BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Dampak Pelaksanaan Sosialisasi Perpajakan Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Pada Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota)
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perwujudan tujuan pembangunan nasional adalah terciptanya suatu
masyarakat yang sejahtera. Seiring dengan perkembangan jaman yang pesat, dimana sangat dibutuhkan sekali dana dan anggaran dalam menyokong pembangunan yang merata disegala sektor maupun aspek kehidupan. Oleh karena itu disusun suatu perencanaan, baik yang mencakup tahapan pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan rencana jangka pendek. Dalam mewujudkan upaya tersebut, titik berat pembangunan diletakkan dibidang ekonomi.
Untuk menunjang tercapainya sasaran dan tujuan pembangunan tersebut, diperlukan serangkaian kebijaksanaan yang saling mendukung, diantaranya adalah kebijaksanaan fiskal. Kebijaksanaan fiskal ini berkaitan erat dengan masalah Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Pajak merupakan sumber penerimaan dalam negeri terbesar yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan. Hal ini tertuang dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dimana penerimaan utamanya berasal dari pajak. Khususnya dari segi penerimaan negara, pajak merupakan sumber penerimaan terbesar saat ini dan juga tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang harus berkembang dan meningkat sesuai dengan perkembangan kemampuan rakyat dan laju pembangunan. Dengan dana yang memadai pemerintah akan mampu membiayai berbagai proyek besar sampai ke sektor- sektor yang selama ini kurang mendapat perhatian.
Melalui pajak pemerintah dapat mengatur keseimbangan kehidupan perekonomian dan pemanfaatan dana untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini dilakukan dalam rangka menunjang tekad untuk menegakkan kemandirian pembiayaan pembangunan, maka penggalian dan penggerakan sumber penerimaan dalam negeri haruslah didasarkan kepada penerimaan pajak dengan tetap memperhatikan kemampuan pembiayaan oleh masyarakat dan dunia usaha.
Untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, pemerintah melakukan berbagai upaya antara lain dengan menyederhanakan administrasi pajak dan meningkatkan penegakan hukum bagi Wajib Pajak dan petugas pajak yang melanggar ketentuan perundang - undangan perpajakan.
Target pajak yang harus dicapai Direktorat Jenderal Pajak untuk tahun 2014 mencapai Rp.1.370 Trili. Untuk dapat mencapai target tersebut diperlukan upaya-upaya maksimal terutama dalam menyadarkan Wajib Pajak dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Suksesnya pencapaian target tersebut perlu didukung dengan salah satunya tingkat kepuasan dan kepatuhan Wajib Pajak. Untuk meningkatkan kepuasan dan kepatuhan Wajib Pajak dapat dilakukan dengan mengedepankan upaya pelayanan, penyuluhan dan kehumasan dibandingkan tindakan pengawasan. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, menunjukkan bahwa Wajib Pajak membutuhkan berupa kelas pajak bagi calon Wajib Pajak, Wajib Pajak baru dan Wajib Pajak terdaftar.
Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi pemerintahan di bawah Departemen Keuangan sebagai pengelola sistem perpajakan di Indonesia berusaha meningkatkan penerimaan pajak dengan mereformasi pelaksanaan sistem perpajakan yang lebih modern. Untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah melakukan reformasi perpajakan.
Reformasi atau perubahan sistem mendasar terjadi pada pengelolaan perpajakan Indonesia dari sistem Official Assessment ke sistem Self Assessment . Self
assessment system dimana memberikan kepercayaan penuh terhadap Wajib Pajak
(Wajib Pajak) untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakan kepada fiskus.
Tujuan reformasi perpajakan menurut Sony dan Siti (2006) adalah meningkatkan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak (Tax Payer’s Service
Quality ) sebagai sumber aliran dana untuk mengisi kas Negara, menekan
terjadinya penyelundupan pajak (tax evasion) oleh Wajib Pajak, meningkatkan kepatuhan bagi Wajib Pajak dalam penyelenggaraan kewajiban perpajakannya, menerapkan konsep good governance, adanya transparansi, responsibility, keadilan, dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instansi pajak. Kontribusi pajak dalam mendanai pengeluaran negara yang terus meningkat membutuhkan dukungan berupa peningkatan kesadaran masyarakat Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya secara jujur. Menurut Safri Nurmanto dalam Siti Kurnia sebagai sutau keadaan di mana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.
Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung Self Assessment system, dimana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakannya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar serta melaporkan pajaknya tersebut. Menurut Safri Nurmantu (2003), terdapat dua macam kepatuhan yaitu kepatuhan material dan kepatuhan formal. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif /hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang - undang perpajakan. Sedangkan yang dimaksud kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang - undang perpajakan. Kewajiban perpajakan formal diatur dalam Undang - undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Kewajiban pajak yang secara langsung dikenakan kepada Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan, disebut Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, karena mereka memperoleh penghasilann dalam jumlah tertentu, dan dalam jumlah itu, memenuhi syarat untuk dikenakan pajak.
Sejak reformasi perpajakan tahun 1983, Indonesia menganut sistem pemungutan self assesment system. Sistem self assesment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada ditangan Wajib Pajak . Wajib pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi,serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, melaporkan dan mempertanggungjawabkan sendiri pajak yang terutang. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada Wajib Pajak sendiri (peran domain ada pada Wajib Pajak).
Sistem self assesment menuntut Wajib Pajak agar mandiri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Salah satu contoh penerapan sistem self
assesment adalah dalam hal melaporkan surat pemberitahua. Surat Pemberitahuan
(SPT) merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan. SPT dapat dibedakan atas SPT Masa dan SPT tahunan. SPT tahunan, yaitu SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan yang terdiri atas SPT tahunan PPH Wajib Pajak Badan, SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi.
Pemerintah dengan berbagai cara melakukan sosialisasi agar masyarakat menyadari bahwa pajak itu untuk kepentingan bersama. Dengan diberlakukannya peraturan yang mengatur perpajakan pemerintah mengharapkan setiap Wajib Pajak harus memenuhi kewajiban perpajakannya. Namun pada kenyataannya kewajiban perpajakannya. Contohnya masih banyak Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT. Untuk mengantisipasi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya selain telah mengatur sanksi dan denda perlu upaya dalam mengantisipasi karena dapat mengurangi potensi pajak yang seharusnya diterima oleh negara.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian apakah ada pengaruh sosialisasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Maka judul penelitian ini adalah “DAMPAK PELAKSANAAN SOSIALISASI PERPAJAKAN TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK (STUDI PADA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN DI KPP PRATAMA MEDAN KOTA)”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka Perumusan masalah yang menjadi fokus perhatian peneliti adalah : “Bagaimana dampak pelaksanaan sosialisasi perpajakan terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak (studi pada penyampaian surat pemberitahuan tahunan di kantor pelayanan pajak pratama Medan Kota) ?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Dari permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan dari terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak (studi pada penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota).
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini akan memberikan manfaat bagi berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat tersebut adalah:
1. Secara Ilmiah Secara ilmiah sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori dan aplikasi yang diperoleh dari Program Studi Ekstensi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
2. Secara praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai kontribusi terhadap pemecahan permasalahan yang terkait dengan peningkatan pemahaman mengenani perpajakan dan secara khusus terhadap kepatuhan Wajib Pajak, dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau sumbangan pemikiran bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota sebagai salah satu lembaga yang mengurus pelayanan kepada masyarakat agar kiranya mengoptimalkan pelayanan publik yang berkualitas serta dapat mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya.
3. Secara akademis
Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik langsung maupun secara tidak langsung bagi kepustakaan Program Studi Ekstensi Ilmu Administrasi Negara.
E. KERANGKA TEORI
Studi kepustakaaan berkaitan dengan kajian teoritis dan referensi lain yang terkait dengan nilai, budaya, norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2007:14).
Teori merupakan seperangkat konsep, definisi dan preposisi yang saling berhubungan yang disusun secara sistematis sebagai hasil dari penulisan ilmiah terdahulu dengan menggunakan seperangkat metodologi penulisan tertentu untuk menjelaskan gejala tertentu atau hubungan-hubungan dalam fenomena yang sedang diteliti. Berbagai teori yang dikemukakan dalam kajian teori disini merupakan sarana untuk menjawab rumusan masalah yang telah dituliskan di muka dan sebagai landasan untuk melakukan analisis dalam penelitian ini.
1. Evaluasi Kebijakan a. Definisi Evaluasi Kebijakan
Evaluasi merupakan salah satu tahapan penting dalam proses kebijakan publik, namun seringkali tahapan ini diabaikan dan hanya berakhir pada tahap implementasi. Evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu sejauhmana keefektifan kebijakan publik untuk dipertanggungjawabkan kepada publiknya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Menurut Muhadjir dalam Widodo (2008:112) mengemukakan “Evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat “membuahkan hasil”, yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target kebijakan publik yang ditentukan”.
Dalam bahasa yang lebih singkat Jones dalam Winarno (2007:166) mengartikan evaluasi adalah “Kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan”. Serta secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai “Kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang menyangkut substansi, implementasi, dan dampak”. Hal ini berarti bahwa proses evaluasi tidah hanya dapat dilakukan pada tahapan akhir saja, melainkan keseluruhan dari proses kebijakan dapat dievaluasi.
Dari beberapa pendapat para ahli mengenai yang dimaksud dengan evaluasi kebijakan dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan, keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu kebijakan publik dan menilai manfaat suatu kebijakan dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target kebijakan publik yang ditentukan dengan kata lain menyangkut substansi, implementasi, dan dampak suatu kebijakan publik.
Dalam Bingham dan Felbinger, Howlet dan Ramesh (1995) dalam Nugroho (2009:676-677) mengelompokan evaluasi menjadi tiga, yaitu : 1)
Evaluasi administratif, yang berkenaan dengan evaluasi sisi administratif anggaran, efisiensi, biaya dari proses kebijakan di dalam pemerintah yang berkenaan dengan :
a) effort evaluation, yang menilai dari sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan
b) Performance evaluation, yang menilai keluaran dari program yang dikembangkan oleh kebijakan.
c) adequacy of performance evaluation atau effectiveness evaluation , yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan.
d) effeciency evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan penilaian tentang keefektifan biaya tersebut.
e) process evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program. 2)
Evaluasi judical, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan diimplementasikan, termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi negara, hingga hak asasi manusia.
3) Evaluasi politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituten politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.
Sedangkan menurut Dane (Wibawa, 1994) menyebutkan ada dua tipe
1) Sumative evaluation, adalah penilaian dampak dari suatu program. Disebut juga dengan evaluasi dampak (out come evaluation).
2) Formative evaluation, adalah penilaian terhadap proses dari program, disebut pula evaluasi proses.
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup susbtansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebiajakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evalusai kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah- masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
b. Sifat Evaluasi
Gambaran utama evaluasi adalah bahwa evaluasi menghasilkan tuntutan- tuntutan yang bersifat evaluatif. Menurut Dunn (2003:608-609), evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya :
1. Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program.
Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan buka sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi selalu dipertanyakan, evaluasi mecakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan- tujuan dan sasaran itu sendiri.
2. Interdependensi fakta-nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta” maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat untuk menyatakan demikian harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
3. Orientasi masa kini dan masa lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarah pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbangan hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis- premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante ).
Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan-tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya kesehatan) dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki yang merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.
c. Fungsi dan Tujuan Evaluasi Kebijakan
Sebagai salah satu tahapan dalam proses kebijakan, evaluasi memiliki fungsi dan tujuan. Menurut Wibawa dalam Nugroho (2009 : 541-542), evaluasi kebijakan publik memilik empat fungsi, yaitu: 1.
Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hungungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah ,kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut.
Beberapa ahli juga mengemukakan tentang tujuan-tujuan dari evaluasi, Subarsono (2008 : 120) merinci beberapa tujuan dari evaluasi antara lain sebagai berikut :
1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.
2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui derajad diketahui berapa biaya dan manfaat suatu kebijakan.
3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.
4. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.
5. Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.
6. Sebagai bahan masukan (input) unutk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.
Oleh karena itu evaluasi kebijakan, pada prinsipinya digunakan untuk mengevaluasi empat asek dalam proses kebijakan publik (Wibawa, yuyun, agus, 1994:35), yaitu :
1) proses pembuatan kebijakan 2) proses implementasi
4) efektifitas dampak kebijakan d.
Pendekatan Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan publik memiliki tipe dan pendekatan yang beragam dan berbeda, tergantung dari pada tujuan ataupun sudut pandang dari para evaluator yang akan melakukan evaluasi. Dunn (2003 : 613-620) membagi pendekatan evaluasi menjadi tiga bagian antara lain :
1. Evaluasi semu Evaluasi semu (pseudo evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri (self evident) atau tidak kontroversial.
2. Evaluasi formal.
Evaluasi formal merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hal tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah dimumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuan dan target dirumuskan secara formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program.
3. Evaluasi keputusan teoritis.
Evaluasi keputusan teoritis adalah pendekatan yang menggunakan metode- metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan. Asumsi dari evaluasi teoritis keputusan adalah bahwa tujuan dan sasaran dari perilaku kebijakan baik yang dinyatakan secara formal maupun secara tersembunyi merupakan ukuran yang layak terhadap manfaat atau nilai kebijakan dan program.
Tabel 1.1 : Pendekatan Evaluasi Manurut William Dunn Pendekatan Tujuan Asumsi Bentuk-Bentuk UtamaEvaluasi Semu Menggunkan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan
Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya atau tidak controversial
1. Eksperimental sosial
2. Akuntansi sistem sosial
3. Pemeriksaan sosial
4. Sintesis riset dan praktik Evaluasi Formal
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program kebijakan
Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai 1.
Evaluasi perkembangan
2. Evaluasi eksperimental
3. Evaluasi proses retrospektif
4. Evaluasi hasil retrospektif Evaluasi Keputusan Teoritis
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan.
Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun diam-diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.
1. Penilaian tentang dapat tidaknya evaluasi
2. Analisis utilitas multiatribut
Sumber : Dunn (2003:612) e.
Tahapan dan Kendala Evaluasi Kebijakan
Evaluasi dalam pelaksanaanya memiliki tahapan atau langkah-langkah yang dapat dilakukan agar dapat berjalan secara sistematis. Evaluasi dengan ilmiah merupakan evaluasi yang mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk menjalankan evaluasi kebijakan dibandingkan dengan tipe evaluasi lain (Winarno, 2007 : 169). Edward A. Suchman di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan tujuh langkah dalam evaluasi kebijakan (Winarno, 2007 : 169), yaitu :
1) Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi. 2) Analisis terhadap masalah. 3) Deskripsi dan standardisasi kegiatan. 4) Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi. 5)
Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain.
6) Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.
Menurut Suchman, mendefinisikan masalah merupakan tahap paling penting dalam evaluasi kebijakan.Setelah masalah didefinisikan dengan jelas maka tujuan-tujuan dapat disusun dengan jelas pula. Oleh karena itu, ia juga mengidentifikasi beberapa pertanyaan operasional untuk menjalankan riset evaluasi seperti :
1) Apakah yang menjadi isi dari tujuan program ?
2) Siapa yang menjadi target program ?
3) Kapan perubahan yang diharapkan terjadi ?
4) Apakah tujuan yang ditetapkan satu atauan banyak (unitary or
multiple ) ?
5) Apakah dampak yang diharapkan besar ?
6) Bagaimanakah tujuan-tujuan tersebut dicapai ?
Langkah-langkah tersebut dibuat agar suatu evaluasi dapat efektif dengan berjalan secara sistematis. Pada pelaksanaanya sendiri, evaluasi tidak terlepas dari kemungkin timbulnya masalah atau kendala. Hal ini disebabkan evaluasi juga merupakan proses yang kompleks, sehingga kendala atau masalah tersebut dapat menghambat pelaksanaan evaluasi tersebut. Anderson dalam Winarno (2007 : 175-179) mengidentifikasi enam masalah yang akan dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan.
1) Ketidakpastian atas tujuan-tujuan kebijakan. Bila tujuan-tujuan dari suatu kebijakan tidak jelas atau tersebar, maka kesulitan yang timbul adalah menentukan sejauh mana tujuan-tujuan tersebut telah dicapai. Ketidakjelasan
2) Kausalitas. Terdapat kesulitan dalam melakukan penentuan kausalitas antara tindakan-tindakan yang dilakukan terutama dalam masalah-masalah yang kompleks. Seringkali ditemukan suatu perubahan terjadi, tetapi tidak disebabkan suatu tindakan atau kebijakan.
3) Dampak kebijakan yang menyebar. Tindakan-tindakan kebijakan mungkin mempengaruhi kelompok-kelompok lain selain kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kebijakan. Hal ini sebagai akibat dari eksternalitas atau dampak yang melimpah yakni suatu dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pada keadaan atau kelompok selain mereka yang menjadi sasaran kebijakan.
4) Kesulitan-kesulitan dalam memperoleh data. Kekurangan data statistik dan informasi-informasi lain yang relevan akan menghalangi para evaluator untuk melakukan evaluasi kebijakan.
5) Resistensi pejabat. Para pejabat pelaksana program mempunyai kecenderungan untuk tidak mendorong studi-studi evaluasi, menolak memberikan data, atau tidak menyediakan dokumen yang lengkap.
6) Evaluasi mengurangi dampak. Berdasarkan alasan tertentu, suatu evaluasi kebijakan yang telah dirampungkan mungkin diabaikan atau dikritik sebagai evaluasi yang tidak meyakinkan. Hal inilah yang mendorong mengapa suatu evaluasi kebijakan yang telah dilakukan tidak mendapat perhatian yang semsetinya bahkan diabaikan, meskipun evaluasi tersebut benar.
f. Bentuk Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2003:117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu: 1)
Analisis Kebijakan Prospektif. Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan tranformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan (ex ante). Analisis kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan. 2)
Analisis Kebijakan Retrospektif. Analisis kebijakan retrospektif adalah sebagai penciptaan dan tranformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Evaluasi proses retrospektif, yang cenderung dipusatkan pada masalah-masalah dan kendala-kendala yang terjadi selama implementasi kebijakan dan program. Evaluasi retrospektif lebih menggantungkan pada deskripsi ex post facto tentang kegiatan aktivitas program yang sedang berjalan, yang selanjutnya berhubungan dengan keluaran dan dampak. 3)
Analisis kebijakan yang terintegrasi. Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi
g. Model Evaluasi Kebijakan
Menurut Wayne Parsons (2008:549-552), ada dua macam model evaluasi kebijakan yang digunakan yaitu :
1. Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau program yang sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang “seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa kondisi yang bisa meningkatkan keberhasilan implementasi”. Pada fase implementasi memerlukan evaluasi “formatif” yang akan memonitor cara dimana sebuah program dikelola atau diatur untuk menghasilkan umpan balik yang bisa berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi.
Rossi dan Freeman dalam buku Parsons mendeskripsikan model evaluasi ini sebagai evaluasi pada tiga persoalan : Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat
- Apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain
- program atau tidak
- 2.
Sumber daya apa yang dikeluarkan dalam melakukan program
Evaluasi Sumatif Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur bagaimana kebijakan atau program secara aktual berdampak pada problem yang ditanganinya. Model evaluasi ini pada dasarnya adalah model penelitian komparatif yang mengukur beberapa persoalan yaitu : b) Membandingkan dampak intervensi terhadap satu kelompok dengan kelompok lain atau antara satu kelompok yang menjadi subjek intervensi dan kelompok lain yang tidak (kelompok kontrol)
c) Menbandingkan apa yang terjadi dengan apa yang mungkin terjadi tenpa intervensi d)
Atau membandingkan bagaimana bagian-bagian yang berbeda dalam satu wilayah mengalami dampak yang berbeda-beda akibat dari kebijakan yang sama.
h. Kriteria Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan publik, dalam tahapan pelaksanaannya menggunakan pengembangan beberapa indikator untuk menghindari timbulnya bias serta sebagai pedoman ataupun arahan bagi evaluator. Kriteria-kriteria yang ditetapkan menjadi tolak ukur dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan publik. Nugroho (2009 : 536) menjelaskan bahwasannya evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.William N. Dunn (2003 : 429-438) mengemukakan beberapa kriteria rekomendasi kebijakan yang sama dengan kriteria evaluasi kebijakan, kriteria rekomendasi kebijakan sebagai berikut :
Tabel 1.2 : Kriteria Evaluasi Kebijakan Tipe Kriteria Pertanyaan IlustrasiEfektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai? Unit pelayanan
Efisiensi Seberapa banyak usaha yang diperluka untuk mencapai hasil yang diinginkan?
Unit biaya Manfaat bersih Rasio biaya-manfaat
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?
Biaya tetap (masalah tipe I) Efektivitas tetap (masalah tipe II)
Perataan Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda?
Kriteria Pareto Kriteria kaldor- Hicks Kriteria Rawls
Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu?
Konsistensi dengan survai warga negara Ketepatan
Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?
Program publik harus merata dan efisiensi
Sumber : William N. Dunn, 2003, Pengantar Ana Kriteria-kriteria diatas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi kebijakan publik. Karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang dirumuskan olleh William N.Dunn untuk setiap kriterianya. Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Apabila pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar dari pada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut.
Willian N. Dunn dalam bukunya yang berjudul pengantar Analisis Kebijakan Publik : Edisi Kedua, menyatakan bahwa :
“Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan,atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya” (Dunn,2003 :429).
Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu.
Menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh Richard M. Steers dalam bukunya Efektivitas Organisasi menyebutkan beberapa ukuran dari pada efektivitas, yaitu :
Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi;
- dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik;
Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan;
- untuk menghasilkan prestasi tersebut;
Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap biaya
- biaya dan kewajiban dipenuhi;
Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah semua
- masa lalunya;
Pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang dan
- waktu;
Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya sepanjang
- kerugian waktu;
Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada
- yaitu melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan perasaan memiliki;
Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian tjuan,
- mencapai tujuan;
Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu untuk
- sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan mengkoordinasikan;
Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai satu
- mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk mencegah
Keluwesan adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk
Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan diatas, maka ukuran efektivitas merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yanag akan dicapai.
2) Efisiensi
Jika bicara mengenai efisiensi maka kita akan membayangkan hal penggunaan sumber daya (resources) secara optimum untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Maksudnya adalah efisiensi akan terjadi jika penggunaan sumber daya diberdayakan secara optimum sehingga suatu tujuan akan tercapai.
William N. Dunn berpendapat bahwa : “Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi,adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terkahir umunya diukur dari ongkos moneter. Efisieni biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisiensi.” (Dunn,2003:430)
Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.
3) Kecukupan
Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. William N. Dunn suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah (Dunn,2003 :430) Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kautnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
4) Perataan
Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik. Willian N.Dunn menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat (Dunn, 2003:434).
Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu mungkin dapat efektif,efisiensi, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari perataan yaitu keadilan atau kewajaran.
5) Responsivitas
Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan. Menurut William N.Dunn, responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu masyarakat tertentu (Dunn, 2003:437). Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan. Dunn pun mengemukakan bahwa: “Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan
semua kriteria lainnya (efektivitas,efisiensi,kecukupan,kesamaan) masih gagal
jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya
diuntungkan dari adanya suatu kebijakan ” (Dunn,2003:437)Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi, dan nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas,efisiensi,kecukupan, dan kesamaan.
6) Ketepatan
Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuab tersebut. William N.Dunn menyatakan bahwa kelayakan (Appropriateness) adalah: “Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut”. (Dunn,
Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya (bila ada). Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi sebelumnya baik dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau dimungkinkan alternatif lain yang dirasakan lebih baik dari suatu pelaksanaan kebijakan sehingga kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara lebih dinamis.
i. Metode Evaluasi
Menurut Finsterbusch dan Motz dalam Subarsono (2008:128), untuk melakukan evaluasi terhadap program yang telah diimplementasikan, ada beberapa metode evaluasi yang dapat dipilih yakni : 1.
Single program after-only, yaitu informasi diperoleh berdasarkan keadaan kelompok sasaran sesudah program dijalankan
2. Single program befora-after, yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan perubahan keadaan sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.
3. Comparative after-only, yairu informasi yang diperoleh berdasarkan keadaan sasaran dan bukan sasaran program dijalankan.
4. Comparative before-after, yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan efek program terhadap kelompok sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.
Tabel 1.3 Metodologi untuk Evaluasi ProgramJenis Evaluasi Pengukuran kondisi Kelompok Informasi yang kelompok sasaran Kontrol diperoleh Sebelum Sesudah
Single Program After- Tidak Ya Tidak Ada Keadaan Only
Kelompok sasaran
Single Program Before- Ya Ya Tidak Ada Perubahan After
Kelompok sasaran
Comparative After-Only Tidak Ya Ada Keadaan
kelompok sasaran dan kelompok kontrol
Comparative Before- Ya Ya Ada Efek program
Afterterhadap kelompok sasaran dan kelompok kontrol
Sumber : Subarsono (2008:130) j.
Evaluasi Dampak
Sebelumnya telah disebutkan bahwa evaluasi kebijakan adalah suatu untuk menentukan dampak dari kebijakan pada kondisi-kondisi kehidupan nyata.
Dampak adalah perubahan kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari output kebijakan. Akibat dari output kebijakan ada dua macam yakni :
1. Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran
(baik akibat yang diharapkan atau tidak diharapkan) dan akibat tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran (impact).
2. Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran, baik yang sesuai dengan yang diharapkan atau tidak dan akibat tersebut tidak mampu menimbulkan perilaku baru pada kelompok sasaran (effects).
Evaluasi dampak merupakan usaha menentukan dampak atas implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan pada keadaan- keadaan atau kelompok-kelompok di luar sasaran atau tujuan kebijakan.
Menurut Lester dan Stewart dalam Winarno (2007:170-171), setidaknya ada tigal hal yang dapat dilakukan oleh seseorang evaluator didalam melakukan evaluasi kebijakan publik, yaitu: pertama, evaluasi kebijakan mungkin menjelaskan keluaran-keluaran kebijakan, misalnya pekerjaan, uang, materi yang diproduksi, dan pelayanan yang disediakan. Keluaran ini merupakan hasil yang nyata dari adanya kebijakan, namun tidak memberi makna sama sekali bagi seorang evaluator.
Kedua , evaluasi kebijakan barangkali mengenai kemampuan kebijakan
dalam memperbaiki masalah-masalah sosial, misalnya usaha untuk mengurangi kemacetan lalu lintas atau tingkat kriminallitas. Dan ketiga, evaluasi kebijakan barangkali menyangkut konsekuensi-konsekuensi kebijakan dalam bentuk policy
feedback , termasuk didalamnya adalah reaksi dari tindakan-tindakan pemerintah
atau pernyataan dalam sistem pembuatan kebijakan atau dalam beberapa pembuat
Pada sisi yang lain, Thomas R. Dye dalam Winarno (2007:171-173) menyatakan dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semuanya harus diperhitungkan dalam membicarakan evaluasi.
1. Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat
2. Kebijakan-kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan
3. Kebijakan mungkin akan mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan dimasa yang akan datang
4. Evaluasi juga menyangkut unsur yang lain, yakni biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan publik
5. Dimensi yang terakhir dari evaluasi kebijakan adalah menyangkut biaya- biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik.
Sekalipun dampak yang sebenarnya dari suatu kebijakan mungkin sangat jauh dari yang diharapakan atau diinginkan, tetapi kebijakan tersebut pada dasarnya mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi masyarakat.
k. Model Evaluasi Yang Digunakan Peneliti
Di dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan evaluasi dampak dengan menggunakan model single program after-only. Peneliti hendak melihat keadaan kelompok sasaran sesudah program dijalankan.
2. Reformasi Administrasi Perpajakan a. Pengertian Reformasi Perpajakan
Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar pada disegala aspek perpajakan. Reformasi perpajakan yang sekarang menjadi prioritas menyangkut modernisasi administrasi perpajakan jangka menengah (tiga atau hingga enam tahun) dengan tujuan tercapainya, pertama, tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi.
Kedua, kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi. Dan
ketiga, produktivitas aparat perpajakan yang tinggi. Sebagaimana kondisi
masyarakat yang selalu berubah dan tuntutan adanya reformasi diseua bidang, kondisi dan situasi yang terjadi didalam proses pemberian pelayanan maupun penerapan administrasi kepada Wajib Pajak sudah semakin kritis dalam melihat setiap perubahan kebijakan pemerintah terutama dalam bidang fiskal. Kondisi ini mau tidak mau mengharuskan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan reformasi dibdang perpajakan. Sebagaimana yang menjadi sasarn sejak tahun 2002, bahwa reformasi perpajakan secara komperhensif sebagai satu kesatuan dilakukan terhadap tiga bidang pokok atau utama secara langsung menyentuh pilar perpajakan, yaitu: 1) Bidang administrasi, yakni melallui modernisasi administasi perpajakan. 2)
Bidang peraturan, dengan melakukan amandemen terhadap Undang - undang perpajakan.
3) Bidang pengawasan, membangun bank data perpajakan nasional.
b. Reformasi Administrasi Perpajakan Indonesia