1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dipergunakan dalam

  rangka pembinaan dan kesejahteraan setiap orang dan merupakan sarana untuk dapat melanjutkan silsilah keluarga dengan mempunyai keturunan, yakni seorang anak dengan jalan melakukan perkawinan yang sah. Perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga ini, di Indonesia diatur dalam Pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan “perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

1 KetuhananYang Maha Esa”.

  Pelengkap dari suatu keluarga adalah dengan kelahiran anak. Apabila dalam keluarga telah dikaruniai anak, hendaknya keluarga tersebut memperhatikan kepentingan seorang anak, baik secara rohani, jasmani, maupun perkembangan dalam lingkungan sosialnya.

  Anak merupakan tumpuan harapan bagi kedua orang tuanya. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan suatu keluarga. Keinginan mengembangkan

  2

  keturunan adalah naluri setiap manusia. Untuk kepentingan itu perlu melakukan pernikahan. 1 2 Pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Edison, Mengangkat Anak, Dimuat Dalam Majalah Bulanan Jurnal Renvoi, No. 23 Tahun II,

  April 2010, hal. 4.

  1 Keluarga tanpa kehadiran seorang anak dapat menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami isteri. Akan tetapi, karena berbagai hal atau alasan tertentu keinginan memperoleh anak tidak dapat tercapai.

  3 Keadaan demikian

  berbagai perasaan dan pikiran akan timbul dan pada tataran tertentu tidak jarang perasaan dan pikiran tersebut berubah menjadi kecemasan. Kecemasan tersebut, selanjutnya diekspresikan oleh salah satu pihak atau kedua pihak, suami isteri.

  Ketika keturunan berupa anak yang didambakan tidak diperoleh secara natural maka dilakukan dengan cara mengambil alih anak orang lain. Selanjutnya anak tersebut dimasukkan ke dalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut.

  

4

Hal ini sesuai dengan pendapat Tan Pen

  Wei yang menyatakan bahwa: “memiliki keturunan merupakan hal yang didambakan oleh setiap keluarga guna meneruskan keturunan dan menambah kebahagiaan keluarga. Terkadang keinginan tersebut tidak dapat terwujud karena terdapat kekurangan dan hambatan diantara pasangan tersebut, sehingga dimungkinkan bagi mereka untuk melakukan pengangkatan anak”.

  5 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengenal

  lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah pengakuan anak luar kawin yaitu dalam bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai 290 KUHPerdata, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, pemerintah Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan staatblad nomor 129 yang mengatur masalah adopsi bagi golongan masyarakat Tionghoa (Pasal 5 – Pasal 15).

  

6 3 Ibid 4 Ibid 5 Tan, Pen Wei, Masyarakat Tionghoa. www.waspada.co.id, Diakses tanggal 6 April 2013 6 Soeroso, Perbandingan hukum perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 178 Sejak diundangkannya Staatsblaad 1917 No. 129 yo Stbl. 1924-557, maka bagi golongan Timur Asing Tionghoa dinyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam KUH Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa termasuk hukum keluarganya juga memuat ketentuan-ketentuan tentang pengangkatan anak khusus bagi golongan Timur Asing. Hal ini perlu diciptakan di Indonesia karena bagi golongan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa lembaga pengangkatan anak dianggap masih berakar kuat dalam tradisi mereka.

7 Hakekatnya perlindungan anak dalam bidang hukum perdata meliputi banyak

  aspek hukum, diantaranya: 1. Kedudukan anak.

  2. Pengakuan anak.

  3. Pengangkatan anak (Adopsi).

  4. Pendewasaan.

  5. Kuasa asuh (hak dan kewajiban) orang tua terhadap anak.

  6. Pencabutan dan pemulihan kuasa asuh orang tua.

  7. Perwalian (termasuk Balai Harta Peninggalan).

  8. Tindakan untuk mengatur yang dapat di ambil guna perlindungan anak.

  9. Biaya hidup anak yang ditanggung orang tua akibat perceraian (alimentasi).

  8 Pengangkatan anak itu pada asasnya semua hubungan kekeluargaan dengan

  keluarga asalnya menjadi hapus (Pasal 14 Stbl 1917 No. 129) dan timbul hubungan kekeluargaan dengan keluarga orang tua angkat, yang semula mungkin saja bukan apa-apanya (Pasal 12 Stbl 1917 No. 129).

  7 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, Airlangga University Press, Surabaya, 1995, hal. 194.

  8 Sholeh Soeaidy, & Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001 hal. 17

  Akibat hukum yang paling nyata adalah dalam hukum waris. Anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya ia mewaris dari keluarga

  9 ayah dan ibu yang mengangkat dirinya.

  Dalam Staatsblaad Nomor 129 Tahun 1917, akibat hukum pengangkatan anak tersebut, antara lain: 1) Adopsi menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya. Termasuk, jika yang mengangkat anak tersebut seorang janda, anak angkat (adoptandus) tersebut harus dianggap dari hasil perkawinan dengan almarhum suaminya.

  2) Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal: a) Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam bidang perkawinan; b) Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan;

  c) Mengenai perhitungan biaya perkara dan penyanderaan;

  d) Mengenai pembuktian dengan saksi;

  10

  e) Mengenai saksi alam pembuatan bukti autentik; Penggolongan penduduk yang diatur dalam Pasal 131 jo Pasal 163 IS tersebut, masih tetap berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar

  1945 yang menyatakan bahwa : “Segala peraturan perundang-undangan yang ada 9 J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, PT, Citra

  Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 244 10 Staatblad Nomor 129 Tahun 1917 Pasal 12. masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

  Penggolongan penduduk dan aturan hukumnya masing-masing tersebut di atas oleh Undang-Undang Perkawinan Nasional, yaitu Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga diakui. Hal itu dapat dilihat dalam rumusan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nasional tersebut yang mengatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Harta bersama yang dimaksud tersebut dijelaskan oleh Pasal 35 yaitu harta yang diperoleh suami-istri selama mereka masih terikat dalam tali perkawinan yang sah. Sedangkan harta bawaan dan harta yang diperoleh selama masih dalam ikatan perkawinan sah sebagai hadiah atau warisan termasuk harta pribadi suami-istri dan masing-masing suami-istri mempunyai kewenangan untuk mengatur harta benda

  11 tersebut, kecuali para pihak menentukan sebaliknya.

  Etnik Tionghoa memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan- kebudayaan yang dimiliki pada umumnya masyarakat di Indonesia dan khususnya mempunyai keyakinan keagamaan yang lain sama sekali dengan masyarakat yang terdapat di Indonesia.

  Sebagai salah satu etnik yang ada di Kota Medan, maka etnik Tionghoa dalam melakukan pengangkatan anak juga berbeda dengan adat etnik lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh di Pengadilan Negeri Deli Serdang, bahwa pengangkatan anak, dari data 3 (tiga) tahun terakhir dimulai tahun 2010 sampai 2012 telah terjadi dua 11 Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-pasal Hukum Perdata BW, PT.

  Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 3-4. penetapan pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang Islam pribumi, sedangkan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak ada melakukan permohon

  12 penetapan pengangkatan anak tersebut.

  Perbuatan pengangkatan anak bukanlah merupakan perbuatan yang terjadi pada suatu saat, seperti halnya dengan penyerahan barang, melainkan merupakan suatu rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan yang menunjukkan adanya cinta kasih, kesadaran yang penuh dan segala akibat yang ditimbulkan dari pengangkatan anak tersebut.

  Pengangkatan anak di kalangan masyarakat Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa merupakan suatu perbuatan hukum yang lazim dilakukan karena menurut tradisi seorang anak laki-laki harus mempunyai anak laki-laki untuk

  13 melanjutkan garis keturunan (patrilineal).

  Keinginan untuk membahas dan mengerti masalah pengangkatan anak menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional demi pengayoman di bidang

  14 hukum dan kesejahteraan sosial yang bersangkutan, patut disambut dan di hargai.

  Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat di bawah generasi

  adoptan

  , seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh,

  12 Wawancara dengan Rusman Nasution, Pegawai Kasi Urusan Perdata di Pengadilan Negeri Deli Serdang , tertanggal 13 Mei 2013. Ditambahkan juga bahwa dengan tidak dilakukan permohonan penetapan pengangkatan anak tersebut, hak anak tersebut tidak dapat dilindungi secara hukum. 13 Lilik Mulyadi, Adopsi Menurut Tradisi Tionghoa, http://www.etnispikiranrakyat.com, diakses pada tanggal 10 April 2013. 14 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hal. 42. anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman, karena nantinya anak adopsi dan anak-anak adoptan sendiri akan berada dalam generasi yang sama.

  Masyarakat Tionghoa yang telah mengenal lembaga adopsi berdasarkan hukum keluarga Tionghoa sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak mempunyai anak atau tidak memiliki keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marga keluarga dan pemujaan atau pemeliharaan abu

  15 leluhur.

  Perkembangan hukum dan masyarakat dimungkinkan pengangkatan anak perempuan, dalam hal ini secara otomatis kedudukan anak angkat perempuan ini dipersamakan dengan anak angkat laki-laki. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963 tertanggal 29 Mei 1963 yang menetapkan tentang pengangkatan anak perempuan. Adapun dasar pertimbangan tersebut dikarenakan hukum adat Tionghoa mengenai pengangkatan anak telah lama meninggalkan sifat

  16 patrilineal, sehingga sekarang lebih bercorak parental.

  Pengangkatan anak yang ada di Indonesia sekarang, memang telah dimulai sejak lama. Dalam masyarakat yang memiliki adat tertentu, telah lama dijumpai praktek pengangkatan anak ini. Hanya saja, motivasi dan cara serta akibat pengangkatan anak tersebut berbeda–beda antara masyarakat yang satu dengan yang lain.

  15 16 Lilik Mulyadi, Op.Cit.

  

Soedharyo Soimin, SH, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 78. Masyarakat Indonesia telah mengenal sistem pengangkatan anak yang bersifat informal yang pengaturannya sesuai hukum adat yang berlaku di lingkungan adatnya masing-masing. Pengaturan pengangkatan anak secara formal dilakukan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 dan SEMA Nomor 6 Tahun 1983 jo SEMA Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak yang Berlaku bagi Warga Negara Indonesia.

  Menurut adat, alasan dilakukannya pengangkatan anak adalah sebagai

  17

  berikut: 1) Karena tidak mempunyai anak 2) Karena belas kasihan kepada anak, disebabkan orang tuanya tidak mampu membiayai.

  3) Karena yatim piatu. 4) Telah mempunyai anak kandung sendiri tetapi semua laki-laki atau semua perempuan.

  5) Atas dasar kepercayaan sebagai pemancing bagi yang tidak atau belum punya anak kandung.

  6) Untuk mempererat hubungan kekeluargaan. 7) Untuk menjamin hari tua

  Praktek pengangkatan anak telah lama melembaga di berbagai suku bangsa di tanah air, akan tetapi aturan hukum yang mengatur mengenai hal itu sampai saat ini 17 Ermeliana Krisnawati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, CV.Utomo, Bandung, 2005, hal. 28. belum memadai. Di sisi lain, pengesahan pengangkatan anak tersebut telah diklaim sebagai lembaga hukum yang menjadi kewenangan mutlak Pengadilan Negeri.

  Pengangkatan anak pada mulanya dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah keluarga yang tidak mempunyai anak atau sebagai pancingan agar setelah mengangkat anak, diharapkan keluarga tersebut dapat dikaruniai anak. Tetapi dalam perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan adopsi lebih ditujukan demi kesejahteraan anak, seperti yang telah diatur dalam Pasal 28 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tercantum pula dalam Pasal 12 ayat (1) Undang– Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang menyatakan “pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan

  18 mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.

  Jadi pelaksanaan pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia diselenggarakan bukan hanya dengan memperhatikan kepentingan orang tua angkatnya saja, tetapi juga dengan memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan anak yang akan dijadikan sebagai anak angkat. Dan untuk menjamin kepastian hukum dari pelaksanaan

  19 pengangkatan anak tersebut, maka hal ini diatur dalam undang-undang.

  Pengangkatan anak bagi masyarakat Tionghoa dimaksudkan supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya dan pengangkatan anak itu dilakukan sedemikian rupa, sehingga anak itu baik secara lahir maupun batin merupakan anak sendiri. Struktur keluarga yang ideal dalam masyarakat Tionghoa adalah keluarga 18 19 Pasal 12 ayat (1) Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Djaja S. Meliala, Adopsi (Pengangkatan Anak) Dalam Jurisprudensi,Tarsito, Bandung,

  1996, hal. 18. yang terdiri dari suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga dan dilengkapi anak-anak sebagai anggota keluarga. Oleh karena itu kehadiran anak dalam keluarga merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam struktur keluarga yang bahagia. Dengan hadirnya anak suasana keluarga dalam rumah tangga terasa ceria penuh canda dan kemanjaan.

  Pengangkatan anak dalam waktu terakhir ini banyak diperbincangkan dalam masyarakat karena motif melakukan pengangkatan anak bukan saja karena pasangan suami isteri itu tidak mempunyai anak tetapi terdapat motif-motif lain orang

  20 melakukan pengangkatan anak.

  Pengangkatan anak dimaksudkan untuk melanjutkan keturunan atau sebagai generasi penerus. Bahkan menurut hukum adat masyarakat Tionghoa anak sebagai

  21

  upaya memancing kelahiran anak kandung berikut atau dengan pengangkatan. Anak yang diangkat tersebut diperlakukan sebagai anak sendiri, tidak dirasakan lagi dari mana asal anak tersebut dengan demikian diberi status anak dari orangtua yang mengangkatnya.

  Pengangkatan anak menurut masyarakat keturunan Tionghoa kebanyakan berdasarkan: a. Apabila anak yang akan diangkat berasal dari lingkungan keluarga sendiri 20 atau kerabat dari orang yang mengangkat maka pada umumnya pengangkatan

B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya Di Kemudian Hari , Rajawali Pers, Jakarta, 1990, hal. 18.

21 Sistem Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat Indonesia,

  http://burgerawa.wordpress.com/2012/12/31/sistem-pengangkatanadopsi-anak-dalam-hukum-adat- indonesia/, diakses pada tanggal 10 April 2013. dilakukan secara diam-diam yang dirahasiakan oleh anggota keluarga. Artinya tanpa diadakan acara syukuran tapi diketahui oleh ketua adat dan ketua RT setempat.

  b. Jika anak yang diangkat berasal dari luar lingkungan keluarga orang tua yang mengangkat, biasanya dilakukan secara terang dan tunai. Artinya pengangkatan itu diramaikan oleh keluarga terdekat dan para tetangga dengan mengadakan acara syukuran. Maksudnya agar sewaktu-waktu anak tersebut tidak dapat ditarik oleh orang tua kandungnya.

  22 Fakta yang terjadi dilapangan bahwa pengangkatan anak tersebut pada umumnya dilakukan dengan tradisional tanpa melalui Pengadilan setempat.

  Menghadapi dilema tersebut, bahwa tidak selalu perbuatan yang diatur itu berarti dilarang atau dibolehkan, tetapi harus dilihat secara kasuistis.

  23 Pengadilan negari Medan dari tahun 2012 sampai 2013 sekitar 11 pemohon

  pengangkat anak yang dilakukan pemohon ke Pengadilan, hanya satu pemohon yang dilakukan warga keturunan cina (pemohonan Nomor 7547/ PDPT.2012/PN MDN) yang sudah ditetapkan oleh Mejelis Hakim.

  

24

Pengangkatan anak sebenarnya bukanlah merupakan suatu hal aneh bagi

  masyarakat Indonesia karena tujuan dan akibat hukum pengangkatan anak ini sangat 22 Risko El Windo Al Jufri, Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada

  

Masyarakat Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa di Jambi , http://eprints.undip.ac.id/24512/1/RISKO_EL_WINDO_AL_JUFRI-01.pdf , diakses pada tanggal 10 April 2013. 23 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 64. 24 Wawancara dengan Rita Staf Pegawai Pengadilan Negeri Medan , tanggal 20 Oktober 2013. penting dalam kehidupan masyarakat baik sebagai suatu cara untuk meneruskan

  25

  keturunan, maupun sebagai perwujudan dari perasaan kasihan. Pengangkatan anak akan menimbulkan akibat hukum baik terhadap anak yang diangkat maupun bagi orang yang mengangkat. Salah satu akibat hukum itu adalah terhadap harta waris orangtua yang mengangkat anak tersebut jika meninggal dunia.

  Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul: “Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris

  Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan”

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

  1. Bagaimana pengaturan hukum pengangkatan anak pada warga Tionghoa di Kota Medan ?

  2. Bagaimana akibat hukum dari pengangkat anak dalam hukum adat masyarakat Tionghoa di Kota Medan ?

  3. Apa motivasi masyarakat warga keturunan Tionghoa mengangkat anak di Kota Medan ?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah:

25 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1999 hal. 36.

  1. Untuk mengkaji pengaturan hukum pengangkatan anak terhadap warga Tionghoa di Kota Medan

  2. Untuk mengkaji akibat hukum dari pengangkat anak dalam hukum adat masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

  3. Untuk mengkaji motivasi masyarakat warga keturunan Tionghoa mengangkat anak di Kota Medan.

  D. Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Manfaat secara teoritis, dapat memperkaya kasanah pengetahuan di bidang hukum perdata khususnya mengenai pelaksanaan pengangkatan anak dan pewarisan pada keluarga Tionghoa di Kota Medan, sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan hukum perdata Indonesia.

  2. Manfaat praktis, hasil dari penulisan tesis ini diharapkan akan memberikan pemahaman yang jelas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan masalah pelaksanaan pengangkatan anak serta pola kewarisan pada keluarga Tionghoa di Kota Medan, serta dapat berguna bagi para pembaca yang tertarik terhadap hal- hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak atau adopsi.

  E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan“ belum ada yang membahasnya.

  Namun ada beberapa judul penelitian sebelumnya yang membahas masalah harta bersama, seperti penelitian yang dilakukan oleh :

  1. M. Rizal (992105055), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Adat, KUH Perdata Dan Hukum Islam”.

  2. Laila Rohani (002105013), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kedudukan Anak Angkat Dalam Waris Bagi Masyarakat Melayu Tanjung Pura Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan KUH Perdata”.

  3. Desmiyarni (002111005), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Hak Dan Kedudukan Anak Angkat Atas Harta Peninggalan Orang Tua Angkatnya Pada Masyarakat Minangkabau (Kajian di Jorong Seberang Piruko Kecamatan Koto Baru Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung)”.

  4. Rahmat Jhowanda (087011012), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh (Studi Kabupaten Aceh Barat)”.

  5. Johan Agustian (117011090), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Minangkabau di Negeri Ampang Kuranji Kabupaten Dharmasraya”.

  6. Denilah Shofa Nasution (017011010), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin Yang

  Diakui Atas Harta Peninggalan Orang Tuanya (Kajian Pada Etnis Tionghoa Di Kota Tebing Tinggi)”.

  7. Rehbana (017011052), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kedudukan Anak Terhadap Harta Warisan Orangtuanya Yang Perkawinannya Tidak Dicatatkan Di Kantor Catatan Sipil Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan”.

  Dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

  Teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan

  26 masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.

  Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan penemuan- penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang

  27 dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

  26 27 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Penerbit Mandar Madju, 1994, hal. 80.

  Ibid., hal. 17. Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perlindungan hukum, khususnya teori perlindungan hukum terhadap kedudukan anak angkat dalam hukum waris. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles dan Zeno, yang menyatakan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan

  28 eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.

  Perlindungan hukum menurut Hadjon meliputi dua macam perlindungan hukum bagi rakyat meliputi:

  1. Perlindungan Hukum Preventif : dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.

  2. Perlindungan Hukum Represif; dimana lebih ditujukan dalam penyelesian

  29 sengketa.

  Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Adapun elemen dan ciri-ciri Negara Hukum Pancasila ialah:

  28 Ninik Wauf, Kajian Teori Perlindungan Hukum, www.hnikawawz.blogspot.com/2011/11/kajian-teori-perlindungan-hukum.html, diakses pada tanggal 3 Mei 2013. 29 Fauzie Yusuf Hasibuan,

  Teori Perlindungan Hukum, http://fauzieyusufhasibuan.wordpress.com/2009/12/12/peranan-lembaga-anjak-piutang-dalam- ekonomi-indonesia/, diakses pada tanggal 20 April 2013. a. Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan.

  b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara

  c. Prinsip penyelesian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir.

  30 d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

  Hukum merupakan suatu kaedah atau norma yang berfungsi untuk mengatur berbagai kepentingan dan tuntutan di dalam masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa setiap warga memiliki kepentingan dan tuntutan yang harus disesuaikan antara warga masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Pokok-pokok ajaran mahzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis, oleh karena itu Perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.

  b) Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.

  c) Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa 30 adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa

  http://anamencoba.blogspot.com/2011/04/teori-perlindungan- Teori Perlindungan Hukum, hukum-dalam-melihat.html, diakses pada tanggal 22 April 2013. dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi Volkgeist melalui penelitian

  31 hukum sepanjang sejarah.

  Roscoe Pound memandang hukum sebagai realitas sosial yang mengatur warga masyarakatnya. Adapun definisi Roscoe Pound yang menyatakan bahwa dalam kehidupan setiap orang dalam masyarakat akan memiliki 3 (tiga) tuntutan yaitu: a) Untuk menguasai harta benda dan kekayaan alam termasuk tanah.

  b) Untuk dapat memperoleh pemenuhan keuntungan.

  c) Adanya jaminan terhadap campur tangan orang lain yang dapat menimbulkan

  32 gangguan.

  Tuntutan dan kepentingan manusia tersebut mengalami perkembangan sehingga muncul adanya 2 (dua) teori yang menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk individu (teori kodrat, teori psikologis) dan teori yang menyatakan manusia sebagai makhluk sosial (teori historis, teori positif, dan teori sosiologis).

  Masyarakat Tionghoa memiliki cara tersendiri dalam mengembangkan dan mempertahankan komunitas mereka, diantaranya dan lazim adalah melalui pernikahan secara adat dan kultur kebudayaan yang diyakini dan semua terangkum sebagai Hukum Adat Tionghoa.

  Sistem kewarisan dalam hukum adat terbagi atas 3 (tiga) bagian yaitu: a) Sistem Pewarisan Individual.

  31 Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia.PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

  2000, hal. 26 32 HFA.Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, CV. Rajawali, Jakarta,1992, hal. 41

  Misalnya:Pada susunan kekeluargaan bilateral (Jawa) dan susunan kekeluargaan patrilineal (Batak).

  b) Sistem Pewarisan Kolektif Misalnya: Harta pusaka tinggi di Minangkabau, Tanah dati di Ambon.

  c) Sistem Pewarisan Mayorat.

  33 Misalnya: di Bali, Lampung, dan lain-lain.

  Pernikahan berdasarkan adat istiadat yang dianut sering kali tidak dapat mencapai tujuan suatu pernikahan, yaitu untuk membangun dan membina keluarga serta untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan. Seharusnya suatu perkawinan diikuti dengan keinginan untuk memiliki keturunan, dan hal tersebut sering terwujud dengan keturunan dan masyarakat Tionghoa mengakui keturunan tersebut merupakan titipan Tuhan Yang Maha Esa. Namun ada kalanya perkawinan dimaksud gagal memiliki keturunan.

  Perkawinan yang telah memiliki keturunan ataupun tidak, dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa sering melakukan upaya-upaya pendorong guna mengadopsi, mengasuh, memelihara, ataupun merawat seorang anak dengan berbagai alasan. Andi Hamzah, menyatakan bahwa alasan dan tujuan pengangkatan anak ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk melangsungkan keturunan 2) Untuk melanjutkan dan memelihara harta benda 3) Dapat juga anak angkat dilakukan untuk pemeliharaan belaka 33 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung, 1993, hal. 15

  4) Untuk memasukkan seorang kedalam masyarakat hukum.

  34 Sholeh Soeaidy dan Zulkhair menyebutkan alasan pengangkatan anak yaitu: 1) Tidak memiliki keturunan sama sekali atau pun belum memiliki anak laki-laki.

  2) Kesetiakawanan sosial. 3) Pancingan untuk memperoleh keturunan dalam perkawinan. 4) Mengurus masa hari tua karena tidak memiliki.

  35 Pada penulisan tesis ini akan dibahas dan diteliti mengenai pengangkatan anak

  antar Warga Negara Indonesia (domestic adoption), khususnya golongan WNI keturunan Tionghoa.

2. Kerangka Konseptual

  1. Anak angkat adalah anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri.

  36 2.

  Adopsi

  adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

  3. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang tua yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.

  37

  34 Andi Hamzah, Kedudukan Anak Angkat Sebagai Ahli Waris Menurut Hukum Adat, Fakultas Hukum USU.Deli Serdang, 1995, hal. 10 35 Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001, hal. 25 36 WJS.Poerwadarminta.Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN.Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal. 31 37 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1990, hal. 117

  4. Hukum waris adat adalah keseluruhan pertaturan hukum dan peraturan-peraturan adat yang mengatur tentang peralihan maupun penerusan harta warisan dengan segala akibatnya baik dilakukan semasa pewaris masih hidup maupun sesudah meninggal dunia.

  38

  5. Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.

  39

  6. Tionghoa adalah masyarakat yang berasal dari timur asing (Tionghoa) yang bermukim di wilayah Indonesia baik telah menjadi WNI ataupun belum.

  40

  7. Masyarakat Tionghoa adalah suatu perkumpulan/ komunitas yang berasal dari timur asing (Tionghoa) yang masuk dan bermukim diwilayah Indonesia kemudian secara langsung disamakan sebagai WNI ataupun kemudian hari atas inisiatif sendiri bermaksud menjadi WNI.

G. Metode Penelitian

  Metode penelitian adalah upaya untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dimana usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.

  41

1. Spesifikasi Penelitian

a. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian dalam penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif. 38 Febbe Joesiaga, SH, Pelaksanaan Pembagian Warisan Secara Adat Pada Masyarakat

  

Tionghoa di Kota Surakarta, www.eprints.undip.ac.id/17357/1/FEBBE_JOESIAGA.pdf, diakses pada

tanggal 3 Mei 2013. 39 WJS. Poerwadarminta,Op.Cit, hal. 281 40 Tan Pen Wei, Op.Cit. 41 Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, Andi Offset, Yogyakarta, 1989, hal. 3

  Penelitian hukum yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yaitu meneliti terhadap bahan pustaka atau bahan sekunder. Penelitian hukum normatif atau yuridis normatif merupakan penelitian yang terdiri dari: 1) Penelitian terhadap asas-asas hukum 2) Penelitian terhadap sistematika hukum 3) Penelitian sejarah hukum

  

42

4) Penelitian perbandingan hukum.

b. Sifat Penelitian

  Penelitian ini adalah deskriptif analitis karena hanya akan memaparkan obyek yang diteliti, diselidiki dengan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori–teori hukum dan praktek pelaksanaan perundang– undangan yang menyangkut permasalahan di atas.

2. Metode Pendekatan

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode normatif didukung dengan data yuridis sosiologis.

  Abdulkadir Muhammad, mengatakan bahwa : Penelitian hukum normatif didukung data empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang, atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Implementasi secara

  in action

  tersebut merupakan fakta empiris dan berguna untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh negara atau oleh pihak-pihak dalam 42 kontrak. Implementasi secara in action diharapkan akan berlangsung Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta, 1986, hal. 45. sempurna apabila rumusan ketentuan hukum normatifnya jelas dan tegas serta

  43 lengkap.

  Pendekatan yuridis sosiologis (socio legal research) digunakan agar dapat diungkap dan didapatkan makna yang mendalam dan rinci terhadap objek penelitian dan narasumber.

  Sehubungan dengan metode penelitian yang digunakan tersebut, yaitu dengan cara meneliti peraturan-peraturan, perundang-undangan, keputusan-keputusan Pengadilan, surat-surat edaran maupun yurisprudensi, majalah-majalah hukum, teori- teori hukum dan pendapat-pendapat para sarjana hukum terkemuka yang merupakan data sekunder, kemudian dikaitkan dengan keadaan yang sebenarnya, yaitu dalam praktek notariat dilapangan, serta mempelajari gejala-gejala permasalahan yang timbul dalam praktek kaitannya dengan perlindungan hukum hak waris anak angkat keturunan Tionghoa.

  Digunakan juga bahan-bahan hukum yang berupa sumber hukum dalam arti formil (peraturan perundang-undangan) dan studi kepustakaan, pendekatan yang bertujuan untuk memperoleh peraturan-peraturan yang berlaku dan pengetahuan tentang keadaan masyarakat pada waktu itu, sehingga peraturan itu dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

3. Lokasi Penelitian

  Pentingnya penjelasan mengenai gambaran umum lokasi penelitian dikarenakan lokasi penelitian memiliki aspek penting yang menentukan dimana fokus 43 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

  2004, hal. 134 penelitian dilakukan, dimana lokasi penelitian ini terletak di wilayah administratif Kota Medan.

  Dipilihnya Kota Medan sebagai lokasi penelitian dengan alasan bahwa Kota Medan adalah salah satu Kota yang banyak dihuni oleh etnik Tionghoa.

4. Alat Pengumpul data

  Informan yang akan diteliti oleh penulis dalam hal ini adalah pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan pengangkatan anak di Kota Medan, yakni: 1) Data primer:

  a) Orang tua yang melaksanakan pengangkatan anak pada keluarga keturunan Tionghoa di Kota Medan.

  b) Pemuka adat Tionghoa di Kota Medan. Adapun alat yang dipergunakan untuk memperoleh data tersebut adalah:

  a) Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab secara langsung dengan membuat daftar pertanyaan yang sudah direncanakan dan diajukan terhadap informan yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu 5 (lima) anak atau orang tua angkat.

  b) Observasi, yaitu mengadakan penelitian langsung pada obyek yang diteliti.

  Data yang diperoleh dari hasil observasi dianalisis dan disimpulkan. 2) Data sekunder adalah data yang sudah dalam bentuk jadi, seperti data dalam dokumen dan publikasi.

  44 Dengan kata lain data tersebut didapat melalui studi

  44 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2004, hal. 57. kepustakaan maupun dokumen-dokumen yang diperoleh pada waktu awal penelitian, maupun pada saat penelitian dilapangan.

5. Analisis Data

  Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh disusun secara sistematis, kemudian dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang

  45 nyata, diteliti dan dipelajari secara utuh.

  Pengertian analisis di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, dan sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan mengambarkan apa adanya sesuai dengan

  46 permasalahan yang diteliti.

45 H.B. Sutopo. Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta.

  1998, hal. 37 46 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 51