

5 cm

7 cm

Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Waktu Kontak Polimer Terhadap Kadar Air Total Batubara