ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT PEMERINTAH
DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

(Jurnal)

Oleh
HELI PITRA LIANSA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018

ABSTRAK
ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT PEMERINTAH
DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
Oleh
Heli Pitra Liansa, Firganefi, Budi Rizki Husin
Email : hbujesti@gmail.com


Tindak pidana korupsi telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa (extra- ordinary
crime). Upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa yaitu dengan
langkah-langkah yang tegas. Permasalahan adalah bagaimanakah penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daerah
Kabupaten Lampung Timur? dan Apa saja faktor penghambat dalam
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat
pemerintah daerah Kabupaten Lampung Timur?. Pendekatan yang digunakan yaitu
pendekatan yuridis normatif dan Pendekatan yuridis empiris. Narasumber dalam
penelitian ini penyidik Kepolisian, Jaksa Pidsus dan Akademisi. Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan yang dilakukan, Penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daerah Kabupaten Lampung Timur
dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang dan tahap-tahap penegakan hukum yang
dipakai mengacu pada tahap Formulasi, Aplikasi dan Eksekusi yaitu melalui proses
penyidikan, penuntutan sampai dengan putusan pengadilan, Faktor penghambat
paling dominan adalah faktor penegak hukum itu sendiri dimana aparat penegak hukum
baik polisi maupun jaksa dalam proses penyelidikan sampai tahap eksekusi harus tegas
dan sesuai dengan undang-undang. Saran yang dapat penulis berikan adalah (1)Perlu
aparat penegak hukum yang terlatih, jujur, berintegrasi dan profesional. adanya
koordinasi yang baik antar aparat penegak hukum dalam menangani kasus tindak

pidana korupsi. (2) Hakim dalam menjatuhakan hukuman terhadap pelaku tindak
pidana korupsi harus sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
Kata Kunci : Penegakan Hukum, Tindak Pidana Korupsi, Pejabat Pemerintah
Daerah

ABSTRACT
ANALYSIS OF LAW ENFORCEMENT ON CORRUPTION CRIMES
COMMITTED BY LOCAL GOVERMENT OFFICIALS THE AREA OF
EAST LAMPUNG
By
Heli Pitra Liansa, Firganefi, Budi Rizki Husin
Email : hbujesti@gmail.com

Corruption has become a crime out of the usual (extra ordinary crime). Efforts to
eradicate it’s no longer can be done naturally that is by the frim. The problem is how
law enforcement against corruption committed by government official the area of
east Lampung? And what are the factors in the opposite direction in the enforcement of
legal action againts corruption committed by goverment officials the area of east
Lampung? The approach used is the normative juridical approach and the empirical
judicial approach. The interviewees in this research ar police invistigator, attorney

special crime and academics. Based on the results of research and who
charried out the this cussion, law enforcement against corruption committed by
goverment officials the area of east Lampung was conducted in accordance with the
law and the earli stages of the law enforcement, and refers to the formulation,
application, and execution through the process of in investigation, prosecution to the
coruts decision, the most dominant inhibitors factors is law enforcement where law
enforcement officers both police and attorny in the process of investigation until the
execution must be firm and in accordance with the law. The advice that writers
cant give are (1) there is a needs law enforcement officers are trained, honest,
integrating and professional. The presence of good coordination between law
enforcement in handlink corruption cases. (2) the judge in dropping the punishment of
perpetrators of corruption must be in accordance with applicable law.
Key word : law enforcement officials, criminal of corruption, local goverment officials

I.

PENDAHULUAN

Tindak pidana korupsi telah menjadi suatu
kejahatan yang luar biasa (extra- ordinary

crime). Begitu pula dalam upaya
pemberantasannya tidak
lagi dapat
dilakukan secara biasa, tetapi dituntut
dengan cara yang luar biasa yang
dilakukan dengan
cara-cara
khusus,
langkah-langkah yang tegas dan jelas
dengan melibatkan semua potensi yang
ada
dalam
masyarakat
khususnya
pemerintah
dan
aparat
penegak
hukum.Perbuatan korupsi satu negara
dengan negara lain dari intensitas dan

modus operandinya sangat bergantung
pada kualitas masyarakat, adat-istiadat,
dan sistem penegakan hukum suatu
negara.1
Tindak Pidana Korupsi yang tidak
terkendali akan membawa bencana, tidak
hanya bagi perekonomian nasional
melainkan juga bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Hasil survei Transparansi
Internasional Indonesia (TII) menunjukan
bahwa Indonesia merupakan negara paling
korup nomor 6 (enam) dari 133 negara. Di
kawasan Asia, Bangladesh dan Myanmar
lebih korup dibandingkan Indonesia. Nilai
Indeks Persepsi Korupsi (IPK), ternyata
Indonesia lebih rendah dari pada negara
Papua
Nugini,Vietnam,
Philipina,
Malaysia dan Singapura. Sedangkan pada

tingkat dunia, negara-negara yang ber-IPK
lebih buruk dari Indonesia merupakan
negara yang sedang mengalami konflik.2
Masalah
korupsi
terkait
dengan
kompleksitas masalah, antara lain masalah
moral/sikap mental, masalah pola hidup
kebutuhan
serta
kebudayaan
dan
lingkungan
sosial,
masalah
kebutuhan/tuntutan
ekonomi
dan
kesejahteraan sosial-ekonomi, masalah


struktur/sistem
ekonomi,
masalah
sistem/budaya politik, masalah mekanisme
pembangunan
dan
lemahnya
birokrasi/prosedur administrasi (termasuk
sistem pengawasan) di bidang keuangan
dan pelayanan publik”. 3
Korupsi juga menjadi pintu masuk
berkembang suburnya terorisme dan
kekerasan oleh sebab kesenjangan sosial
dan ketidakadilan masih berlanjut atau
berlangsung sementara sebagian kecil
masyarakat dapat hidup lebih baik, lebih
sejahtera, mewah di tengah kemiskinan
dan
keterbatasan

masyarakat
pada
umumnya. Munculnya aksi-aksi terror
disebabkan
oleh
menganganya
kesenjangan dan ketidak adilan dalam
masyarakat.
Hal yang sering kurang
disadari oleh pelaku-pelaku korupsi, tindak
pidana korupsi merupakan kejahatan
kompleks dan berimplikasi sosial kepada
orang lain karena menyangkut hak orang
lain untuk memperoleh kesejahteraan yang
sama. Bahkan korupsi dapat disebut
sebagai dosa sosial dimana sebuah dosa
atau kejahatan yang dilakukan dan
berdampak bagi banyak orang, nilai
kedosaan jauh lebih besar ketimbang dosa
yang sifatnya personal.4

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor
20
Tahun 2001
dimaksudkan untuk menanggulangi dan
memberantas korupsi. Politik kriminal
merupakan
strategi
penanggulangan
korupsi yang melekat pada Undangundang tersebut. Mengapa dimensi politik
kriminal tidak berfungsi, hal ini terkait
dengan sistem penegakkan hukum di
negara Indonesia yang tidak egaliter.
Sistem penegakkan hukum yang berlaku
dapat menempatkan koruptor tingkat tinggi
diatas hukum. Sistem penegakkan hukum
3

1


Djoko
Sumaryanto,
Pembalikan
Beban
Pembuktian, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2009, hlm. 2.
2
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 78

Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum
Pidana, Penerbit Alumni Bandung, 2003, hlm. 8586
4
Paulus Mujiran, Republik Para Maling,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 2

yang tidak kondusif bagi iklim demokrasi
ini diperparah dengan adanya lembaga
pengampunan bagi konglomerat korup
hanya dengan pertimbangan selera, bukan
dengan pertimbangan hukum.5

Pemberantasan korupsi harus selalu
dijadikan prioritas agenda pemerintahan
untuk ditanggulangi secara serius dan
mendesak serta sebagai bagian dari
program untuk memulihkan kepercayaan
rakyat dan dunia internasional dalam
rangka
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi suatu negara yang bersangkutan,
tidak terkecuali Indonesia.
Penegakan hukum pidana, seperti proses
penegakan hukum pada umumnya,
melibatkan minimal tiga faktor yang
terkait yaitu faktor perundang-undangan,
faktor aparat/badan penegak hukum dan
faktor kesadaran hukum. Pembicaraan
ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan
pembagian tiga komponen sistem hukum,
yaitu substansi hukum, struktur hukum dan
budaya hukum. Dilihat dalam kerangka
sistem peradilan pidana munculnya
lembaga KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) di era reformasi ini menimbulkan
permasalahan karena akan mengganggu
sistem yang telah ada yaitu sistem
peradilan pidana terhadap tindak pidana
korupsi atau sistem penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi.
Kejaksaan Negeri Lampung Timur
menahan Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan (DKP) Kabupaten Lampung
Timur (Lamtim) Usman Effendi karena
perkara permintaan setoran. Kejaksaan
resmi mengeluarkan surat penahanan
terhadap Usman Effendi dengan nomor
surat
perintah
penahan
PRINT02/N.8.17/Fd.1/12/2016. Usman resmi
ditahan di Rumah Tahanan Kelas IIb,
Selasa, sejak pukul 15.00 WIB. Kasi
Pidsus Kejari Lampung Timur M Arief
Ubaidillah menjelaskan Usman diduga

telah melakukan tindak pidana korupsi
berupa permintaan setoran terhadap usaha
pabrik es dan alat berat (eksavator) yang
terdapat
di
Kecamatan
Labuhan
Maringgai.
Padahal
menurut
dia,
permintaan setoran oleh Dinas Kelautan
dan Perikanan belum diatur dalam
peraturan daerah (Perda) kabupaten
setempat. Arief mengatakan permintaan
setoran terjadi sejak Desember 2015
hingga September 2016. Tersangka diduga
kuat telah melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana Primer Pasal 12
huruf e ayat 1 subsider pasal 11 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 yang
diubah jadi UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo
Pasal 64 ayat 1 KUHP. 6
Munculnya masalah tindak pidana korupsi
diantaranya adalah faktor internal dan
faktor eksternal, yang menjadi penyebab
akibat terjadinya korupsi pada faktor
internal adalah sifat rakus atau tamak yang
dimiliki oleh manusia, gaya hidup yang
konsumtif, moral yang kurang kuat.
Sedangkan faktor eksterna penyebab
korupsi antara lain politik, hukum,
ekonomi, organisasi seperti kultur atau
budaya, pimpinan, akuntabilitas dan
manajemen atau sistem.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka
penulis
tertarik
untuk
melakukan
penelitian
dengan
judul
“Analisis
Penegakan Hukum Terhadap Tindak
Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh
Pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten
Lampung Timur”.
Berdasarkan latar belakang tersebut di
atas, permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini yaitu:
1.

6

5

Evi Hartanti, Opcit, hlm. 4.

Bagaimanakah penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah
daerah Kabupaten Lampung Timur?

http://lampung.antaranews.com/berita/293619/keja
ri-lampung-timur-tahan-kadis-dkp, diakses tanggal
28 Agustus 2017, Pukul 14.45 WIB.

2. Apa saja faktor penghambat dalam
penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah daerah Kabupaten
Lampung Timur?
Pada penelitian ini penulis melakukan dua
pendekatan yaitu pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris.
Prosedur pengumpulan data dalam
penulisan penelitian ini dengan cara studi
kepustakaan dan lapangan. Data yang
diperoleh dikelola dengan menggunakan
metode induktif.

II. PEMBAHASAN
A. Penegakan
Hukum
Terhadap
Tindak Pidana Korupsi yang
Dilakukan
Oleh
Pejabat
Pemerintah Daerah Kabupaten
Lampung Timur
Berdasarkan hasil wawancara yang telah
penulis lakukan, diperoleh jawaban atas
permasalahan mengenai penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh pejabat Pemerintah Daerah
Kabupaten Lampung Timur adalah sebagai
berikut :
Penegakan
hukum
pidana
sebagai
pelaksanaan dari politik hukum pidana
harus melalui beberapa tahap kebijakan
yaitu7:
1. Tahap Formulasi
Tahap
formulasi
yaitu
tahap
penegakan hukum pidana in abstracto
oleh badan pembuat undang-undang.
2. Tahap Aplikasi
Tahap aplikasi yaitu tahap penegakan
hukum pidana (tahap penerapan
hukum pidana) oleh aparat-aparat
penegak hukum mulai dari Kepolisian
hingga Pengadilan.
3. Tahap Eksekusi
7

Roeslah Saleh, Pembinana Cita Hukum dan AsasAsas Hukum Nasional, (Jakarta: Karya Dunia
Pikir.,1986), Hlm. 15

Tahap
ekseskusi
yaitu
tahap
penegakan (pelaksanaan)
hukum
secara konkret oleh aparat-aparat
pelaksana pidana.
Sesuai dengan teori di atas maka
penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh pejabat
Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung
Timur dalam penelitian ini termasuk dalam
tahapan aplikasi yang meliputi proses
penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan
oleh
kejaksaan
dan
penjatuhan
hukuman/putusan hakim.
Kenyataan dilapangan, penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh pejabat Pemerintah Daerah
Kabupaten Lampung Timur dilaksanakan
sebagai berikut :
1.

Penegakan Hukum oleh Kepolisian

Menurut Undang-Undang No 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia Pasal 1 ayat (13) Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam Undang-Undang untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Menurut Hendra Susanto penyidikan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh pejabat Pemerintah
Daerah Lampung Timur merupakan bagian
dari tugas kepolisian sebagai penegak
hukum
yang
berupaya
semaksimal
mungkin dalam melakukan berbagai
langkah strategis dan konstruktif dalam
rangka terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum.8
Penyelidikan dan penyidikan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi yang
8

Hasil wawancara penulis dengan Penyidik unit
Tipikor Polres Lampung Timur Hendra Susanto ,
pada tanggal 14 November 2017.

dilakukan oleh pejabat Pemerintah Daerah
Lampung Timur, dilaksanakan setelah
menerima laporan dari masyarakat bahwa
adanya kasus tindak pidana korupsi berupa
permintaan setoran terhadap usaha pabrik
es dan alat berat (eksavator) yang berada
di Kabupaten Lmapung Timur. Atas dasar
laporan tersebut maka dilaksanakanlah
tindakan awal, yaitu penyelidikan, karena
laporan tersebut harus didukung oleh
bukti-bukti yang kuat untuk menentukan
apakah termasuk sebagai tindak pidana
korupsi atau bukan. Dalam penyelidikan
ini, rangkaian tindakan penyidik bertujuan
untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana korupsi, guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan.

M Arief Ubaidillah menjelaskan Usman
diduga telah melakukan tindak pidana
korupsi
berupa permintaan
setoran
terhadap usaha pabrik es dan alat berat
(eksavator) yang terdapat di Kecamatan
Labuhan Maringgai. Padahal menurut dia,
permintaan setoran oleh Dinas Kelautan
dan Perikanan belum diatur dalam
peraturan daerah (Perda) kabupaten
setempat. Arief mengatakan permintaan
setoran terjadi sejak Desember 2015
hingga September 2016. Tersangka diduga
kuat telah melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana primer pasal 12 huruf
e ayat 1 subsider pasal 11 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah jadi
UU Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 64
ayat 1 KUHP.

Tindakan penyelidikan dimaksud untuk
menemukan peristiwa pidana dan tidak
mencari/menemukan tersangka. Tindakan
penyidikan tidak harus didahului dengan
penyelidikan.
Manakala
penyidik
menemukan peristiwa yang dinilai sebagai
tindak pidana, dapat segera melakukan
penyidikan. Setelah jelas dan cukup bukti
bahwa laporan masyarakat tersebut benar,
dan memang terdapat bukti awal bahwa
telah terjadi tindak pidana korupsi maka
dilaksanakan penyidikan.

Penegakan hukum yang dilakukan oleh
Kejaksaan terhadap tindak pidana korupsi
memiliki tata cara tersendiri sehingga
dalam melakukan sebuah penegakan
hukum terhadap suatu perkara tindak
pidana korupsi harus melalui beberapa
tahapan agar terciptanya sebuah penegakan
hukum yang bersih, adil, jujur dan
memiliki kepastian hukum yang jelas.
Tahap-tahapan
tersebut
menunjukan
sebuah pola yang terdapat dalam
penanganan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Kejaksaan sebagai instansi
penegak hukum yang memiliki peran yang
sangat penting dalam penanganan terhadap
tindak pidana korupsi yang diwujudkan
dalam sebuah fondasi atau dasar hukum
yang kuat yang terencana dan sistematis.

2.

Penegakan Hukum oleh Kejaksaan

Kejaksaan sebagai salah satu instansi
penegak hukum yang memiliki peran yang
sangat penting dalam penanganan terhadap
tindak pidana korupsi yang diwujudkan
dalam sebuah fondasi atau dasar hukum
yang kuat yang terencana dan sistematis.
Jaksa sebagai salah satu aparat penegak
hukum di dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi selain
sebagai penuntut umum jaksa juga
memiliki wewenang dalam penyidikan
seperti yang telah diatur dalam Pasal 30
ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004
tentang
Kejaksaan
Republik
Indonesia.

Menurut
Tri
Andrisman kejaksaan
merupakan
lembaga
Negara
yang
melaksanakan
kekuasaan
negara,
khususnya dibidang penuntuatan. Sebagai
badan yang berwenang dalam penegakan
hukum dan keadilan, kejaksaan dipimpin
oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan
bertanggungjawab
kepada
Presiden.
Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan
Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan
Negara khususnya dibidang penuntutan,
dimana semuanya merupakan satu

kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan.
Setelah tahap aplikasi dilaksanakan maka
selanjutnya adalah tahap ekseskusi yaitu
tahap penegakan (pelaksanaan) hukum
secara
konkret
oleh
aparat-aparat
pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparataparat
pelaksana
pidana
bertugas
menegakan peraturan perundang-undangan
pidana yang telah ditetapkan dalam
putusan pengadilan. Dalam melaksanakan
pemidanaan yang telah ditetapkan dalam
putusan
pengadilan,
aparat-aparat
pelaksana pidana itu dalam melaksanakan
tugasnya harus berpedoman kepada
peraturan perundang-undangan pidana
yang dibuat oleh pembuat undang-undang
dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.
Menurut Hendra SusantoTahap eksekusi
dalam wujud melaksanakan putusan
pengadilan
yang telah
mempunyai
kekuatan hukum tetap. Tahap ini
hakekatnya merupakan tahap “penjualan”
yang
harus
membuat
rasa
puas
“stakeholder” atas output penanganan
perkara tindak pidana korupsi.
Ketiga tahap kebijakan penegakan hukum
pidana tersebut terkandung tiga kekuasaan
atau kewenangan yaitu, kekuasaan
legislatif pada tahap formulasi, yaitu
kekuasaan legislatif dalam menetapkan
atau merumuskan perbuatan apa yang
dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat
apa yang dapat dikenakan. Pada tahap ini
kebijakan legislatif ditetapkan system
pemidanaan, pada hakekatnya merupakan
sistem kewenangan atau kekuasaan
menjatuhkan pidana. Yang kedua adalah
kekuasaan yudikatif pada tahap aplikasi
dalam menerapkan hukum pidana, dan
kekuasaan eksekutif pada tahap eksekusi
dalam hal melaksanakan hukum pidana.
Berdasarkan paparan diatas bahwa
penegakan hukum pidana merupakan suatu
upaya yang diterapkan guna mencapai
tujuan dari hukum itu sendiri. Tujuan
pembentukan hukum tidak terlepas dari

politik hukum pidana yang terdiri dari tiga
tahap, yaitu tahap formulasi, tahap
aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap
formulasi mengandung arti pembuat
undang-undang
melakukan
kegiatan
memilih nilai-nilai yang sesuai dengan
keadaan dan situasi masa kini dan masa
yang
akan
datang,
kemudian
merumuskannya dalam bentuk peraturan
perundang-undangan
pidana
untuk
mencapai
hasil
perundang-undangan
pidana yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Setelah terbentuknya suatu perundangundangan yang baik maka akan masuk ke
dalam tahap aplikasi, yaitu tahap
penegakan hukum pidana (tahap penerapan
hukum pidana) oleh aparat Kepolisian
sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat
penegak hukum bertugas menegakan serta
menerapkan
peraturan
perundangundangan pidana yang telah dibuat oleh
pembuat
undang-undang.
Dalam
melaksanakan tugas ini aparat penegak
hukum harus berpegang teguh pada nilainilai keadilan dan daya guna.
Penegakan
hukum
pada
dasarnya
menyangkut kegiatan penindakan setiap
pelanggaran atau penyimpangan terhadap
peraturan perundang-undangan, khususnya
yang lebih sempit lagi, melalui proses
peradilan pidana yang melibatkan peran
kepolisian, kejaksaan dan badan peradilan.
Terdakwa Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan (DKP) Kabupaten Lampung
Timur (Lamtim) Usman Effendi terbukti
bersalah melakukan Tindak Pidana
“dengan
tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau
kedudukan
yang
dapat
merugikan
keuangan negara atau perekonomian
negara” sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Korupsi Jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. pasal 18 Undang-

hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
tersebut kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang
sah,
sehingga
hakim
memperoleh keyakinan bahwa tindak
pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah
yang
bersalah
melakukannya. Pasal 184 menyatakan
bahwa alat bukti sah yang dimaksud
adalah : (a). Keterangan Saksi; (b).
Keterangan Ahli; (c). Surat; (d).
Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa
atau hal yang secara umum sudah
diketahui sehingga tidak perlu
dibuktika n. 10
Berdasarkan uraian diatas maka dapat
disimpulkan bahwa penyidikan dalam
mengungkap tindak pidana korupsi
yang dilakukan Kepolisian belum
tentu dapat mengumpulkan semua alat
bukti yang sah tersebut, namun
demikian
penyidik
Kepolisian
berusaha secara maksimal untuk
melaksanakan tugas penyidikan sesuai
dengan
peraturan
perundangundangan yang berlaku.

Undang Nomor
31
Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor : 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
karena perkara permintaan setoran.
Kejaksaan resmi mengeluarkan surat
penahanan terhadap Usman Effendi
dengan nomor surat perintah penahan
PRINT-02/N.8.17/Fd.1/12/2016.
Usman
resmi ditahan di Rumah Tahanan Kelas
IIb, Selasa, sejak pukul 15.00 WIB.
Usman diduga telah melakukan tindak
pidana korupsi berupa permintaan setoran
terhadap usaha pabrik es dan alat berat
(eksavator) yang terdapat di Kecamatan
Labuhan Maringgai. Tersangka diduga
kuat telah melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana primer pasal 12 huruf
e ayat 1 subsider pasal 11 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah jadi
UU Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 64
ayat 1 KUHP.9
B. Faktor
Penghambat
dalam
Penegakan
Hukum
Terhadap
Tindak Pidana Korupsi yang
Dilakukan Oleh Pejabat Pemerintah
Daerah Kabupaten Lampung Timur
Berdasarkan hasil wawancara yang telah
penulis lakukan, diperoleh jawaban atas
permasalahan mengenai penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh pejabat Pemerintah Daerah
Kabupaten
Lampung Timur
faktor
penghambat dalam adalah sebagai berikut:
1. Faktor hukum nya sendiri
Menurut hasil wawancara dengan
Hendra Susanto faktor hukum nya
sendiri dapat menghambat penegakan
hukum terhadap pelaku tindak pidana
korupsi adalah adanya ketentuan Pasal
183 KUHAP, dalam hal menjatuhkan
pidana kepada terdakwa, seorang

9

Hasil wawancara dengan Tri Andrisman, S. H.,
M. H. Akademisi Hukum Pidana Universitas
Lampung, pada tanggal 25 Oktober 2017.

2. Faktor Penegak Hukum
Menurut Tri Andrisman sektor yang
dinilai masih lemah dalam penegakan
hukum tindak pidana korupsi adalah
penegak
hukum
itu
sendiri.
Diperlukan aparatur penegak hukum
yang terlatih, jujur, berintegrasi dan
profesional.
Agar
aparat-aparat
penegak hukum tersebut dapat
membongkar perkara-perkara korupsi
yang berani menindak siapa saja yang
salah. Tidak seperti yang terjadi saat
ini dimana para penegak hukum tidak
dapat
menggunakan
sengatnya
(kewenangan)
ketika
berhadapan
dengan tindak pidana yang di aktori
oleh petinggi-petinggi atau para
pejabat begara. Oleh sebab faktor
penegak hukum ini menjadi PR besar
negara yang harus dibenahi untuk
10

Hasil wawancara penulis dengan Penyidik unit
Tipikor Polres Lampung Timur Hendra Susanto ,
pada tanggal 14 November 2017.

terciptanya penegakan hukum tindak
pidana korupsi di Indonesia.11
Menurut penulis jika sektor aparat
penegak hukum sudah dibenahi dan
bisa
menjalankan
tugas
dan
kewajibannya. Diharapkan aparat
penegak hukum dapat membongkar
kasus-kasus korupsi dan agenda
pemberantasan korupsi akan bergulir
dan didukung oleh masyarakat yang
memang sudah lama mengharapkan
adanya tindakan tegas dari para
penegak hukum.
3. Faktor sarana dan fasilitas
Menurut M Arief Ubadillah kesadaran
yang menyebabkan hukum merupakan
instrumen untuk mewujudkan tujuantujuan tertentu. Menjadikan hukum
menjadikan sarana yang secara sadar
dan aktif digunakan untuk mengatur
masyarakat, dengan menggunakan
peraturan-peraturan
hukum
yang
dibuat dengan sengaja. Dalam konteks
yang demikian ini, sudah tentu harus
diikuti
dan
diperhatikan
perkembangan-perkembangan
yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat
sebagai basis sosial. 12
Berdasarkan uraian diatas maka dapat
dinyatakan bahwa faktor sarana dan
prasarana yang lengkap sangat
diperlukan dalam proses penyidikan
tindak pidana korupsi. Sehingga
kurang memadainya sarana dan
prasarana
yang
tersedia
dapat
menghambat
proses
penyidikan.
Kurangnya dukungan sarana dan
prasarana ini akan berdampak pada
sulitnya proses pembuktian tindak
pidana.
4. Faktor Masyarakat
Faktor masyarakat merupakan bagian
yang terpenting dalam menentukan
11

Hasil wawancara dengan Tri Andrisman, S. H.,
M. H. Akademisi Hukum Pidana Universitas
Lampung, pada tanggal 25 Oktober 2017.
12
Hasil wawancara dengan M Arief Ubaidillah, S.
H., M. H. Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Lampung
Timur, pada tanggal 14 November 2017.

penegak hukum adalah kesadaran
hukum masyarakat. Semakin tinggi
kesadaran hukum masyarakat maka
akan
semakin
memungkinkan
penegakan
hukum yang baik.
Sebaliknya semakin rendah tingkat
kesadaran hukum masyarakat, maka
akan
semakin
sukar
untuk
melaksanakan penegakan hukum yang
baik. Menurut Satjipto Rahardjo
sendiri bahwa kontrol sosial adalah
suatu proses yang dilakukan untuk
mempengaruhi
orang-orang
agar
bertingkah laku sesuai dengan harapan
masyarakat, kontrol sosial tersebut
dijalankan dengan menggerakkan
berbagai aktivitas yang melibatkan
penggunaan kekuasaan negara sebagai
suatu lembaga yang diorganisasi
secara politik, melalui lembagalembaga yang dibentuknya.
Masyarakat diharapakan memiliki
kepedulian dan keberanian dalam
melaporkan apabila dirasa terjadinya
tindak pidana korupsi karena tindak
pidana korupsi akan merugiakan
masyarakat itu sendiri. Diharapkan
masyarakat akan lebih mendukung
keberhasilan
proses
penyidikan
dengan semakin aktifnya dukungan
dari masyarakat maka akan semakin
optimal pada upaya penegak hukum.
5. Faktor Kebudayaan
Faktor Kebudayaan merupakan budaya
sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
di dasarkan pada karsa manusia dalam
pergaulan hidup. Kebudayaan Indonesia
merupakan dasar dari berlakunya
hukum adat, sehingga berlakunya
hukum tertulis (perundang-undangan)
harus mencerminkan nilai-nilai yang
menjadi dasar hukum adat.
Faktor yang paling relevan dalam
penegakan hukum dalam tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh pejabat
pemerintah daerah adalah faktor
penegak hukum itu sendiri dimana

aparat penegak hukum baik polisi
maupun
jaksa
dalam
proses
penyelidikan sampai tahap eksekusi
harus tegas dan sesuai dengan undangundang yang mengatur agar dapat
terciptanya keadilan dan aparat penegak
hukum dalam menjatuhi hukuman harus
sesuai
dengan
perbuatan
yang
dilakukan pelaku tindak pidana korupsi
agar dapat memberikan efek jera bagi
pejabat pemerintah yang dimana
seharusnya di percaya masyarakat
dalam mengelola pemerintahan.

III. PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan yang telah dilakukan dan
diuraikan penulis, maka dapat disimpulkan
yaitu:
1. Penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah daerah Kabupaten
Lampung Timur harus dilaksanakan
sesuai dengan Undang-undang yang
telah mengatur tindak pidana tersebut
dan tahap-tahap penegakan hukum
yang dipakai mengacu pada tahap
Formulasi, Aplikasi dan Eksekusi
yaitu melalui proses penyidikan,
penuntut umum serta proses peradilan,
pelaku didakwa melanggar pasal 12
huruf e ayat 1 subsider pasal 11
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 yang diubah jadi UU Nomor 20
Tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
Bahwa perbuatan yang dilakukan
terdakwa merupakan perbuatan yang
dapat dipertanggungjawabkan karena
perbuatan tersebut telah melawan
hukum dan terdapat unsur-unsur
tindak pidana yang telah terbukti dan
dapat dipertanggungjawabkan.
2. Faktor penghambat dalam penegakan
hukum terhadap tindak pidana korupsi

yang
dilakukan
oleh
pejabat
pemerintah
daerah
Kabupaten
Lampung Timur adalah :
1) Faktor hukum nya sendiri, yaitu
ada kemungkinan terjadi ketidak
cocokan
dalam
peraturan
perundang-undangan
mengenai
bidang bidang kehidupan tertentu.
Kemungkinan
lainnya
adalah
ketidakcocokan antara peraturan
perundang
undangan
dengan
hukum tidak tertulis atau hukum
kebiasaan. ancaman hukuman mati
dalam Pasal 2 Ayat (2) Undangundang No. 31 tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi, sampai
dengan saat ini belum pernah
didakwakan
ataupun
menjadi
landasan vonis hakim.
2) Faktor penegak hukum, faktor
aparat penegak hukum yang
menghambat proses penegakan
hukum dalam tindak pidana
korupsi adalah secara kualitas para
penegak hukum dalam menangani
perkara tindak pidana korupsi tidak
jujur dan profesional dalam
mengungkap perkara tindak pidana
korupsi, kemudian dalam hal
pembuktian tindak pidana korupsi
harus mempunyai sumber daya
manusia yang cukup baik, seperti
tingkat
pendidikan
dan
pengetahuan
untuk
dapat
membuktikan telah terjadi tindak
pidana korupsi dan harus sesuai
dengan undang-undang.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegak hukum, yaitu
seperti mencakup tenaga manusia
yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan
yang memadai, keuangan yang
cukup. Kurangnya fasilitas yang
memadai
menyebabkan
penegakan hukum tidak akan
berjalan dengan semestinya.
4) Faktor masyarakat, yakni bagian
yang terpenting dalam menentukan

penegak hukum adalah kesadaran
hukum masyarakat. Semakin tinggi
kesadaran hukum masyarakat maka
akan
semakin
memungkinkan
penegakan
hukum yang baik
khususnya dalam mengungkap
kasus tindak pidana korupsi.
5) Faktor kebudayaan, korupsi di
Indonesia sudah menjadi suatu
kebiasan yang membudaya dalam
masyarakat khususnya pada pejabat
Pemerintah.

B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas maka
dalam hal ini penulis dapat memberikan
saran:
1. Perlu aparat penegak hukum yang
terlatih,
jujur,
berintegrasi
dan
profesional. Agar aparat-aparat penegak
hukum tersebut dapat membongkar
perkara-perkara korupsi yang berani
menindak siapa saja yang salah. Serta
adanya koordinasi yang baik antar
aparat
penegak
hukum
dalam
menangani kasus tindak pidana korupsi.
2. Hakim dalam menjatuhakan hukuman
dalam pelaku tindak pidana korupsi
harus dapat menunjukan kepada
masyarakat bahwa hukum tidak lemah
dan akan menghukum siapapun yang
melakukan tindak pidana korupsi sesuai
dengan peraturan undang-undang yang
berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Djoko Sumaryanto, Pembalikan Beban
Pembuktian,
Prestasi
Pustaka,
Jakarta, 2009
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2005

Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta
Hukum Pidana, Penerbit Alumni
Bandung, 2003
Paulus Mujiran, Republik Para Maling,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Roeslah Saleh, Pembinana Cita Hukum
dan Asas-Asas Hukum Nasional,
(Jakarta: Karya Dunia Pikir.,1986),
Hlm. 15
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo.
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958
tentang Pemberlakukan Peraturan Hukum
Pidana di Seluruh Indonesia (KUHP)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
No Hp : 085268914319