BAB II LATAR BELAKANG BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI. 2.1. Waria Dalam Kajian Sejarah Kebudayaan - Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati Di Jakarta 1998

BAB II LATAR BELAKANG BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI .

2.1. Waria Dalam Kajian Sejarah Kebudayaan Sulit untuk menentukan kapan dan dimana sejarah kebudayaan waria mulai muncul.

  Sejarah belum mampu mencatat secara pasti kapan waktu yang akurat. Sepertinya waria belum masuk ke dalam lingkungan peradaban manusia normal. Sebab keberadaan mereka belum di pandang sebagai suatu fenomena sejarah dan peradaban. Namun, budaya waria tidak muncul begitu saja sebagai akibat modernisasi seperti sangkaan banyak orang, yang menuduh bahwa mordernisasi menyebabkan kelainan- kelainan seksual seperti homoseksual sebagai imbasnya.

  Dalam sejarah bangsa Yunani memang tercatat adanya waria. Di jaman pertengahan, seperti yang pernah direkam Hipocrates, telah muncul beberapa waria kelas elite seperti Raja Henry III dari Prancis, Abbe de Choissy Duta Besar Prancis di Siam, serta Gubernur New York tahun 1702, Lord Cornbury. Mereka berdandan laiknya perempuan. Karena beberapa di antaranya adalah orang- orang terpandang, maka atribut mereka tidak ditampakkan dalam kehidupan sehari- hari. Menurut catatan itu, mereka adalah laki- laki berjiwa perempuan,

   dengan pakaian perempuan dan lebih senang di anggap perempuan .

  Siapakah waria? Waria adalah seseorang yang terlahir dengan jenis kelamin laki- laki yang dalam proses pertumbuhannya menunjukan sifat keperempuanan yang lebih menonjol dan pada masa dewasanya menyatakan diri sebagai perempuan dan berdandan selayaknya perempuan pada umumnya. Kartini Kartono dalam bukunya Psikologi Abnormal dan

  

Abnormalitas Seksual, mengatakan bahwa istilah waria berasal dari kata ”wanita-pria”,

8 . Koeswinarno, “ Waria dan Penyakit Menular Seksual”, Makalah diskusi bulanan Pusat Penelitian Kependudukan UGM, (Yogyakarta,1996) hal 21

  

  disamping itu mendapat sebutan lain seperti wadam ( hawa-adam) atau banci . Umumnya waria bersikap dan memiliki perasaan yang halus seperti perempuan dan hal itu menimbulkan rasa tidak nyaman bagi masyarakat umum yang menganggap mereka sebagai laki- laki yang semestinya bersikap keras dan tegas.

  Berdasarkan kajian sejarah kebudayaan, terdapat beberapa kebudayaan dimana waria diasosiasikan dengan kekuatan spiritual yang lebih tinggi, seperti mediasi antara dewa dan manusia. Dalam banyak kasus, gabungan laki- laki dan perempuan ini juga diasosiasikan

  

  dengan kesuburan dan kesejahteraan komunitas secara keseluruhan . Bentuk seksualitas sakral ini ditemukan penggunaannya dalam tantrisme, Taotisme, juga praktik spiritual di

11 Eropa, balkan dan Asia kuno . Kebudayaan kuno tersebut menjadikan waria sebagai sesuatu

  yang suci dan dihormati. Pada bangsa Turco- Mongol di gurun Siberia, dukun pria pada

  

  umumnya berpakaian wanita, mereka umumnya mempunyai daya linuwih dan sangat ditakuti orang. Dukun- dukun semacam ini juga dapat di jumpai di Malaysia, Sulawesi, Patagona, Kepulauan Aleut, dan beberapa suku Indian Amerika Utara. Suku Indian Sioux dan

   Crow, misalnya mengenal pria berpakaian wanita yang disebut berdache .

  Di Indonesia juga terdapat beberapa kebudayaan yang mengenal, menghormati dan mengasosiasikan waria sebagai pendeta misalnya Bissu di masyarakat Bugis, Sulawesi dan Warok di Ponorogo, Jawa Timur. Dalam masyarakat Bugis terdapat lima gender yaitu: laki- laki, perempuan, calabai, calalai dan bissu. Calabai adalah laki- laki yang bersikap seperti perempuan, melakukan pekerjaan perempuan dan kerap memiliki pasangan laki- laki. Cabalai umumnya melakukan berbagai fungsi dalam perayaan pernikahan. Calalai adalah perempuan 9 Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Sexual, 1989 ( Bandung: CV. Mandar Maju )

  hal 265 10 Saskia E. Wieringa, Jurnal Gandrung, vol 1 no.12, Desember, 2010 ( Surabaya: Yayasan GAYa NUSANTARA) hal 26 11 12 Loc.cit . Daya linuwih adalah kemampuan yang luar biasa yang dimiliki oleh dukun pria dan biasanya sangat ditakuti. 13 . Zunly Nadia, op. Cit., hal 52 yang berpenampilan seperti laki- laki dan hidup bersama pasangan perempuannya dan melakukan peran seperti laki- laki. Namun mereka tidak berperan dalam upacara- upacara dan saat ini sudah jarang ditemukan. Cabalai bisa menjadi Bissu. Bissu mempunyai fungsi ritual yang sangat penting, mereka adalah penjaga pusaka kerajaan dan dalam fungsi tersebut mereka dipandang sebagai biseksual, karena pusaka- pusaka ini memerlukan persatuan

   dengan lawan jenis. Maka Bissu dianggap sebagai “ pasangan hermafrodit pusaka” .

  Status gender dan seksual ambigu Bissu sejak dulu hingga sekarang masih sangat dihargai. Dalam peran- peran ritual, Bissu mengambil kondisi androgini yang simbolik guna memastikan kesejahteraan dan kemakmuran penguasa dan komunitasnya. Terdapat juga kemiripan peran Bissu dengan Basir atau Balian pada Dayak Ngaju di Kalimantan. Balian adalah penyembuh dan peramal sakti yang berpakaian seperti perempuan.

  Bissu adalah seniman yang juga pendeta agama Bugis kuno (Sulawesi Selatan) pra- Islam yang makin berkurang personilnya. Umumnya mereka adalah pria yang bersifat kewanitaan ( calabai/ waria) dan dalam kehidupan keseharian selalu tampil sebagai wanita.

  Walaupun Bissu adalah waria, mereka bukan waria biasa. Untuk menjadi Bissu, seorang waria harus ditasbihkan (irebba) terlebih dahulu. Mereka memiliki kesaktian dan peran dalam upacara- upacara ritual. Mereka juga memiliki kedudukan dalam masyarakat sebagai penjaga pusaka keramat (arajang) di istana yang dipercayai dihuni oleh roh- roh nenek moyang.

  Tradisi transvestite (laki- laki yang berperan sebagai perempuan) dalam masyarakat Bugis

   sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu .

  Sekitar 1950 hingga 1965, meletus pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berusaha keras menghapuskan dan melarang semua yang dianggap musyrik atau menyekutukan Tuhan bagi umat Islam. Jumlah Bissu terus menyusut terutama 14 15 Ibid ., hal. 34 Ariyanto dan Rido Triawan, op. Cit., hal. 53 setelah peristiwa tragis yang dialami para Bissu selama Orde Lama dan Orde Baru. Tokoh DI/TII di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakar, menganggap kegiatan para Bissu termasuk menyembah berhala. Karena itu, kegiatan, alat- alat upacara dan para pelakunya diberantas.

  Ribuan perlengkapan upacara dibakar atau ditenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu dibunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras. Penderitaan ini masih berlanjut pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Gerakan pembantaian besar- besaran itu diberi nama Operasi Toba (Operasi Taubat) yang dilancarkan pada masa Orde Baru antara

   1965- 1967.

  Meskipun demikian, masih ada lagi budaya lain di Indonesia yang mengenal tradisi waria dalam kesenian tradisional yaitu masyarakat Jawa Timur yang berkecimpung dalam

  

  dunia seni Warok di Ponorogo dan kesenian pentas tradisional Ludruk termasuk tari

  

ngremo dan gadrung. Hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan sikap tabu terhadap

  kontak dengan wanita di luar pernikahan yang sah. Lain halnya dengan budaya keraton Jawa di jaman Mataram. Waria termasuk dalam kelompok yang justru memiliki daya linuwih karena kelainan yang dialaminya, sehingga mereka tidak disingkirkan namun menjadi simbol kegaiban.

2.2 Pandangan Masyarakat Terhadap Waria

  Indonesia merupakan negara yang berbasis agama. Penduduk Indonesia diwajibkan menganut salah satu dari agama yang dinyatakan sah oleh negara. Oleh karena itu, banyak pandangan dan nilai- nilai yang berlaku di masyarakat merupakan nilai moral berdasarkan keyakinan agama. Agama mengajarkan tentang dua jenis kelamin yaitu laki- laki dan 16 17 Wawancara dengan Fitri . Ludruk adalah sebuah drama tradisional dari daerah Jawa Timur yang semua pemain panggungnya

  

adalah laki- laki. Sehingga jika sebuah peran menuntut adanya perempuan maka seorang laki- laki harus

memerankan peran perempuan tersebut. Bahkan, laki- laki yang berperan sebagai perempuan, cenderung

merupakan peran tetap sehingga dimanapun mereka memainkan lakon selalu berperan sebagai seorang

perempuan. Dan lakon inilah yang menjadi daya tarik dari kesenian ludruk sampai sekarang. Akan tetapi tidak semua pelakon wanita imitasi adalah waria. perempuan sehingga keberadaan waria terasa asing dan sulit diterima. Dalam agama Islam maupun Kristen yang memiliki banyak penganut, menjadi waria merupakan dosa, sehingga menjadi aib bagi keluarga bila ada seorang laki- laki yang terlahir sebagai waria. Hal yang seringkali terjadi adalah upaya menghindari aib dan dosa yang dilakukan keluarga dan masyarakat menyebabkan diskriminasi terhadap waria.

  Seorang anak laki- laki yang terlahir sebagai waria, tidak selalu menunjukan gejala perbedaan sejak kecil. Umumnya ‘kelainan’ terlihat saat dia akil balig lalu berlanjut pada keinginan mencari identitas diri karena merasa tidak nyaman dengan peran laki- laki yang disandangnya. Waria di masa kanak- kanaknya lebih suka bermain bersama anak perempuan dan memainkan permainan anak perempuan. Dia merasa tidak nyaman dengan permainan anak laki- laki yang cenderung lebih keras dan kasar. Dan tak mengerti dengan selera permainan laki- laki yang lebih agresif dibandingkan anak perempuan.

  Di masa remajanya seorang waria semakin merasakan krisis identitas yang dirasa sebagai ‘kekosongan’. Dia lebih tertarik pada sesama jenisnya. Dan memiliki perasaan dan keinginan layaknya perempuan. Dengan fisik yang terlahir sebagai laki- laki, seorang waria semakin merasa berbeda dengan lingkungannya yang menuntutnya memerankan figur seorang laki- laki yang tegas dan berkarisma.

  Di masa dewasanya, kebanyakan waria dengan berani menyatakan dirinya sebagai bukan laki- laki namun juga tidak memiliki fisik sebagai perempuan sehingga muncul sebutan waria. Beberapa diantaranya mengubah penampilan menyerupai perempuan dengan rambut panjang dan berpakaian seperti perempuan umumnya. Sebagian lagi tetap berpenampilan seperti laki- laki dengan rambut pendek namun terkadang memakai pakaian perempuan mengikuti dorongan hati.

  Penampilan fisik waria yang tidak umum dan sulit diklasifikasikan sebagai satu dari jenis kelamin yang dikenal umum menimbulkan perasaan asing dan sulit menerima dikalangan keluarga dan masyarakat. Seringkali ketika seorang anak laki- laki menunjukan gejala yang berbeda dibanding anak laki- laki lainnya, si anak menerima perlakuan kasar sebagai reaksi atas perilakunya yang berbeda.

  Ada beberapa pendapat berbeda yang beredar di kalangan masyarakat maupun para ahli tentang penyebab “waria” muncul. Sebagian percaya, berdasarkan pengalaman empiris bahwa seseorang menjadi waria disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Akibatnya waria dianggap sebagai bentuk dari kelainan jiwa, dan harus diklasifikasikan sebagai pengidap sakit jiwa yang perlu ditangani oleh ahli jiwa di Rumah Sakit Jiwa. Sebagian lagi berpendapat, berdasarkan penelitian terhadap gen manusia bahwa seseorang menjadi waria bukan karena lingkungan melainkan akibat kelebihan kromosom tertentu, dan kekurangan testoteron dalam darah sehingga ciri- ciri kewariaan muncul dalam diri seseorang. Dengan teori ini maka waria tidak diklasifikasikan ke dalam kelainan jiwa tapi kelainan gen sehingga seorang waria tidak termasuk dalam kategori pengidap kelainan jiwa, dan tidak perlu perawatan di Rumah Sakit Jiwa.

  Peta kelainan seksual dalam pandangan ilmu biologi terbagi dalam dua penggolongan

  

  besar. Pertama, kelainan seksual karena kromosom . Dari kelompok ini, seseorang ada yang berfenotip pria dan yang berfenotip wanita. Kelainan pada laki- laki disebut sindroma

  

klienfelter . Hal ini disebabkan oleh kelebihan kromosom X, bisa XXY, atau XXYY atau

  bahkan XXXYY. Diduga penyebab kelainan ini karena tidak berpisahnya kromosom seks 18

  . Kromosom adalah salah satu bagian dari dalam tubuh (yang berjumlah 46 bagi manusia normal)

yang terdapat dalam nukleus sel, yaitu pembawa gen, berbentuk filamen kromatin yang lembut pada tahap

awal yang kemudian mengkerut untuk membentuk sebuah silinder padat yang terbagi dalam dua lengan pada

tingkat metafhase dan anafhase pada bagian sel dam mampu mereproduksi struktur kimia dan fisika secara

terus- menerus. 19 . Sindroma klienfelter adalah kelainan kromosom, berupa tambahan satu atau dua kromosom X pada inti setiap sel seorang bayi laki- laki.

  

  pada saat meiosis yang pertama dan kedua. Hal ini disebabkan usia ibu yang mempengaruhi

  

  proses reproduksi oleh karena itu semakin tua usia seorang ibu, maka akan semakin tidak baik proses pembelahan sel dan akibatnya semakin besar kemungkinan menimbulkan kelainan seks pada anaknya.

  Di samping itu, perbedaan jenis kelamin juga ditentukan oleh ada tidaknya badan

  

  kromatin yang sering disebut kromatin kelamin atau seks kromatin. Seks kromatin terdiri dari salah satu dari dua buah kromosom X yang terdapat dalam inti sel tubuh wanita, yang berarti sebuah kromosom X yang nonaktif. Jika wanita normal mempunyai dua kromosom X, maka ia memiliki sebuah seks kromatin positif. Sebaliknya, laki- laki hanya mempunyai sebuah kromosom X saja oleh sebab itu ia tidak mempunyai seks kromatin sehingga bersifat seks kromatin negatif.

  Jumlah seks kromatin pada seseorang yang mempunyai kelainan kromosom seperti

  

  waria transeksual disebabkan dia mempunyai kromosom XXY. Jadi, dia adalah seorang laki- laki yang memiliki satu seks kromatin, oleh sebab itu ia memiliki sifat- sifat kewanitaan dalam dirinya.

  Kedua, kelainan seksual yang bukan karena kromosom. Ditilik dari cara berpakaian, waria dimasukan ke dalam dua kelompok yaitu, seorang transvestisme dan transeksualisme.

  Transvestisme adalah sebuah nafsu patologis untuk memakai pakaian lawan jenisnya, dia mendapatkan kepuasan seks dengan memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya. Di sini, seorang transvestis tetap berusaha mempertahankan identitas kelaminnya meski dia memakai 20 21 . Meiosis adlah pembelahan sel.

  .Usia seseorang untuk melakukan proses reproduksi memang banyak berpengaruh terhadap

terhadap janin yang dilahirkan. Hal ini karena ovarium yang sudah mengandung telur- telur terlalu lama diam di dalam sehingga kromosom yang ada bisa menjadi lengket. 22 . Seks kromatin ditemukan oleh Barr dari University of Western Ontario USA pada 1940. Wanita

memiliki seks kromatin (sehingga disebut bersifat seks kromatin positif) dan pria tidak memilikinya (sehingga disebut bersifat seks kromatin negatif) 23 . Transeksual adalah orang yang merasa tidak cocok dengan alat kelaminnya. rok jika laki- laki atau memakai pakaian laki- laki jika perempuan, seringkali transvestis adalah seorang heteroseksual namun terdapat juga yang homoseksual. Dengan demikian, transvestisme termasuk dalam gangguan psikoseksual parafia

   Para waria sebagai seorang transeksualis memiliki karakteristik yang berbeda.

  Seorang transeksualis, secara fisik memiliki jenis kelamin yag sempurna dan jelas, tetapi secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis yang sampai saat ini belum diketahui penyebabnya.

   Apapun teori yang dipakai tetap saja keberadaan waria di tengah sebuah komunitas

  masyarakat terasa janggal dan sulit di terima. Sehingga timbul rasa saling curiga dan menarik diri antara waria dan masyarakat itu sendiri. Kecenderungan seorang laki- laki yang bersikap seperti wanita, membuat para lelaki merasa risih dan tidak nyaman saat berada di dekat waria. Timbul ketakutan terhadap orientasi seks waria yang cenderung penyuka sesama jenis. Di samping itu muncul kecurigaan bahwa waria dapat menular sehingga laki- laki umumnya memandang waria sebagai pengidap penyakit menular dan menghindarinya. Berbeda dengan

  . Yang terpenting di sini adalah kondisi psikis dan bukan pakaian yang dipakai. Para transeksual sering dianggap sebagai orang yang terjebak dalam jenis kelamin yang salah karena identitas kelaminnya yang terganggu. Waria secara fisik terlahir sebagai laki- laki dengan jenis kelamin laki- laki yang sempurna namun menolak dirinya sebagai laki- laki sehingga waria dimasukkan ke dalam kelompok transeksual. Gejala transeksual yaitu gejala merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya dan memiliki keinginan yang kuat untuk mengubah jenis kelamin karena dorongan psikologis. Keinginan untuk menjadi perempuan pada waria bukan hanya terletak pada cara berpakaian tetapi juga pada sikap, perilaku dan penampilannya.

  24 . Parafilia adalah kelainan yang ditandai dengan ketidaklaziman pada objek serta situasi seksualnya.

  Penderita jenis ini memerlukan khayalan atau perbuatan yang tidak lazim untuk bisa bergairah. 25 . Kemala Atmojo, op. Cit., hal 55 cara pandang wanita terhadap waria. Wanita cenderung bersikap lebih ramah dan menerima terhadap keberadaan waria. Kehalusan perasaan waria seperti wanita, membuat perasaan “nyambung” antara wanita dengan waria. Namun para waria seringkali memandang wanita sebagai saingan sehingga di masa dewasanya mereka kurang suka bergaul dengan wanita karena perbedaan fisik.

  Perbedaan sikap penerimaan wanita dan laki- laki terhadap waria dalam kelompok masyarakat yang lebih sempit tercermin dari perilaku anggota keluarga terhadap waria.

  Seorang ibu walaupun tidak iklas, lebih mampu bersikap toleransi dan melindungi terhadap anaknya yang waria. Tetapi seorang ayah akan bersikap kasar bahkan melakukan kekerasan dan kecaman terhadap anaknya yang menunjukan orientasi berbeda. Seringkali seorang ayah dengan peran laki- lakinya mencoba mendidik kembali seorang anak laki- laki yang lemah lembut dengan cara keras untuk memancing jiwa lelakinya yang “tertidur”. Tabu dan kurangnya pengetahuan umum soal waria menyebabkan seorang ayah mengira bahwa dengan memukul maka sikap feminin dalam diri anak laki- lakinya akan menghilang. Seorang ibu, dengan perannya sebagai wanita hanya mampu berdiam diri, karena kurangnya pengetahuan dan rasa malu akibat melahirkan anak “cacat” tidak berdaya dalam upaya melindungi dan mencari solusi atas masalah anaknya yang seorang waria.

  Kebanyakan waria merasakan kecenderungan menjadi waria sejak kecil dan merasa keberadaan mereka adalah kodrat yang tak bisa ditolak. Maka peran ahli jiwa, psikiater untuk menyembuhkan waria menjadi manusia normal merupakan hal yang sia- sia kecuali dengan mengubah jenis kelaminnya sesuai keadaan psikologis. Kehadiran seorang waria secara umum tidak diinginkan oleh keluarga manapun sehingga respon penolakan keluarga setelah mengetahui keadaan adanya perilaku menyimpang dari anggota keluarganya menimbulkan respon berupa reaksi- reaksi setelah keluarganya mengetahui perilakunya. Respon orang tua diterima sebagai bentuk konflik yang ditanggapi dengan pergi meninggalkan rumah bahkan pemutusan hubungan keluarga. Hal ini dilakukan sebagai bentuk usaha mengaktualisasikan diri sebagai wanita secara bebas dan total, berdandan dan memakai pakaian wanita sebagai bentuk penyelesaian. Konflik yang terjadi memberikan ruang bagi waria untuk bersikap mandiri secara ekonomi dan mengurangi kendali orang tua terhadap perilaku kewariaan anaknya.

  Peran keluarga sangat penting bagi perkembangan waria. Seorang waria yang dilahirkan dalam keluarga yang baik- baik, taat beragama, berpendidikan ditambah lagi keberadaan orangtua yang pada akhirnya menerima keberadaannya secara otomatis akan memberikan pengaruh yang baik bagi perkembangan waria. Saat sebuah keluarga mau menerima keberadaannya, maka dukungan positif secara moril dan materi akan didapatkan. Dan mendorong waria tersebut menjadi warga yang baik sehingga diterima dengan baik oleh masyarakat. Umumnya keberadaan waria di jalanan dan bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial adalah akibat tidak adanya penerimaan dari pihak keluarga.

  Dalam kelompok yang lebih besar seperti di lingkungan pendidikan, seorang waria seolah disamakan dengan pengidap cacat mental sehingga prestasinya kurang dihargai dan tidak ditonjolkan. Hal ini menumbuhkan rasa tidak percaya diri dan perasaan kurang berkompetensi dalam diri waria, sehingga banyak waria remaja yang kurang berminat dalam hal pendidikan. Ditambah lagi banyaknya diskriminasi yang dialami waria oleh teman laki- lakinya sehingga banyak waria yang putus sekolah atau kurang dalam hal pergaulan sesama remaja. Sikap diskriminasi yang dilakukan teman sebaya dan guru membuat banyak waria memilih menarik diri dari lingkungan dan memilih untuk tidak mempercayai siapapun sehingga justru bersikap seenaknya sendiri dan diasosiasikan dengan kriminalitas.

  Bagi waria yang berhasil menamatkan pendidikan hingga SMA, nasibnya seringkali tidak menjadi lebih baik bahkan lebih buruk karena umumnya waria kesulitan dalam hal mencari pekerjaan. Tuntutan status jenis kelamin dalam hal pekerjaan menimbulkan banyak penolakan terhadap waria yang dianggap dapat merusak citra dan nama baik perusahaan.

  Beberapa waria yang bersikeras ingin tampil sebagai wanita mengalami penolakan dalam hal pekerjaan, mereka cenderung dituntut tampil sebagai laki- laki sehingga untuk mendapatkan pekerjaan mereka harus tampil sebagai laki- laki.

  Penampilan waria yang agak berbeda dengan kebanyakan laki- laki ataupun wanita menimbulkan steriotipe negatif di mata masyarakat tentang kompetensi mereka dalam hal pekerjaan. Penampilannya yang menyimpang membuat masyarakat mengira bahwa waria adalah sekelompok pembangkang yang tidak bisa dipercaya. Kesulitan mencari pekerjaan, sikap kasar yang muncul akibat perbedaan membuat sebagian waria memilih untuk bersikap kasar terhadap lingkungan dan hal ini berdampak negatif bagi sebagian waria yang berusaha berbaur dengan masyarakat.

  Keberanian waria dalam menunjukan siapa dirinya, malah dianggap sebagai bentuk pelanggaran nilai moral dan agama. Yang lebih parahnya ketakutan akan dosa dan terhadap orientasi seks waria membuat semakin panjang daftar bentuk diskriminasi terhadap kaum waria, baik yang menarik diri maupun bagi yang mencoba berbaur. Agama seringkali menjadi faktor utama yang memperlakukan waria dengan cara terburuk. Ide- ide radikal seperti merajam, memukuli, mengusir bahkan menghukum mati waria justru datang dari pihak agama yang diharapkan dapat menolong memberi jalan keluar. Dosa selalu menjadi faktor utama penganiayaan. Pemukulan dianggap sebagai cara menghukum waria dari dosanya yang menunjukan jatidirinya sebagai waria yang ditakutkan berimbas pada masyarakat. Tak jarang cara- cara ekstrim dilakukan untuk mempermalukan waria, atas nama agama, akibat ketakutan dan ketidaktahuan pihak- pihak tertentu tentang pribadi waria.

  Penerimaan masyarakat terhadap waria dapat dilihat dalam dua konteks yaitu individual dan dalam komunitas. Konteks individual terkait dengan perilaku sosialnya sehari- hari. Hal ini terlepas dari steriotipe tehadap waria sebagai PSK. Perilakunya dilihat berdasarkan nilai- nilai masyarakat normal pada umumnya, sesuai dengan perilaku sehari- hari bermasyarakat dan di nilai berdasarkan sopan santun dan perilaku baiknya. Sementara dalam konteks komunitas, dunia waria dinilai dalam konstruksi yang bersifat historis, sehingga menimbulkan pandangan yang ambigu. Di satu sisi, waria dipandang dengan stigmatisasi sebagai PSK dengan segala atribut negatifnya. Dan di sisi lain, mereka menerima waria hidup bersama di dalam lingkungan, baik karena kepentingan ekonomis atau pertimbangan lainnya. Akibatnya meski masyarakat memahami seorang waria dalam kehidupan sehari- harinya, namun dia dibatasi oleh konteks kultural, sehingga peraturan- peraturan ketat diterapkan kepada waria tanpa kecuali. Masyarakat menerima atau menolak kehadiran waria terutama ditentukan oleh usaha waria secara individual dan kolektif dalam menunjukan perilaku kondusif sehari- hari. Pada dasarnya ruang sosial berikut aturan ketat dalam masyarakat tersebut menjadi penekan sekaligus fasilitator.

26 Dunia cebongan , adalah ruang tersendiri bagi waria untuk menunjukan

  eksistensinya. Di sini, waria mengembangkan bentuk komunikasi tersendiri dengan bahasanya yang khas sebagai ciri tersendiri dalam kelompok waria tersebut. Dunia cebongan dalam kehidupan waria tidak hanya menjadi tempat bekerja tetapi juga menjadi media dalam menegaskan identitasnya sebagai waria, karena di sini mereka mampu bersosialisasi dan membangun solidaritas sesama waria. Ruang- ruang sosial tersebut banyak memberi pengaruh dalam pola kehidupan waria. Menjalani kehidupan sebagai seorang waria menimbulkan banyak benturan dengan berbagai macam tatanan sosial dan kultural yang

  26 . Cebongan adalah sebuah istilah di kalangan para waria yang berarti tempat pelacuran. cenderung tidak memberi ruang dan belum sepenuhnya menerima dan memperlakukan waria sejajar dengan jenis kelamin lainnya.

  Berbagai macam pandangan tentang waria senantiasa diisi dengan penilaian negatif tentang dunia pelacuran dan perilaku seks bebas dan hal negatif lainnya. Hal ini disebabkan sebagian besar waria bekerja sebagai PSK dan sering berkumpul di malam hari dan membentuk komunitas yang dikenal sebagai cebongan dan menjadi ciri khas waria dan identifikasi mereka dengan steriotipe negatif.

  Pemikiran negatif tentang waria yang timbul timbal balik antara sikap waria dan sikap masyarakat menimbulkan ketegangan antara waria dan masyarakat. Tidak ada yang mau mengalah dan semua pihak menolak kompromi. Bagi waria menjadi diri sendiri adalah hak asasi dan menjadi urusan pribadinya dengan Tuhan. Bagi masyarakat menerima waria dianggap sebagai penurunan nilai moral dan dapat merusak nilai- nilai yang dinyatakan mapan yang telah lama dianut seperti sistem patriarkat.

  Nilai- nilai partriarki mapan yang menjadi landasan hidup masyarakat di berbagai kebudayaan, membuat laki- laki yang berpenampilan seperti wanita dianggap mengancam stabilitas masyarakat. Laki- laki yang diharapkan selalu menjadi pemimpin dan bersikap keras dalam memimpin serta mampu menjaga kelompoknya tidak dibenarkan untuk berpenampilan tidak seperti laki- laki karena kuatir akan menimbulkan rasa mandiri dalam diri wanita yang selam ini berada dalam pengaruh dan kekuasaan laki- laki. Oleh sebab itu penyimpangan nilai yang dilakukan laki- laki lebih menjadi sorotan dibanding penyimpangan yang dilakukan wanita.

  Waria yang dalam usahanya untuk menjadi diri sendiri mengalami berbagai hambatan dan tanggapan negatif dari berbagai golongan dan kelas masyarakat. Wanita yang selalu di nilai sebagai warga kelas dua dalam masyarakat, secara otomatis dinyatakan tidak mampu dalam memimpin laki- laki yang dianggap lebih kuat dan mampu. Waria yang tampil berbeda dianggap semiwanita sehingga dinyatakan tidak memiliki kompetensi dalam memimpin dan merusak citra laki- laki.

2.3 Kondisi Sosial Ekonomi Waria

  Akibat perselisihan yang timbul antara waria dan masyarakat, waria mengalami semakin banyak kesulitan selain kekerasan fisik dan verbal yaitu penolakan. Penolakan pihak keluarga mengakui sebagai anggota keluarga, penolakan pihak agama mengakui sebagai penganut agama tersebut dan penolakan dalam hal mencari pekerjaan. Kesulitan yang semakin banyak yang dialami waria menimbulkan ketidakberdayaan dalam hal ekonomi. Penolakan pihak keluarga mendorong waria untuk bertahan hidup sendiri di tengah masyarakat. Penolakan pihak agama membuat waria kesulitan mendapat bantuan dalam mencari pekerjaan dan rekomendasi positif untuk mendapatkan pekerjaan. Penolakan pihak perusahaan membuat waria mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi sehari- harinya.

  Sektor formal menuntut kejelasan status jenis kelamin dan penampilan fisik, sedangkan waria akibat dorongan hatinya ingin bebas tampil seperti wanita. Akibat penampilan fisiknya yang berbeda, seorang waria dianggap tidak mampu melakukan pekerjaan- pekerjaan dengan baik. Penilaian umum berdasarkan penampilan fisik membuat banyak penilaian negatif tentang kompetensi waria dalam pekerjaannya. Seakan saat waria tampil beda, maka dia pasti tidak mampu menaati aturan yang berlaku. Selain masalah kompetensi dalam hal menyelesaikan pekerjaannya, menerima seorang pekerja waria dianggap dapat merusak citra perusahaan yang di nilai tidak hati- hati dalam memilih karyawan. Penilaian secara fisik membuat banyak pihak menutup mata terhadap kemampuan dan kredibilitas seorang waria yang diasosiasikan sebagai pembangkang dengan kelainan jiwa.

  Sektor informal terutama menjadi alternatif pekerjaan bagi waria. Banyak waria yang bekerja di salon, atau sebagai penjual jamu, atau pedagang asongan juga sebagai pengamen.

  Namun, lagi- lagi akibat steriotipe negatif dalam masyarakat, usaha- usaha yang dilakukan waria dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, mengalami hambatan dan kesulitan untuk berkembang. Seringkali waria diperlakukan dengan kasar, dan ketika membalas dengan kekerasan maka waria secara umum serta merta dihubungkan dengan pembuat onar dan kriminalitas.

  Akibat kebutuhan yang mendesak dalam memenuhi kebutuhan ekonomi maka banyak waria menggunakan jalan pintas dengan menjadi Pekerja Seks Komersial. Dengan begitu sebagian besar waria bekerja sebagai PSK dan diasosiasikan sebagai penular HIV/ AIDS. Orientasi seks waria yang penyuka sesama jenis, dan pekerjaannya sebagai PSK menambah daftar panjang hal negatif tentang waria di mata masyarakat. Waria semakin dijauhi, ditakuti dan dibenci.

  Kekerasan yang sering dialami waria sejak kecil dan sikap diskriminasi yang sering dialami saat dewasa membuat para waria kurang peduli lingkungan dan kesehatan. Mereka terkesan “asal menjalani hidup”. Sehingga masyarakat umum menjadi semakin tidak mampu bersikap toleransi terhadap sikap- sikap waria yang cenderung mengganggu ketentraman umum.

  Pemerintah sendiri sepertinya kurang peduli terhadap nasib kaum minoritas seperti waria. Peraturan guna melindungi hak- hak waria kurang diperhatikan. Seringkali aparatur penegak hukum justru melakukan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum waria. Razia yang sering dilakukan polisi terhadap PSK seringkali lebih berat dialami waria dibanding wanita. Saat razia maupun saat di tahanan, waria seringkali dipukuli dan diancam.

  Ditambah lagi dengan tidak adanya perlindungan hukum bagi waria yang mengalami tindak kejahatan. Kasus- kasus yang masuk seringkali diabaikan dan dalam suatu perselisihan waria seringkali berada di pihak yang dipersalahkan. Banyak kasus penganiayaan bahkan pembunuhan yang terjadi pada waria tidak ditangani dengan baik oleh pihak berwajib.

  Ketidakadilan yang dialami waria di tengah masyarakat mendorong mereka untuk berusaha bertahan hidup sendiri dengan aturan hukumnya sendiri. Hal ini berdampak munculnya kasus- kasus kriminalitas yang dilakukan waria, yang berujung semakin sulit bagi waria mendapatkan simpati masyarakat.

  Kasus- kasus kejahatan yang melibatkan waria baik waria sebagai pelaku maupun korban seringkali tidak adil bagi waria. Perbedaan penampilan yang ditunjukan waria menimbulkan reaksi- reaksi negatif terhadap waria. Waria seringkali dipersalahkan dan ketika korbannya waria aparat berwajib seringkali tutup mata dan berpura- pura tidak tahu.

  Kurangnya wawasan di pihak waria membuat mereka menerima perlakuan tidak adil tersebut dengan balas melakukan kekerasan. Sehingga waria selalu dikaitkan dengan tindak kejahatan.

  Pekerjaan kebanyakan waria sebagai PSK, memunculkan anggapan bahwa semua waria PSK dan membuat masyarakat semakin menjauh dan tidak mau peduli.

  Sulitnya mendapat pekerjaan dan perlindungan hukum bagi waria akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap waria, dipertegas dengan kesulitan mendapat status kewarganegaraan waria yang tidak mendapat kepastian. Dalam kartu identitas kependudukan warga Indonesia selain nama, dan agama, jenis kelamin juga menjadi salah satu identitas warga Indonesia. Para waria menginginkan agar mereka memiliki identitasnya tersendiri sebagai waria. Keinginan kuat untuk diakui sebagai diri sendiri membuat waria enggan disebut sebagai laki- laki, namun pemerintah dan masyarakat tidak berkenan menyatakan waria sebagai wanita. Para waria yang ingin tetap diizinkan berpenampilan sebagai wanita, mengalami kesulitan saat di Kartu Tanda Penduduk ditulis sebagai laki- laki. Masalah KTP membuat waria kesulitan saat melakukan segala urusan administrasi dalam kependudukan dan pekerjaan.

  Memperjuangkan hak transeksual, di antaranya adalah memperjuangkan hak untuk bekerja pada sektor formal dan juga hak atas legal formal identitas mereka melalui proses yang panjang dan rumit. Perjuangan untuk pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan juga pemajuan Hak Asasi Manusia juga ditempuh melalui jalur legislasi. Jalur pemenuhan Hak Asasi Manusia diperjuangkan keras ketika Amandemen Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang tercantum dalam UUD pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia.

2.4 Pandangan Agama terhadap Waria

  Hal serupa juga seringkali timbul dalam hal keagamaan, waria yang merupakan warga negara Indonesia juga beragama. Dalam ajaran agama Islam laki- laki dan perempuan duduk terpisah saat berada di Mesjid, hal ini menjadi masalah tersendiri bagi waria soal pembagian tempat ibadah. Ikut di barisan wanita, atau laki- laki, memakai mukenah atau sarung dan peci. Terkadang ada waria yang memilih duduk di barisan laki- laki atau secara sembunyi- sembunyi memakai mukenah dan solat sebagai wanita. Dan tidak jarang waria di usir saat memasuki Masjid karena dianggap tidak pantas berada di sana. Diskriminasi yang dialami waria hingga kini belum menemukan titik penyelesaian.

  Kecenderungan beragama pada setiap manusia adalah melalui hubungan primordial, tetapi orientasi agamanya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Misalnya anak yang dilahirkan dalam tradisi Kristiani, secara kultur dia akan menjadi kristiani. Begitu juga bila seorang anak lahir di keluarga yang beragama Islam, secara otomatis dia menjadi muslim.

  Dalam hal orientasi seksual, Islam memberi legitimasi moral bahwa orientasi seksual yang

   benar adalah yang bersifat heteroseksual, tidak kepada yang lain seperti homoseksual .

  Tuhan telah menciptakan manusia dengan berpasang- pasangan, yaitu pasangan manusia adalah laki- laki dengan perempuan. Masalah waria dari sisi agama dapat dilihat dengan lebih jelas dalam kitab- kitab fikih klasik, karena selama ini sumber otoritas yang bisa dibilang mampu mewakili dan cukup rinci dalam membahas persoalan waria adalah fikih.

  Dari sisi fikih nampaknya waria dapat diterima sebagai realitas sehingga sama sekali tidak

  

  ada pengingkaran atas keberadaan mereka . Waria dalam kitab fikih disebut dengan khuntsa yang berarti lembut dan pendar. Khustsa juga berarti seseorang yang diragukan jenis kelaminnya, apakah laki- laki atau perempuan, karena memiliki alat kelamin laki- laki dan perempuan secara bersamaan atau pun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin laki- laki maupun perempuan.

  Pandangan fikih seperti ini terkesan positivistik, karena hanya melihat waria dari sisi biologis (alat kelamin), tanpa melihat dari sudut psikologi atau kejiwaan. Padahal persoalan waria tidak dapat disederhanakan hanya dengan tolak ukur alat/ jenis kelamin. Problem waria meliputi berbagai aspek sehingga dalam pemberlakuan hukum pun dia tidak dapat ditentukan hanya dengan salah satu aspek dari sekian banyak aspek. Pandangan fikih yang demikian itu kemudian akan menghasilkan pemahaman yang parsial terhadap konteks waria dan berakibat

   pula pada hukum yang akan diberlakukan .

  27 28 . M. Haryadi, “ Orientasi Seksual dalam Tradisi Islam”, tabloid Sehat, 14 September 2001, hal 4

. Lies Marcoes- Narstir, “ Wandu, Wadam, Waria, Khuntsa, dan Apalagi...; Sebuah Pengantar

Pemetaan Masalah Gender dan Seksualitas Kaum Pasangan Sejenis”, Tabloid Sehat, tahun IV no: 23, P3M, 2000, hal 3. 29 . Zunly Nadia, op. Cit., hal 86

  Pemahaman tentang khuntsa di dalam fikih hanya mengacu pada kasus waria- hermafrodit (dalam perspektif medis). Hal ini terjadi karena pada masa itu problem waria hanya didapati pada kaum waria hermafrodit. Sementara untuk saat ini dalam konteks waria terdapat berbagai macam kasus waria- hermafrodit sampai pada waria- transeksual ( yang saat banyak mendominasi) dan transvestisme yang kesemuanya membutuhkan kejelasan

   status dan hukum, baik dalam hukum negara maupun agama.

  Untuk kasus waria- hermafrodit acuan terhadap aspek lahir mungkin masih bisa diberlakukan, namun untuk kasus waria transeksual dan waria transvestisme di mana kelainan yang terjadi lebih pada aspek psikologi dan bukan pada hal- hal yang lahiriah maka mengacu pada hal- hal lahiriah tetap akan menjadi problem baru jika hukum tersebut diputuskan dan diberlakukan. Bagaimanapun juga fikih adalah produk interpretasi para ulama terhadap syari’ah yang dikembangkan semenjak abad kedua Hijriah dan merupakan sebuah ajaran

   non-dasar, bersifat lokal, elastis dan tidak pemanen.

  Hadis menjadi sumber otoritatif kedua setelah Al-Qur’an seperti tercermin dari firman- firman Allah yang mewajibkan manusia untuk mengikuti wahyu-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Hadis juga merupakan interpretasi awal terhadap Al-Qur’an yang berperan untuk

  

  memberikan bimbingan di dalam praktik aktual umat Islam. Dalam Musnad Ahmad bin

   Hanbal kitab Musnad Bani Hasyim 1878, 2150, 2901, 2984, 2177, dan 3279 dan di dalam

Sunan Al- Darimy, kitabIsti’dzad 2535 diungkapkan bahwa Rasulullah Saw melaknat orang

  yang berpenampilan menyerupai lawan jenisnya, serta orang yang memilih hidup melajang tanpa ikatan perkawinan. Karena hal itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Yang dimaksud dengan orang terlaknat di sini adalah mukhannats yaitu laki- laki yang memakai pakaian 30 31 . Loc. cit . Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al- Qur’an ( Jakarta: Paramadina, 1999),

  hal. 290 32 33 . Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad (Bandung: Pustaka,1995), hal 45 . Abi ‘Abdillah Al- Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, jus II, hal 353 perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki- laki, mereka harus dikeluarkan dari rumah. Yang berarti mereka tidak diterima di dalam masyarakat dan tidak memiliki tempat di surga. Berdasarkan hadis, maka waria-transeksual dan waria-transvestisme dimasukan ke dalam golongan mukhannats yaitu pria yang dengan sadar dan sengaja memakai pakaian wanita, dan wanita yang secara sadar dengan sengaja memakai pakaian pria sebagai kesenangan dan melanggar kodrat, mereka ini diklaim sebagai orang terlaknat.

  Masalah kejelasan status jenis kelamin waria menjadi momok yang belum menemukan titik penyelesaian. Seringkali persoalan bila menyangkut waria, tidak diperhatikan atau malah diabaikan. Sisi religi waria dianggap tidak pantas dan hanya kedok untuk mendapatkan simpati. Padahal dalam kenyataannya, para waria benar- benar tulus menjalani kehidupan agamanya dan mengharapkan penerimaan yang tulus dari pihak keluarga, masyarakat dan pemerintahan. Ketakutan masyarakat terhadap akibat dari penyimpangan waria dan kesulitan dalam memahami persoalan pribadi seorang waria membuat banyak orang memilih untuk memusuhi dan ingin menghancurkan waria sampai ke akar- akarnya.

  Penerimaan waria dalam wacana masyarakat Muslim pada dasarnya berdasarkan hasil produk hukum agama. Kekuatan agama menunjukan kemampuan menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat. Sebagai basis keyakinan dan iman masyarakat, agama mampu mendorong pemeluknya untuk melihat realita sebagai obyek yang dijalani berdasarkan visi teologis agama tersebut. Sedangkan dalam praktiknya perubahan yang di dorong oleh semangat agama terkadang tidak sejalan dengan nilai kesucian agama tersebut.

  Di bandingkan dengan produk agama, negara relatf lebih fleksibel dalam memandang kehidupan waria, walaupun belum mampu menyentuh permasalahan yang lebih esensial di bidang hukum. Posisi waria agaknya hanya disejajarkan dengan individu yang memiliki penyakit sosial, seperti pelacuran dan kriminalitas. Hal ini menempatkan waria dalam kelompok marjinal yang tidak mempengaruhi ataupun menghambat pembangunan.

  Pengadaan panti waria, justru semakin menegaskan posisi mereka sebagai kelompok dengan masalah sosial. Isolasi yang dilakukan memperjelas kedudukan waria sebagai kelompok yang dianggap perlu dikucilkan dan diasingkan dari masyarakat. Respon tersebut bukan berarti kesalaanh pemerintah sepenuhnya, hanya saja cara tersebut justru seakan ingin menghilangkan waria dari masyarakat.

  Pada akhirnya, karena baik hukum maupun agama belum menjamin kehidupan waria sepenuhnya, maka etika sosial dalam masyarakat lah yang bekerja memberi penilaiannya sendiri terhadap waria. Sebagian masyarakat, memandang kehidupan waria sebagai kelompok sosial yang secara historis lebih cenderung di nilai sebagai penyandang penyakit sosial. Dalam masyarakat yang memiliki tatanan sosial yang mapan, sulit untuk menerima kehadiran waria, dengan alasan yang kurang jelas. Namun seringkali kelompok masyarakat yang mapan ini, justru menikmati keberadaan waria dalam tingkatan tertentu seperti perilaku lucu dalam acara televisi atau panggung hiburan. Sikap ambigu ini adalah cermin bagaimana

   masyarakat kelas tertentu menggunakan standar ganda terhadap kehidupan waria.

  Pengakuan sosial merupakan hal yang sangat penting dan mendesak untuk diperhatikan berbagai pihak. Sebab, pengakuan sosial akan berdampak serius pada taraf kehidupan waria selanjutnya. Tanpa pengakuan sosial steriotipe negatif terhadap waria tidak akan pernah berubah. Hal ini dapat berakibat semakin mendalamnya jurang keterasingan secara sosial dan menciptakan bentuk baru subkultur waria dengan berbagai atributnya seperti, bahasa, tata nilai, gaya hidup dan bentuk solidaritasnya tersendiri. Dengan demikian kehidupan waria akan menjadi suatu kehidupan asing yang berada di luar jangkauan kehidupan masyarakat umum. 34

  . Koeswirnarno, “ Waria dalam Ruang Sosial Islam”, hal. 13 Pemberian ruang sosial terhadap waria bukan berarti membenarkan segala bentuk penyimpangan dan memaafkan segala kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan waria apalagi menganggap wajar perilaku dan gaya hidupnya. Namun, memberi ruang gerak sosial sebagai upaya menghubungkan kehidupan waria yang terisolasi dari masyarakat umum dan menciptakan harmonisasi diantara keduanya. Sedangkan dalam agama, pemberian ruang sosial akan memberi wawasan yang mendalam yang lebih mendalam mengenai berbagai sisi kehidupan waria. Memandang waria hanya dalam kerangka teks- teks normatif hanya akan menimbulkan klaim- klaim buruk yang belum tentu benar.

  Jika agama selalu memandang kehidupan waria dalam bentuk hitam-putih, maka teks- teks ajaran agama tidak akan menemukan titik temu terhadap kehidupan nyata seorang waria.

  Dalam masalah ini, persoalan waria sebaiknya dipandang dari berbagai macam latar belakang yang menyebabkan mereka terbentuk menjadi berbagai macam kelompok yang memiliki karakteristik hukum tersendiri. Karena tanpa hukum yang jelas kedudukan mereka dalam kehidupan masyarakat tetap ambigu.

Dokumen yang terkait

BAB II METODE PENELITIAN - Analisis Rasio Keuangan Pada Hotel Mona Plaza Pekanbaru

0 2 43

BAB II KREDIT PEMBIAYAAN DALAM PERBANKAN A. Tinjauan Umum Tentang Kredit - Aspek Yuridis Pemberian Pembiayaan Modal Kerja pada Perbankan Syariah dengan Menggunakan Akad Mudharabah (Studi pada Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama)

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Yuridis Pemberian Pembiayaan Modal Kerja pada Perbankan Syariah dengan Menggunakan Akad Mudharabah (Studi pada Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama)

0 0 14

BAB II PERAN ORGAN PERSEROAN DALAM PENGGUNAAN LABA PERSEROAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Penggunaan Laba Perseroan - Analisa Yuridis Terhadap Penggunaan Laba Perseroan Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisa Yuridis Terhadap Penggunaan Laba Perseroan Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

0 0 24

Tinjauan Hukum Peranan Kawasan Berikat Dalam Proses Eskpor Gliserin (Studi Pada Pt. Musim Mas)

0 3 49

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PROSES PELAKSANAAN EKSPOR-IMPOR - Tinjauan Hukum Peranan Kawasan Berikat Dalam Proses Eskpor Gliserin (Studi Pada Pt. Musim Mas)

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Hukum Peranan Kawasan Berikat Dalam Proses Eskpor Gliserin (Studi Pada Pt. Musim Mas)

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pembuatan pupuk Cair dan Biogas dari Limbah Sayuran

0 1 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Keramik Barium Titanat dengan Kapasitas Produksi 700 Ton/Tahun

1 1 15