BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Indeks Massa Tubuh (IMT) - Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada Angkatan 2010, 2011 dan 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Indeks Massa Tubuh (IMT)

  2.1.1. Definisi dan Pengukuran Indeks Massa Tubuh Indeks massa tubuh adalah indeks berat-dibagi-tinggi yang mudah dan sering digunakan untuk menentukan berat badan kurang, berat badan lebih, atau obesitas

  (WHO,2013) Cara yang paling sering digunakan dan mudah dalam pelaksanaannya adalah pengukuran indeks massa tubuh. Metode ini dapat digunakan sebagai penentu obesitas dan non obesitas yang tidak menimbulkan sakit, tidak memiliki efek samping, dan dapat digunakan untuk memantau jangka-panjang diet seseorang. Selain itu, penentuan obesitas dapat menggunakan metode yang lain, yaitu dengan antropometri (skin-fold thickness), densitometri (underwater weighing), computed

  

tomography ( CT) atau magnetic resonance imaging (MRI), dan electrical impedance

(Flier & Maratos. 2011).

  Distribusi dari jaringan adiposa pada berbagai tempat penyimpanan dapat menjadi implikasi penting terhadap morbiditas. Secara spesifik, jaringan lemak subkutan pada intraabdominal dan abdominal lebih signifikan daripada di daerah bokong dan anggota gerak bawah (Flier & Maratos, 2011). Dampak pada penggunaan metode skin-fold thickness yang menggunakan alat khusus (skin calipers) sangat bergantung dengan cara peneliti dalam pengukurannya, sehingga metode ini memiliki tingkat error yang tinggi.

  Penggunaan densimoteri atau underwater weighing dilakukan dengan cara menimbang dibawah air (r=79%) dengan kemudian melakukan koreksi terhadap umur dan jenis kelamin (Sugondo, 2006). Teknik yang lebih akurat adalah dengan

  dual x-ray absorptiometry (DEXA), computer tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) (Hirsch, Salans & Aronne, 2003)

  2.1.2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan

  Republik Indonesia telah melakukan penelitian di setiap provinsi di Indonesia dengan menggolongkan indeks massa tubuh menjadi 4 kategori.

Tabel 2.1. Klasifikasi indeks massa tubuh (Badan Penelitian dan Pengembangan

  Kesehatan, 2007) Klasifikasi

  IMT (kg/m2) Kategori kurus <18,5 Kategori normal

  ≥18,5 - <24,9 Kategori BB lebih

  ≥25,0 - <27,0 Obese

  ≥27 Penelitian selanjutnya yang dilakukan WHO (2004) menunjukkan bahwa

  2

  indeks massa tubuh di China, Hong Kong, dan Indonesia memiliki rata-rata 1,3 kg/m

  2

  dibawah rata-rata indeks massa tubuh kulit putih pada wanita dan 1,4 kg/m dibawah rata-rata indeks massa tubuh kulit putih pada pria. Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama,

  2

  menunjukkan etnik Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 1,3 kt/m dan

  2

  etnik Polinesia memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m dibandingkan dengan etnik Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT pada bangsa Cina, Ethiopia, Indonesia dan Thaildan

  2

  adalah 1,9, 4,6, 3,2, dan 2,9 kg/m lebih rendah daripada etnik Kaukasia (Sugondo, 2006).

  2.1.3. Pengukuran Indeks Massa Tubuh Berat badan yang telah diukur terlebih dahulu dengan timbangan dan tinggi badan diukur dengan alat pengukur tinggi badan, kemudian hasil pengukuran dimasukkan ke dalam rumus

  IMT= Berat badan (kilogram)

  2

2 Tinggi badan (meter )

2.2. Fisiologi Pengaturan Asupan Makanan

  2.2.1. Peran Hipotalamus Sensasi rasa lapar disebabkan oleh keinginan akan makanan dan beberapa pengaruh fisiologis lainnya, seperti kontraksi ritmis lambung dan kegelisahan, yang menyebabkan seseorang mencari suplai makanan yang adekuat. Nafsu makan seseorang adalah keinginan untuk mendapatkan makanan, sering kali untuk jenis makanan tertentu dan berguna untuk membantu memilih kuaitas makanan yang akan dimakan. Jika proses pencarian makanan berhasil, rasa kenyang akan timbul. Setiap sensasi tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan budaya, serta oleh pengaturan fisiologis yang mempengaruhi pusat-pusat speifik di otak terutama hipotalamus.

  Beberapa pusat saraf di hipotalamus ikut serta dalam pengaturan asupan makanan. Nukleus lateral hipotalamus berfungsi sebagai pusat makan, dan perangsangan area ini menyebabkan seekor hewan makan dengan rakus (hiperfagia). Sebaliknya, pengrusakan hipotalamus lateral menyebabkan hilangnya nafsu makan, pengurusan dan pelemahan tubuh (inanisi) yang progresif, suatu keadaan yang ditandai dengan pengurangan berat badan yang ditandai dengan pengurangan berat badan yang nyata, kelemahan otot, dan penurunan metabolisme. Pusat makan di hipotalamus lateral beroperasi dengan membangkitkan dorongan motorik untuk mencari sumber makanan.

  Nukleus ventromedial hipotalamus berperan sebagai pusat kenyang. Pusat ini dipercaya memberikan suatu sensasi kepuasan makanan yang menghambat pusat makanan. Rangsangan listrik di daerah ini dapat menimbulkan rasa kenyang yang penuh, dan bahkan dengan adanya makanan yang sangat menggiurkan, binatang menolak untuk makan (afagia). Sebaliknya, destruksi nukleus ventromedial menyebabkan hewan makan dengan rakus dan terus menerus sampai hewan tersebut menjadi sangat gemuk, kadang-kadang sebesar empat kali normal.

  Nukleus paraventriuklar, dorsomedial dan arkuata di hipotalamus juga berperan penting dalam pengaturan asupan makanan. Contohnya, lesi nukleus paraventrikular sering kali menimbulkan proses makan yang berlebihan, sedangkan lesi nukleus dorsomedial biasanya menekan perilaku makan. Seperti yang akan dibahas kemudian, nukleus arkuata merupakan bagian hipotalamus tempat berbagai hormon yang dilepaskan dari saluran pencernaan dan jaringan adiposa berkumpul untuk mengatur asupan makanan dan pengeluaran energi. Terdapat banyak interaksi kimiawi antar neuron di hipotalamus dan pusat-pusat tersebut, secara bersama-sama mengoordinasi berbagai proses yang mengatur perilaku makan dan persepsi rasa kenyang. Nukleus-nukleus hipotalamus tersebut juga mempengaruhi sekresi beberapa hormon yang penting dalam mengatur keseimbangan energi dan metabolisme, meliputi sekresi yang berasal dari kelenjar tiroid dan adrenal, serta sel-sel pulau pankreas.

  Hipotalamus menerima sinyal saraf dari saluran pencernaan yang memberikan informasi sensorik mengenai isi lambung, sinyal kimia dari zat nutrisi dalam darah (glukosa, asam amino, dan asam lemak) yang menandakan rasa kenyang, sinyal dari hormon gastrointestinal, sinyal dari hormon yang dilepaskan oleh jaringan lemak, dan sinyal dari korteks serebri (penglihatan, penciuman, dan pengecepan) yang memengaruhi perilaku makan.

  Pusat makan dan kenyang di hipotalamus memiliki kepadatan reseptor yang tinggi untuk neurotransmitter dan hormon yang memengaruhi perilaku makan. Sebagian dari banyak zat yang telah terbukti mampu mempengaruhi perilaku makan. Sebagian dari banyak zat yang telah terbukti mampu mengubah perilaku nafsu makan dan rasa lapar pada beberapa percobaan dicantumkan pada table dibawah dan secara garis besar dibagi atas (1) zat oreksigenik yang menstimulasi rasa lapar, atau (2) zat anoreksigenik yang menghambat rasa lapar.

Tabel 2.2. Neurotransmitter dan Hormon yang Mempengaruhi Pusat Makan dan

  Pusat Kenyang di Hipotalamus (Guyton, 2008)

  Menurunkan Nafsu Makan (Anoreksigenik) Meningkatkan Nafsu Makan (Oreksigenik) Neuropeptida Y (NPY) α-Melanocyte-stimulating hormon (α-MSH) Leptin Agouti related protein (AGRP)

  Serotonin Hormon pemekat-melanin (MCH)

Norepinefrin Oreksin A dan B

Hormon pelepas-kortikotropin Endorfin

Insulin Galanin (GAL)

  Kolesistokinin (CCK) Asam amino (asam glutamate dan γ- aminobutirat) Peptida mirip-glukagon (GLP) Kortisol

  Cocaine- and amphetamine- regulated Ghrelin transcript (CART) Peptida YY (PYY)

  2.2.2. Peran Neuron dan Neurotransmiter di Hipotalamus Terdapat dua jenis neuron di nukleus arkuatus yang sangat penting sebagai pengatur nafsu makan dan pengeluaran energi: (1) neuron proopiomelanokortin

  (POMC) yang memproduksi

  α-melanocyte-stimulating hormone (α-MCH) bersama

  dengan cocaine and amphetamnine-related transcript (CART), dan (2) neuron yang memproduksi zat oreksigenik neuropeptida Y (NPY) dan agouti-related protein (AGRP). Aktivasi neuron POMC akan mengurangi asupan makanan dan meningkatkan pengeluaran energi, sedangkan aktivasi neuron NYP-AGRP akan meningkatkan asupan makanan dan mengurangi pengeluaran energi. Neuron-neuron tersebut agaknya menjadi target utama bagi kerja beberapa hormon yang mengatur nafsu makan, meliputi leptin, insulin, kolesistokinin (CCK), dan ghrelin. Bahkan, neuron-neuron nukleus arkuatus menjadi tempat berkumpulnya sejumlah besar sinyal dari perifer dan saraf yang mengatur penyimpanan energi.

2.3. Obesitas

  2.3.1. Definisi Obesitas Obesitas diartikan sebagai keadaan jaringan adiposa yang berlebihan (Flier &

  Maratos, 2011). Obesitas juga merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan (Sugondo, 2006).

  2.3.2. Etiologi Obesitas Secara definisi, etiologi obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan yang keluar. Pada setiap individu, kelebihan pemasukan energi atau kurangnya pengeluaran energi, atau keduanya, dapat menyebabkan obesitas. Faktor ketiga, yang disebut dengan ‘nutrition partitioning’, yaitu kemampuan seorang individu untuk menyimpan kelebihan energi sebagai lemak ketimbang sebagai jaringan otot, dapat menjadi penyebab obesitas (Warrell, 2003). Penjelasan yang lebih detail adalah sebagai berikut:

  a. Pemasukan energi yang berlebihan Bila energi dalam jumlah besar (dalam bentuk makanan) yang masuk ke dalam tubuh melebihi jumlah yang dikeluarkan, berat badan akan bertambah, dan sebagian besar kelebihan energi tersebut akan disimpan sebagai lemak. Oleh karena itu, kelebihan adipositas (obesitas) disebabkan masukan energi yang melebihi pengeluaran energi. Untuk setiap kelebihan energi sebanyak 9,3 kalori yang masuk ke dalam tubuh, kira-kira 1 gram lemak akan disimpan. Lemak disimpan terutama di adiposit pada jaringan subkutan dan pada rongga intraperitoneal, walaupun hati dan jaringan tubuh lainnya sering menimbun cukup lemak pada orang obese. Seseorang dengan obesitas yang ekstrem dapat memiliki adiposit sebanyak empat kali normal, dan setiap adiposit memiliki lipid dua kali lebih banyak dari orang yang kurus.

  b. Gaya hidup tidak aktif Aktivitas fisik dan latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan massa otot dan mengurangi massa lemak tubuh, sedangkan aktivitas fisik yang tidak adekuat dapat menyebabkan pengurangan massa otot dan peningkatan adipositas. Sekitar 25 sampai 30 persen energi yang digunakan setiap hari oleh rata-rata orang ditujukan untuk aktivitas otot, dan pada seorang pekerja kasar, sebanyak 60 sampai 70 persen digunakan untuk tujuan tersebut. Pada orang obese, peningkatan aktivitas fisik biasanya akan meningkatkan pengeluaran energi melebihi asupan makanan, yang berakibat penurunan berat badan yang bermakna. Bahkan, sebuah episode aktivitas berat dapat meningkatkan pengeluaran energi basal selama beberapa jam setelah aktivitas tersebut dihentikan. Karena aktivitas otot adalah cara terpenting untuk mengeluarkan energi dari tubuh, peningkatan aktivitas fisik seringkali menjadi cara yang efektif untuk mengurangi simpanan lemak.

  c. Perilaku makan yang tidak baik akibat faktor lingkungan, sosial dan psikologis Pengaruh faktor lingkungan sangat nyata, dengan adanya peningkatan prevalensi obesitas yang cepat di sebagian besar negara maju, yang dibarengi dengan berlimpahnya makanan berenergi tinggi (terutama makanan berlemak) dan gaya hidup tidak aktif. Faktor psikologis juga dapat menyebabkan obesitas pada beberapa individu. Misalnya, berat badan orang sering kali meningkat selama atau setelah orang tersebut mengalami stress, seperti kematian orang tua, penyakit yang parah, atau bahkan depresi. Perilaku makan agaknya dapat menjadi sarana penyaluran stress.

  d. Nutrisi berlebihan pada masa kanak-kanak Salah satu faktor yang menjadi penyebab obesitas adalah adanya suatu kepercayaan bahwa perilaku makan yang sehat harus dilakukan tiga kali sehari dan setiap makanan yang dimakan harus mengeyangkan. Kecepatan pembentukan sel-sel lemak yang baru terutama meningkat pada tahun-tahun pertama kehidupan, dan makin besar kecepatan penyimpanan lemak, makin besar pula jumlah sel lemak. Jumlah sel lemak pada anak obese tiga kali lebih banyak dari jumlah sel lemak pada anak dengan berat badan normal. Oleh karena itu, dianggap bahwa nutrisi yang berlebih pada anak – terutama pada bayi dan yang lebih jarang pada masa kanak-kanak berikutnya – dapat menimbulkan obesitas di kemudian hari.

  e. Kelainan neurogenik

  Lesi di nukleus ventromedial hipotalamus dapat menyebabkan seekor binatang makan secara berlebihan dan menjadi obese. Orang dengan tumor hipofisis yang menginvasi hipotalamus seringkali mengalami obesitas yang progesif, yang memperlihatkan bahwa obesitas pada manusia, juga dapat timbul akibat kerusakan pada hipotalamus. Walaupun kerusakan hipotalamus hampir tak pernah dijumpai pada orang obese, susunan fungsional hipotalamus atau pusat makan neurogenik lainnya pada orang obese dapat berbeda dengan susunan yang terdapat pada orang normal. Abnormalitas neurotransmitter atau mekanisme reseptor lain juga dapat dijumpai di jaras saraf hipotalamus yang mengatur perilaku makan. Untuk mendukung teori ini, seseorang dengan obesitas yang berat badannya menjadi normal karena diet ketat biasanya mengalami rasa lapar yang lebih hebat daripada orang normal. Hal tersebut berarti bahwa “set-point” sistem pengaturan perilaku makan pada orang obese diatur pada tingkat penyimpanan zat nutrisi yang lebih tinggi daripada tingkat “set-point” pada orang non-obese. Beberapa penelitian pada hewan percobaan juga menunjukkan bahwa bila asupan makan dibatasi pada hewan yang obese, terjadi perubahan yang nyata pada neurotransmitter di hipotalamus yang akan menimbulkan rasa lapar yang hebat dan penurunan berat badan yang drastis. Sebagian dari perubahan ini meliputi peningkatan produksi neurotransmitter oreksigenik seperti NYP dan penurunan pembentukan zat anoreksigenik seperti leptin dan α-MSH.

  f. Faktor genetik Obesitas jelas menurun dalam keluarga. Namun peran genetik yang pasti untuk menimbulkan obesitas masih sulit ditentukan, karena anggota keluarga umumnya memiliki kebiasaan makan dan pola aktivitas fisik yang sama. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa 20 sampai 25 persen pada kasus obesitas dapat disebabkan faktor genetik. Gen dapat berperan dalam obesitas dengan menyebabkan kelainan (1) satu atau lebih jaras yang mengatur pusat makan dan (2) pengeluaran energi dan penyimpanan lemak. Ketiga penyebab monogenic (gen tunggal) dari obesitas adalah (1) mutasi MCR-4; yaitu penyebab monogenik tersering untuk obesitas yang ditemukan sejauh ini; (2) defisiensi leptin kongenital yang diakibatkan mutasi gen, yang sangat jarang dijumpai; dan (3) mutasi reseptor leptin, yang juga jarang ditemui. Semua bentuk penyebab monogenik tersebut hanya terjadi pada sejumlah kecil persentase dari seluruh kasus obesitas. Banyak variasi gen sepertinya berinteraksi dengan faktor lingkungan untuk memenuhi jumlah dan distribusi lemak (Guyton, 2008).

2.4. Tidur

  2.4.1. Definisi dan Klasifikasi Tidur Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur harus dibedakan dengan koma, yang merupakan keadaan bawah sadar saat orang tersebut tidak dapat dibangunkan.

  Setiap malam, seseorang mengalami dua tipe tidur yang saling bergantian satu sama lain. Tipe ini disebut (1) tidur gelombang lambat, karena pada tipe ini gelombang otak sangat kuat dan frekuensinya sangat rendah, dan (2) tidur dengan pergerakan mata yang cepat (REM sleep), karena pada tipe tidur ini mata bergerak dengan cepat meskipun orang tetap tidur.

  Setiap malamnya, sebagian besar masa tidur terdiri atas gelombang lambat yang bervariasi; yakni tidur yang nyenyak dalam dan tenang yang dialami seseorang pada jam-jam pertama tidur sesudah terjaga selama beberapa jam sebelumnya. Di pihak lain, tidur REM timbul dalam episode-episode dan meliputi sekitar 25 persen dari seluruh masa tidur pada orang dewasa; setiap episode normalnya terjadi kembali setiap 90 menit. Tipe tidur ini tak begitu tenang, dan biasanya berhubungan dengan mimpi yang hidup.

  2.4.2. Tidur Gelombang Lambat Kebanyakan dari kita dapat mengerti sifat-sifat tidur gelombang lambat yang dalam dengan mengingat saat-saat terakhir kita tetap terjaga selama lebih dari 24 jam, dan kemudian tidur nyenyak yang terjadi dalam satu jam pertama setelah mulai tidur. Tahap tidur ini bgitu tenang dan dapat dihubungkan dengan penurunan tonus pembuluh darah perifer dan fungsi-fungsi vegetative tubuh lain. Contohnya, tekanan darah, frekuensi pernafasan, da kecepatan metabolism basal akan berkurang 10 sampai 30 persen.

  Walaupun tidur gelombang lambat sering disebut “tidur tanpa mimpi”, namun sebenarnya pada tahap tidur ini sering timbul mimpi dan kadang-kadang bahkan mimpi buruk terjadi selama tidur gelombang lambat. Perbedaan antara mimpi-mimpi yang timbul sewaktu tahap tidur gelombang lambat dan mimpi pada tidur REM adalah bahwa mimpi yang timbul pada tahap tidur REM lebih sering melibatkan aktivitas otot tubuh, dan mimpi pada tahap tidur gelombang lambat biasanya tak dapat diingat. Jadi, selama tidur gelombang lambat, tidak terjadi konsolidasi mimpi dalam ingatan.

  2.4.3. Tidur REM Sepanjang tidur malam yang normal, tidur REM yang berlangsung 5 sampai 30 menit biasanya muncul rata-rata setiap 90 menit. Bila seseorang sangat mengantuk, setiap tidur REM berlangsung singkat dan bahkan mungkin tak ada. Sebaliknya, sewaktu orang menjadi semakin lebih nyenyak sepanjang malamnya, durasi tidur REM juga semakin lama.

  Terdapat beberapa hal yang sangat penting dalam tidur REM: a. Tidur REM biasanya disertai mimpi yang aktif dan pergerakan otot tubuh yang aktif.

  b. Seseorang lebih sukar dibangunkan oleh rangsangan sensorik selama tidur gelombang lambat, namun orang-orang terbangun secara spontan di pagi hari sewaktu episode tidur REM.

  c. Tonus otot di seluruh tubuh sangat berkurang, dan ini menunjukkan adanya hambatan yang kuat pada area pengaturan otot di spinal.

  d. Frekuensi denyut jantung dan pernapasan biasanya menjadi irregular, dan ini merupakan sifat dari keadaan tidur dengan mimpi.

  e. Walaupun ada hambatan yang sangat kuat pada otot-otot perifer, masih timbul pergerakan otot yang tidak teratur. Keadaan ini khususnya mencakup pergerakan mata yang cepat.

  f. Pada tidur REM, otak menjadi sangat aktif, dan metabolism di seluruh otak meningkat sebanyak 20 persen. Pada elektroensefalogram (EEG) terlihat pola gelombang otak yang serupa dengan yang terjadi selama keadaan siaga. Tidur tipe ini disebut juga tidur paradoksikal karena hal ini bersifat paradoks, yaitu seseorang dapat tetap tertidur walaupun aktivitas otaknya meningkat.

  Ringkasnya, tidur REM merupakan tipe tidur saat otak benar-benar dalam keadaan aktif. Namun, aktivitas otak tidak disalurkan ke arah yang sesuai agar orang itu siaga penuh terhadap keadaan sekelilingnya sehingga orang tersebut benar-benar tidur.

  2.4.4. Penyebab Kondisi Tidur Perangsangan pada beberapa daerah spesifik otak dapat menimbulkan keadaan tidur dengan sifat-sifat yang mendekati keadaan tidur. Beberapa cara perangsangan ini adalah sebagai berikut:

  1. Daerah perangsangan yang paling mencolok yang dapat menimbulkan keadaan tidur alami adalah nuklei rafe yang terletak di separuh bagian bawah pons dan di medulla. Nuklei ini merupakan suatu lembaran tipis neuron khusus yang terletak pada garis tengah. Serabut saraf dari nuklei ini menyebar setempat di formasio retikularis batang otak dan juga ke atas menuju thalamus, hypothalamus, sebagian besar daerah sistem limbik, dan bahkan neokortek serebri. Selain itu, serbut-serabut ini juga menyebar ke bawah menuju medulla spinalis, dan berakhir di radiks posterior tempat serabut ini dapat menghambat sinyal-sinyal yang masuk termasuk nyeri. Juga telah diketahui bahwa banyak ujung serabut dari neuron rafe ini menyekeresikan serotonin. Bila seekor hewan diberi obat yang menghambat pembentukan serotonin, hewan tersebut seringkali tidak dapat tidur selama beberapa hari berikutnya. Oleh karena itu, dianggap bahwa serotonin merupakan zat transmitter yang dihubungkan dengan timbulnya keadaan tidur.

  2. Perangsangan beberapa area di nucleus traktus solitaries juga dapat menimbulkan tidur. Nukleus ini merupakan daerah terminal di medulla dan pons yang dilewati oleh sinyal sensorik visceral yang masuk melalui nervus vagus glossofaringeus.

  3. Perangsangan beberapa region pada diensefalon juga dapat membantu menimbulkan keadaan tidur, daerah itu meliputi (1) bagian rostral hipotalamus, terutama area suprakiasma, dan (2) suatu area yang terkadang dijumpai di nucleus difus thalamus. Lesi diskret di nuklei rafe menimbulkan keadaan siaga yang ekstrem. Keadaan ini juga timbul bila ada lesi bilateral di area suprakiasma bagian medial dan rostral pada hipotalamus anterior. Pada kedua contoh tersebut, nuklei atas tampaknya terbebas dari hambatan, sehingga menimbulkan keadaan siaga penuh. Bahkan, kadang-kadang lesi hipotalamus anterior dapat menyebabkan timbulnya keadaan yang sangat siaga sehingga hewan dapat mati akibat kelelahan (Guyton, 2008).

2.5. Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh

  Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini sering mengaitkan peningkatan indeks massa dengan penurunan jumlah tidur, baik pada anak-anak maupun dewasa (Carter et al,2011; Landhuis et al, 2008; Seegers et al, 2010; Patel et al, 2006; Adámková et al, 2009; Lopéz-García et al, 2008). Keterlibatan fungsi metabolisme dapat terlibat dalam pengaturan hormon yang meregulasi nafsu makan dan pengeluaran energi (Spiegel et al, 2009; Taheri et al, 2004). Taheri et al. (2004) mengungkapkan bahwa durasi tidur yang sedikit berkaitan dengan peningkatan indeks massa tubuh dan juga berpengaruh pada kadar hormon leptin dan ghrelin, yaitu hormon yang mengatur nafsu makan. Kadar leptin akan meningkat, sedangkan ghrelin akan menurun. Cauter (2010) juga mengungkapkan bahwa penurunan jumlah tidur menyebabkan kadar leptin berada dalam level terendah sehingga memberikan sinyal kepada pusat kenyang bahwa tubuh memerlukan asupan kalori tambahan, meskipun tidak diperlukan.

  Pada orang normal, peningkatan hormon ghrelin merangsang keinginan untuk makan, sedangkan leptin mengisyaratkan hipotalamus bahwa simpanan energi sudah cukup. Tetapi pada obesitas, peningkatan kadar leptin tidak mengurangi nafsu makan karena peningkatan kadar leptin seimbang dengan penambahan jaringan adiposa, sehingga terjadi resistensi leptin (Ganong & Hall, 2007).

  Menurut Thompson et al. (1999) dalam Spiegel, Tasali, Leproult & Cauter (2004) penurunan jumlah jam tidur selama 6 hari menunjukkan peningkatan keseimbangan cardiac sympathovagal. Peningkatan ini mencerminkan penurunan aktivitas vagus. Seperti yang diketahui bahwa vagus dan ghrelin memiliki perbandingan yang terbalik, yaitu penurunan vagus berarti peningkatan ghrelin.

  Sedangkan leptin berkaitan dengan aktivitas simpatis, yang mana perangsangan simpatis akan menurunkan pelepasan leptin. Penurunan jumlah jam tidur ini mengakibatkan peningkatan cardiac sympathovagal, dimana selanjutnya akan menurunkan kadar leptin (Spiegel, Tasali, Leproult & Cauter, 2004).

  Selain hormon leptin, kortisol dan GH (growth hormone – hormon pertumbuhan) juga dipengaruhi oleh ritme sirkadian. Perubahan ritme sirkadian akan ditransmisikan ke hipotalamus, yang kemudian akan menyalurkan informasi ke kelenjar hipofisis. Hormon pertumbuhan dengan kadar rendah pada malam hari dapat menjaga kadar glukosa dengan cara menghambat pengambilan glukosa dari jaringan otot. Jika terjadi pengurangan jumlah tidur, maka pelepasan hormon pertumbuhan akan meningkat pada malam hari. Selanjutnya, pada orang normal, kadar kortisol paling rendah terdapat pada sore hari. Hal ini menyebabkan sensitivitas insulin menurun pada awal tidur, dan meningkat pada pertengahan tidur, sehingga keseimbangan glukosa akan tetap terjaga. Pengurangan jumlah tidur dapat mengakibatkan kadar kortisol tertinggi pada sore hari, sehingga tidak terjadi ritme sensitivitas insulin. Peningkatan kadar hormon kortisol dan hormon pertumbuhan inilah yang dapat mengakibatkan metabolisme glukosa terganggu (Cauter & Leproult, 2010).

  Penelitian yang dilakukan Gangwisch et al., (2006), mengungkapkan bahwa kurangnya durasi tidur dapat meningkatkan resiko hipertensi. Salah satu kemungkinannya adalah adanya peningkatan aktivitas nukleus suprakiasma. Nukleus suprakiasma bekerja berdasarkan rangsangan dari kegiatan fisiologis tubuh, baik dari dalam maupun dari luar. Pengalihan jam tidur dapat menganggu kerja nukleus suprakiasma sebagai salah satu pencetus tidur. Nukleus suprakiasma, melalui saraf otonom, telah menunjukkan adanya koneksi terhadap beberapa organ metabolik yang dapat mencetus diabetes seperti pancreas, hati dan jaringan lemak. Gangguan pada nukleus suprakiasma dapat menimbulkan gangguan pada pelepasan kortisol dan glukosa serta tekanan darah (Gangwisch et al., 2006)

  Kaitan jumlah jam tidur yang berhubungan dengan peningkatan indeks massa tubuh, khusunya obesitas, adalah penurunan jumlah jam tidur yang berkisar antara ‘kurang dari 7 jam’ menurut Watson, Buchwald, Vitiello, Noonan & Goldberg (2010) atau ‘kurang dari 4-5 jam’ menurut Schmid, Hallschmid, Kamila, Born & Schultes (2008) dan Adamkova et al. (2009).

Dokumen yang terkait

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Siklus Menstruasi pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011, dan 2012

4 58 80

Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada Angkatan 2010, 2011 dan 2012

12 86 95

Hubungan Jumlah Jam Tidur dengan Indeks Massa Tubuh pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

5 79 63

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kebugaran Fisik pada Mahasiswa Laki-Laki Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun Masuk

1 53 70

Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Tekanan Darah Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

1 33 57

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Siklus Menstruasi pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011, dan 2012

0 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Indeks Massa Tubuh - Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Siklus Menstruasi pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011, dan 2012

0 0 18

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Siklus Menstruasi pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011, dan 2012

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Indeks Massa Tubuh (IMT) - Gambaran Indeks Massa Tubuh Pada Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2014

0 0 12

Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada Angkatan 2010, 2011 dan 2012

1 1 44