Menerapkan Paradigma Konstruktivisme melalui Strategi Belajar Kooperatif dalam Pembelajaran Bahasa

  

JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 2, OKTOBER 2002: 115-131

Menerapkan Paradigma Konstruktivisme melalui

Strategi Belajar Kooperatif dalam

  

Pembelajaran Bahasa

  • *

    Abstract: Constructivist learning environment is a place where learners may work

A. Syukur Ghazali

  

together and support each other as they use a variety of tools and information

resources in completing their academic tasks, in pursuing of their learning goals, and

solving problems. Cooperative Learning (CL) is an instructional method in which

small groups of students work together and help each other in completing their

academic tasks. Student-student interactions in CL can present students with a range

of opportunities for acquiring better language performance because it may provide

opportunities to learn new vocabularies and use them when they participate in their

small group conversation they can understand. In CL they have many chances to hear

language that is modified to meet their needs and to produce language understandable

to others. The CL may be good for second language learners as to Indonesian langu-

age students.

  

Kata kunci: lingkungan belajar konstruktivis, pembelajaran kooperatif, pembelajaran

bahasa

  Dalam majalah mingguan Tempo 9 Juni 2002, Donny Gahral Adian, penulis kolom pembahasan buku baru tentang pemikiran Foucault berjudul “Tubuh yang Rasis” karya Seno Joko Suyono, mengajak kita membayangkan sebuah kilas balik tentang potret ma- sa lalu kita yang buram: perilaku kita yang cenderung rasis. Hari Senin Pukul 6.30, siswa sudah harus berjajar rapi dalam keadaan siap di lapangan untuk mengikuti sebuah upacara yang syarat dengan rutinitas dan hampir tanpa makna. Pukul, 6.50 terdengar lonceng tanda upacara akan dimulai. Pukul 07.00 apel bendera berlangsung. Pasukan pengibar bendera, komandan upacara, kelompok paduan suara, pemimpin upacara, guru-guru, dan siswa sudah hadir untuk mengikuti upacara dengan “hikmat”. Kegiatan yang berjalan dengan jadwal yang ketat itu terjadi ibarat “ritus” yang koordinasi, urut- urutan acara, dan administrasinya, tidak boleh geser setapak pun.

  Kejadian di dalam kelas pun tidak banyak berbeda dengan gambaran perilaku rasis yang dengan gaya sarkastis disebarkan bagai debu mengelucak mata kita bersama. Be- berapa hal yang amat mewarnai kelas kita adalah terlaksananya pelajaran yang didomi- nasi oleh guru, pelajaran yang banyak berorientasi pada buku teks, kurangnya penghar-

A. Syukur Ghazali adalah dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.

  

116 JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 2, OKTOBER 2002: 115-131

  gaan terhadap kemampuan berpikir Murid, dan pelaksanaan muridan yang berpegang teguh secara kaku terhadap penguasaan ini materi pelajaran seperti dituntut oleh kuri- kulum. Begitu kejadian ini kita ikuti secara rutin bertahun-tahun.

  Tiba-tiba saja kita sadar bahwa perilaku kita yang rasis membawa dampak yang kurang membahagiakan bagi lembaga penghasil guru. Sikap yang kita lakukan dengan patuh itu menghasilkan Murid yang kurang berinisiatif, punya orientasi ke depan, berani menghadapi resiko jika dianggap bahwa pikiran lama yang kita hasilkan amat jauh gambarannya dari seorang pemikir yang bermanfaat untuk orang lain.

  Untuk menciptakan suasana yang hidup di dalam kelas, Guru perlu melakukan perubahan paradigma pembelajaran, yakni berupaya menciptakan lingkungan yang da- pat membuat murid belajar hal-hal seperti mendorong dan memberanikan Murid untuk berinteraksi satu sama lain, memulai pembelajaran yang memberikan kondisi untuk ter- ciptanya hubungan yang kooperatif, dan memberikan kesempatan kepada Murid untuk bekerja secara interdisiplin. Selain itu, guru perlu mengajak murid untuk menyadari, bahwa atmosfer pembelajaran seperti disebutkan sebelumnya itu akan terwujud apabila murid memiliki tanggung-jawab yang besar bagi kemajuan dirinya sendiri. Apabila guru dan murid sudah mengalami perubahan sikap yang demikian, maka kegiatan pembel- ajaran di dalam kelas akan menjadikan Murid yang selalu berpikir dan berpikir ulang, bersemangat mendemonstrasikan kemampuannya, dan acapkali mencari kesempatan untuk memamerkan hasil belajarnya. Perubahan paradigma seperti inilah yang ingin diwujudkan di dalam lingkungan kelas yang konstruktivistik.

PEMBELAJARAN MENURUT KONSEP KONSTRUKTIVISME

  Menurut konsep konstruktivisme, pengetahuan seseorang bersifat temporer, terus berkembang, terbentuk dengan mediasi masyarakat dan budaya. Pengetahuan itu tidak pernah berhenti berkembang. Pengetahuan dalam diri seseorang terbentuk ketika sese- orang mengalami tempaan kognitif. Melalui perspektif ini belajar dapat dipahami seba- gai proses terbentuknya konflik kognitif yang bergulir dengan sendirinya dalam diri seseorang ketika yang bersangkutan memperoleh pengalaman kongkrit, wacana kolabo- ratif, dan kegiatan melakukan refleksi.

  Para pendidik yang telah mencoba mewujudkan paradigma konstruktivisme di dalam kelas kemudian mendeskripsikan prinsip-prinsip pembelajaran berdasarkan para- digma tersebut. Catherine Twomey Fosnot, ketika memberikan pengantarnya untuk bu- ku berjudul In Search of Understanding the Case for Constructivist Classrooms karya Grennon Brooks dan Brooks (1993) memformulasikan 5 prinsip belajar menurut para- digma konstruktivisme yang satu sama lain berjalin berkelindan, yaitu: (1) menghadap- kan peserta didik kepada problem yang saling berkaitan; (2) membuat struktur pembel- ajaran lewat konsep pokok dan di sekitar pikiran dasarnya; (3) mendorong dan meng- hargai munculnya pandangan dari dalam diri peserta didik; (4) kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan dan kemauan peserta didik, dan (5) selalu menilai kemajuan peserta didik melalui konteks pembelajaran. Kelima prinsip akan menjadi lebih hidup subur di dalam kelas apabila guru dengan ikhlas menerima dan mendorong tumbuhnya otonomi dalam diri siswa, data mentah hasil belajar dan sumber utama rekaman hasil belajar lainnya dijadikan dasar untuk meneliti kemajuan belajar siswa. Kelas akan menjadi hidup dan suasana kelas konstruktuvisme akan mendapatkan lahan yang subur apabila guru menerima dengan dada terbuka dan memberikan tempat terhadap munculnya pi-

  Ghazali, Menerapkan Paradigma Konstruktivisme melalui Strategi Belajara Kooperatif 117

  kiran siswa, rasa ingin tahu, keinginan meneliti, dialog guru-siswa dan siswa-siswa, serta keberanian mempersoalkan sesuatu yang belum jelas Kelima ciri di atas bertolak belakang dengan pola belajar-mengajar konvensional yang dikenal memiliki ciri-ciri berikut: (1) pendidik yang banyak berbicara di dalam ke- las, (2) pembelajaran banyak ditekankan pada penggunaan buku teks, (3) meskipun mengaku menggunakan strategi belajar kooperatif, pendidik jarang memberikan kesem- patan kepada murid untuk bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas yang mestinya dapat diselesaikan bersama oleh siswa, (4) menyuruh peserta didik mengerjakan tugas mandiri padahal tugasnya tergolong low level skill yang tidak menuntut kemampuan berpikir rumit, dan (5) Guru kurang menghargai kemampuan berpikir peserta didik. Kebanyakan pendidik tidak membuat peserta didik mampu berpikir dengan membiasakan mereka berhadapan dengan isu yang menantang, dan acapkali meminta Murid hanya memberi- kan satu jawaban yang benar, (6) Pendidikan di sekolah dirumuskan sebagai dunia yang pasti. Peserta didik datang ke sekolah untuk tahu hal yang pasti tersebut, dan ini pun sepenuhnya disediakan oleh guru. Tidak ada kemungkinan bagi siswa untuk mempero- leh sesuatu yang lain yang ingin diketahuinya.

  Berbeda dengan ciri kelas konvensional di atas, kelas konstruktivistik mempunyai ciri penanda yang berbeda secara signifikan dengan keadaan kelas yang tidak berwa- wasan konstruktivisme. Ciri yang dimaksud adalah seperti berikut ini.

  1. Guru akan selalu berusaha menciptakan kelas yang dapat membuat siswa berani berinteraksi.

  2. Kelas selalu didorong untuk bekerja sama antar murid dan munculnya inisiatif bekerjasama tersebut mendapatkan penghargaan.

  3. Untuk memberikan kesadaran kepada siswa bahwa pelajaran yang dipelajarinya itu bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, guru memberikan tugas-tugas dan materi yang interdisiplin. Untuk itu, guru lain dari bidang studi yang berbeda dapat hadir di suatu kelas untuk menyaksikan dan memberikan penilaian terhadap kemajuan belajar siswa.

  4. Memberikan ruang kepada peserta didik yang suka melakukan sesuatu yang beresiko, misalnya dengan memberikan tugas-tugas yang penuh tantangan.

  5. Suasana yang kolaboratif selalu diupayakan diciptakan di dalam kelas. Karena itu guru perlu menghindari munculnya kebiasaan peserta didik yang acapkali bertindak mencari “menang” sendiri dan tidak mau menerima dan menghargai pendapat temannya.

  Untuk dapat mewujudkan kelas dengan ciri-ciri di atas diperlukan pendidik de- ngan perspektif konstruktivisme. Pendidik dikatakan mempunyai ciri konstruktivisme apabila dirinya mampu memperlihatkan perilaku seperti berikut ini: 1. memberikan dorongan dan menerima kemandirian dan inisiatif peserta didik; 2. membiasakan peserta didik berhadapan dengan beragam data: data asli (alamiah), manipulatif, interaktif, atau benda nyata;

  3. merumuskan tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didiknya dengan rumusan tujuan seperti klasifikasikanlah, analisislah, ramalkan, atau buatlah kreasi sesuai dengan pengalaman yang kamu miliki; 4. tidak berkeberatan mengubah strategi pembelajaran, isi atau arah pelajaran sesuai dengan tuntutan keadaan, terutama apabila hal tersebut lebih membawa keuntungan di pihak peserta didik;

  

118 JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 2, OKTOBER 2002: 115-131

5.

  berusaha keras agar peserta didik memahami konsep tentang sesuatu sebelum pendidik memberitahukan bagaimana pemahamannya tentang sesuatu tersebut.

  6. berusaha mendorong keberanian peserta didik untuk berdialog dengan pendidik, dengan teman sekelasnya, dengan orang asing atau orang yang belum pernah kenal dengan mereka, terutama bila hal tersebut berhubungan dengan pencarian kebe- naran.

  7. berusaha membangun keberanian Murid untuk meneliti/ingin tahu sesuatu dengan cara mendorong mereka mengajukan pertanyaan, memberikan pertanyaan dengan jawabannya ganda (open-ended question), atau saling bertanya satu sama lain.

  8. tidak membiasakan anak didiknya menjawab dengan jawaban pendek, terutama bila jawaban yang dituntut memerlukan penalaran. Pendidik hendaknya mendorong pe- serta didik untuk mengembangkan jawabannya.

  9. berusaha melibatkan peserta didiknya dengan pengalaman yang mungkin kontra- diktif dengan hipotesis peserta didik semula; untuk ini perlu diusahakan kesempat- an berdiskusi jika peserta berhadapan hal-hal yang kontradiktif tersebut.

  10. memberikan waktu berpikir yang cukup kepada peserta didiknya untuk memikirkan jawab yang tepat untuk pertanyaan yang diajukan oleh Gurunya; Guru tidak boleh membiasakan murid berpikir tergesa-gesa.

  11. memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membangun hubungan baik dengan teman kelompoknya, maupun teman lain di luar kelompoknya;

  12. membangun rasa-ingin tahu (curiosity) peserta didiknya secara alamiah melalui ke- lompok kecil yang dibentuk untuk belajar, berusaha memecahkan persoalan, dan mencari jalan keluar bagi masalah yang dihadapi oleh kelompok secara bersama- sama.

LINGKUNGAN BELAJAR YANG KONSTRUKTIVISTIK

  Sebagaimana telah dinyatakan sebelum ini, konstruktivisme adalah terori tentang belajar. Karena itu, kelas yang dibangun menjadi lingkungan yang konstruktivistik adalah kelas yang amat memperhatikan bagaimana pengetahuan itu terbentuk dalam diri peserta didik kita. Guru di dalam kelas konstruktivistik akan menganggap bahwa pengetahuan itu selalu tumbuh dan dapat ditafsirkan sesuai dengan kondisi lingkungan di sekeliling Murid. Wilson (dalam Wilson, 1996:3-4) menegaskan bahwa beda Guru konstruktivistik dengan yang bukan dapat dilihat dari cara pandangnya terhadap waktu dan tempat belajar, produk yang hendak disampaikan, dan sistem serta proses yang harus dilalui. Guru konstruktivistik memandang kesemuanya itu secara lentur: Murid tidak diharuskan mengikuti kesemuanya itu secara seragam. Ada 4 cara pandang yang berbeda antara Guru konstruktivistik dengan yang bukan (Wilson, dalam Wilson, 1996: 4) di dalam cara memandang bagaimana pengetahuan itu terbentuk, sebagaimana tabel di berikut ini (Tabel 1).

  Untuk menciptakan kelas menjadi lingkungan yang konstruktivistik, Guru perlu melakukan perubahan pandangan terhadap tujuan pendidikan. Honebein (dalam Wilson, 1996: 11) mengembangkan lingkungan kelas konstruktivistik berdasarkan pikiran Cun- ningham, Duffy dan Knuth (1993) dan Knuth dan Kunningham (1993). Ada 7 (tujuh) kondisi yang dapat diciptakan oleh Guru dalam mewujudkan kelas konstruktivistik.

  1. Guru memberikan kesempatan kepada Murid untuk mencari pengalaman pada saat proses pembentukan pengetahuan berlangsung. Guru perlu menumbuhkan sikap

  Ghazali, Menerapkan Paradigma Konstruktivisme melalui Strategi Belajara Kooperatif 119

  bertanggung-jawab pada diri Murid dengan mendorong mereka mengembangkan topik dan sub-topik yang sesuai dengan minat mereka masing-masing.

  Tabel 1. Cara Pandang terhadap Terbentuknya Pengetahuan yang Mempengaruhi Cara Pandang Guru terhadap Pembelajaran Jika Anda menganggap Maka Anda menganggap pengetahuan/ilmu sebagai … pembelajaran sebagai … ¾ ¾ kuantitas atau paket yang siap produk yang boleh diantarkan disajikan dengan kendaraan tertentu saja

  ¾ ¾ keadaan kognitif pembelajaran seperangkat strategi sebagai-mana terefleksi dalam pembelajaran yang bertujuan skemata dan keterampilan mengubah skemata murid proseduralnya ¾ ¾

  Makna yang ditangkap oleh Murid menggali dengan alat murid dibentuk oleh dan sumber dari lingkungan interaksinya dengan lingkungan yang kaya sekitarnya

  ¾ ¾ Pembiasaan dan pengadopsian Partisipasi pembelajaran cara melihat dan melakukan dalam komunitas seperti sesuatu secara berkelompok dalam kehidupan sehari-hari

  2. Guru melatih Murid berpengalaman dan membiasakan mereka menghargai kondisi dari perspektif yang berbeda, karena keadaan yang nyata jarang sekali memiliki perspektif tunggal.

  3. Menghubungkan belajar dengan konteks yang realistis dan relevan. Guru Bahasa mudah sekali membawa Murid untuk menghubungkan materi pelajaran dengan dunia nyata yang dimiliki oleh Murid.

  4. Melatih Murid menghargai pendapat dan temuannya sendiri. Untuk itu, Guru mendorong Murid untuk berani menetapkan apa yang akan dipelajari, isu apa yang menarik, cara apa yang akan ditempuh, bagaimana mereka merumuskan tujuan yang hendak dicapai.

  5. Ciptakan suasana belajar yang berada di dalam suasana interaksi sosial..

  6. Doronglah Murid untuk berani menggunakan bentuk penyajian yang berbeda.

  7. Doronglah anak didik untuk senantia menyadari proses terbentuk pemahaman dan pengetahuan dalam diri mereka.

  

MEMBANGUN KELAS YANG KONSTRUKTIVIS MELALUI STRATEGI BELAJAR

KOOPERATIF

  Strategi belajar mengajar merupakan hal yang penting dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, karena dengan strategi tersebut pendidik dapat menciptakan kondisi belajar yang mendukung pencapaian tujuan pembelajaran. Selain itu, strategi belajar mengajar yang dipilih dan dipergunakan dengan baik oleh pendidik dapat mendorong peserta didik untuk aktif mengikuti kegiatan belajar di dalam kelas .

  

120 JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 2, OKTOBER 2002: 115-131

  Pemilihan strategi belajar mengajar harus dilandaskan pada pertimbangan menem- patkan peserta didik sebagai subjek belajar yang tidak hanya menerima secara pasif apa yang disampaikan oleh pendidik. Pendidik harus menempatkan peserta didiknya sebagai insan yang secara alami memiliki pengalaman, pengetahuan, keinginan, dan pikiran yang dapat dimanfaatkan untuk belajar, baik secara individual maupun secara berkelom- pok. Strategi yang dipilih oleh pendidik adalah strategi yang dapat membuat peserta didik mempunyai keyakinan bahwa dirinya mampu belajar. Juga, strategi belajar meng- ajar yang dapat memanfaatkan potensi peserta didik seluas-luasnya. Strategi belajar mengajar yang mempunyai karakteristik demikian adalah strategi Belajar Kooperatif.

  Belajar Kooperatif adalah sejenis belajar berkelompok yang melibatkan 4-6 orang peserta didik. Di dalam kelompok ini, peserta didik bekerja bersama-sama di bawah pengawasan pendidik untuk menyelesaikan tugas yang disediakan oleh Guru. Di dalam diskusi kelompok tersebut, peserta didik dapat mengemukakan pendapatnya dan seo- rang anggota kelompok dapat diangkat sebagai pimpinan kelompok untuk mengambil inisiatif menyimpulkan hasil diskusi.

  Shepardson (1997: 1-10) menyebutkan beberapa ciri Belajar Kooperatif (BK) seperti berikut ini:

  1. Pendidik harus mengupayakan terwujudnya interaksi antarpeserta didik yang berada dalam sebuah kelompok (student-to-student interaction). Karena itu, guru harus da- pat menciptakan kondisi yang mampu memberikan kesempatan yang merata kepada anggota kelompok untuk memberikan pendapat, menyampaikan ringkasan, memper- tahankan pendapat, atau pun memberikan jalan keluar jika diskusi mengalami kema- cetan.

  2. Pendidik harus menciptakan interdependensi positif di kalangan anggota kelompok.

  Artinya, masing-masing anggota kelompok harus diupayakan terlibat dalam kegiat- an belajar ini. Dengan cara memberikan giliran yang telah diatur sebelumnya, pendi- dik dapat membuat Murid untuk ikut berperan dalam kelompoknya. Pendidik perlu menjelaskan kepada kelompok bahwa masing-masing anggota harus membiasakan diri mendengarkan dengan baik pendapat anggota lain, menerima pendapat anggota lain jika pendapat itu lebih baik, dan berupaya dapat membantu teman lain dengan menyumbangkan pikirannya.

  3. Kemampuan masing-masing anggota kelompok diperhitungkan secara adil (indivi-

  

dual accountability ). Di dalam BK tidak ada peserta kelompok yang diperbolehkan

  mengemukakan pendapatnya secara sukarela. Berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya, masing-masing anggota kelompok akan menyampaikan penda- patnya. Karena itu, pada gilirannya, seorang anggota kelompok akan menerima tugas dari pendidik, misalnya sebagai pemimpin kelompok, sebagai perumus hasil diskusi, atau sebagai penyampai hasil diskusi.

  4. Strategi BK menekankan pada pencapaian tujuan bersama (group process skill).

  Strategi ini mengajarkan kepada peserta didik untuk saling memberi informasi, saling mengajar jika ada anggota kelompok yang belum mampu, dan saling meng- hargai pendapat anggotanya. Proses mencapai kesepakatan kelompok ini dipraktik- kan, ditumbuhkan, dan dipantau selama diskusi kelompok ini berlangsung.

  Anggota kelompok belajar dengan strategi BK ini sebaiknya bergerak dari 4 sampai 6 orang agar BK dapat memberikan kemungkinan bagi anggotanya untuk saling bertukar pikiran. Selain itu, pendidik juga mudah mengawasi proses belajar yang mene- kankan pada kerja sama antaranggota kelompok ini. Dengan kelompok yang tidak ter-

  Ghazali, Menerapkan Paradigma Konstruktivisme melalui Strategi Belajara Kooperatif 121

  lalu besar, peserta didik yang mempunyai hambatan mental, pemalu, atau kurang berini- siatif, dapat meminta bantuan anggota lainnya (Shepardson, 1997; Johnson dkk., 1992) Strategi BK mempunyai ciri pembeda dengan diskusi kelompok konvensional dalam hal mengukur keberhasilan peserta didik seperti dalam indikator berikut ini.

  1. Setiap anggota dapat menjelaskan cara mereka memperoleh jawaban atas tugas; 2.

  Mereka mampu menghubungkan hasil belajar sekarang dengan yang sebelumnya.

  3. Pendidik secara acak menanyai anggota kelompok apakah dia bisa menjelaskan per- soalan (tugas) yang diberikan kepada peserta didik.

  4. Pendidik atau anggota kelompok dapat mendorong setiap anggota untuk menyempur- nakan jawaban atau pokok pikiran yang dilontarkan kepada kelompok.

  5. Peserta didik mampu menyerap dan mengakomodasi pikiran kelompok lain.

  6. Kemajuan belajar baru terjadi bila peserta didik tepersuasi secara logis.

  7. Memberikan kritik yang masuk akal terhadap ide anggota kelompoknya sendiri atau ide kelompok lain.

  Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada diri peserta didik, berikut ini dipaparkan indikator perubahan tersebut secara dikotomis seperti kolom berikut ini.

  Tabel 2. Indikator Perubahan Sikap setelah Siswa Belajar Kelompok dengan Strategi Belajar Kooperatif Benar Salah

  • Peserta didik sadar bahwa ia harus bekerja • Peserta didik tidak menyadari bahwa sama ia harus bekerjasama
  • Menimba pendapat dari teman • Hanya pendapat pendidik yang betul
  • Mendapatkan penghargaan karena bantuan • Hanya dikenal oleh pendidik pikiran yang disumbangkan pada teman, sehingga ia dikenal oleh teman lainnya
  • Mengenal hampir semua temannya di kelas • Hanya tahu peserta didik yang terpandai, ter...
  • Mendapatkan/memberikan pujian karena • mengobral hadiah kepada siapa saja prestasi yang dicapai sebagai upaya menarik perhatian

  Berbeda dari uraian di atas, Ames dan Ames (Bossert, 1988; DeVries & Slavin, 1976) menunjukkan tiga macam cara untuk mengukur tingkat kerjasama antarMurid da- lam diskusi kelompok dengan strategi kooperatif:

  1. Peserta didik dianggap kooperatif apabila ia sebagai anggota kelompok mendapatkan

  rewards karena ia memberikan sumbangan pikiran langsung untuk kepentingan ke- lompoknya.

  2. Peserta didik dianggap kompetitif apabila anggota kelompok menerima rewards da- lam porsi yang berkebalikan dengan kelompoknya.

  3. Peserta didik dianggap individualistis apabila rewards-nya tidak dianggap berkore- lasi dengan kepentingan kelompok.

  Pernyataan bahwa seorang anggota kelompok telah tergolong sebagai “anggota yang kooperatif” dilakukan untuk memberikan motivasi bahwa yang bersangkutan telah berusaha memberikan bantuan, baik berupa tindakan maupun pikiran, kepada anggota kelompok yang lain. Perlu dicatat bahwa bantuan itu diberikan oleh seorang anggota

  

122 JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 2, OKTOBER 2002: 115-131

  untuk kepentingan kelompok di dalam menyelesaikan tugas kelompok. Lebih jauh lagi, pernyataan itu ditujukan untuk membangun persepsi di dalam batin para anggota bahwa mereka mempunyai tujuan bersama yang harus diperjuangkan secara bersama-sama pula. Untuk keperluan penggolongan “perilaku Kooperatif” inilah, Slavin (1983) mem- bagi struktur rewards kooperatif menjadi dua macam, yaitu (1) rewards kelompok yang dianggap terdiri atas sumbangan masing-masing individu, dan (2) rewards yang dipan- dang sebagai suatu kesatuan kerjasama tanpa melihat sumbangan masing-masing indivi- du. Menurut Bossert (1988), penggunaan kedua macam struktur rewards itu dapat digabungkan. Penggabungan kedua macam struktur rewards itu menguntungkan dilihat dari dua sudut tinjau. Pertama, penggabungan itu membantu peserta didik yang kurang berperan dalam performansi kelompok. Kedua, jika dilakukan penilaian yang didasar- kan pada kontribusi individu, maka individu-individu akan berusaha keras menampak- kan sumbangan mereka terhadap keberhasilan kelompok. Penggabungan kedua cara tersebut esensial dalam menilai keberhasilan suatu kelompok, seperti yang dijelaskan oleh Slavin (1983, 1987a), bahwa keterikatan secara kelompok merupakan kunci keberhasilan BK dan ini mendorong tumbuhnya kemampuan dan keterampilan Murid.

PENUGASAN KELOMPOK DALAM STRATEGI BELAJAR KOOPERATIF

  Secara umum, semua metode dalam BK memiliki kesamaan ide, yaitu bahwa siswa bekerja bersama di dalam mempelajari atau menyelesaikan tugas tertentu. Di samping itu, ketika belajar dan bekerja sama tersebut siswa perlu dibimbing dan dibiasakan untuk bertanggung-jawab terhadap keberhasilan belajar kelompok, termasuk di dalamnya keberhasilan dirinya sendiri. Untuk itu, di dalam BK selalu terdapat tujuan kelompok (team goal) dan keberhasilan kelompok (team success) (Slavin, 1995: 5), yang menuntut masing-masing anggota kelompok memahami dengan baik tujuan pem- belajaran yang te;lah disepakati bersama.

  Strategi Belajar Kooperatif dibagi menjadi dua macam, yaitu belajar berkelompok dengan tugas yang sama untuk semua anggota, dan belajar berkelompok dengan spesia- lisasi tertentu untuk anggota tertentu (Slavin, 1983). Akan tetapi Bossert (1988) menco- ba memilah-milah jenis penugasan itu berdasarkan kajian terhadap beberapa referensi (Cohen, 1986; Kagan, 1985; Slavin, 1985) seperti senarai berikut ini .

  Belajar Bersama

  Murid dibagi menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 4 atau 5 orang dengan tingkat kemampuan yang heterogen. Murid-Murid bekerja secara kolektif untuk menye- lesaikan tugas, misalnya melengkapi isian lembaran kerja Murid (LKS). Guru membe- rikan penghargaan terhadap keberhasilan kelompok menyelesaikan tugas.

  Bentuk yang pertama ini semata-mata memperhatikan kekompakan kelompok. Karenanya, Bossert (1988:229) menyebutnya sebagai pure cooperation. Keuntungan dari bentuk yang pertama ini adalah meningkatnya kemampuan dan mendukung secara positif interdepensi kelompok.

  Pola Mozaik (Jigsaw I)

  Bentuk belajar kelompok yang kedua ini juga melibatkan kelompok dalam jumlah kecil. Perbedaannya dengan bentuk yang pertama adalah pada jenis tugasnya yang

  Ghazali, Menerapkan Paradigma Konstruktivisme melalui Strategi Belajara Kooperatif 123

  kelompok memperoleh tugas yang berbeda dan yang kelompok yang bersangkutan harus mempelajari dan menguasainya dengan baik, sehingga masing-masing kelompok dianggap expert di bidangnya. Selanjutnya, ketua dari masing-masing kelompok di- panggil untuk dijadikan satu kelompok khusus, dan utusan dari masing-masing kelom- pok itu menyampaikan bagiannya masing masing. Tujuannya adalah agar kelompok khusus ini memperoleh gambaran yang utuh terhadap bahan yang mereka pelajari. Selanjutnya, masing-masing utusan kembali ke kelompok semula untuk menyampaikan resume yang mereka dapatkan dari kelompok khusus. Tentunya, kelompok akan berdis- kusi kembali untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas dan lengkap.

  Sharan (1980), setelah mempelajari empat percobaan dengan teknik mozaik ini, menyatakan bahwa Murid-Murid dari kalangan minoritas diuntungkan pemerolehan akademiknya dengan teknik ini. Jika dicari penyebabnya, anggota yang dijadikan utusan ke kelompok khusus akan berbuat sebaik-baiknya, baik ketika berbicara sebagai utusan maupun ketika dia kembali ke kelompok untuk membawakan hasil diskusi khusus.

  Penelitian/Pengamatan Kelompok

  Kelompok belajar jenis ketiga ini mirip dengan jenis kedua. Akan tetapi, pengem- bangnya (Sharan & Sharan, 1976; Sharan dkk., 1984) memodifikasi teknik mozaik (Jig-

  

saw I ) dari segi perlakuan terhadap tugas yang diberikan kepada kelompok. Pada teknik

  ketiga ini, Guru juga memberikan tugas yang berbeda-beda. Akan tetapi, Murid ditugasi menyelesaikan soal yang diberikan oleh Guru dengan terlebih dahulu harus melakukan pencarian data/informasi, membuat sintesa, atau melakukan pengaplikasian data yang berbeda-beda. Sebelum mereka membuat laporan akhir hasil kerja kelompok mereka, mereka harus bekerja keras melakukan koordinasi antaranggota kelompok, mengomuni- kasikan hasil temuan, bertukar pikiran mengenai temuan, barulah kemudian mereka menyimpulkan hasil diskusi mereka, dan melaporkannya secara tertulis.

  Murid Belajar Kelompok (SBK)

  Jenis belajar kelompok yang dikembangkan oleh Slavin (1980, 1983) ini meru- pakan penggabungan beberapa cara sebelumnya. Karenanya, SBK ini mempunyai bebe- rapa versi, yaitu Student Teams-Achievement Division (STAD), Teams-Games Tourna- ments (TGT), dan Team Assisted Individualiz-ation (TAI).

  Student Teams-Achievement Division (STAD)

  Dalam versi pertama ini, Guru membagikan bahan yang harus dipelajari. Jumlah anggota kelompok tidak terlalu besar, kemampuan mereka pun heterogen, dan mereka diberi LKS untuk dipelajari. Selanjutnya, masing-masing kelompok mempersiapkan diri untuk menjawab soal-soal yang dilemparkan oleh Guru. Kontribusi Murid terhadap prestasi kelompok dinilai dari peningkatan performansi Murid itu sendiri tanpa diban- dingkan dengan performansi Murid-Murid lain.

  Teams-Games Tournaments (TGT)

  Versi kedua yang disebut dengan nama Teams-Games-Tournaments ini sebenar- nya mirip dengan STAD. Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil dan masing-masing kelompok diberi bahan ajar yang sama. Setelah bahan ajar dibagikan,

  

124 JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 2, OKTOBER 2002: 115-131

  Guru menugasi Murid untuk mempelajari bahan ajar secara berkelompok. Untuk meng- arahkan perhatian Murid kepada persoalan yang harus diselesaikan, Guru menyediakan LKS.

  Kelas yang diajar dengan strategi belajar kelompok versi TGT tidak hanya mem- biarkan kelompok mendiskusikan bahan. Akan tetapi, Guru mengkondisikan kelas ke dalam suasana berkompetisi, sehingga masing-masing kelompok berlomba untuk me- nyelesaikan persoalan yang dikemukakan oleh Guru. Kelas diberi tugas yang sama. Kelompok mana yang dapat menyelesaikan tugas dengan benar akan memperoleh poin. Kemenangan kelompok ditentukan oleh besarnya poin yang mereka raih. Artinya, semakin besar poin yang mereka raih, semakin sering pula sebuah kelompok berhasil menyelesaikan persoalan lebih awal dan benar dibandingkan kelompok yang lain.

  Untuk tidak menimbulkan kekecewaan di kalangan kelompok-kelompok, yakni agar perlombaan tidak selalu dimenangkan oleh kelompok yang relatif pandai, Guru dapat mengadu kelompok yang relatif baik dengan kelompok yang mempunyai tingkat kemampuan yang setingkat. Sedangkan kelompok yang kemampuannya relatif lemah, oleh Guru dapat diadu dengan kelompok yang memiliki tingkat kemampuan rendah.

  Kemajuan kelompok dapat diikuti oleh seluruh kelas melalui jurnal kelas yang diterbitkan secara mingguan. Dari jurnal yang dipajang terbuka itu, Murid-Murid dapat mengikuti catatan prestasi yang diraih oleh kelompoknya. Melalui jurnal ini pula, Guru dapat memperoleh informasi tentang kemajuan anak didiknya, sehingga Guru dapat memberikan bimbingan terhadap kelompok yang relatif memiliki kesulitan belajar.

  Team Assisted Individualization (TAI)

  Versi belajar kelompok yang ketiga ini juga diorganisasikan seperti STAD. Per- bedaannya dengan versi pertama terletak pada ketidaksamaan bahan pelajaran bidang matematika yang diterima oleh Murid pada masing-masing kelompok. Selanjutnya, setelah Murid mempelajari bahan yang diterimanya, mereka diberi tes diagnostik seri Matematika. Melalui tes berseri kesulitannya yang telah dibuat bertingkat ini, Murid dapat memacu tingkat kemampuannya sesuai dengan kemampuannya sendiri. Murid baru boleh mengangambil tes berikutnya jika tes sebelumnya telah dikerjakan dengan benar. Namun, di dalam TAI ini tetap ada upaya Guru mendorong anggota kelompok untuk membantu anggota kelompok yang lain di dalam grup-nya untuk maju bersama. Kemajuan yang dialami oleh anggota-anggota kelompok menjadi poin bagi kelompok- nya. Artinya, semakin anggota kelompok menyelesaikan seri soal-soal dengan benar, dan semakin tinggi peringkat seri yang berhasil diselesaikan, maka akan semakin besar pula poin yang diraih oleh sebuah kelompok.

  Oleh karena TAI ini mengontrol kemajuan Murid melalui seri tes, Guru mempu- nyai banyak waktu untuk mengamati kemajuan Muridnya. Karenanya, Guru mempu- nyai waktu yang cukup untuk memberikan bimbingan secara individual kemampuan Murid-Murid yang mempunyai persoalan.

  Teknik Mozaik II (Jigsaw II)

  Slavin (1980 dan 1983) memodifikasi teknik mozaik yang dikembangkan oleh Aronson. Dalam teknik mozaik II ini Murid-Murid diberi bahan ajar yang sama dan mereka mempelajari bahan tersebut bersama-sama. Akan tetapi, masing-masing kelom- pok diberi tugas untuk membahas topik tertentu secara mendalam, sehingga setiap ke-

  Ghazali, Menerapkan Paradigma Konstruktivisme melalui Strategi Belajara Kooperatif 125

  lompok dapat dianggap “ahli” (expert) dalam topik tertentu. Ketua kelompok kemudian diminta berkumpul untuk membentuk kelompok ahli, dan masing-masing ketua kelom- pok menyampaikan bahan ajar (peer teaching) yang telah dibahas di dalam kelompok- nya. Selanjutnya, ketua kelompok diminta kembali ke kelompoknya semula untuk me- nyampaikan materi yang diperolehnya di dalam kelompok ahli tadi.

  Setelah bahan ajar yang diperoleh dari Guru dibahas dalam kelompok umum dan di dalam kelompok ahli, Murid-Murid memperoleh pertanyaan (quizzes). Semakin ba- nyak anggota sebuah kelompok menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan Guru, akan semakin besar poin yang didapat oleh sebuah kelompok. Selanjutnya, prestasi yang dicapai oleh sebuah kelompok dicatat di dalam jurnal kelas. Kelompok yang men- dapatkan prestasi baik mendapat catatan khusus dari Guru. Catatan dan pujian inilah yang dianggap mampu memberikan motivasi belajar kepada Murid.

  PEMANFAATAN STRATEGI BELAJAR KOOPERATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA Memperkenalkan Fungsi Komunikasi Bahasa dalam SBK

  Olsen dan Kagan (dalam Kessler, 1992) menyatakan bahwa BK mampu mening- katkan interaksi pada siswa penutur bahasa Inggris bukan sebagai penutur asli yang kemampuan bahasa Inggrisnya tergolong ke dalam LEP (Low English Proficient) dan LEF (Low English Functioning). Kedua penulis itu melaporkan bahwa peningkatan interaksi itu tampak pada meningkatnya kesempatan bagi siswa untuk mempraktikkan pengetahuan bahasa Inggris dalam komunikasi nyata, sehingga kesempatan mereka untuk berbicara dan menyimak meningkat frekuensinya. Sejalan dengan meningkatnya frekuensi kedua keterampilan tersebut, kemampuan siswa di bidang penguasaan materi pelajarannya juga meningkat. Dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan cara klasikal, siswa yang diajar dengan SBK mencapai kemampuan akademik dan kemam- puan sosial yang seimbang, bahkan bisa lebih baik.

  Apa sebenarnya penyebab meningkatnya pemerolehan bahasa Inggris siswa penu- tur bahasa Inggris sebagai bahasa kedua itu? Jawabannya terletak pada besarnya kemungkinan bagi guru unruk mengatur interaksi antar siswa secara terstruktur. Olsen dan Kagan (dalam Kessler, 1992: 1) menyebutkan bahwa “Cooperative learning is carefully structured—organized so that each learner interacts with others and all learn- ers are motivated to increase each other’s learning.” Dengan dapat diaturnya struktur interaksi siswa, tingkat interaksi antarsiswa meningkat, dan dengan keadaan ini siswa- siswa termotivasi untuk berhasil bersama dan masing-masing individu merasa terdorong untuk membantu teman kelompoknya menyelesaikan tugas kelompok.

  Di atas telah disebutkan bahwa di antara keterampilan yang dicapai dengan BK adalah besarnya kesempatan untuk menggunakan beberapa fungsi bahasa dan keterampilan sosial. Fungsi bahasa yang dimaksud mengacu ke penggunaan beberapa cara memanfaatkan bahasa agar pemakai bahasa dapat mencapai tujuan komunikasi. Kata-kata seperti “Sebentar, sebentar…!”, “Baiklah!”, “Oh, begitu!”,”Teruskan!” atau “Kelanjutannya?” acapkali digunakan untuk menarik perhatian lawan bicara atau bisa juga digunakan secara cara menyela percakapan orang lain. Sedangkan ucapan seperti “Apa itu?”, “Saya tidak mengerti!”, “Apa bisa dimulai lagi dari awal?”, atau “Intinya yang mana?” biasanya digunakan untuk meminta klarifikasi, penjelasan lebih lanjut, atau pun permintaan supaya pembicara menerangkan dengan bahasa yang lebih sederha-

  

126 JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 2, OKTOBER 2002: 115-131

  na, runtut, dan dengan tempo yang tidak terlalu cepat. Jika siswa dibiasakan di kelas mengenal dan menggunakan fungsi-fungsi bahasa yang tergolong ke dalam “prosocial skills” seperti bertanya, meminta atau pun memberi penjelasan, maka kebiasaan itu akan mereka bawa ke kebiasaan berbahasa mereka sehari-hari. Salah satu cara yang dapat

  • )

  digunakan untuk memperkenalkan fungsi-fungsi bahasa tersebut ialah teknik gambit (Olsen, dalam Kessler, 1992: 85), yaitu melemparkan suatu pancingan agar pelempar gambit dapat memperoleh informasi yang diinginkan.

  Fungsi bahasa mengacu ke berbagai cara seseorang menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan komunikasinya. Berbagai variasi ujaran yang sebenarnya mengacu pada makna yang sama merupakan salah satu perwujudan fungsi bahasa. Kata seru seperti “Aaa”, “Ooo”, “Baik”, “Begitu”, “Ehmm” merupakan ujaran yang berfungsi menunjukkan bahwa lawan bicara mengikuti apa yang dibicarakan oleh pembicara. Kadang-kadang, ujaran itu digunakan untuk mencari kesempatan untuk menyela apa yang dibicarakan oleh lawan bicaranya. Kata-kata seperti “Apa itu …?”, “Saya tidak mengerti …”, “Apa yang dimaksud itu …? adalah ujaran yang berfungsi sebagai permo- honan meminta klarifikasi, penjelasan, atau perluasan dengan cara menambah keterang- an. Jika keterampilan sosial seperti cara yang sopan untuk meminta atau memberi informasi atau menjadi peserta sebuah interaksi verbal seperti di muka itu dibentuk di kelas, maka siswa pertama akan mengenal bentuk-bentuk tersebut, dan pada gilirannya mereka akan belajar menggunakannya di luar kelas. Salah satu caranya ialah dengan memperkenalkan keterampilan bermasyarakat tersebut melalui penggunaan pola-pola yang memang digunakan di dalam komunikasi sehari-hari Bentuk-bentuk gambit tertentu perlu diperkenalkan kepada siswa melalui sebuah kertas lembaran sebelum mereka berlatih dalam kelompok BK, seperti terbaca pada Tabel 3 berikut ini.

  Tabel 3. Bermacam-macam Bentuk Gambit* untuk Mendukung Keterampilan Sosial melalui Penggunaan Bahasa Keterampilan

Fungsi Bahasa Gambit yang akan Diajarkan

Sosial

  ‰

  9

  1. Menanyakan Mencari Saya ingin tahu tentang … informasi informasi

  9 Saya tertarik pada …

  9 Maukah Anda memberitahu saya tentang

  9 Apakah Saudara tahu tentang …

  9 Tolong saya dicarikan …

  9 Bolehkan saya bertanya tentang … ‰

  9 Meminta

Aku butuh bantuan!

  9 Klarifikasi Saya tidak paham tentang …

  9 Kurang jelas Bagian …

  9 Apa yang tadi Anda katakan?

  9 Saya tidak bisa mengikuti penjelasan Anda! ‰

  9 Meminta Dapatkah Anda menjelaskan mengapa …?

  9 Penjelasan Silaka Anda memberikan penjelasan bahwa

  9 Apakah yang Anda ingin katakan adalah …

  9 Kenapa bisa begitu?

  9 *)

Kok begitu jadinya?

Teknik gambit adalah teknik yang acapkali digunakan oleh pemain catur yang melakukannya dengan

  Ghazali, Menerapkan Paradigma Konstruktivisme melalui Strategi Belajara Kooperatif 127

  9 Dengan kata lain yang saya maksudkan adalah …

  9 Bolehkah saya menyela sedikit? ‰

  Kembali ke masalah yang dibahas sebelumnya

  9 Seperti yang telah saya/Anda katakan sebelumnya …

  9 Anda kalau tidak salah sudah menyebutkan bahwa …

  9 Baru saja saya katakan bahwa …

  9 Pada bagian sebelumnya telah dirinci … ‰

  Menduga-duga 9 Mungkin …

  9 Kalau tidak salah …

  9 Jika boleh saya menduga …

  9 Saya ingin menerka …

  2. Memberikan informasi ‰

  Menegaskan kembali

  9 Dengan demikian yang saya maksudkan adalah …

  9 Bolehkah saya menanyakan sesuatu?

  9 Bertolak dari pendapat ini maka jelas arah perbincangan kita … ‰

  Memberikan contoh

  9 Contohnya …

  9 Misalnya …

  9 Ambillah sebagai contoh …

  9 Untuk satu hal …

  9 Agar jelas bagi Anda … ‰

  Merampatkan (generalizing)

  9 Singkatnya …

  9 Biasanya …

  9 Pada umumnya …

  9 Dari waktu ke waktu …

  9 Perkenankan saya menambahkan pikiran pada pokok-pokok yang telah Anda kemukakan!

  9 Maafkan saya!

  ‰ Mengharapkan memperoleh penjelasan lebih lanjut

  9 Coba katakan sekali lagi!

  9 Bisakah Anda terangkan lebih lanjut …?

  9 Silakah dijelaskan lebih lanjut!

  9 Coba pikiran yang tadi dikembangkan lebih jauh!

  9 Saya ingin Anda memberikan pikiran yang lebih jauh dari yang tadi! ‰

  Mengharapkan memperoleh Konfirmasi

  9 Oh! Jadi yang Anda jelaskan/ katakan tadi adalah

  9 Ehm … Jadi yang ingin disampaikan pada saya adalah …

  9 Dengan kata lain Anda …

  9 Kalau saya bisa menangkap dengan baik apa yang ingin Anda katakan pada saya ialah …

  9 Itu artinya …

  9 Jadi yang Anda maksudkan … ‰

  Mengharapkan pembicara menyatakan kembaliapa yang sebelumnya disampaikan

  9 Saya harap Anda sudi mengulangi apa yang sudah Anda sebutkan tadi!

  Menyela percakapan orang

  9 Saya mohon Anda tidak berkeberatan mengulangi bagian ...

  9 Apa yang terakhir?

  9 Maaf! Saya kehilanganyang baru Anda sebutkan! ‰

  Menyatakan ketidakpercaya- an

  9 Saya khawatir …

  9 Saya tidak melihat bahwa …

  9 Saya belum mendengar Anda …

  9 Tetapi masalah pokoknya adalah…

  9 Ya, ya! Tapi masalah kita …

  9 Itu baik! Tetapi …

  9 Saya khawatir jangan-jangan …

  9 Mungkin Anda benar! Tetapi …

  9 Yang merisaukan saya adalah … ‰

  9 Banyak kita temukan di tempat lain bahwa

  128 JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 2, OKTOBER 2002: 115-131

  Menyimpulkan

  9 Yang bisa kita jadikan pegangan ialah …

  9 Tempat pijakan kita ialah … ‰

  Menambahkan pertimbangan

  9 Pertimbangan saya ialah …

  9 Jika saya membuat pertimbangan, maka … ‰

  Mengoreksi apa yang terlanjur dikatakan/ ditulis

  9 Yang saya maksudkan ialah …

  9 Yang sebenarnya ingin saya utarakan ialah

  9 Yang ada dalam benak saya ialah

  9 Jangan salah paham terhadap apa yang ingin saya kemukakan, yaitu

  9 Jika saya berkata demikian, itu tidak berarti ‰

  9 Singkat kata …

  9 Dasar yang saya pakai ialah …

  9 Untuk menyingkat cerita kita …

  9 Jadi,

  9 Kesimpulannya,

  9 Pendeknya, …

  9 Pendek kata … ‰

  Memeriksa pemahaman

  9 Apakah Anda mengikuti apa yang saya uraikan?

  9 Apakah Anda paham dengan apa yang saya maksudkan?

  9 Anda mengerti?

  9 Jelas?

  9 Bisakah Anda lihat perbedaannya?

  9 Bisa ditangkap maksudnya?

  9 Landasan itu itu ialah …

  9 Itulah alasannya mengapa …

  9 Yang kita hadapi tidak jauh berbeda dengan yang kita temukan di tempat lain, yaitu …

  9 Saya berpikir positif bahwa ….

  9 Berulang-ulang kita dapati …

  9 Kita saksikan di banyak kesempatan … ‰

  Pengecualian

  9 Satu perkecualian ialah …

  9 Ada yang agak khusus, yaitu …

  9 Ini agak berbeda dari yang saya sebutkan sebelumnya, yaitu …

  9 Jangan salah, ini tidak sama dengan …

  9 Yang ini agak khusus! ‰

  Mengemukakan pendapat atau penafsiran

  9 Saya yakin bahwa …

  9 Tanpa kekhawatiran yang berarti berani saya nyatakan bahwa …

  9 Saya tidak ragu-ragu lagi …

  9 Oleh sebab itu …

  9 Menurut rasa hati saya

  9 Dalam perasaan saya …

  9 Secara pribadi saya berpendapat

  9 Menurut pengalaman saya … ‰

  Memberikan saran

  9 Mengapa Anda tidak …

  9 Akan lebih baik jika Anda …

  9 Jika boleh saya menyarankan, Anda sebaiknya …

  9 Jika mau, akan lebih menguntungkan jika …

  9 Rasanya, yang itu lebih baik/tidak bermasalah/tidak terlalu rumit.

  ‰ Menyampaikan penalaran

  9 Karena itu …

  9 Dapatkah Anda simpulkan sendiri?

  Ghazali, Menerapkan Paradigma Konstruktivisme melalui Strategi Belajara Kooperatif 129

  Lembar Pemeriksaan Kegiatan Diri dan Lembar Pengamatan Aktivitas Berbahasa