BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Jumlah Anak - Faktor-faktor yang Memengaruhi Jumlah Anak di Desa Pusong Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Jumlah Anak

  Jumlah memiliki arti banyaknya bilangan atau sesuatu yang dikumpulkan menjadi satu, sedangkan pengertian anak secara umum adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu (Poerdarminta, 2003) Sedangkan menurut Undang

  • – Undang no.4 tahun 1974 tentang kesejahteraan anak, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Jumlah anak adalah banyaknya hitungan anak yang dimiliki. Jumlah anak menuju pada kecenderungan dalam membentuk besar keluarga yang diinginkan. Dengan demikian, besar keluarga akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah anak, karena setiap keluarga berupaya untuk mencapai jumlah anak dengan menggunakan caranya tersendiri (Bulatao dan Lee, 1983).

  Singarimbun (1974) dalam Siregar (2003) melakukan penelitian pada penduduk di sekitar Yogyakarta menunjukkan bahwa jumlah anak yang dianggap ideal 4 dan 5 orang anak. Motivasi untuk mempunyai jumlah anak yang sedikit dan nilai-nilai tentang anak merupakan aspek yang penting. Kadang-kadang jumlah anak yang diinginkan lebih besar daripada jumlah anak yang mampu dirawat dengan baik.

  Jumlah anak yang diinginkan dikategorikan berdasarkan jumlah anak lahir hidup yang mendasari besar keluarga. Keluarga dikatakan sebagai keluarga kecil, jika maksimal memiliki dua anak. Dengan demikian, pengkategorian jumlah anak yang

  10 diinginkan menjadi: 1) sedikit, jika keluarga menginginkan sebanyak banyaknya memiliki dua anak; 2) sedang, jika keluarga menginginkan anak sebanyak tiga hingga lima anak; 3) banyak, jika keluarga menginginkan sedikitnya memiliki enam anak (BPS, 2013). Berbeda dengan pengkategorian yang dilakukan Muchtar dan Purnomo (2009) yaitu bahwa jumlah anak sedikit adalah jika memiliki 1-2 anak, dan jumlah anak banyak jika memiliki > 2 anak.

2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Jumlah Anak

  Menurut Hartoyo dkk (2011), faktor - faktor yang memengaruhi jumlah anak yaitu usia ibu, pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan nilai anak. Muchtar dan Purnomo (2009) menyatakan terdapat faktor komposisional yang terdiri dari umur ibu, pendidikan ibu,pekerjaan ibu,jumlah anak, indeks kekayaan kuantil, pendidikan suami,pekerjaan suami, agama, jumlah anak sekarang dan tempat tinggal.

  Menurut Davis dan Blake (1956), faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya dapat berpengaruh terhadap fertilitas. Davis and Blake (1996) juga mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas melalui apa yang disebut sebagai “variabel antara” (intermediate variables). Ada 11 variabel antara yang mempengaruhi fertilitas, yang masing-masing dikelompokkan dalam tiga tahap proses reproduksi sebagai berikut:

  I. Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya hubungan kelamin (intercouse

  variables ):

  A. Faktor-faktor yang mengatur tidak terjadinya hubungan kelamin :

  II. Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya konsepsi (conception variables):

  1. Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak disengaja

  III. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran (gestation variables)

  3. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang disengaja (sterilisasi, subinsisi, obat-obatan dan sebagainya)

  b. Menggunakan cara-cara lain

  a. Menggunakan cara-cara mekanik dan bahan-bahan kimia

  2. Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi:

  1. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak disengaja

  3. Frekuensi hubungan seksual

  1. Umur mulai hubungan seksual

  2. Berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit, pisah sementara)

  1. Abstinensi sukarela

  B. Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin

  b. Bila kehidupan suami istri nerakhir karena suami meninggal dunia

  a. Bila kehidupan suami istri cerai atau pisah

  3. Lamanya masa reproduksi sesudah atau diantara masa hubungan kelamin:

  2. Selibat permanen: proporsi wanita yang tidak pernah mengadakan hubungan kelamin

  2. Mortalitas janin oleh faktor-faktor yang disengaja

2.2.1 Usia Ibu

  Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Jika dilihat dari sisi biologis, usia 20-35 tahun merupakan saat terbaik untuk hamil dan bersalin dengan tujuan memiliki anak. Karena pada usia ini biasanya organ-organ tubuh berfungsi dengan baik dan belum ada penyakit-penyakit degeneratif seperti darah tinggi, diabetes, dan lain serta daya tahan tubuh masih kuat. (Manuaba, 1999)

  Faktor usia merupakan salah satu faktor yang memengaruhi ibu terhadap jumlah anak, dimana pada saat merencanakan kehamilan yang harus dihindari antara lain empat T yaitu (Manuaba, 2009): 1.

  Terlalu muda untuk hamil (< 20 tahun).

  2. Terlalu tua untuk hamil (> 35 tahun).

  3. Terlalu sering hamil (anak > 3 orang berisiko tinggi).

  4. Terlalu dekat jarak kehamilannya (> 2 tahun).

  Menurut Mantra (2000), umur merupakan karakteristik penduduk yang penting karena struktur umur dapat mempengaruhi perilaku demografi maupun sosial ekonomi rumahtangga. Perilaku demografi yang dimaksud yaitu meliputi jumlah, pertambahan, dan mobilitas penduduk (anggota rumahtangga), sedangkan yang termasuk ke dalam indikator sosial ekonomi rumahtangga meliputi tingkat pendidikan, angkatan kerja, pembentukan dan perkembangan keluarga. Usia muda yang dominan berpengaruh secara nyata terhadap perilaku demografi terutama tentang jumlah dan pertambahan penduduk melalui fertilitas.

  Menurut Angeles, et.al (2001), melalui penelitian tentang fertilitas dan preferensi secara Meta- Analysis di 14 negara Asia dan Afrika termasuk Indonesia menunjukkan bahwa faktor struktur umur terutama umur wanita berpengaruh negatif terhadap fertilitas. Artinya, semakin tua umur maka tingkat produktivitas dan fertilitas individu semakin rendah atau menurun.

  Hal ini juga sejalan menurut Muchtar dan Purnomo (2009), bahwa pada umumnya semakin tua umur wanita, maka semakin banyak jumlah anak yang dilahirkan. Selain itu umumnya wanita mengalami masa reproduksi pada umur 15-49 tahun dan bervariasi antara wanita satu dengan lainnya. Umur dalam analisis dikelompokkan dalam lima tahunan.

  Dari hasil penelitian Muchtar dan Purnomo (2009) diketahui bahwa terdapat hubungan antara umur wanita dengan tingkat kelahiran menunjukkan hubungan positip, yakni semakin tua umur semakin banyak kelahiran. Ibu berumur di bawah 24 tahun memiliki rata-rata anak lahir hidup satu anak, sedangkan ibu berumur 35-39 tahun rata-rata anak lahirhidup 3 anak, dan meningkat menjadi 4 anak pada ibu berumur di atas 45 tahun.

  Selanjutnya dari hasil SDKI 2012, yang mencatat Total Fertility Rate atau TFR bahwa rata-rata wanita Indonesia akan mempunyai 2,6 anak selama hidupnya.

  Angka kelahiran menurut kelompok umur pada kelompok umur paling banyak pada kisaran 25-29, 30-34, dan 40-44 tahun.

  Hubungan umur ibu dengan jumlah anak yang diinginkan didapatkan hasil yang signifikan. Ada kecenderungan semakin muda usia ada kecenderungan menginkan jumlah anak yang sedikit (≤ 2 anak). Selain berhubungan signifikan, dalam analisis multivariate multilevel diperoleh informasi bahwa variable umur ibu juga merupakan variable komposisional yang paling besar/paling dominant mempengaruhi jumlah anak yang diingkan. Hasil nilai OR didapatkan 1,7 artinya umur ibu muda (≤ 2 anak) artinya wanita yang berumur muda mempunyai peluang mengingkan jumlah anak (≤ 2 anak) , 1,7 lebih tinggi dibandingkan wanita berumur tua (Hastono, 2009).

2.2.2 Pendidikan Ibu

  Pendidikan adalah proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran. Tingkat pendidikan yang tinggi menjadi dasar keberhasilan dalam bisnis atau bidang profesi, yang akan membuka jalan bagi individu bersangkutan untuk menjalin hubungan dengan orang yang statusnya lebih tinggi. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan hidup manusia akan semakin berkualitas (Hurlock, 1999).

  Pendidikan tinggi bagi ibu diharapkan akan meningkatkan lebih besar keterlibatnnya dalam program KB, memiliki pemahaman yang lebih baik tentangkesehatan. Selain itu dengan pendidikan tingggi diharapkan punya kesadaran yang lebih tinggi dalam menangani masalah-masalh kesehatan. Kesadaran yang baik ini tentunya dapat mengerakkan motivasi untuk ambil bagian dalam program kesehatan, terutama ikut program KB. Kondisi ini nampaknya sejalan dengan hasil analisis data SDKI 2007 yang menunjukkan pada tahap analisis bivariat maupun multivariat didapatkan hasil bahwa pendidikan ibu berhubungan signifikan dengan jumlah anak yang diinginkan. Hasil analisis bivariat hubungan antara pendidikan ibu dengan jumlah anak yang diinginkan diperoleh bahwa, persentase ibu yang menginginkan anak ≤ 2 semakin tinggi seiring dengan semakin meningkatnya pendidikan ibu. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,0005 maka dapat disimpulkan ada perbedaan persentase jumlah anak yang diinginkan antar tingkat pendidikan ibu dengan hasil ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan jumlah anak yang diinginkan (Hastono, 2009).

  Peran para ibu sangat berarti dalam pembentukan generasi, semakin tinggi pendidikan ibu diharapkan akan mampu membimbing dan membentuk generasi yang bermutu. Wanita yang kawin/pernah kawin di Provinsi Aceh mempunyai tingkat pendidikan yang beragam, ini tercermin dari ijazah yang dimilikinya. Dari hasil penelitian sebanyak 31,14 persen wanita kawin/ pernah kawin tidak tamat SD/ belum memiliki ijazah, kemudian tamatan SD sederajat sebanyak 29,97 persen. Sedangkan wanita kawin/pernah kawin tamatan pendidikan perguruan tinggi (DIV,S1,S2&S3) sebesar 2,4 persen. Dan jika dibandingkan pendidikan wanita kawin/pernah kawin berdasarkan jumlah tambahan anak setelah rumahtangga wanita kawin/pernah kawin tersebut mempunyai dua anak, sebanyak 40 persen lebih wanita kawin/pernah kawin didapatkan pendididikannya SMP/Sederajat sampai perguruan tinggi ingin menambahkan anak sebanyak 1 orang, sedangkan pada wanita kawin/pernah kawin yang pendidikan tidak tamat SD/ belum memiliki ijazah kurang dari 25 persen (Nasir, 2012).

  Menurut Muchtar dan Purnomo (2009),faktor pendidikan sangat erat kaitannya dengan sikap dan pandangan hidup suatu masyarakat. Pendidikan jelas memengaruhi usia kawin, dengan sekolah maka wanita akan menunda perkawinannya, yang kemudian berdampak pada penundaan untuk memiliki anak.

  Tingkat pendidikan disini adalah pendidikan yang ditamatkan, yang dalam analisisdikelompokkan menjadi lima, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMTA, dan SMTA+.

  Berdasarkan hasil penelitian Muchtar dan Purnomo (2009), diketahui bahwa Hubungan antara tingkat pendidikan dan fertilitas menunjukkan hubungan yang negatif, semakin tinggi pendidikan fertilitas semakin rendah. Wanita pernah kawin yang tidak pernahsekolah mempunyai rata-rata jumlah anak lahir hidup 3,7anak, sedangkan wanita tamat SD mempunyai 2,4 anak dan wanita yang berpendidikan tamat SMA atau lebih mempunyai 1,9 anak. Pengaruh pendidikan terhadap fertilitas signifikan (p<0,005)

  Peningkatan partisipasi pasangan di bidang pendidikan akan berdampak pada pembatasan jumlah anak yang dilahirkan, terutama disebabkan meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab dalam hidup berumah tangga umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya.

2.2.3 Status Pekerjaan Ibu

  Menurut Labor Force Consept,yang digolongkan bekerja adalah mereka yang melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan atau keuntungan, baik mereka bekerja penuh maupun tidak. Pekerjaan adalah suatu yang dilakukan untuk mencari nafkah atau mendapatkan nafkah (Hardywinoto, 2007).

  Pekerjaan ibu adalah kegiatan rutin sehari-hari ibu dengan maksud untuk memperoleh penghasilan.Setiap pekerjaan apapun jenisnya, apakah pekerjaan itu memerlukan kekuatan otot atau pemikiran, adalah beban bagi yang melakukan.Beban ini dapat berupa fisik, beban mental, ataupun beban sosial, sesuai dengan jenis pekerjaan ibu.Kemampuan kerja pada umunya diukur dari ketrampilan dalm melaksanakan pekerjaan.Semakin tinggi ketrampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja, semakin efesien badan, tenaga dan pemikiran dalam melaksanakan pekerjaan (Notoatmodjo, 2007).

  Berdasarkan hasil penelitian Muchtar dan Purnomo (2009), wanita yang bekerja mempunyai fertilitas sedikit lebih tinggi dibanding wanita yang tidakbekerja (2,5 dibanding 2,3 anak), dan pengaruh pekerjaan terhadap fertilitas signifikan (p<0,05).Bila dilihat menurut kelompok jumlah anak lahir hidup menunjukkan bahwa umumnya wanita yang bekerja mempunyai jumlah anak lahir hidup 3 anak atau lebih, sedangkan wanita yangtidak bekerja umumnya belum mempunyai anak dan mempunyai antara 1-2 anak.

  Partisipasi wanita kawin/ pernah kawin berstatus bekerja secara persentase tertinggi terdapat pada wanita yang mempunyai tambahan anak yang dilahirkan 13 orang di bandingkan wanita kawin/ pernah kawin tidak bekerja, yang tertinggi kedua terdapat pada tambahan anak 8 orang. Dari hasil penelitian juga didapatkan secara umum wanita kawin/ pernah kawin di Provinsi Aceh status bekerja, persentase lebih dari 50 persen pada setiap tambahan anak yang dilahirkan (Nasir, 2012).

2.2.4 Pendapatan Keluarga

  Menurut Todaro & Smith (2008), tingkat pendapatan yang rendah akan mendorong keluarga miskin untuk menambah anak, karena anak dianggap sebagai tenaga kerja yang murah dan dapat dijadikan sandaran hidup di hari tua. Pendapatan adalah besarnya pendapatan yang dibawa pulang ke rumah baik oleh suami maupun istri yang bekerja. Pendapatan tertinggi oleh kebanyakan keluarga dikonsepsikan berdasarkan atas perbandingan dengan pendapatan orang tua atau pendapatan keluarga sekitarnya (pergaulan). Pendapatan mempunyai pengaruh negatif terhadap jumlah anak.

  Apabila pendapatan sebuah keluarga dinilai belum mampu untuk menanggung seluruh biaya sandang, pangan, papan dan pendidikan anak nantinya maka mempengaruhi jumlah anak dalam sebuah keluarga, perhitungan pendapatan keluarga yang tidak direncanakan terutama soal penyiapan dananya bisa juga berakibat fatal terhadap masa depan anak. Oleh karena itu persiapan pasangan dari segi kemampuan pendapatan perkapita keluarga sangatlah penting terhadap jumlah anak pada pasangan usia subur. Banyak wanita yang mempunyai beban tugas yang berat walaupun mereka hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, karena mereka harus mengurus anak yang jumlahnya banyak (Hurlock, 1999)

  Semakin besar pendapatan rumahtangga maka semakin kecil Persentase rumahtangga yang memiliki anak lebih dari dua orang. Rumahtangga yang memiliki anak kurang dari dua orang mempunyai pola persentase tak jauh berbeda dengan dengan rumahtangga yang memiliki anak lebih dari dua (Nasir, 2012).

2.2.5 Nilai Anak

  Menurut Siregar (2003), anak memiliki nilai universal namun nilai anak tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosio kultural dan lain-lain. Yang dimaksud denganpersepsi nilai anak oleh orang tua adalah merupakan tanggapan dalam memahami adanya anak, yang berwujud suatu pendapat untuk memiliki diantarapilihan-pilihan yang berorientasi pada suatu hal yang pada dasarnya terbuka dalam situasi yang datangnya dari luar.

  Pendefinisian nilai anak juga beragam dan tergantung pada lingkup keilmuan. Salah satu definisi yang banyak diacu dikemukakan oleh Arnold et al (1975) dalam Hartoyo (2011) yang menyebutkan nilai anak sebagai nilai keseluruhan dari seorang anak yang terdiri dari nilai positif dan nilai negatif. Nilai positif merupakan kepuasan atau kegunaan yang dirasakan orang tua, sementara itu nilai negatif merupakan biaya atau beban yang ditimbulkan oleh keberadaan seorang anak. Manfaat/kepuasan dan biaya/beban tersebut tidak semata-mata aspek finansial (monetary), tetapi juga aspek psikologis dan sosial.

  Nilai anak direpresentasikan sebagai kepuasan psikologis yang diberikan anak kepada orang tuanya (Hoffman, dkk, 1978). Dari kesembilan dimensi nilai anak yang diteliti, dimensi nilai anak yang paling banyak dinyatakan keluarga adalah dimensi manfaat ekonomi dan jaminan di masa tua (economic utility, security in old age). Hal ini menunjukkan bahwa pada era modern seperti sekarang ini, investasi dapat dilakukan pada berbagai hal seperti asuransi, tabungan, emas, tanah, rumah, hewan peliharaan, ataupun tanaman peliharaan. Namun pada kenyataannya,di desa penelitian, keluarga tetap memprioritaskan anak sebagai investasi masa depan yang dapat menjamin ekonomi dan perlindungan orang tua di hari tua. Hal ini senada dengan pernyataan Kammeyer (1987) bahwa anak dapat menjamin ekonomi orangtua untuk bertahan hidup di usia tua. Penelitian yang dilakukan Sunarti (2009) menunjukkan bahwa sebagian besar ibu mengharapkan anaknya dapat memberi bantuan ekonomi di hari tua, anak dapat membantu orang tua untuk menyekolahkan adik-adiknya ketika sudah besar dan bekerja, bahkan sejak kecil anak diharapkan dapat meringankan beban pekerjaan orang tua, baik pekerjaan di rumah maupun di tempat kerja.

  Persepsi orang tua terhadap nilai anak berpengaruh terhadap jumlah anak yang diinginkan (demand for children). Bulatao & Lee (1983) dan Shapiro (1997) menemukan hubungan positif antara nilai anak dan jumlah anak yang diinginkan. Ketika anak dipersepsikan memiliki kegunaan dan manfaat yang besar maka orang tua menginginkan jumlah anak yang lebih banyak. Sementara itu, ketika orang tua berpersepsi bahwa biaya atau beban karena memiliki anak lebih besar, maka orang tua meminginkan anak yang lebih sedikit (Shapiro, 1997). Walaupun demikian, ada faktor lain, seperti pendapatan, latar belakang sosial dan budaya, modernisasi, serta kebijakan pemerintah yang secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap jumlah anak yang diinginkan.

  Setiap keluarga umumnya mendambakan anak, karena anak adalah harapan atau cita-cita dari sebuah perkawinan. Berapa jumlah yang diinginkan, tergantung dari keluarga itu sendiri. Apakah satu, dua, tiga dan seterusnya. Dengan demikian keputusan untuk memiliki sejumlah anak adalah sebuah pilihan dimana pilihan tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai yang dianggap sebagai satu harapan atas setiap keinginan yang dipilih oleh orangtua.

  Berdasarkan hasil penelitian Hartoyo (2011), secara umum nilai anak (Value

  of Children). lebih banyak orang tua yang menyatakan bahwa keberadaan anak akan

  menjadi jaminan perlindungan hari tua (91,7%), dapat memberi hiburan (66,7%), menghindari kesedirian (55,0%) dan menjadikan orang tua lebih bertanggungjawab (53,3%)

  Dengan pendekatan ini sulit diterangkan mengapa meningkatnya penghasilan justru menyebabkan turunnya permintaan jumlah anak. Salah satu jawabannya adalah bahwa dengan meningkatnya penghasilan, orangtua ingin agar anaknya berpendidikan lebih tinggi, sehingga mereka lebih memilih kualitas daripada kuantitas anak (Jones 1976 dalam Lucas, 1990).

  Operasionalisasi konsep nilai anak didasarkan pada rumusan yang diajukan oleh Arnold dan Fawcett 1984 dalam Lucas (1990). Menurut kedua ahli ini, dengan

  • – memiliki anak, orangtua akan memperoleh hal-hal yang menguntungkan atau hal hal yang merugikan. Salah satunya adalah anak dapat memberikan kerukunan dan sebagai penerus keluarga. Anak membantu memperkuat ikatan perkawinan antara suami istri dan mengisi kebutuhan suatu perkawinan. Mereka meneruskan garis keluarga, nama keluarga, dan tradisi keluarga.
Nilai anak yang paling sedikit dinyatakan keluarga terletak pada dimensi status dewasa dan identitas sosial (adult status and social identity). Rendahnya nilai anak pada dimensi tersebut dikarenakan kehadiran anak dalam keluarga hanya memberikan status kebanggaan setelah menjadi orang tua. Dengan demikian, nilai anak dimensi ini kemungkinan besar hanya dirasakan oleh keluarga yang baru pertama kali melahirkan anak. Alasan orang tua memiliki anak adalah menghindar dari tekanan sosial budaya, seperti keluarga yang menuntut segera memiliki anak, agama dan kelompok etnis yang mendorong memiliki anak dalam jumlah banyak.

  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil keluarga yang tidak menjadikan faktor sosial budaya sebagai tekanan untuk memperoleh anak.

  Sebagian besar orang tua menginginkan anak dalam jumlah sedang (3-5 orang anak). Hal ini sejalan dengan Sumini, dkk (2009) yang menyatakan bahwa untuk menuju keluarga yang bahagia, sejahtera dan berkualitas tidak perlu membentuk keluarga besar dengan jumlah anak yang banyak, jika tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Kebutuhan keluarga tidak hanya kebutuhan pangan, namun terdapat kebutuhan lain seperti sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan masa depan anak. Kondisi perubahan jumlah anak yang diinginkan saat ini menunjukkan telah adanya pergeseran nilai yang dianut pada keluarga pascasosialisasi KB. Fakta ini juga menunjukkan bahwa keluarga saat ini, meskipun di perdesaan, menjawab kelemahan sumber daya yang mereka miliki dengan membatasi jumlah anak menjadi lebih sedikit dari generasi sebelumnya.

2.2.6 Umur Pertama Melakukan Hubungan Seksual

  Umur pertama melakukan hubungan seksual adalah pertama kali sepasang laki

  • – laki dan perempuan melakukan hubungan intim. Rata – rata usia pertama melakukan hubungan seksual di Indonesia menurut beberapa sumber data menunjukkan masih cukup rendah, yaitu dibawah 20 tahun. Perkawinan dibawah 20 tahun secara kesehatan reproduksi bisa dikatakan masih terlalu muda, secara mental sosial belum siap dan secara ekonomi juga biasanya belum mapan (Sukarno, 2010)

  Menurut Muchtar dan Purnomo (2009), Umur pertama kali melakukan hubungan seksual sangat berkaitan dengan tingkat fertilitas, karena umur pertama kali melakukan hubungan seksual menandakan dimulainya masa reproduksi wanita. Oleh karena itu semakin muda wanita mulai aktif secara seksual, maka semakin panjang masa reproduksinya, dan pada akhirnya makin besar pula kemungkinan mempunyai anak yang banyak. Umur kumpul pertama dikelompokkan menjadi, 15 tahun, 16-17 tahun, 18-19 tahun, 20-29 tahun, dan 30 tahun.

  Melakukan hubungan seksual di usia muda menjadi fenomena sekarang ini pada dasarnya merupakan satu siklus fenomena yang terulang dan tidak hanya terjadi di daerah pedesaan yang dipengaruhi oleh minimnya kesadaran dan pengetahuan namun juga terjadi di wilayah perkotaan yang secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh “role model” dari dunia hiburan yang mereka tonton. Penelitian yang dilakukan oleh Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Provinsi Jawa Barat mengungkapkan fakta masih tingginya usia pertama melakukan hubungan seksual muda di pulau Jawa dan Bali. Diantara wilayah-wilayah tersebut, Jawa Barat di posisi pertama dalam jumlah pasangan yang melakukan hubungan seksual di usia muda dimana dari 1000 penduduknya dengan usia 15 hingga 19 terdapat 126 orang yang menikah dan melahirkan di usia muda. Kemudian diikuti dengan DKI Jakarta sebanyak 44 orang. Dari data SDKI 1997 diketahui bahwa seekitar 52,6 % wanita pernah melakukan hubungan seksual pertamanya pada kelompok umur 15-19 tahun dengan tingkat pendidikan hanya tamat SD. Sejumlah 5,8 juta remaja pernah melakukan hubungan seksual pertama pada umur kurang dari 16 tahun dan 25% diantaranya bahkan melakukan hubungan seksual pertama dibawah usia 14 tahun. Pihak yang sangat merasakan akibatnya adalah remaja putri atau perempuan karena tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah lagi dan harus menjalani perkawinan yang sebenarnya belum siap baginya, baik dari sisi mental maupun kesehatan reproduksinya (Astuty, 2011).

  Dari hasil penelitian Nasir (2012), umur wanita saat melakukan pekawinan pertama yang terbanyak di Provinsi Aceh, berkisar kurang dari 21 tahun ( 69,30 persen) dan hanya 6,84 persen umurnya diatas 25 tahun wanita saat melakukan pekawinan pertama. Cukup tingginya persentase umur perkawinan pertama wanita kurang dari usia 21 tahun, mungkin disebabkan 9 akibat masih sedikitnya kesempatan wanita untuk merebut lapangan pekerjaan dan melanjutkan pendidikan tinggi.

  Rata-rata umur pertama melakukan hubungan seksual lebih rendah (kawin muda) di wilayah pedesaan dibandingkan di perkotaan. Umur kawin yang tinggi di wilayah perkotaan kemungkinan berhubungan dengan kesibukan pada usia muda untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sementara di perdesaan sarana dan prasarana pendidikan kurang begitu memadai dan kurangnya minat untuk meneruskan pendidikan yang lebih tinggi. Penundaan usia perkawinan akan memberikan kontribusi terhadap kelahiran seorang anak sehingga angka kelahiran / fertilitas dapat ditekan (Sukarno, 2010)

  Masalah perkawinan usia muda dikalangan remaja memiliki tingkat masalah yang sama dengan daerah lain, terutama daerah yang memilki tingkat penduduk yang padat, dengan tingkat ekonomi masyarakatnya yang rendah. Dimana kebanyakan remaja yang telah menikah di usia yang relatif masih sangat muda hidup dengan latar belakang dari rendahnya ekonomi orangtua, pengaruh lingkungan sosial yang sangat mendorong remaja untuk memutuskan menikah di usia yang masih muda, serta kurangnya perhatian dan rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh keluarga (Astuty, 2011).

  Salah satu dampak melakukan hubungan seksual pada usia muda ditinjau dari segi kesehatan adalah meningkatkan angka kematian bayi dan ibu, resiko komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Selain itu bagi perempuan meningkatkan risiko ca serviks karena hubungan seksual dilakukan pada saat secara anatomi sel

  • –sel serviks belum matur. Bagi bayi risiko melakukan hubungan seksual pertama di usia muda dapat terjadinya kesakitan dan kematian meningkat (Widyastuti, dkk, 2010).

  Meningkatnya usia pertama melakukan hubungan seksual ibu disebabkan oleh berbagai kemungkinan seperti meningkatnya pendidikan, meningkatnya penerimaan informasi dari berbagai media massa, dan meningkatnya pengembangan pekerjaan dan karir (Tanziha, 1992).

  2.3 Landasan Teori

  Landasan teori disusun menurut teori tentang faktor-faktor yang memengaruhi jumlah anak dan beberapa variabel antara yang turut memengaruhi yaitu menurut Hartoyo, dkk, (2011) dan Davis & Blake (1974). Menurut Hartoyo, dkk, (2011) faktor

  • – faktor yang memengaruhi jumlah anak yaitu usia ibu, pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, pendapatan perkapita keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan nilai anak. Selanjutnya menurut Davis dan Blake (1974), terdapat 11 variabel antara yang memengaruhi fertilitas yang salah satunya adalah umur pertama melakukan hubungan seksual, dengan alasan umur pertama melakukan hubungan seksual merupakan awal dimulainya masa reproduksi pada wanita, sehingga untuk menganalisis faktor yang memengaruhi jumlah anak perlu mengetahui umur pertama melakukan hubungan seksual.

  2.4 Kerangka Konsep

  Berdasarkan landasan teori di atas, maka pada penelitian ini dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

  

Variabel Independen Variabel Dependen

Variabel Antara

   Umur  Umur Istri (X1) Melakukan

   Pendapatan Jumlah Anak(Y)

  Hubungan Keluarga (X2)

  Seksual  Nilai Anak (X3) pertama (X4)

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Kerangka konsep menggambarkan bahwa variabel independen dalam penelitian ini adalah umur istri, pendapatan keluarga, serta nilai anak. Selanjutnya terdapat variabel antara yaitu umur pertama melakukan hubungan seksual. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini jumlah anak.

Dokumen yang terkait

Faktor-faktor yang Memengaruhi Jumlah Anak di Desa Pusong Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe Tahun 2014

3 81 109

Faktor-faktor yang Memengaruhi Aktivitas Seksual pada Ibu Menopause di Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe Tahun 2014

5 52 166

Strategi Pemberdayaan Ekonomi Sosial Masyarakat Nelayan Berbasis Komunitas Ibu Rumah Tangga Di Desa Pusong Baru Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe

8 96 108

Faktor Risiko yang Memengaruhi Kasus Penderita Diabetes Melitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Banda Sakti Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe Tahun 2014

2 27 161

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumen - Faktor-faktor yang Memengaruhi Minat Beli Produk Susu oleh Ibu yang Mempunyai Balita di Pasar Swalayan Kota Pematangsiantar Tahun 2013

0 0 39

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diare 2.1.1. Definisi Diare - Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita (1-<5) Tahun di Kota Padang sidempuan Tahun 2015

0 1 37

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak 2.1.1 Pengertian Anak - Faktor-Faktor Penyebab Anak Bekerja Di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1 Pengertian Peramalan - Prediksi Jumlah Wisatawan Asing yang Berkunjung ke Sumatera Utara Tahun 2012

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernikahan Dini 2.1.1 Definisi Pernikahan Dini - Pernikahan Dini pada Remaja Aceh di Kota Lhokseumawe Tahun 2014

0 1 46

Faktor-faktor yang Memengaruhi Jumlah Anak di Desa Pusong Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe Tahun 2014

0 0 25