BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah - Konflik Dan Kekuasaan Suatu Studi Perjuangan Politik Datuk Badiuzzaman Surbakti Dalam Perang Sunggal (1872-1895)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

  Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak asing lagi dengan apa yang biasa kita sebut dengan istilah konflik. Konflik ini terjadi antar individu maupun antar kelompok yang memperebutkan hal yang sama, mengingat sifat manusia yang tiada batas akan sebuah kepuasan dan selalu ingin berkuasa. Begitu juga dengan kekuasaan, disetiap jalinan hubungan disitu pula terdapat sebuah kuasa antara yang satu dengan yang lain. Kekuasaan sebenarnya hanya menjadi salah satu objek, tapi tidak pula bisa dipungkiri bahwa kekuasaan merupakan aspek yang relatif penting dalam kehidupan. Konflik yan terjadi bukanlah tanpa sebab dan tujuan, yang salah satunya adalah ingin memperebutkan sumber-sumber yang sama (disatu pihak ingin merebut/memiliki, dan dipihak lain ingin mempertahankannya. Kekuasaan yang dimaksud disini adalah pihak yang satu mengusai pihak lain. Pada akhirnya konflik yang terjadi adalah dalam rangka ingin memperebutkan sebuah kekuasaan (sumber-sumber kekuasaan yang sama) yang terlepas dari perbedaan suku, ras, dan agama (meskipun tidak bisa kita pungkiri bahwa masyarakat yang sifatnya beragam itu rentan terjadi konflik).

  Melihat perjalanan sejarah bangsa Indonesia, terutama pada masa penjajahan oleh Belanda dengan jangka waktu cukup lama, Belanda datang ke Indonesia dengan berbagai alasan, diantaranya adalah karena tanahnya yang sangat subur untuk di tanami rempah-rempah dan tanaman lainnya seperti tembakau. Melihat hal yang demikian, setelah beberapa waktu menduduki beberapa wilayah yang ada di Indonesia, maka pihak Belanda berinisiatif untuk memperluas tanah kekuasaannya secara paksa di wilayah Indonesia. Kekuasaan dalam hal ini berarti bagaimana para kolonialis Belanda ingin menguasai tanah air penduduk pribumi dan bagaimana pula penduduk pribumi melakukan perlindungan terhadap daerah kekuasaannya dengan berbagai bentuk perlawanan atas usaha-usaha Belanda untuk memperluas daerah kekuasaannya.

  Para pahlawan terdahulu telah bersedia mengangkat senjata, mengorbankan segenap jiwa dan raganya dalam rangka menentang kolonial Belanda yang ingin menduduki bumi pertiwi ini. Banyak peristiwa bersejarah yang tidak sedikit merenggut nyawa para pahlawan kita yang membela akan kesucian tanah air nenek moyang kita. Seperti misalnya Perang Diponegoro, perang ini adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernamDalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit baik korban harta maupun jiwa. Begitupula di Sumatera, kita sudah tidak asing dengan perang melawan Belanda yang dipimpin oleh Sisingamangaraja, ini adalah sebagian kecil dari sejarah perjalanan bangsa Indosensia menuju kemerdekaannya.

  Dan khususnya di tanah Sunggal, Medan, Sumatera Utara telah terjadi perlawanan rakyat pribumi melawan Belanda, perang ini merupakan salah satu peristiwa sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaannya. Perang ini adalah perjuangan rakyat Sunggal dalam mempertahankan tanah tumpah darahnya dari penguasaan tangan penjajahan Belanda. Wilayah Sunggal (Serbanyaman) yang sangat subur ketika itu ingin dikuasai oleh perusahaan perkebunan Belanda untuk ditanami tembakau. Penguasaan itu tanpa seizin raja dan rakyat Sunggal sehingga timbullah peperangan. Perang ini merupakan salah satu perang yang terbesar sehingga pemerintah Hindia Belanda harus mengeluarkan 'Medali Khusus' untuk menghargai para pemimpin perang ini dari pihak mereka. Hal itu diketahui dari catatan yang terdapat di Museum KNIL,

1 Bronbeek (Belanda).

  Ada beberapa tokoh pejuang yang terlibat secara langsung dalam Perang Sunggal ini. Mereka berusaha mempertahankan Sunggal (Serbanyaman), tanah airnya, dari penjajahan Belanda. Tokoh- tokoh tersebut antara lain ialah Datuk Badiuzzaman Surbakti, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Mahini Surbakti (Datuk Kecil), Datuk Jalil Surbakti, dan Datuk Sulong Barat Surbakti. 1 Pemicu terjadinya Perang Sunggal ini adalah masalah tanah. Ketika itu ada sistem

  Tengku Lukman Sinar, SH. 1988. Perang Sunggal (1872-1895). Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kota Medan. Medan. Hal. 3. pemerintahan tradisional yang di sebut Urung (desa/perkampungan), dan di daerah Deli sendiri terdpat 4 wilayah Urung anatara lain: Sunggal, Sepuluh Dua

   Kuta Hamparan Perak, dan Sukapiring. Pada masa itu wilayah Sunggallah yang

  memiliki tanah paling subur yang cocok untuk dijadikan perkebunan oleh maskapai-maskapai perkebunan Belanda dan sekaligus wilayah Sunggal adalah Urung yang terkuat di daerah Deli. Pada tahun 1870 Sultan Mahmud Perkasa Alam (Sultan Deli) memberikan tanah yang subur di wilayah Sunggal untuk dijadikan konsensi perkebunan perusahaan Belanda yang bernama De Rotterdam dan Deli Maschapij. Pemberian tanah ini tanpa melalui perundingan dengan penguasa serta rakyat wilayah Sunggal sehingga timbullah perlawanan bersenjata.

  Pada tahun 1872 Datuk Badiuzzaman Surbakti dan adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti dengan didukung rakyat Serbanyaman (Sunggal) dan suku-suku lainnya mulai mengadakan perlawanan dengan mengangkat senjata terhadap Belanda. Ketika itu, Belanda didukung oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam. Datul-datuk Sunggal tersebut menghendaki Sunggal merdeka dari siapapun. Kedatukan Sunggal telah melihat bahwa di Deli terdapat pemberian tanah tanah rakyat secara besar-besaran kepada maskapai-maskapai perkebunan tembakau Belanda dan keuntungan-keuntungan yang besar serta 2 pajak yang masuk ke kantong Belanda memebuat Sunggal menentang perluasan

  

Tengku Lukman Sinar, SH. 2009. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kota Medan. Medan. Hal. 17. perkebunan-perkebunan itu kedalam wilayah Sunggal, sedangkan Belanda dan maskapai-maskapai perkebunan menganggap Sunggal itu adalah taklukan Sultan Deli sehingga izin mendapat tanah cukup dengan persetujuan Sultan Deli saja. Atas hal tersebutlah maka Datuk Kecil mengumpulkan dukungan rakyat Melayu dan Karo dari hulu Sunggal yang juga takut bila tanah adat mereka akan diambil Belanda begitu saja.

  Perlawanan rakyat Serbanyaman (Sunggal) dilakukan rakyat dengan bergerilya sambil membakar bangsal-bangsal tembakau di atas tanah rakyat yang dikuasai oleh Belanda. Dalam perang ini, beliau, Datuk Badiuzzaman Surbakti terlihat taktis dalam melakukan perlawanan terhadap pihak Belanda, ia memecahbelah konsentrasi taktik penyerangan yang dilakukan Belanda, meskipun para pejuang hanya memiliki senjata yang sederhana seperti pedang, tombak, senapan locok melawan musuh yang dipersenjatai dengan senjata yang lebih canggih, tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat juang para pahlwanan untuk tetap maju dan perang demi perang alhasil sering dimenangkan oleh para pejuang dengan tidak sedikit mengorbankan nyawa para pejuang yang ikut didalam medan perang. Begitu juga dari pihak Belanda yang sering kualahan melawan para pejuang dan sering meminta bantuan pasukan dari pusat yang berada di Jawa ketika itu.

  Yang pertama, tibanya Korps Ekspedisi Militer Belanda yang ke-1. Untuk menghadapi keadaan darurat maka Korps Ekspedisi Militer Belanda yang ke-1 ini segera dibentuk secara tergesa-gesa dengan gabungan Angkatan Darat dan Korps Marinir Angkatan Laut dari kapal-kapal perang Banka dan Den Briel.

  Panglima Korps Ekspedisi I ini adalah Kapten W. Koops, dan langsung menuju Ke Sunggal pada tanggal 15 Mei 1872. Bantuan Korps Ekspedisi Militer Belanda yang ke-2, hal inipun tidak banyak memberikan bantuan terhadap pasukan Belanda dalam peperangan. Dan yang terakhir tibanya Korps Ekspedisi Militer Belanda yang ke-3. Panglima Angkata Darat Hindia Belanda menganggap bahwa pimpinan Letnan Kolonel Von Hombracht tidak becus untuk mengatasi situasi di Deli, karena tidak ada kemajuan apa-apa yang berarti yang dapat dicapainya. Pada tanggal 24 September tibalah di Deli kapal perang Willem III membawa anggota- anggota pasukan baru Belanda dalam Ekspedisi Militer ke-3 yang dipimpin oleh

3 Mayor N. W. C. STuwe.

  Dengan pimpinan Datuk Sunggal Badiuzzaman Surbakti dan adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, rapat-rapat rahasia dengan pemuka rakyat sering diadakan untuk merencanakan strategi perang melawanpasukan Belanda. Keadaan di Deli sendiri ketika itu sedang gawat karena bahaya kelaparan mengancam yang disebabkan kaum tani turut bersimpati tidak menjual beras kepada Belanda. Sehingga Belanda terpaksa mengimpor beras secara besar-besaran dari Rangoon, Birma. Di samping itu perlawanan terus terjadi dimana-mana yang dipimpin oleh Sri Diraja dengan bergerilya dan 3 membakar bangsal-bangsal tembakau milik Belanda. Kerena perlawanan yang Brahmana Putro, 1979. Karo Dari Zaman ke Zaman. Jilid 2. Ulih Saber. Medan. Hal. 241. dipimpin Datuk Badiuzzaman Surbakti ini sulit dipadamkan oleh Belanda, maka Belanda secara licik menipu belia dalam sebuah perundingan damai,beliau tiba- tiba ditangkap oleh pasukan Belanda pada tahun 1895 dan kemudian beliau bersama adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti di buang ke Tanah Jawa seumur hidup.

  Meskipun perang ini oleh pihak Belanda di sebut “Perang Batak “ karena pertempuran yang sering terjadi berada di wilayah pegunungan yang didiami suku Batak Karo, namun perang ini bersifat nasionalis, karena : 1.

  Tidak berunsur keagamaan (di sini suku Melayu Islam yang bersatu dengan suku Batak Karo yang belum beragama pada masa itu).

  2. Kerjasama dari berbagai suku bangsa, yaitu suku Melayu, suku Batak Karo, Suku Aceh Gayo).

  3. Menentang perampasan tanah-tanah rakyat oleh pihak perkebunan milik Belanda.

  4. Mempertahankan tanah air terhadap ekspansi kolonial Belanda.

  5. Membentuk popular front untuk pembebasan dimana Belanda sudah

   bercokol.

  Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan ada beberapa masalah menarik yang tentunya akan dibahas dalam bab selanjutnya. Yang pertama, apa 4 sebenarnya hal yang melatarbelakangi bahwasannya Sultan Deli yaitu Sultan Tengku Lukman Sinar, SH. op. cit.Hal. 3-4. Mahmud Perkasa Alam memberikan tanah Sunggal yang subur kepada Belanda untuk ditanami tembakau. Hal ini sangat menarik untuk diketahui jika melihat kebelakang bahwa keturunan nenek moyang Kesultanan Deli berasal dari seorang perempuan yang bersuku Karo bernama Nang Baluan Surbakti yang dikawini oleh Gocah Pahlawan Laksamana Khoja Bintan, salah satu seorang Panglima Dari Sultan Iskandar Muda Aceh di tahun 1612. Yang kedua, dalam penelitian ini penulis juga akan memberikan penjelasan-penjelasan mengenai sebuah permasalahan mengapa Kesultanan Deli lebih memilih untuk bersekutu kepada Belanda. Yang ketiga, dalam perjalanan perang, mengapa pihak Belanda dengan senjata yang lebih canggih sering kualahan dalam perang melawan para pejuang dengan senjata yang bersifat tradisional. Pemimpin perang Sunggal seperti Datuk Badiuzzaman Surbakti dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya ketika itu tentunya mempunyai taktik khusus untuk melawan musuh sehingga ia dan para pejuangnya sering mendominasi peperangan.

  Melihat proses dan memakan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 23 tahun, dan banyak korban yang berjatuhan dalam medan perang (baik dari pihak para pejuang maupun dari pasukan Belanda), serta kepiawaian Datuk Badiuzzaman Surbakti dalam memimpin perang, hal ini juga menarik minat penulis untuk melakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui dan mengeksplorasi berbagai fakta yang sebenarnya terjadi dalam perang sunggal. Oleh karena hal tersebut, penulis dapat menentukan untuk melakukan penelitian ini dengan judul KONFLIK DAN KEKUASAAN: Suatu Studi Perjuangan Politik DatukBadiuzzaman Surbakti Dalam Perang Sunggal (1872-1895).

  Perumusan Masalah 2.

  Dalam menganalisis bagaimana konflik dan kekuasaan yang terjadi didalam Perang Sunggal yang di pimpin oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti, tentu diperlukaan kajian yang mendalam tentang konsep konflik dan kekuasaan, sehingga dapat membentuk sebuah pemaparan yang jelas mengenai kepiawaian beliau dalam memimpin Perang Sunggal. Berbeda ketika perang yang dipimpin langsung oleh pamannya, Datuk Muhammad Dhini Surbakti, Datuk Badiuzzaman Surbakti terlihat lebih taktis dalam dalam merencanakan strategi perang dan mengkoordinasi para pejuang lainnya. Kemudian kekuasaan yang ditunjukkan oleh beliau sebagai Raja Sunggal yang begitu perhatian dan sangat bijaksana dapat dirasakan oleh rakyatnya, sehingga rakyatnya sangat mencintai beliau dan memberikan dukungan yang sangat besar, bahkan rakyatnya mau mengorbankan jiwa, raga dan hartanya untuk membantu beliau dalam mempertahankan wilayah Sunggal dari penjajahan Belanda. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

  Bagaimana konflik dan kekuasaan yang dicerminkan dalam perjuangan politik Datuk Badiuzzaman Surbakti dalam Perang Sunggal ?

3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

  3.1 Tujuan Pemelitian

  Adapun tujuan penulis mengadakan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

  Untuk mengeksplorasi kedudukan konflik dan perebutan kekuasaan antara Datuk Badiuzzaman Surbakti melawan Belanda yang bersekutu dengan Kesultanan Deli dalam Perang Sunggal.

  3.2 Manfaat Penelitian 1.

  Bagi penulis sendiri, melalui penelitian ini dapat mengembangkan kemampuan berfikir serta mengekplorasi pemikirannya dalam karya ilmiah ini.

  2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman terhadap studi politik lokal, khususnya kajian tentang teori konflik dan teori kekuasaan.

  3. Bagi akademisi, penelitian ini dapat dijadikan sebagai khasanah kekayaan ilmu politik di FISIP USU dan lembaga-lembaga atau praktisi yang terkait dalam bidang penelitian ini.

4. Studi Kepustakaan

  Mengenai penelitian ini yaitu tentang konflik dan kekuasaan yang dicerminkan oleh Datuk Badiuzzaman surbakti dalam perang Sunggal (1875- 1895), belum ada penelitian sebelumnya yang menyinggung secara langsung Datuk Badiuzzaman Surbakti tersebut. Tetapi karena dalam penelitian ini ada berbicara mengenai Kesultanan Deli, sebelumnya ada penelitian yang menyangkut Kesultanan Deli, yaitu tesis dari Asmyta Surbakti M. Si, Jurusan Ilmu Budaya (Cultur Studies), Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Bali, 2004. Beliau melakukan penelitian mengenai Istana Mimoon yang di kaji dari sudut pandang kajian budaya dengan konsentrasi dalam bidang pariwisata industri. Berbeda dengan penelitian ini yang dikaji melalui sudut pandang ilmu politik.

5. Pentingnya Penelitian

  Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan keturunan dari Kedatukan Sunggal. Kedatukan Sunggal itu sendiri merupakan merupakan suatu institusi adat yang mempunyai pemimpin, dari sejarah berdirinya tidak pernah mereka berjuang sendiri-sendiri tanpa berkoordinansi dengan yang lainnya. Apalagi dalam perjuangan melawan Belanda, dan pemimpin perang ketika itu adalah Datuk Badiuzzaman Surbakti yang dibantu dengan Datuk Mahini Surbakti (Datuk Kecil), Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Jalil Surbakti, dan Datuk Sulong Barat Surbakti. Yang ada hanya semangat perjuangan untuk menjadikan mereka berjuang melampui batas dirinya dan keluarganya.

  Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan sosok yang memiliki jiwa patriotik dan berjuang tanpa pamrih serta diselimuti semangat nasionalisme yang tinggi. Terbukti dalam membendung penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, ia berjuang melalui diplomasi yaitu membentuk persekutuan agung dengan Suku Karo, Aceh Gayo dan Suku Melayu untuk bersatu padu melawan Belanda. Beliau adalah penggagas sekaligus pemimpin dalam Perang Sunggal.

  Dalam hal strategi peperangan, ia membentuk suatu badan perjuangan untuk memobilisasi rakyat pribumi melawan pasukan Belanda yang terorganisir yang terletak di Desa Gajah. Badan perjuangan ini di pimpin oleh Datuk Kecil Surbakti, Datuk Jalil Surbakti, dengan panglima perangnya Datuk Sulong Barat Surbakti dan Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti dibantu dengan Nabung Surbakti dan panglima dari Aceh yaitu Nyak Makam. Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan sosok pemimpin yang pantang menyerah, meskipun ketika pamannya yang bernama Datuk Kecil ditangkap oleh Belanda dan dibuang seumur hidup ke Jawa, beliau tetap semangat dalam melawan Belanda dengan mengubah pola perjuangan yang semula perang secara frontal dan terbuka menjadi aksi-aksi sabotase dan perang gerilya. Dalam hal ini beliau mampu membaca dan mencermati situasi politik yang berubah sekaligus sebagai taktik untuk terus memupuk semangat perlawanan rakyat hingga titik darah terakhir.

  Datuk Badiuzzaman Surbakti juga memiliki sikap non kompromi terhadap penjajahan Belanda, karena hal itu adalah nilai dari leluhur bahwa pantang menyerah dan tunduk terhadap penjajah Belanda. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam memimpin perang ia sangat berjasa pada masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sumatera pada khususnya, karena telah melawan Belanda demi mempertahankan tanah airnya, selama kurang lebih 23 tahun ia berperang melawan Belanda. Datuk Badiuzzaman Surbakti adalah pejuang yang sangat berkonsisten tinggi karena hampir seluruh usianya yaitu hampir 2/3 dari umurnya ia abdikan untuk berjuang dan berbakti demi menegakkan dan mempertahankan bumi pertiwi dari cengkraman Belanda.

6. Kerangka Teori

6.1 Konflik

  Menurut kamus besar bahasa Indonesia konflik adalah percekcokkan, perselisihan, pertentangan. Konflik berasal dari kata kerja bahasa latin yaitu

  

configure yang berarti saling memukul. Secara Sosiologis konflik diartikan

  sebagai proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya atau sikap saling mempertahankan diri sekurang- kurangnya diantara dua kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan berbeda, dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi, bukan kerjasama. Konflik dapat berupa perselisihan (dissagreement), adanya ketegangan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara kedua belah pihak, sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing. Penyelesaian efektif dari suatu konflik

   seringkali menuntut agar faktor-faktor penyebabnya diubah.

  Sosiolog besar, Ralf Dahendorf mengatakan bahwa konflik pada dasarnya mempunyai dua makna. Pertama, konflik merupakan akibat dari suatu proses 5 integrasi didalam masyarakat yang tidak tuntas (tidak terselesaikan). Dalam

  Dikutip darang di akses pada tanggal 10 Maret 2012, pukul 13.10 WIB. konteks ini Dahendorf ingin mengatakan bahwa, konflik merupakan sebuah gejala penyakit sosial yang dapat merusak persatuan dan kesatuan masyarakat.

  Pada derajat intensitas yag tinggi, konflik semacam ini tentu dapat meluluhlantakkan sebuah negara kesatuan hancur berkeping-keping. Kedua, menurutnya lebih lanjut, konflik dapat pula dipahami sebagai sebuah proses alamiah dalam rangka sebuah proyek rekonstruksi sosial. Dalam konteks ini konflik dapat dilihat secara fungsional sebagai suatu strategi untuk menghilangkan unsur-unsur disintegrasi didalam masyarakat yang tidak

   terintegrasi secara sempurna.

  Istilah konflik dalam ilmu politik acap kali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi. Konflik persaingan dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok dengan pemerintah. Masing- masing berupaya keras untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber yang sama. Namun guna mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber yang sama itu, kekerasan bukan satu-satunya cara. Pada umunya kekerasan cenderung digunakan sebagai alternatif terakhir. Dengan demkian, konflik dibedakan menjadi dua, yaitu konflik yang berwujud kekerasan dan konflik yang tak berwujud kekerasan.

  Konflik yang mengandung kekerasan, pada umumnya terjadi dalam masyarakat-negara yang belum memiliki konsensus dasar mengenai dasar dan 6 tujuan negara, dan mengenai mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik Leo Agustino. 2007. PERIHAL ILMU POLITIK; Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik. Graha Ilmu.

  Yogyakarta. Hal. 2006. yang melembaga. Huru-hara (riot), kudeta, pembunuhan atau sabotase yang berdimensi politik (terorisme), pemberontakan, dan sparatisme, serta revolusi merupakan sejumlah contoh konflik yang mengandung kekerasan.

  Sedangkan konflik yang tak berwujud kekerasan pada umumnya dapat ditemui masyarakat-negara yang memiliki konsensus mengenai dasar dantujuan negara, dan mengenai mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang melembaga. Adapun contoh konflik yang ak berwjud kekerasan adalah unjuk rasa (demonstrasi), pemogokan (dengan segala bentuknya), pembangkangan sipil (civil disobedience), pengajuan petisi dan protes, dialog (musyawarah), dan polemik melalui surat kabar.

6.1.2 Penyebab Konflik

  Pada dasarnya konflik politik disebabkan oleh dua hal. Konflik politik itu mencakup kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertikal. Yang dimaksud dengan kemajemukan horizontal ialah struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, seperti suku bangsa, daerah, agama, dan ras; dan majemuk secara sosial dalam arti pekerjaan dan profesi, seperti buruh, petani, pedagang, pengusaha, pegawai negeri sipil, militer, wartawan, dokter, alim ulama, dan cendikiawan, dan horizontal kultural dapat menimbulkan konflik karena masing-masing kultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budaya dari ancaman kultur lain. Dalam masyarakat berciri demikian ini, apabila belum ada suatu konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik politik karena benturan budaya akan menimbulkan perang saudara atau gerakan sparatisme.

  Kemajemukan vertikal ialah sttruktur masyarakat yang terpolarisasikan menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat yang tidak memilki atau hanya memiliki sedikit kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan akan memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kelompok kecil masyarakat yang mendominasi ketiga sumber pengaruh tersebut. Jadi, distribusi kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan yang pincang merupakan penyebab utama timbulya konflik politik.

  Konflik terjadi manakala terdapat benturan kepentingan. Dalma rumusan lain dapat dikemukakan konflik terjadi jika ada pihak yang merasa diperlakukan tidak adil atau manakala pihak berperilaku menyentuh “titik kemarahan” pihak lain. Dengan kata lain, perbedaan kepentingan karena kemajemukan vertikal dan kemajemukan horizontal merupakan kondisi yang harus ada (necessary condition) bagi timbulnya konflik, tetapi perbedaan kepentingan itu bukan kondisi yang memadai (sufficien condition) untuk menimbulkan konflik.

  Konflik politik dikelompokkan menjadi dua tipe. Kedua tipe ini meliputi konflik positif dan konflik negatif. Yang dimaksud dengan konflik positif ialah konflik yang tak mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang dimaksud adalah lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan-badan perwakilan rakyat, pengadilan, pemerintah, pers, dan forum- forum terbuka yang lain. Tuntutan akan perubahan yang diajukan oleh sejumlah kelompok masyarakat melalui lembaga-lembaga itu merupakan contih konflik positif. Sebaliknya, konflik negatif ialah konflik yang dapat mengancam eksistensi sitem politik yang biasanya disalurkan melalui cara-cara nonkonstitusional, seperti kudeta, separatisme, terorisme dan revolusi. Kategori ini mengandung kelemahan. Apabila mayoritas masyarakat memandang lembaga dan struktur yang ada tidak mencerminkan kepentingan umum, konflik yang disalurkan melalui mekanisme politik justru dipandang sebagai konflik yang negatif. Sebaliknya, tindakan yang menentang sistem yang tidak mencerminkan kepentingan umum dipandang sebagai konflik positif.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mentukan suatu konflik bersifat positif atau negatif sangat bergantung pada persepsi kelompok yang terlibat dalam konflik, terutama pada sifat masyarakat umum terhadap sistem politik yang berlaku. Dalam hal ini, yang menjadi patokan untuk suatu konflik yang bersifat positif atau negatif, yakni tingkat legimitasi sistem politik yang ada. Hal ini dapat dilihat dari dukungan masyarakat umum terhadap

   sistem politik yang berlaku.

6.1.4 Struktur Konflik

7 Ramlan Surbakti. 2010. Memahami Ilmu Politik. Grasindo. Jakarta. Hlm. 196.

  Menurut Paul Conn, situasi konflik pada dasarnya dibedakan menjadi konflik menang-kalah (zero-sum conflic) dan konflik menang-menang (non-zero-

  sum conflic ).

  Konflik menang-kalah ialah situasi konflik yang bersifat antagonistik sehingga tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi diantara pihak-pihak yan terlibat dalam konflik. Ciri struktur konflik ini adalah tak mungkin mengadakan kerjasama, hasil kompetisi akan dinikmati oleh pemenang saja (pihak pemenang akan semuanya), dan yang dipertaruhkan biasanya menyangkut hal-hal yang dianggap prinsipiil, seperti harga diri, iman kepercayaan, masalah hidup atau mati, dan jabatan penting pemerintahan. Konflik antara penganut iman dan kepercayaan tertentu dengan partai atau kelompok yang menganut ideologi komunis merupakan konflik menang-kalah. Hal ini disebabkan keduanya tidak mungkin mengadakan kompromi dan bekerja sama secara utuh. Sementara itu, pemilihan umum, misalnya pemilihan presiden dan anggota kongres secara langsung di Amerika Serikat yang menggunakan formula pluralitas dalam menentukan siapa yang menjadi pemenang merupakan salah satu contoh tentang konflik menang kalah.

  Konflik menang-menang ialah suatu situasi dalam mana pihak-pihak yan terlibat dalam konflik masih mungkin mengadakan kompromi dan bekerja sama sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut. Yang dipertaruhkan dalam situasi konflik biasanya bukan hal-hal yang prinsipiil, tetapi bukan pula hal yang tidak penting. Namun justru hal itu dianggap penting, maka diadakan dialog, kompromi dan kerjasama yang menguntungkan kedua pihak. Ciri struktur konflik ini, yakni kompromi dan kerja sama, hasil kompetisi akan dinikmati oleh kedua pihak tetapi tidak secara maksimal. Konflik yang terjadi dalam proses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara antara pemerintah dan fraksi-fraksi di badan-badan perwakilan rakyat biasanya diselesaikan secara kompromi. Akibatnya, semua pihak berhasil memperjuangkan usulannya, walaupun tidak secara maksimal.

6.1.5 Tujuan Konflik

  Secara umum ada dua tujuan dasar setiap konflik, yakni mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber. Tujuan konflik untuk mendapatkan sumber-sumber merupakan ciri manusia yang hidup bermasyarakat karena manusia memerlukan sumber-sumber tertentu baik yang bersifat materiil- jasmaniah maupun spiritual-rohaniah untuk dapat hidup secara layak dan terhormat dalam masyarakat. Yang ingin diperoleh manusia meliputi hal-hal yang sesuai dengan kehendak dan kepentingannya.

  Tujuan konflik untuk mempertahankan sumber-sumber yang selama ini sudah dimiliki juga merupakan kecenderungan hidup manusia. Manusia ingin memelihara sumber-sumber yang menjadi milikya, dan berupaya mempertahan Yang ingin dipertahankan bukan hanya harga diri, keselamatan hidup, dan keluarganya, tetapi juga wilayah/daerah tempat tinggal, kekayaan, dan kekuasaan yang dimiliki. Tujuan mempertahankan diri tidak menjadi monopoli manusia saja karena binatang sekalipun memiliki watak untuk berupaya mempertahankan diri.

  Perbedaan tujuan konflik ini merupakan perbedaan yang bersifat analitis sebab dalam kenyatan jarang terjadi konflik yang bertujuan mendapatkan atau mempertahankan saja. Yang sering terjadi berupa perpaduan keduanya. Dalam hal ini, baik yang berupaya mendapatkan ataupun beupaya mempertahankan. Itu sebabnya mengapa tujuan konflik dirumuskan sebagai mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.

  Dalam setiap kasus konflik, pihak-pihak yang terlibat biasanya membuat perhitungan untung dan rugi. Maksudnya untuk memaksimalkan perolehan dan meminimalkan risiko yang akan terjadi. Artinya setiap pihak berusaha untuk mendapatkan sebanyak mungkin sumber-sumber tetapi dengan kerugian sekecil mungkin. Yang terakhir ini sesungguhnya menjadi motif atau tujuan mempertahankan sumber yang selama ini ingin dikuasai.

  Berdasrkan deskripsi diatas, disimpulkan dalam setiap situasi konflik selalu akan bertemu pelbagai tujuan. Dengan asumsi ini, dibuat kategorisasi tujuan konflik sebagai berikut.

1. Pihak-pihak yan terlibat dalam konflik memiliki tujuan yang sama, yakni sama-sama berupaya mendapatkan.

  Di satu pihak, hendak mendapatkan, sedangkan dipihak lain, berupaya

   keras mempertahankan apa yang dimiliki. 8

6.1.6 Intensitas Konflik Ibid, Ramlan Surbakti, Hal. 199.

   Konflik yang inten tidak selalu sama artinya denga konflik yang

  mengandung kekerasan. Intensitas konflik lebih merujuk pada besarnya energi (ongkos) yang dikeluarkan dan tingkat keterlibatan partisipan dalam konflik.

  Sebaliknya, konflik yang mengandung kekerasan lebih merujuk pada akibat konflik dari pada sebab-sebabnya. Dalam hal ini, menyangkut senjata yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkonflik untuk menyatakan permusuhannya. Sementara itu, dimensi lamanya konflik (duration) dapat saja terjadi baik pada konflik yang intens maupun konflik yang mengandung kekerasan karena kekerasan akan dibalas dengan kekerasan sehingga konflik akan terjadi berkepanjangan.

  Pertanyaan yang muncul, apakah faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas dan violent (mengandung kekerasan) tidaknya suatu konflik politik? Jawaban atas pertanyaan ini ada dua aspek. Pertama, segi eksternal. Apek ini meliputi kondisi organisasi, stratifikasi sosial, kelas, dan kemunginan perubahan status.

  Apabila kondisi organisasi kelompok yang berkonflik secara sah terorganisasikan, konflik terjadi cenderung tanpa kekerasan. Sebaliknya, apabila kelompok yang berkonflik tidak terorganisasikan secara sah, kemungkinan konflik yang mengandung kekerasan semakin besar. Apabila dari segi stratifikasi mencakup ekonomi, pertentangan antara pihak-pihak yang berkonflik mencakup pelbagai jenis, seperti orang desa, wong cilik, dan abangan yang berhadapan dengan orang kota, priayi, sedangkan yang lain wong cilik tetapi kedua pihak sama-sama abangan atau santri, konflik tidak akan intens.

  Selain itu, apabila dari segi kelas yang mendominasi dan yang didominasikan, pertentangan itu mencakup pelbagai sektor, seperti kels yang dominan di dalam negara, industri, partai, dan agama berhadapan dengan kelas yang mendominasi di dalam negara, industri, partai, dan agama, konflik cenderung mengandung kekerasan. Sebaliknya, pertentangan yang bersifat kelas itu terjadi pada satu sektor saja, misalnya disatu pihak menjadi kelas domonan di dalam suatu negara tetapi menjadi kelas yang didominasi di dalam negara namun menjadi kelas yang dominan dalam agama, konflik tidak mengandung kekerasan.

  Lalu, apabila kelas dominan dalam industri, konflik cenderung bersifat intens.

  Selanjutnya, apabila pihak yang berkonflik memandang kemungkinan perubahan status tidak hanya terjadi bagi keturunannya (mobilitas

  

intergenerasional ), tetapi juga bagi diri sendir (mobilitas intragenerasional),

  konflik tidak akan intens. Sebaliknya, apabila yang bersangkutan menilai tidak mungkin terjadi peningkatan status bagi dirinya dan keturunannya, konflik tidak saja cenderung intens, tetapi juga mengandung kekerasan.

  Kedua, segi internal atau yang dipertaruhakn dalam konflik terdapat dua faktor yang mempengaruhi intensitas suatu konflik, yakni besar-kecilnya sumber- sumber yang diperebutkan, dan besar-kecilnya risiko yang timbul dari konflik tersebut. Apabila kontestan/pihak yang terlibat dalam konflik memandang sumber-sumber yang diperebutkan begitu besar artinya bagi dirinya, kemungkinan terjadi konflik yang intens bukan hal yang mustahil. Persepsi kontestan mengenai bertambah tidaknya sumber-sumber yag diperebutkan, dan kegunaan sumber- sumber yang diperebutkan bagi kontestan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhipandanga kontestan mengenai besar-kecilnya sumber-sumber yang diperebutkan. Artinya, kalau kontestan menganggap jumlah sumber yang diperebutkan tidak bertambah/tetap, kemungkinan timbulnya konflik yang intens semakin besar.

  Demikian pula, manakala kontestan menilai sumber yang diperebutkan itu bermakna mendalam dan sangat penting bagi kehidupannya, konflik yang intens akan terjadi. Sementara itu, kalau pihak yang terlibat didalam konflik menilai risiko yang bakal terjadi lebih kecil dari pada keuntungan (yang tak selalu dalam arti materil, tetapi juga nonmateril) yang akan diperoleh dari konflik, konflik yang

   intens bukan tidak mungkin terjadi.

6.1.7 Pengaturan dan Pengendalian Konflik

  Di dalam studi perdamaian (peace studies) terdapat tiga istilah yang perlu dipahami secara baikguna tidak mengacaukan pemahaman, yakni: pertama, penyelesaian konflik (conflic resolution) merujuk pada sebab-sebab konflik daripada manifestasi konflik. Logika yang bekerja pada pemahaman ini ialah konflik selalu akan ada didalam kehidupan manusia. Kedua, pembasmian konflik, merujuk kepada manifesatasi konflik dari sebab-sebb konflik. Logika yang bermain dalam konteks pembasmian konflik adalah dalam jangka pendek konflik dapat dibasmi dengan kekerasan, tetapi untuk jangka panjang tidak akan mungkin menggunakan konflik karena semakin dibasmi dengan konflik, maka konflik itu 9 sendiri akan semakin muncul berkobar dan membesar. Selanjutnya, ketiga, Ibid, Ramlan Surbakti, Hal. 200-202. pengaturan konflik berupa bentuk-bentuk pengendalian yang lebih diarahkan pada manifestasi konflikdari pada sebab-sebab konflik. Dengan asumsi konflik tidak akan dapat diselesaikan dan dibasmi, maka konflik dapat diatur saja. Oleh karena itu, dalam bagian akhir ini dipaparkan beberapa kajian kebijakan yang berupaya untuk mengatur dan mengendalikan konflik.

  6.2 Kekuasaan Kekuasaan pada dasarnya melekat secara inheren pada diri manusia sebagai manusia politik (zoon politicon). Jadi setiap manusia secara mendasar akan memiliki keinginan yang mutlak tentangn kekuasaan. Paling tidak seseorang akan menjadi penguasa bagi dirinya sendiri, keluarga, organisasi sederhana sampai pada tataran organisasi yan sangat dominan dalam cakupan kekuasan yakni negara.

  Kekuaan secara umum dapat diartikan sebagai suatu kemampuan yang terdapat dalam diri manusia atau sekelompok manusia yang dapat mempengaruhi tingkah laku orang atau sekelompok orang lain dalam interaksinya sehingga hasil dari interaksi yan dilakukan secara aktif ini dapat menimbulkan hasil yang sesuai dengan tujuan dan keinginan yan terdapat pada orang atau kelompok orang yang berkuasa itu. Jadi ini pada intinya merupakan gejala masyarakat yang muncul

   dalam berbagai bentuk yang kondusif dalam kehidupan bersama.

  Ketertarikan seseorang akan kekuasaan berasal dari keinginan dan tujuan 10 yang dengan konsisten ingin dicapainya. Sebagai konskuensinya dia atau mereka

  Manggeng, Marthen. 2004, “Kepemimpinan Tradisional: Antara Kenangan dan Impian”,

  INTIM – Jurnal STT Intim Makassar Edisi No. 7 - Semester Ganjil 2004, Hlml. 41-46. berusaha memaksakan kemauannya itu kepada pihak lain. Daya paksa ini dilakukan dengan cara mengendalikan oran lain dengan mengutamakan keselamatan dirinya. Demikian pentingnya kekuasaan itu sehingga simbolnya menjadi simbol sosial. Artinya kekuasaan ini menjadi kekuasaan sosial yang akan selalu muncul dalam hubungan-hubungan sosial dalam semua lini organisasi yang

   tumbuh dan berkembang sebagai fasilitasnya.

  6.2.1 Kekuasaan Menurut Harold D. Laswell

  Ia berasumsi bahwa kekuasaan adalah suatu hubugan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama (power is relationship in wich one person or

  

group is able to determine the action of another in the direction of t she former’s

  ). Berkaitan dengan hal ini ia juga merumuskan kekuasaan itu adalah

  own ends

   sebagai who gets what, when and how.

  6.2.2 Dimensi Kekuasaan

  Defenisi tentang kekuasaan yang dikemukakan diatas, setidaknya telah membantu kita dalam memahami konsep kekuasaan, meskipun tidak bisa dipungkiri pula bahwa interpretasi tiap orang tentang kekuassan mungkin berbeda antara yang satu dengan lainnya. Tapi setidaknya defenisi-defenisi tesebut telah bisa mengantarkan kita untuk sedikit mengerti tentang kekuasaan. Selanjutnya untuk lebih memahami konsep kekuasaan dalam ilmu politik secara lebih 11 komprehensif, berikut ini dikemukakan beberapa dimensi kekuasaan, antara lain; 12 Deden Faturohman dan Wawan Sobari. 2004. Pengantar Ilmu Politik. UMM. Malang. Hlm. 21-22.

  Prof. Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hlm. 20.

  1. Potensial - Aktual Seseorang dikatakan memiliki kekuasaan potensial apabila dia memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti, kekayaan, senjata, status sosial yang tiggi, popularitas, pengetahuan dan informasi, massa yang terorganisi, serta jabatan. Selanjutnya, seseorang dikatakan memiliki kekuasaan aktual jika dia mampu menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya kedalam kegiatan politik secara efektif.

  2. Konsensus – Paksaan Aspek konsensus dari kekuasaan adalah ketika kekuasaan dijadikan alat untuk mencapai tujuan dari masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan aspek paksaan dari kekuasaan adalah sekelompok kecil orang menggunakan kekuassan sebagai alat untuk mencapai tujuan tanpa menghiraukan masyarakat secara keseluruhan dan dengan menggunakan kekerasan baik secara fisik maupun secara psikis.

  3. Positif – negatif Aspek ini melihat kekuasaan dari tujuannya. Dikatakan kekuasaan positif jika kekuasaan digunakan untuk mencapai tujuan yang dipandang penting dan diharuskan. Sebaliknya dikatakan kekuasaan negatif apabila kekuasaan digunakan untuk menghalangi orang atau pihak lain mencapai tujuannya yang tidak hanya diandang tidak perlu, tetapi juga merugikan pihak yang berkuasa.

  4. Jabatan – pribadi

  Aspek ini lebih melihat kekuasaan pada pihak yang memegang kekuasaan. Kekuasaan jabatan dimaksudkan apa bila seseorang memiliki kekuasaan karena jabatan yang didudukinya tanpa memperhatikan kualitas pribadi dari oroang tersebut. Sedangkan kekuasaan pribadi dimaksudkan apabila sesorang memiliki kekuasaan karena kulitas pribadi (kharisma, kekayaan kecerdasan, status sosial yang tinggi, dsb) yang dimilikinya.

  5. Implisit – Eksplisit Kekuasaan Implisit adalah pengaruh yang tidak dapat dilihat tatapi dapat dirasakan, sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang secara jelas dilihat dan dirasakan.

  6. Langsung – tidak langsung Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melakukan hubungan secara langsung tanpa melalui perantara. Sedangkan kekuasaan tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik melalui perantara pihak lain yang dianggap memliki

   pengaruh yang lebih besar.

6.2.3 Sumber Kekuasaan

  Yang termasuk dalam kategori sumber kekuasaan ialah sarana paksaan 13 fisik, kekayaan dan harta benda (ekonomi), normatif, jabatan, keahlian, informasi,

  Soemardji, Soelaiman. 1984, ”Cara -cara Pendekatan Terhadap Kekuasaan Sebagai Suatu Gejala Sosial”, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa , Sinar Harapan, Jakarta. status sosial, popularitas pribadi, dan massa yang terorganisasi. Senjata tradisional, senjata konvensional, senjata modern, penjara, kerja paksa, teknologi, dan aparat yang menggunakan senjata-senjata ini merupakan sejumlah contoh

   sarana paksaan fisik.

6.2.4 Usur-Unsur Saluran Kekuasaan

  Kekuasaan yang dapat dijumpai pada interaksi soisial antara manusia maupun antara kelompok mempunyai beberapa unsur pokok, yaitu sebagai berikut.

1. Rasa Takut

  Perasaan takut pada seseorang (yang merupakan penguasa, misalnya) menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tindakan orang yang ditakuti tadi. Rasa takut merupakaan perasaan negatif karena seseorang tunduk kepada orang lain dalam keadaan terpaksa. Orang yang mempunyai rasa takut akan berbuat segala sesuatu yang sesuai dengan keinginan orang yang ditakutinya agar terhindar dari kesukaran-kesukaran yang akan menimpa dirinya, seandainya ia tidak patuh. Rasa takut juga akan menyebabkan orang yang bersangkutan meniru tindakan-tindakan orang yang ditakuinya. Gejala ini yang dinamakan

  

matched dependent behavior , yang tak mempunyai tujuan kongret bagi yang

  melakukannya. Rasa takut merupakan gejala universal yan terdapat di mana-mana dan biasanya dipergunakan sebaik-baiknya dalam masyarakat pemerintahan 14 otoriter. 15 Kartodirdjo, Sartono. 1984, Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta.

  Soerjono Soekanto. 2006. SOSIOLOGI; Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 233.

  2. Rasa Cinta Rasa cinta menghasilkan perbuatan yang pada umumnya positif. Orang- orang lain bertindak sesuai dengan kehendak pihak yang berkuasa untuk menyenangkan semua pihak. Artinya ada titik-titik pertemuan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Rasa cinta yang biasanya yang telah mendarah daging (internalized) dalam diri seseorang atau sekelompok orang. Rasa cinta yang efisien seharusya dimulai dari pihak penguasa. Apabila ada suatu reaksi positif dari masyarakat yang dikuasai, kekuasan akan dapat berjalan dengan baik dan teratur.

  3. Kepercayaan Kepercayaan dapat timbul sebagai hasil hubungan langsung antara dua orang atau lebih yang bersifat asosiatif. Misalnya, B sebagai orang yang dikuasai mengadakan hubungan langsung denga A sebagai pemegang kekuasaan. B percaya sepenuhnya A kalau A akan selalu bertindak dan berlaku baik. Dengan demikian, setiap keinginan A akan akan selalu dilaksanakan oleh B. Kemungkinan sekali bahwa B sama sekali tidak mengetahui kegunaan tindakan- tindakannya itu. Akan tetapi, karena dia telah menaruh kepercayaan kepada si A, penguasa agar A semakin mempercayai B. Pada contoh tersebut hubungan yang terjadi bersifat pribadi, tetapi mungkin saja hubungan demikian akan berkembang di dalam suatu organisasi atau masyarakat secara luas. Soal kepercayaan memang sangat penting demi kelanggengan suatu kekuasaan.

4. Pemujaan Sistem kepercayaan mungkin masih dapat disangkal oleh orang-orang lain.

  Akan tetapi, di dalam sistem pemujaan, seseorang atau sekelompok orang yang memegang kekuasaan mempunyai dasar pemujaan dari orang-orang lain.

  Akibatnya adalah segala tindakan penguasa dibenarkan atau setidak-tidaknya dianggap benar.

  Keempat unsur tersebut merpakan sarana yang biasanya digunakan oleh penguasa untuk dapat menjalankan kekuasaan yang ada di tangannya. Apabila seseorang hendak menjalankan kekuasaan, biasanya dilakukan secara langsung tanpa perantara. Keadaan semacam itu umumnya dapat dijumpai pada masyarakat-masyarakat kecil dan bersahaja, di mana para warganya saling mengenal dan belum dikenal adanya diferensiasi. Namun, di dalam masyarakat yan sudah rumit, hubungan antara penguasa dan yang dikuasai terpakasa dilaksanakan secara tidak langsung. Misalnya di Indonesia, tak akan mungkin presiden setiap kali berhubungan langsung dengan rakyatnya yang berjuta-juta itu

   dan tersebar tempat kediamannya.

6.2.5 Kedalaman Pengaruh Kekuasaan

  Kedalaman pengaruh kekuasaan ialah seberapa dalam perilaku individu dipengaruhi oleh pemegang kekuasaan. Apakah mempengaruhi perilaku luar ataukah sampai mempengaruhi perilaku dalam, seperti persepsi, orientasi, sikap 16 dan cara berfikir? Pemegang kekuasaan dalam sistem politik otokrasi tradisional Ibid, Soerjono Soekanto, Hal. 234. mempengaruhi perilaku luar agar anggota masyarakat tidak berperilaku yang dapat menimbulkan gejolak-gejolak yang mengganggu keselarasan, keharmonisan, dan ketertiban dalam masyarakat. Berbeda dengan pemegang kekuasaan pada sistem poitik totaliter menggunakan sarana-sarana paksaan fisik maupun psikologis untuk tidak hanya mempengaruhi perilaku luar, tetapi juga perilaku dalam. Akibatnya , muncul gejolak massa karena desakan etnis dan agama maupun golongan pekerja dan intelektual pada negara-negara totaliter di penghujung tahun 1980-an.

  Berbeda dengan keduanya, pemegang kekuasaan pada sistem politik demokrasi (liberal) menciptakan sebuah suasana yang memungkinkan individu berperilaku dalam dan berperilaku luar yang demokratis. Setiap orang sadar akan hak-haknya, dan menghormati hak orang lain sementara pemerintah menjamin hak-hak tersebut. Kecuali itu, setiap warga negara patuh pada hukum yang ditegakkan pemerintah. Angota masyarakat disosialisasikan melalui lembaga pendidikan dan media massa untuk berpersepsi, berorientasi, bersikap, dan

   berperilaku demokratis.

6.2.6 Cara Mempertahankan Kekuasaan demi stabilnya masyarakat tersebut, akan berusaha untuk mempertahankannya.

  Cara-cara atau usaha-usaha yang dapat dilakukannya adalah antara lain:

17 Ramlan Surbakti. op., cit. Hal. 93.

  1. Dengan jalan menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama, terutama dalam bidang politik, yang merugikan kedudukan penguasa, di mana peraturan-peraturan tersebut akan digantikan dengan peraturan-peraturan yang baru yang akan menguntungkan penguasa, keadaan tersebut biasanya terjadi pada waktu ada pergantian kekuasaan dari seorang penguasa kepada penguasa lain (yang baru);

  2. Mengadakan sistem-sistem kepercayaan (belief-system) yang akan dapat memperkokoh kedudukan penguasa atau golongannya, yang meliputi agama, ideologi, dan seterusnya; 3. Pelaksanan admistrasi dan birokrasi yang baik; 4. Mengadakan konsolidasi horizintal dan vertikal.

  

  7. Metodologi Penelitian

  Kajian ilmu sosial terhadap satu fenomena sosial sudah tentu membutuhkan kecermatan. Sebagai suatu ilmu tentang metode atau tata cara kerja, maka metodologi adalah pengetahuan tentang tata cara mengkonstruksi bentuk dan instrument penelitian. Konstruksi teknik dan istumen yang baik dan benar akan mampu menghimpun data secara obyektif, lengkap dan dapat dianalisa untuk memecahkan suatu permasalahan. Menurut Antonius Birowo, metodologi akan mengkaji tentang proses penelitian yaitu bagaimana peneliti berusaha

  18 Soerjono Soekanto. op., cit. Hal. 237. menjelaskan apa yang diyakini dapat diketahui dari masalah penelitian yang akan

   dilakukan.