Perbandingan Delik Mukah Menurut Hukum P

PERBANDINGAN DELIK MUKAH ( ZINA ) ANTARA
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
( KUHP ) DAN HUKUM PIDANA ISLAM
Naskah Publikasi
Tesis
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S 2

Program Studi Ilmu Hukum
Konsentrasi Hukum Pidana

Diajukan Oleh :
AHMAT
07/259401/PHK/4314

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GAJAH MADA
YOGYAKARTA

2010

A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang Masalah
Perzinaan, secara formil telah diatur dalam Pasal 284 KUHP. Pembahasan
secara positifistik tersebut ternyata memperjelas pemahaman, bahwa delik perzinahan
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 284 KUHP tersebut memiliki banyak
kelemahan secara moril. Nilai dasar yang dipakai dalam membentuk Pasal 284
KUHP ini berbeda dengan konsepsi masyarakat Indonesia mengenai zina itu sendiri.
Kehidupan seksual yang merupakan inti perbuatan yang dilarang dalam pasal 284
KUHP belum luas pengaturannya, karena pasal tersebut ditujukan hanya pada
”intergritas” ”badan dan jiwa” (bodily and psychological integrity). dalam pidana
perzinaan ternyata prinsip yang dipakai KUHP adalah hak untuk berhubungan
kelamin antara laki-laki dan perempuan, bukan kesucian hubungan seksual tersebut.
Konsekuensinya, dalam pasal 284 KUHP ini, yang bisa dikenakan sanksi pidana
adalah:
1. laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan
perempuan yang bukan istrinya;
2. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan
laki-laki yang bukan suaminya;

Pasal ini sama sekali tidak menjelaskan laki-laki dan perempuan yang tidak
dalam ikatan perkawinan yang bersetubuh. Karenanya mereka tidak dikenai sanksi
sejauh persetubuhan tersebut dilakukan atas dasar suka-sama-suka. Lebih celaka lagi,
delik zina ini tidak dapat dituntut kecuali berdasarkan pengaduan pihak-pihak (suami
atau istri) yang merasa dirugikan. Jadi landasan kebebasan dan hak asasi manusia


 


 

yang berbau sekular sangat kental dalam pasal ini, sehingga persetubuhan juga
dipandang sebagai hak asasi yang harus dihormati. Hubungan seksual bukan lagi
merupakan hal yang sakral yang hanya boleh dilakukan oleh suami istri yang terikat
dalam perkawinan yang sah. Jelas sekali bahwa, perbedaan pandangan demikian
berimbas pada perbedaan pengaturan zina dalam hukum pidana, hukum adat dan
hukum menurut agama. Zina merupakan kejahatan yang termasuk rangkaian delik
susila baik dalam hukum positif, hukum adat, dan Agama yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, keberadaan hukum Islam sebagai
hukum yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat perlu mendapat perhatian yang
cukup serius untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. Berdasarkan Undang –
undang No.48 Tahun 2009 pada Bab II tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan
Kehakiman Pasal 5 ayat 1, yang berbunyi bahwa “ Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.1.
Selain itu juga terdapat dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia
terutama adalah hukum pidana Indonesia, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Harjono sebagai berikut: 2
Bahwa soal besar yang dihadapi dewasa ini adalah apakah hukum yang
berlaku di negeri kita ini telah selaras dengan jiwa rakyatnya yang kebetulan
90% beragama Islam. Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh beliau bahwa
                                                            

1

Undang – undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 157
2

Harjono, 1968. Hukum Islam Keluasan Dan Keadilannya, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 15 – 16.


 

mungkin telah selaras atau mungkin tidak selaras, dan jika telah selaras
mungkin artinya telah selaras dengan jiwanya, akan tetapi belum selaras
dengan jiwa Islam. Tetapi begitu kata beliau lebih lanjut, jawaban yang
sebenarnya adalah telah pasti belum selaras dengan jiwa Islam.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, mendorong penulis untuk
meneliti perzinaan yang terjadi pada masyarakat. Selain itu yang mendorong penulis
untuk meneliti masalah ini adalah untuk membina dan mengembangkan hukum yang
berlaku di negara Republik Indonesia maupun hukum yang tumbuh dan hidup sejak
dahulu dalam masyarakat. Dalam tulisan ini, penulis berusaha memaparkan
perbandingan delik perzinahan yang ada dalam hukum positif Indonesia (KUHP)
dengan hukum pidana Islam yakni mengenai unsur-unsur perzinahan. Selain itu, akan
dipaparkan pula bagaimana usaha yang telah dilakukan untuk mengeliminir
kelemahan

pengaturan


delik

perzinahan

menurut

KUHP

dalam

kerangka

pembaharuan hukum pidana Indonesia serta penyesuaiannya terhadap hukum pidana
Islam.
2. Rumusan Masalah
Berkenaan dengan uraian di atas, penulis mengemukakan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah perbedaan antara Unsur – unsur Delik Mukah (overspel) menurut Pasal
284 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ), dan Delik Zina menurut

hukum Pidana Islam ?
2. Bagaimanakah pandangan para ahli hukum pidana dan hukum Islam tentang
pengaturan delik zina dalam pembaharuan KUHP ?


 

B. METODE PENELITIAN
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ditinjau dari sudut sifatnya debedakan dalam: penelitian
yang bersifat eksploratif (penjajakan atau penjelajahan), penelitian yang bersifat
deskriptif dan penelitian yang bersifat eksplanatif.3 Sedangkan dari sudut tujuan
penelitian hukum dibedakan dalam penelitian hukum normatif dan penelitian
hukum empiris.4 Penelitian ini termasuk penelitian normatif, yaitu penelitian
yang didasarkan pada penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder di
bidang hukum.
a.

Jenis Penelitian
Penelitian Normatif, Jenis penelitian ini akan digunakan dalam penyajian


penelitian penyusun adalah Penelitian Kepustakaan (Library Reseach).5 Yaitu

                                                            

3

Penelitian eksploratif bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu
untuk mendapatkan ide-ide baru mengenai suatu gejala. Umumnya dilakukan terhadap pengetahuan
yang masih baru, belum banyak informasi mengenai masalah yang diteliti atau bahkan belum ada
sama sekali. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala atau
menentukan ada atau tidaknya hubungan suatu gejala lain dalam masyarakat. Sedangkan penelitian
eksplanatif, bertujuan menguji hipotesis-hipotesis tertentu ada tidaknya hubungan sebab akibat antara
berbagai variabel yang diteliti. Dengan demikian penelitian ini baru dapat dilakukan, apabila
informasi-informasi masalah yang diteliti sudah cukup banyak, artinya telah ada beberapa teori
tertentu dan telah ada berbagai penelitian empiris yang menguji hipotesis tertentu. Lihat dalam
Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 24-26.
4

Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf
sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum. Sedangkan peneltian hukum
sosiologi atau empiris terdiri dari penelitian identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian
terhadap efektifitas hukum. Lihat dalam Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI
Press, Jakarta, hlm. 51.
5

Arikunto Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, cet. Ke-12 (Jakarta: PT.
Asdi Mahasatya, ), hlm. 8


 

penelitian yang mengarah tentang telaah serta pembahasan bahan-bahan pustaka
baik berupa buku-buku, jurnal ataupun kitab yang berkaitan dengan topik.
b.

Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dan komparatif, yaitu Penelitian


yang dilakukan untuk membandingkan suatu variabel (objek penelitian), antara
subjek yang berbeda atau waktu yang berbeda. Menjelaskan dan menguraikan
data-data yang telah diperoleh yang berkaitan dengan Perbandingan Delik Mukah
( Zina ) Antara Kitab Undang – undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan Hukum
Pidana Islam kemudian mengadakan komparasi untuk menemukan persaman
serta perbedaan.
2. Tehnik Pengumpulan Data
Penelitian dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat
dan dari bahan pustaka. Data yang diperoleh langsung dari masyarakat disebut
data primer (primary) yaitu bila dimungkinkan wawancara dengan beberapa
pakar hukum pidan dan pakar hukum Islam. sedangkan data dari bahan pustaka
dinamakan data sekunder (secondary data).6
a.

Penelitian Pustaka, yakni dengan mepelajari bahan-bahan yang terdiri dari
bahan hukum primer,bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier,7 sebgai
berikut:

                                                            
6


7

Ibid, hlm. 11-12.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti, norma dasar atau kaedah
dasar,perundang-undangan, yurisprudensi dan traktat. Bahan hukum skunder yaitu, bahan yang


 

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan merupaka
bahan pokok yang berupa peraturan perundang-undangan antara lain
meliputi :
1) Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan,
2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ) Bab XIV Pasal 284
serta perundang-undangan dengan yang lainnya yang berkaitan dengan
materi pembahasan yaitu,
a. RUU KUHP dan,
b. buku Hukum Pidana Islam serta Hukum-hukum Islam lainnya yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist serta Ijtihad para Mujtahid.

2. Bahan hukum skunder, bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer yang sudah berupa bentuk jadi atau dokumen dan publikasi
seperti jurnal dan putusan pengadilan.8
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, yang berupa kamus hukum,
kamus Inggris-Indonesia, kamus Bahasa Belanda, dan kamus besar bahasa
Indonesia.

                                                                                                                                                                          
mempelajari penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti, RUU, hasil penelitian, hasil karya
dari kalangan hukum. Sedangkan bahan hukum tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder seperti, kamus dan ensiklopedia.
Lihat dalam buku Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, edisi, Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13.
8
Riyanto Adi, 2004. Metodologi Penelitian Sosiologi dan Hukum, Granit, Jakarta, hlm. 57


 

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Unsur-unsur Perzinahan Sebagai Delik Dalam KUHP
Apa yang dimaksud pezinaan tidak ditentukan dalam KUHP, maupun dalam KUH
Perdata juga dalam Undang-undang Perkawinan. Sedangkan menurut beliau persetubuhan
itu adalah jika kemaluan si pria itu masuk kedalam si wanita. Serapa dalam atau seberapa
persen yang harus masuk tidaklah terlalu menjadi persoalan, yang penting ialah dengan
masuknya kemaluan si pria itu dapat terjadi kenikmatan bagi keduanya atau salah seorang
dari mereka. Kejadian ini dapat disebut sebagai perzinaan jika yang mereka lakukan tanpa
ada paksaan atau mau sama mau.
Menurut Dading,9 unsur-unsur dari pada Pasal 284 (1) adalah :
Ke-1 sub a yaitu : Objektif : -

Laki-laki yang beristri.
-

Subjektif : -

Berzina.
Diketahuinya, bahwa

- Bagi laki-laki itu berlaku pasal 27 B.W.
Pelaku perzinahan adalah seorang laki-laki yang sudah beristri, sedangkan
laki-laki yang belum beristri tidak dapat melakukan perbuatan zina tetapi hanya
turut serta melakukan perbuatan zina.
Berkaitan dengan hal tersebut, terjadi ketidakpuasan dari sebagian
masyarakat mengenai perilaku-perilaku menyimpang terutama dalam lingkup
                                                            
9

Dading, 1982. Hukum Pidana Bagian Khusus (Buku II). Alumni, Bandung, hlm.222


 

kesusilaan. Hal ini disebabkan karena perilaku-perilaku yang menyimpang dari
norma-norma masyarakat belum mendapatkan tempat semestinya dalam hukum
pidana. Sebagai misal perbuatan zina yang menurut pengertian masyarakat
berbeda dengan pengertian zina dalam hukum pidana Indonesia (KUHP) juga
hukum Islam.
Sedangkan permasalahan-permasalahan dari persetubuhan yang tidak
merupakan tindak pidana menurut KUHP, yaitu :
a. Dua orang yang belum kawin yang melakukan persetubuhan, walaupun:
1. Perbupatan itu dipandang bertentangan dengan atau mengganggu perasaan
moral masyarakat.
2.

Wanita itu mau melakukan persetubuhan karena tipu muslihat atau janji
akan menikahi, tetapi diingkari.

3.

Berakibat hamilnya wanita itu dan lai-laki yang menghamilinya tidak
bersedia menikahinya atau ada halangan untuk nikah menurut undangundang;

b. Seorang laki-laki telah bersuami menghamili seorang gadis (berarti telah

melakukan

perzinahan) tetapi istrinya tidak membuat pengaduan untuk menuntut.

c. Seorang melakukan hidup bersama dengan orang lain sebagai suami isteri di
luar perkawinan padahal perbuatan itu tercela dan bertentangan atau
mengganggu perasaan kesusilaan/moral masyarakat setempat.


 

2. Jarimah Zina Dalam Hukum Pidana Islam
Zina termasuk perbuatan dosa besar. Hal ini dapat dapat dilihat dari urutan
penyebutannya setelah dosa musyrik dan membunuh tanpa alasan yang haq. Allah
berfirman :10
⎯tΒuρ 4 šχθçΡ÷“tƒ Ÿωuρ Èd,ysø9$$Î/ ωÎ) ª!$# tΠ§ym ©ÉL©9$# }§ø¨Ζ9$# tβθè=çFø)tƒ Ÿωuρ tyz#u™ $·γ≈s9Î) «!$# yìtΒ šχθããô‰tƒ Ÿω ⎦⎪Ï%©!$#uρ
∩∉∇∪ $YΒ$rOr& t,ù=tƒ y7Ï9≡sŒ ö≅yèøtƒ
Artinya :
Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia
mendapat (pembalasan) dosa(nya),
(QS. Al-Furqaan: 68).
Imam Al-Qurthubi11 mengomentari, “Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada dosa
yang lebih besar setelah kufur selain membunuh tanpa alasan yang dibenarkan dan zina.”
Dan menurut Imam Ahmad, perbuatan dosa besar setelah membunuh adalah zina. Islam
melarang dengan tegas perbuatan zina karena perbuatan tersebut adalah kotor dan keji.
Allah berfirman :12

Ÿωuρ (#θç/tø)s? #’oΤÌh“9$# ( …çμ¯ΡÎ) tβ%x. Zπt±Ås≈sù u™!$y™uρ Wξ‹Î6y™ ∩⊂⊄∪

Artinya :
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32).
                                                            

10

Departemen Agama RI, 1978, Al Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur'an.
11
Imam Abi Bakr Ahmad ar-razi al Jashshos, 1993, Ahkaamul Qur’an, Beirut. Dar- al Fikri, 3, hlm.
200.
12
Anonim, 1987. Al-Qur’an dan Terjemahan. Departemen Agama Republik Indonesia, Surabaya. 

10 
 

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di,13 seorang ulama besar Arab
Saudi, berkomentar: “Allah Swt telah mengategorikan zina sebagai perbuatan keji
dan kotor. Artinya, zina dianggap keji menurut syara’, akal dan fitrah karena
merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak keluarganya atau
suaminya, merusak kesucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan
melanggar tatanan lainnya”.14
3. Hasil Penelitian dan pembahasan dalam Perbandingan Unsur-unsur Delik
Zina menurut KUHP dan Hukum Islam
Dalam hal ini Penulis mengutip pendapat dari, Ahmad Bahiej,15 yang
Membandingkan Unsur-unsur delik zina dalam hukum pidana Islam dengan hukum
pidana positif Indonesia (KUHP) dan dapat dikemukakan perbedaan-perbedaan sebagai
berikut:
1. Menurut KUHP, zina hanya dapat terjadi bila ada persetubuhan antara kedua orang
pelaku (pria dan wanita) telah kawin, atau salah satu dari keduanya telah terikat
perkawinan dengan orang lain. Bukanlah perzinahan apabila perzinahan itu dilakukan
dengan paksaan (vide pasal 285 KUHP), persetubuhan dengan perempuan dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya (vide pasal 286 KUHP) dan persetubuhan dengan
perempuan yang belum cukup umur lima belas tahun (videpasal 287 KUHP).
Sedangkan menurut hokum pidana Islam, tidak mempersoalkan apakah pelaku                                                            

13

Ibid, Imam abi Bakr, hlm.202.
Imam Ibnu Al-mannan, 1943, tafsir Kalaam Al-Mannan, Beirut, Dar- al Fikri, Jilid 4, hlm. 275.
15
 Ahmad Bahiej, dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, Tinjauan Delik
Perzinahan dalam Berbagai Sistem Hukum dan Prospeknya dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia, www.abook.co.id. 22-01-2010. 

14

11 
 

pelakunya telah diikat perkawinan dengan orang lain atau belum. Setiap
persetubuhan di luar perkawinan yang sah adalah zina. Adapun persetubuhan yang
dilakukan dengan paksaan atau persetubuhan dengan wanita dalam keadaan tidak
berdaya atau pingsan hanya merupakan alasan penghapus pidana bagi wanita yang
menjadi korban. Bagi pria yang melakukan perbuatan-perbuatan itu tetap
dikategorikan sebagai pelaku zina.
2.

Menurut ketentuan yang diatur di dalam KUHP, perzinahan hanya dapat terjadi jika
ada persetubuhan yang dilakukan orang yang telah terikat dengan perkawinan.
Sedangkan orang yang belum menikah dalam perbuatan ini adalah termasuk orang
yang turut melakukan (medepleger). Sedangkan perzinahan dalam tinjauan hukum
pidana Islam adalah lebih luas dari pada pembatasan-pembatasan dalam KUHP
tersebut. Hukum pidana Islam tidak mempersoalkan dengan siapa persetubuhan itu
dilakukan. Apabila persetubuhan ini dilakukan oleh orang yang telah menikah maka
pelakunya disebut pelaku muhsân, dan apabila persetubuhan ini dilakukan oleh orang
yang belum menikah maka pelakunya disebut pelaku gâiru muhsân.

3.

Ancaman pidana yang ditetapkan dalam pasal 284 ayat (1) KUHP adalah pidana
penjara sembilan bulan, baik bagi pelaku yang telah menikah maupun bagi orang
yang turut serta melakukan perbuatan zina itu. Sedangkan menurut hukum pidana
Islam, ancaman pidana disesuaikan dengan pelaku perzinahan. Jika pelaku zina itu
muhsân atau telah menikah maka ancaman pidananya adalah rajam (stoning to
death). Namun jika perzinahan itu dilakukan oleh orang yang belum menikah (gâiru
muhsân) maka ancaman pidananya adalah dicambuk atau didera sebanyak delapan
puluh kali.

12 
 

4.

Ketentuan yang mengatur mengenai persaksian tidak diatur secara khusus dalam
delik perzinahan menurut KUHP. Maka system pembuktian delik perzinahan sama
dengan sistem pembuktian delik-delik yang lain. Artinya, alat bukti yang digunakan
dalam pembuktian adanya perbuatan zina ini seperti alat-alat bukti yang telah diatur
dalam pasal 184 KUHAP, yaitu :
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Selanjutnya pasal 185 ayat (3) mengatur bahwa keterangan seorang saksi saja

cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
Ketentuan seperti ini berbeda dengan ketentuan mengenai delik perzinahan dalam
hukum pidana Islam. Hukuman (had) dapat dijatuhkan apabila ada pengakuan dari pelaku
bahwa dia telah melakukan zina atau dari keterangan saksi. Karena menyangkut hidup dan
matinya seseorang, keterangan saksi ini mempunyai persyaratan-persyaratan yang khusus,
yaitu:
1. jumlah saksi harus empat orang laki-laki atau apabila tidak ada orang laki-laki maka
setiap orang laki-laki hanya dapat digantikan oleh dua orang wanita;
2. saksi-saksi itu haruslah sudah baligh, berakal sehat dan bersikap adil;
3. saksi-saksi itu harus beragama Islam;
4. keempat orang saksi itu mengetahui peristiwa perzinahan secara mendetail.16

Dapat diketahui, Pasal 284 ayat (2) KUHP mengatur bahwa delik perzinahan
adalah delik aduan absolut (absoluut klachdelicten) yang hanya dapat dituntut
                                                            

16

Sayyid, Sabiq, 1990, Fikih Sunnah 9. Al-Ma’arif, Bandung, hlm. 114

13 
 

atas pengaduan suami atau isteri dengan adanya perzinahan itu (vide pasal 284
ayat (2) KUHP). Hal ini berbeda dengan dengan hukum pidana Islam yang tidak
membatasi pada aduan absolut. Hukum pidana Islam tidak memandang zina
sebagai delik aduan, tetapi dipandang sebagai dosa besar yang harus ditindak
tanpa menunggu pengaduan dari orang-orang yang bersangkutan. Jika persyaratan
saksi-saksi telah terpenuhi maka qodhi (hakim ) dapat memutuskan perkara
perzinaan itu. Saksi di sini tidak menutup kemungkinan dari suami/isteri pelaku
atau pun orang lain.
E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Pebandingan dalam pengaturan delik zina antara KUHP dan Hukum Pidana
Islam, dapat diambil suatu kesimpulan :
a. Menurut KUHP, zina hanya dapat terjadi bila ada persetubuhan antara kedua
orang pelaku (pria dan wanita) telah kawin, atau salah satu dari keduanya telah
terikat perkawinan dengan orang lain. Sedangkan Hukum pidana Islam, tidak
mempersoalkan apakah pelaku-pelakunya telah diikat perkawinan dengan orang
lain atau belum. Setiap persetubuhan di luar perkawinan yang sah adalah zina.
Kemudian dalam pasal 284 KUHP, sanksi pidana bagi pembuat (Pelaku) hanya
diancam hukuman penjara paling lama 9 bulan. Sedangkan menurut hukum
pidana Islam, ancaman pidana disesuaikan dengan pelaku perzinaan. Jika
pelaku zina itu muhsân atau telah menikah maka ancaman pidananya adalah
rajam (stoning to death). Namun jika perzinahan itu dilakukan oleh orang yang

14 
 

belum menikah (gâiru muhsân) maka ancaman pidananya adalah dicambuk
atau didera sebanyak delapan puluh kali kemudian diasingkan (demi
menghapus hukuman diakhirat). Kemudian, didalam hukum pidana Islam diatur
mengenai keterangan saksi. ketentuan-ketentuan saksi mempunyai persyaratanpersyaratan yang khusus. Sementara Ketentuan yang mengatur mengenai
persaksian tidak diatur secara khusus dalam delik perzinahan menurut
KUHP.Dalam RUU KUHP, ada beberapa pandangan pakar hukum tentang zina
yang masih merujuk pada KUHP (WvS) dan hukum islam. Dalam pasal 484
RUU KUHP, konsep zina secara substansi tidak ada perbedaan dengan pasal
284 KUHP.
b. Dalam RUU KUHP, ada beberapa pandangan pakar hukum tentang zina yang
masih merujuk pada KUHP (WvS) dan hukum islam. Dalam pasal 484 RUU
KUHP, konsep zina secara substansi tidak ada perbedaan dengan pasal 284
KUHP. Yang berubah hanya sanksi pidana penjara selama 5 tahun. Tindak
pidana perzinaan yang diatur dalam RUU KUHP, terdapat beberapa perluasan
pengaturan perbuatannya di bandingkan dengan KUHP yang sekarang ini yaitu,
Perzinaan dalam konteks RUU KUHP telah mencakup perbuatan ”laki-laki dan
perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah
melakukan persetubuhan. Akan tetapi tidak cukup sampai disini, pemerintah
serta para ahli hukum Perlu mencermati rancangan KUHP tersebut dan
memberi masukan yang dapat dipertimbangkan dalam memperbaiki rancangan
tersebut. Kemudian para ahli hukum pidana Islam menganggap bahwa, Kesan

15 
 

sekular dan warisan cara berpikir kolonial Belanda masih tetap sulit dihapuskan
dari pemikiran kita. Agama tidak menjadi bagian penting dalam perumusan
draft rancangan KUHP, karena masih banyak pasal-pasal tersebut yang tidak
sejalan dengan agama—dalam hal ini Islam—yang dianut oleh mayoritas
penduduk Indonesia. Islam masih dipandang belum menjiwai masyarakatnya
dan ajaran-ajaran hukum pidana Islam masih belum mewarnai draft rancangan
KUHP.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penyelesaian draff tesis ini, penulis
hendak menyampaikan beberapa saran, sebagai berikut :.
a. Sebaiknya Rancangan Undang-undang KUHP, memuat secara detail tentang
ungkapan pengertian zina (mukah), dan juga harus menyebutkan kata ”telah
melakukan perbuatan zina (mukah)” . Begitu juga dengan sanksi pidana,
pembuatnya harus dihukum berat yang bertujuan memberikan efek jera bagi
masyarakat. Oleh sebab itu, penyesuaian pengaturan unsur-unsur delik zina
antara KUHP dan hukum Islam dalam sanksi pidana tersebut, harus dilakukan.
b. Cara berpikir sekular yang memisahkan agama (Islam) dari dalam sistem
kehidupan masyarakat ini yang harus segera dibuang jauh-jauh. Karena itu,
langkah strategis yang perlu ditempuh dalam mentransformasi pidana Islam ke
sistem hukum nasional adalah menghapus trikotomi hukum Adat, Barat dan
hukum Islam dalam masyarakat Indonesia. Selanjutnya, masyarakat Indonesia,
khususnya umat Islam, perlu diberikan pemahaman yang benar tentang pidana

16 
 

Islam. Barulah kemudian kita menumbuhkan kesadaran masyarakat (ummat
Islam) tentang pentingnya syariat Islam diterapkan dalam kehidupan bangsa
Indonesia.

Selanjutnya,

umat

Islam sudah

memiliki

kesiapan

untuk

memasukkan unsur-unsur pidana Islam ke dalam KUHP Indonesia. Ini
merupakan kerja besar yang membutuhkan persatuan dan kekompakan seluruh
komponen masyarakat untuk mewujudkannya

17 
 

Daftar Pustaka
Adi, Riyanto. Metodologi Penelitian Sosiologi dan Hukum, Granit, Jakarta, 2004.
Ahmad ar-razi al Jashshos, Imam Abi Bakr, Ahkaamul Qur’an, Beirut. Dar- al Fikri, 3,
1993.
Al-mannan , Imam Ibnu, tafsir Kalaam Al-Mannan, Beirut, Dar- al Fikri, Jilid 4, 1943.

Bahiej, Ahmad, Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009,
Tinjauan Delik Perzinahan dalam Berbagai Sistem Hukum dan
Prospeknya dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,
www.abook.co.id. 22-01-2010.
Dading, Hukum Pidana Bagian Khusus (Buku II). Alumni, Bandung, 1982.

Harjono, Hukum Islam Keluasan Dan Keadilannya, Bulan Bintang, Jakarta,1968
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Petunjuk Penulisan Usulan
Penelitian dan Tesis, Yogyakarta. 2001
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 9. Al-Ma’arif, Bandung. 1990.
Sri mamudji, Soerjono Soekanto Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
edisi, Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta.2007
Suharsimi, Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, cet. Ke-12,
Jakarta: PT. Asdi Mahasatya,2002
Zaenal Asikin, Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta. 2004.
Lain – lain:
Al-Qur'an dan Terjemahannya, Penerbit Diponegoro, Bandung. 2005.
Undang – undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan
Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 157

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

FRAKSIONASI DAN KETERSEDIAAN P PADA TANAH LATOSOL YANG DITANAMI JAGUNG AKIBAT INOKULASI JAMUR MIKORIZA ARBUSKULAR DAN BAKTERI PELARUT FOSFAT (Pseudomonas spp.)

2 31 9

Perbandingan Sifat Fisik Sediaan Krim, Gel, dan Salep yang Mengandung Etil p-Metoksisinamat dari Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn.)

7 83 104

Perbandingan perilaku prososial antara orang yang telah melaksanakan ibadah haji dan yang belum pada Ibu-Ibu majelis ta'lim

0 22 126

Tingkat Pemahaman Fiqh Muamalat kontemporer Terhadap keputusan menjadi Nasab Bank Syariah (Studi Pada Mahasiswa Program Studi Muamalat Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

1 34 126

Perbandingan Indeks Glikemik Dan Beban Glikemik Antara Bubur Ayam Instan Dan Tradisional

2 37 68

Penolakan Terhadap Permohonan Pendaftaran Merk Yang Ditangani Oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Jawa Barat

1 23 1

Matematika Kelas 6 Lusia Tri Astuti P Sunardi 2009

13 252 156

Studi Perbandingan Sikap Sosial Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaraan Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray dan Think Pair Share Pada Mata Pelajaran IPS Terpadu

3 49 84

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22