BAB II LANDASAN TEORI I.A. JOB INSECURITY - Hubungan antara Efektivitas Kepemimpinan Dengan Job Insecurity

BAB II LANDASAN TEORI I.A. JOB INSECURITY I.A.1. Definisi Job Insecurity Menurut Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan

  suatu tingkat dimana karyawan merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut. Job insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan,tetapi juga kehilangan bagian dari pekerjaan, dan perasaa tidak berdaya untuk mengendalikan kejadian di lingkungan pekerjaan.

  Menurut Greenhalgh dan Rosenblat(dalam Hartley ,1991) mendefinisikan

  

job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan

  yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam. Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan sangat mungkin merasa terancam, gelisah, dan tidak aman karena potensi perubahan untuk mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi.

  Menurut Sverke ,dkk (2003) job insecurity adalah persepsi terhadap tekanan yang merupakan pengalaman subjektif individu yang tidak dapat dikontrol yang berhubungan dengan kehilangan pekerjaan dan kecemasan akan terjadinyaa kehilangan pekerjaan tersebut. Menurut Hartley (1991) menyatakan bahwa job insecurity dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan tingkat security yang ingin diperolehnya.

  11 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa job insecurity merupakan penilaian pekerja terhadap suatu keadaan dimana mereka merasa terancam dan tidak berdaya untuk mempertahankan kesinambungan pekerjaan tersebut.

I.A.2. Aspek-Aspek Job Insecurity

  Job insecurity menurut (Greenhalgh dan Rosenblatt,1984;Ashford,Lee

  &Bobko,1989) terdiri dari lima komponen yaitu penerimana ancaman pada berbagai kejadian kerja,derajat kepentingan tiap kejadian kerja bagi individu, penerimaan ancaman pada berbagai fitur kerja, derajat kepentingan tiap fitur individu , dan powerlessness.

  Selanjutnya Ashford, Lee & Bobko (1989) menggabungkankomponen pertama dan kedua, lalu menggabungkan komponen ketiga dengan keempat sehingga menjadi tiga komponen, yaitu: pertama adalah perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang, yaitu.

  Perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang Yaitu kehilangan keseluruhan atau banyaknya pekerjaan yang dimiliki, misalnya sseseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi ,dipindahkan ke pekrerjaan lain dengan level sama dalam organisasi atau di berhentikan sementara.

2. Perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job features)

  Yaitu kehilangan bagian-bagian dari pekerjaan. Misalnya perubahan organisasional mungkin menyebabkan seseorang kesulitan mengalami kemajuan organisasi,mengalami pengurangan wewenang (otoritas) untuk mengerjakan pekerjaan sesuai dengan kehendaknya, dan dalam hal pengambilan keputusan

3. Poewerlessness

  Yaitu perasaan tidak berdaya yang mungkin berperan dalam perasaan seseorang terhadap kurangnya kontrol atau ketidakmampuan untuk mengendalikan kejadian-kejadian dilingkungan kerjanya.

I.A.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Job Insecurity

  Menurut Ashford,dkk(1989), telah mengkategorikan penyebab job

  insecurity kedalam tiga kelompok sebagai berikut: a.

  Kondisi Lingkungan Organisasi Kondisi lingkungan dan organisasi ini dapat dijelaskan oleh beberapa faktor, misalnya: komunikasi organisasional dan perubahan organisasional dan merger oleh perusahaan. Menurut Brockner ( dalam Ashford,1989) menyatakan bahwa adanya rencana pemberhentian karyawan di organisasi merupakan hal yang dapat mengakibatkan job insecurity pada karyawan tersebut.

  b.

  Karakteristik Individual dan Jabatan Pekerja Karakteristik individual dan jabatan pekerja terdiri dari: usia, gender, senioritas,pendidikan, posisi pada perusahaan, latar belakang budaya ,status, sosial ekonomi , dan pengalaman kerja. c.

  Karakteristik Personal Pekerja Karakteristik personal pekerja yang dapat mempengaruhi job insecurity misalnya locus of control self esteem , dan perasaan optimis atau pesimis pada karyawan. Menurut Ashford,dkk(1989) locus of control adalah faktor yang berhubungan dengan dimensi ketidakberdayaan dari job insecurity, Terdapat dua penelitian yang dapat menyebabkan timbulnya job insecurity pada karyawan di dalam perusahaan, menurut Kinneun& Naetti(dalam

  Ashford,1989) job insecurity dapat ditimbulkan dari faktor possisional yaitu kepemimpinan, dan faktor ini merupakan prediktor (penyebab) utama terjadinya

  

job insecurity ,sementara menurut penelitian Rokies& Louisguerin (dalan

  Ashford.1989) job insecurity ditimbulkan dari faktor personal dalam diri karyawan karena adanya ancaman dari perusahaan seperti perubahan manajemen (reorganisasi) yang dapat mengancam eksistensi karyawan di dalam perusahaan

  II.B. Efektivitas Kepemimpinan

  II.B.1. Efektivitas Kepemimpinan

  Menurut Robbins & Coulter (2005) Kepemimpinan yaitu kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk pencapaian tujuan dalam organisasi, sehingga memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain (dalam hal ini bawahan) agar bersedia bekerja bersama-sama dalam tugas yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dari organisasi.

  Menurut Robert & Irving (dalam Hersey dan Blanchard (1982) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dilakukan dalam suatu situasi dan diarahkan,melalui proses komunikasi untuk dapat mecapai tujuan-tujuan tertentu.MenurutAnwar(2005) menyatakan kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk menguasi atau mempengaruhi orang lain yang berbeda-beda dan memotivasi individu untuk mencapai tujuan organisasi.

  Kemampuan mempengaruhi akan menentukan cara yang digunakan pegawai dalam mencapai hasil kerja bahwa seorang pemimpin memiliki otoritas dalam merencanakan, mengarahkan, mengkoordinasikan, dan mengontrol perilaku pegawai.

  Dalam suatu organisasi usaha kepemimpinan untuk mencapai tujuan organisasi,dapat juga dilihat dengan seberapa efektif kepemimpinan yang ada di organisasi tersebut. Menurut Reddin (dalam Munandar,2001) kepemimpinan yang efektif juga ditentukan oleh bagaimana penilaian bawahan terhadap kepemimpinan yang dijalankan oleh atasannya. adalah melakukan yang benar (doing the right) dalam upaya pencapaian sasaran. Efektivitas seringkali diartikan sebagai melakukan sesuatu yang tepat, yaitu suatu kegiatan atau kerja yang membantu sebuah organisasi mencapai sasarannya.

  Efektivitas merupakan suatu penilaian yang dibuat sehubungan dengan prestasi individu, kelompok dan organisasi sehingga semakin dekat prestasi yang dicapai dengan prestasi yang diharapkan, berarti semakin efektif penilaian terhadap individu, kelompok dan organisasi.

  Menurut Mahdi (2001) efektivitas kepemimpinan adalah bagaimaan seorang pemimpin menerjemahkan fungsinya dengan prilaku dalam organisasi. efektivitas kepemimpinan yang ada di satu organisasi tergantung dari proses yang terjadi yang terletak pada wibawa (pengaruh) interaktif anatara pemimpin dan pengikutnya.kepemimpinan yang berhasil adalah kepemimpina yang mampu melaksanakan tugasnya dalam rangka memberikan arahan dan petunjuk, mewujudkan target bersama,mengembangkan organisasi,komitmen dan menjaga kekuatan organisasi yang dipimpinnya.

  Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa efektivitas kepemimpinan merupakan cara pandang atau penilaian karyawan terhadap pemimpin yang dapat membimbing mereka dalam melaksanakan pekerjaan yang ada agar tercapinya tujuan bersama. Dalam hal ini karyawan menilai kepemimpinan atau pemimpin yang efektif berdasarkan kesamaan,kepribadian,pemunhan kebutuhan, pengalaman, yang sesuai dengam harapan mereka.

  Menurut Fiedler (dalam Robbins 2006) menyatakan bahwa dimensi dari efektivitas kepemimpinan adalah sebagai berikut :

  1. Hubungan Pemimpin-Bawahan.

  Hubungan pemimpin bawahan menunjukkan sejauh mana seorang pemimpin mendapatkan dukungan dan loyalitas daripada bawahan dan hubungan dengan para bawahan itu dapat membuat aman karyawan dalam melaksanakan pekerjananya

  2. Struktur Tugas

  Pada struktur tugas terdapat prosedur pengoperasian yang standar untuk menyelesaikan tugas dan indikator obyektif tentang seberapa baik tugas itu dikerjakan. Struktur tugas yang tinggi akan memberikan kontribusi pada situasi yang menguntungkan pemimpin karena pemimpin akan lebih mudah memonitor dan mempengaruhi perilaku bawahannya pada tugas yang terstruktur tinggi. Sedangkan tugas yang tidak terstruktur akan memberikan kontribusi yang tidak menguntungkan pemimpin, sehingga kemampuan pemimpin untuk mengontrol bawahannya rendah.

  3. Kekuatan Posisi Pemimpin Pada kekuatan posisi pemimpin terdapat tingkat wewenang pemimpin untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja bawahan, memberikan penghargaan, promosi, hukuman, dan demosi. Semakin besar seorang pemimpin untuk memberikan hukuman dan penghargaan, semakin kuat kontrol pemimpin, dan hal

II.B.3. Dampak Efektivitas Kepemimpinan

  Menurut Bader (2001) efektivitas kepemimpinan yang diterapkan di suatu organisasi memiliki dampak seperti:

  1. Komunikasi antara pemimpin dan bawahan Komunikasi yang baik di dalam organisasi mampu memperkuat peran pemimpin didalam organisasi dan membawa dampak yang positif antara pemimpin dan bawahan, didalam mencapai tujuan bersama .

  2. Komitmen kerja

  Efektivitas yang ditunjukan oleh pemimpin dpaat membuat karayawan lebih berkomitmen didalam tugas dan tangung jawab mereka.

  3. Kepuasan kerja Di katakan bahwa kepuasan kerja yang didapat oleh karyawan diakibatkan karena adanya kenyamanan dan kepemimpinan yang efektif.

  4. Motivasi kerja Pemimpin yang efektif mampu meningkatkan semangat kerja karyawan untuk mencapai tujuan bersama,karena adanya dukungan dari pemimpin.

  5. Kenyaman kerja Pemimpin yang efektif juga mampu membuat karyawan nyaman dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh pemimpin.

  6. Keamanan (secure) Pemimpin yang efektif mampu menciptakan keadaan yang membuat mampu mnyesuaikan sikapnya sebagai pemimpin dengan kondisi yang ada,

II.C. Dinamika Hubungan Antara Efektivitas Kepemimpinan Dengan Job Insecurity Karyawan PT X

  Menurut Hellegren dkk(1999) mengatakan bahwa setiap perusahan atau organisasi harus melakukan perubahan internal pada era globalisasi ,perubahan internal salah satunya adalah pergantian atau peralihan kepemimpinan dalam rangka penyegaran di suatu lingkungan organisasi. Karyawan yang berada didalam perusahan tersebut berbeda-beda didalam memandang atau mempersepsikan perubahan yang dilakukan oleh perusahan ,seperti peralihan kepemimpinan.

  Peralihan kepemimpinan dapat dikatakan sebagai suatu perubahan yang terjadi didalam perusahaan. Menurut Soonhee(2000) pergantian kepemimpinan atau adanya kepemimpinan baru disuatu perusahan dipersepsikan berbeda-beda oleh setiap karyawan yang ada diperusahan tersebut. Ada yang mempersepsikannya secara positif maupun negative. Persepsi yang negative inilah yang lama-kelamaan akan menimbulkan job insecurity.

  Job insecurity merupakan suatu keadaan dimana pekerja atau karyawan

  merasa tidak berdaya untuk melakukan tindakan apapun terhadap situasi tersebut, dalam menghadapi job insecurity (Ashford,1989) Menurut Ashford,dkk(1989) ada faktor-faktor yang mempengaruhi job

  insecurity salah satunya kondisi lingkungan organisasi. Dikatakan bahwa adanya

  perubahan organisasi dapat membuat seseorang menjadi job insecurity.Menurut (Bader,2001) perubahan kondisi lingkungan organisasi salah satunya adalah adanya kepemimpinan yang baru yang tentunya akan merubah sistem di perusahaan tersebut. Dan disinilah karyawan menilai berbeda-beda efektivitas pemimpinnya didalam menjalankan tugas dan fungsinya sebgai pemimpin.

  Menurut Hullin(2005) respon negative atau buruk terhadap kepemimpinannya dapat menimbulkan job insecurity dan hal ini akan mempengaruhi pekerjaan karyawan tersebut.

  Menurut Mahdi kepemimpinan yang efektif merupakan pemimpin yang mampu menerjemahkan fungsinya didalam suatu organisasi seperti,memberikan arahan kepada bawahan agar mencapai tujuan bersama,mengembangkan komitmen,mengembangkan organisasi,dan mampu untuk membangun hubungan yang dengan karyawannya,sehingga karyawan merasa aman dan nyaman berkerja dan dapat menghasilkan hasil yang maksimal untuk kemajuan perusahaan. Selain itu Menurut Svereke (2002) kepemimpinan efektif yaitu apabila karyawan merasa aman ,dan dihargai oleh pemimpin dan pemimpin mampu menciptakan hubungan yang baik dengan karyawannya sehingga karyawan dapat memandang bahwa pemimpinnya merupakan pemimpin yang efektif.

  Kondisi ini menurut Fidler (dalam Robbins, 2006) merupakan efek dari ketidakmampuan pemimpin dalam mengelola organisasi dan sumber daya yang terdapat di dalamnya. Kondisi di dalam organisasi yang terjadi ini menyebabkan banyak dampak yang mempengaruhi pekerjaan diantaranya adalah keadaan yang tidak aman (insecure) dalam bekerja.

  Menurut Hellegren (1999), umumnya penyebab atau salah satu faktor dari ketidaknyamanan kerja dalam perusahaan adalah seberapa baik karyawan tersebut menilai atau mempersepsikan bagaimana pemimpin dalam mengambil suatu kebijakan dalam menjalankan perusahaan, sehingga salah satu indikator bahwa karyawan tersebut merasa aman (secure) dalam perusahaan tersebut adalah dengan melihat seberapa besar kepercayaannya terhadap pemimpin dalam perusahaannya tersebut.Efektivitas kepemimpinan yang di terapkan pemimpin di perusahan dapat di lihat dari pemialain atau persepsi karyawan terhadap kepemimpinan yang ditunjukan oleh pemimpin di perusahan tersebut.

II.D. Hipotesa Penelitian

  Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesa yang diajukan pada penelitian adalah ada hubungan negative antara persepsi terhadap efektivitas kepemimpinan dengan job insecurity karyawan PT.X