Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Pembinaan Menurut Hukum Pidana di Indonesia (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan)

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI PROSES PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Narapidana merupakan salah satu jenis warga binaan yang dibina di Lapas. Penghuni suatu Lapas adalah mereka yang menjalankan pidana penjara

  atau pidana kurungan, orang-orang yang dikenakan penahanan sementara, orang- orang yang disandera (gegijzelden), dan orang lain yang tidak menjalankan pidana penjara atau pidana kurungan, tetapi secara sah telah dimasukkan kedalam

56 Lapas.

  Pemidanaan narapidana sebelum Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 tahun 1995 (selanjutnya disebut Undang-Undang Pemasyarakatan) ini diberlakukan, dilakukan pada bangunan yang dikenal dengan istilah penjara. Inti dari pidana penjara adalah mengutamakan pemberian pembalasan yang setimpal atas pelanggaran yang dilakukan. Perhatian terhadap narapidana, kepentingan

  57

  narapidana sama sekali diabaikan. Teori pembalasan benar-benar dilaksanakan,

  58

  seolah-olah narapidana adalah objek semata-mata. Pembalasan tersebut bertujuan untuk memberikan efek jera agar sipelaku tidak mengulangi perbuatannya kembali. Tugas penjara pada waktu itu, tidak lebih dari mengawasi

  56 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 167. 57 58 Harsono, Op.Cit., hal. 36 Ibid.

  26 para narapidana agar tidak membuat keributan dalam penjara dan tidak melarikan

  59 diri dari penjara.

  Konsep pemasyarakatan yang dikenal di Indonesia pada dasarnya

  60

  sebagaimana yang dikutip oleh Eva Achjani Zulfa dan Indrianto Seno Adji berpendapat bahwa konsep pemasyarakatan ini ditujukan untuk menggantikan konsep penjara peninggalan Belanda yang diatur dalam Ordonnantie op de

  (stb.1917-749 tanggal 27 Desember 1917 jo

  Voorwaardelijke Invrijheodstelling

  stb.1926-488), Gestichten Reglement (stb. 1917-708 tanggal 10 Desember 1917) dan Uitvoeringordonnantie op de Voorwaardelijke Veroordeeling (stb. 1926-487 tanggal 16 November 1926) yang kesemuanya dianggap tidak sesuai lagi dengan

  61

  kondisi dan norma masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan. Sistem pelaksanaan pembinaan pada narapidana dari sistem penjara menjadi sistem pembinaan dimulai pada tahun 1964 ini membawa perubahan yang cukup jauh dalam hubungannya dengan tujuan pemidanaan. Selanjutnya Muladi menyatakan bahwa masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak asasi manusia, serta

  62

  menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan sebagai pembaharuan pelaksanaan

  63

  pidana penjara merupakan suatu kegiatan yang mengandung dua hal. Hal 59 60 Ibid. 61 Eva Achjani Zulfa dan Indrianto Seno Adji. Op.Cit, hal. 126 62 Ibid. 63 Ibid, hal.61.

  Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan., Liberty, Yogyakarta, 1986, hal. 13.

  27 pertama yang adalah mengandung suatu kegiatan pemikiran tentang bentuk pidana penjara yang akan mengalami evolusi berkenaan dengan upaya baru pelaksanaan pidana penjara baru, dan pada hal yang kedua adalah mengandung

  64

  rangka sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan diselenggarakan untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga kemudian dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dan dapat aktif berperan dalam pembangunan serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Kedua hal tersebut merupakan faktor utama dan tetap dalam pembaharuan pelaksanaan pidana penjara.

  Undang-Undang Pemasyarakatan mulai diberlakukan tanggal 30 Desember 1995. Sistem pembinaan bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. hak yang sama juga terjadi pada institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi Lapas.

  Menurut Undang-Undang Pemasyarakatan, pemasyarakatan diartikan sebagai kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari

  65

  sistem pembinaan dalam tata peradilan. Pemasyarakatan dilakukan berdasarkan suatu sistem terpadu yang dilakukan bukan saja oleh petugas yang berwenang namun juga melibatkan masyarakat sekitar. Penghuni Lapas juga berbeda dengan 64 65 Ibid.

  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 1 Angka 1.

  28 sistem penjaraan, dimana penghuni dalam Lapas dinamakan warga binaan pemasyarakatan. Warga binaan pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik

  66

  pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan. Pembinaan dalam Undang-Undang berupa pembinaan di dalam pemasyarakatan. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Pemasyarakatan menerangkan bahwa narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas. Terpidana yang dimaksud itu adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

  67 kekuatan hukum yang tetap.

  Pasal 4 Undang-Undang Pemasyarakatan kemudian menyebutkan bahwa Lapas didirikan di setiap kabupaten atau kotamadya. Sistem pembinaan narapidana dan warga binaan pemasyarakatan lainnya

  68

  dalam Undang-Undang Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : a.

  Pengayoman; b.

  Persamaan perlakuan dan pelayanan; c. Pendidikan; d.

  Pembimbingan;

  e. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

  f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan g.

  Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Pengayoman adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidupnya kepada warga binaan pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna dalam masyarakat. 66 67 Ibid, Pasal 1 Angka 5. 68 Ibid, Pasal 1 angka 6.

  Ibid, Pasal 5.

  29 Persamaan perlakuan dan pelayanan, yaitu pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa membeda - bedakan. dilaksanakan berdasarkan pancasila, antara lain penananman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

  Penghormatan harkat dan martabat manusia, yaitu sebagai orang yang tersesat warga binaan pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.

  Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, yaitu warga binaan pemasyarakatan harus berada dalam Lapas untuk jangka waktu tertentu selain dari itu haknya sebagai manusia dan perdatanya tetap dilindungi.

  Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang- orang tertentu, yaitu walaupun berada didalam Lapas tetapi warga binaan tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak diasingkan dari masyarakat, seperti diperbolehkan menerima kunjungan, hiburan ke dalam Lapas dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.

  Pasal 6 Undang-Undang Pemasyarakatan kemudian menentukan bahwa pembinaan warga binaan dilakukan di Lapas dan pembimbingan dilakukan di BAPAS. Sistem pembinaan narapidana dalam Undang-Undang Pemasyarakatan dapat dilaksanakan didalam Lapas (intramural) dan diluar Lapas (ekstramural).

  Pembinaan di Lapas hanya dilakukan terhadap narapidana dan anak narapidana saja. Pembimbingan oleh BAPAS kepada narapidana dilakukan bila yang

  30 bersangkutan mendapat bebas bersyarat atau cuti menjelang bebas. Pembinaan secara ekstramural yang dilakukan di Lapas disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan

  69 tidak ditemukan pada sistem penjara yang dianut pada zaman Belanda dulu.

  Pembinaan warga binaan pemasyarakatan dilakukan dimulai setelah dilakukan pendaftaran terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang Pemasyarakatan. Pendaftaran narapidana di Lapas meliputi pencatatan putusan pengadilan, pencatatan jati diri, pencatatan barang dan uang yang dibawa, pemeriksaan kesehatan, pembuatan pasfoto, pengambilan sidik jari, dan pembuatan berita acara serah terima terpidana.

  Pembinaan narapidana didalam Lapas dilakukan oleh petugas-petugas yang dipimpin oleh seorang kepala Lapas. Pembinaan terhadap narapidana di Lapas dilakukan penggolongan atas dasar:

  a. Umur;

  b. Jenis kelamin; c.

  Lama pidana yang dijatuhkan; d.

  Jenis kejahatan; e. Kriteria lainnya sesuai dengan lebutuhan atau perkembangan pembinaan.

  Pembinaan narapidana anak dilakukan di tempat yang terpisah dengan narapidana dewasa. Kriteria tersebut dilakukan berdasarkan penggolongan umur.

  Narapidana yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun dilakukan di Lapas anak. Penggolongan juga dilakukan berdasarkan jenis kelamin narapidana. narapidana wanita dan narapidana laki-laki juga dipisah. Untuk tindak pidana 69 Ibid, Penjelasan Pasal 6 ayat (1).

  31

  32 tertentu seperti tindak pidana penyalahgunaan narkotika, dibeberapa tempat juga dibuat Lapas tersendiri. Untuk menjalankan pembinaan narapidana memilki hak yang tidak dapat dilupakan. Pasal 14 Undang-Undang Pemasyarakatan a.

  Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b.

  Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d.

  Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. Menyampaikan keluhan; f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g.

  Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya; i. Mendapatkan pengurangan masa pidana ( remisi); j.

  Mendapakan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k.

  Mendapatkan pembebasan bersyarat; l. Mendapat cuti menjelang bebas; dan m.

  Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Selama proses pembinaan narapidana dapat dipindah ke Lapas lain jika ada hal penting yang menghendaki, seperti yang tercantum dalam Pasal 16

  Undang-Undang Pemasyarakatan. Pemindahan narapidana ini dapat dilakuakan untuk kepentingan pembinaan, keamanan dan ketertiban, proses pengadilan, atau hal lainnya yang dianggap perlu. Penyidikan terhadap narapidana yang terlibat perkara lain, baik sebagai tersangka, terdakwa atau sebagai saksi yang dilakukan di Lapas ditempat narapidana yang bersangkutan menjalani pidana, dilaksanakan penyelidikan setelah menunjukkan surat perintah penyidikan dari pejabat instansi yang berwenang menyerahkan tembusannya kepada kepala Lapas. Apabila proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap narapidana sebagaimana dimaksud harus dilakukan diluar wilayah hukum pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan pidana yang sedang dijalani, narapidana yang bersangkutan dapat dipindahkan ke Lapas setempat untuk

  70 Awal perubahan ini didukung dengan berkembangnya teori pemidanaan

  treatmen. Teori treatmen berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan

  71

  kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Argumentasi dari aliran ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatmen) dan perbaikan (rehabiltation) dan pembinaan. Aliran ini lahir pada abad ke-19.

  Perubahan tersebut memiliki dampak besar dalam proses pembinaan narapidana, yaitu adanya pengklasifikasian narapidana berdasarkan usia, jenis kelamin dan lamanya masa pidana seperti yang termuat dalam Pasal 12 Undang- Undang Pemasyarakatan. Proses pembinaan narapidana yang dianut oleh Undang- Undang Pemasyarakatan ini mengikuti aliran modern yang berkembang dibeberapa negara didunia. Pembinaan juga sudah dilakukan dengan membentuk tim-tim yang memiliki fungsinya sendiri dalam rangka mendukung pembinaan seperti pada Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Pemasyarakatan yang mengatur bahwa pada proses pembinaannya terdapat suatu tim pengamat pemasyarakatan yang terdiri dari pejabat-pejabat Lapas, BAPAS, atau pejabat lainnya yang bertugas: 1.

  Memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan; 70 71 A. Josias Simons dan Thomas Sunaryo, Op.Cit., hal 65.

  Marlina, Op.Cit., hal 59.

  33

  2. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan;dan

3. Menerima keluhan dan pengaduan dari warga binaan.

  pemasyarakatan dan tim pengamat pemasyarakatan ditetapkan keputusan menteri. Pegawai Lapas yang bertugas dalam pembinaan narapidana diperlengkapi dengan

  72 senjata api.

  Penetapan sistem pemasyarakatan sebagai suatu sistem pembinaan terpidana membawa suatu kesadaran, dimana kesadaran itu membawa Indonesia kepada faham “rehabilitation” yang berarti narapidana soyogianya tidak dipidana

  73

  melainkan diperbaiki (resosialisasi) semata-mata. Penjara tidak ada lagi di Indonesia. Konsep tempat berpijak dan kegiatan-kegiatan kepenjaraan sudah diubah dan diganti. Rumah penjara sekarang dinamakan Lapas.

  Perubahan menuju yang lebih baik sudah dimulai, tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan, banyak Lapas di Indonesia yang belum melaksanakan perintah Undang-Undang Pemasyarakatan sepenuhnya, sehingga pembinaan dalam Lapas tidak berjalan optimal. Beberapa Lapas masih memiliki fasilitas yang kurang memadai, jumlah petugas yang kurang dan kurangnya disiplin dari petugas Lapas sendiri.

  72 73 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tentang Pemasyarakatan, Pasal 48.

  Bachtiar Agus Salim, Pidana Penjara Dalam Stelsel Pidana Di Indonesia, Medan, USU Press, 2009, hal.89.

  34

B. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

  Pembinaan narapidana di Lapas dalam pandangan publik sering kali terkesan buruk, sebab tak jarang dari warga binaan yang dibina dan dibimbing dalam Lapas justru malah bertambah buruk bukannya bertambah baik. Prinsip pemasyarakatan pada dasarnya adalah terpidana yang dibina didalam Lapas tidak dimaksudkan membuat mereka menjadi lebih jahat, namun sebaliknya yaitu membina dan mendidik mereka agar menjadi manusia lebih baik. Pembinaan yang terbaik bagi keberhasilan narapidana dalam menjalani pembinaan dan dapat kembali kemasyarakat serta tidak mengulangi lagi perbuatannya, adalah

  74

  pembinaan yang berasal dari dalam diri narapidana itu sendiri. Untuk dapat menumbuhkan perubahan dalam diri narapidana tersebut membutuhkan peran dari orang lain yang berada di sekitarnya.

  Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut dengan PP Nomor 31 Tahun 1999) pada Pasal 1 angka 1 menerangkan bahwa pembinaaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesionalitas, kesehatan jasmani, dan rohani narapidana dan anak didik narapidana. Lapas memiliki andil yang sangat besar dalam proses pembinaan narapidana dan warga binaan lainnya. Pasal 3 PP Nomor 31 Tahun 1999 kemudian menjelaskan bahwa pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian terhadap narapidana dan warga binaan lainnya, meliputi: 74 Harsono, Op.Cit, hal.36

  35

1. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2.

  Kesadaran berbangsa dan bernegara; 3. Intelektual; 4. Sikap dan prilaku; 5. Kesehatan jasmani dan rohani; 6. Kesadaran hukum; Reintegrasi sehat dengan masyarakat;

  8. Keterampilan kerja;dan 9.

  Latihan kerja dan produksi. Penanaman nilai-nilai agama merupakan nilai yang paling penting dalam pembinaan. perwujudan asas ini adalah dengan ditetapkannya hak narapidana untuk melakukan ibadah sesuai agama dan kepercayaan yang dianut dari masing- masing narapidana. Semua asas-asas diatas harus dimuat dalam suatu sistem pembinaan yang dilaksanakan tanpa adanya diskriminasi. Asas-asas ini sekaligus sebagai upaya perlindungan hak-hak narapidana. Peningkatan kualitas intelektual narapidana dilakukan melalui kegiatan pendidikan bagi narapidana di Lapas. Pendidikan dilakukan melalui pendidikan formal dan pendidikan informal yang diselenggarakan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan dalam bentuk kursus, latihan keterampilan, dan sebaginya. Tujuan dari pendidikan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berfikir warga binaan

  75 pemasyarakatan.

  Pelaksanaan pembinaan selanjutnya diatur dalam, Pasal 7 PP Nomor 31 tahun 1999 menentukan bahwa pembinaan narapidana dilaksanakan dengan melalui beberapa tahap yaitu tahap awal, tahap lanjutan dan tahap akhir. Peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya ditetapkan melalui sidang yang dilakukan oleh

75 Josias Simon dan Thomas Sunaryo, Op.Cit., Hal.31

  36 tim pengamat pemasyarakatan berdasarkan data dari pembina pemasyarakatan, pengaman pemasyarakatan, pembimbing pemasyarakatan dan wakil narapidana.

  Ketentuan mengenai waktu untuk tiap-tiap proses pembinaan tersebut (1)

  Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 2 huruf a bagi narapidana dimulai sejak dengan 1/3 ( satu pertiga) dari masa pidana. (2)

  Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) buruf b meliputi: a.

  Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ ( satu perdua) dari masa pidana dan b.

  Tahap lanjutan kedua sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 ( dua pertiga) masa pidana. (3)

  Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf ayat (2) huruf c dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan.

  (4) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),(2) dan ayat (3) ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan.

  Pasal 10 PP Nomor 31 tahun 1999 kemudian menjelaskan bahwa pembinaan tahap awal dimulai dengan masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan paling lama 1 bulan; perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian dan Pemilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal. Pembinaan tahap lanjutan dimulai dengan Perencanaan program pembinaan lanjutan; Pelaksanaan program pembinaan lanjutan; Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi. Pembinaan tahap akhir dilakukan dengan Perencanaan program integrasi; Pelaksanaan program integrasi; Pelaksanaan program integrasi;

  Proses pemasyarakatan ditinjau dari segi keamanannya (security) dibagi menjadi 4 tahap. Sistem pemasyarakatan yang ditingkatkan sebagai suatu sistem

  37 perlakuan terhadap narapidana di Indonesia sejak tahun 1964 dengan rasionalisasi sebagai tujuannya, adalah bagaimana proses pembinaan narapidana itu dilaksanakan. Proses pemasyarakatan ditinjau dari segi keamanannya (security)

  Tahap pertama , tahap maximum security terhadap narapidana dalam tahap

  ini mendapat pengawasan ketat, kalau perlu penjagaan bersenjata, terutama bai narapidana yang berbahaya. Tahap ini sampai 1/3 masa pidana yang sebenarnya, tahap ini diawali dengan tahap oerientasi yaitu sejak masuk, didaftar, diteliti surat-surat vonisnya, lama pidananya, diperhitungkan kapan bebasnya dan lain-lain, da diadakan penelitian untuk mengetahui hal ihwal tentang dirinya. Hasil penelitian ini sangat penting untuk bahan penyusunan program pemidanaan selanjutnya pendidikan/pekerjaan apa yang cocok, dan dimana ia harus dibina. Tahap admisi dan orientasi ini berjalan paling lama satu bulan; tahap kedua, tahap medium security tahap ini teradap narapidana sudah lebih longgar pengawasannya bila dibanding dengan tahap pertama. Sudah dapat bekerja, berolah raga diluar Lembaga pemasyarakatan dengan pengawalan oleh petugas pemasyarakatan. tahap ini sampai ½ masa pidana yang sebenarnya; tahap ketiga, tahap minimum security tahap ini dimulai dari ½ sampai 2/3 masa pidann yang sebenarnya. Dalam tahap ini sudah dapat diasimilasikan ke luar Lembaga Pemasyarakatan tanpa pengawalan. Asimilasi ini misalnya beribadah, berolah raga, mengikuti pendidikan, bekerja keluar Lembaga Pemasyarakatan bersam-sama masrayarakat umum tanpa pengawalam , hanya bersifat pegawasan dan bimbingan dari petuga Lembaga Pemasyarakatan. pada tahap ini pula dapat diasimilasikan keluar, yaitu bekerja diluar Lembaga Pemasyarakatan pagi berangkat dan sore pulang ke Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka mandiri (bekerja sendiri) disuatu tempat yang tetap; misalnya sebagai pemangkas rambut, atau pada perusahaan swasta, misalnya sebagai karyawan dalam sebuah pabrik atau badan suatu pemerintahan sekalipun misalnya sebagai supir; dan tahap

  empat , tahap integrasi pada tahap ini apabila sudah menjalani 2/3 masa

  pidananya. Apabila sudah menjalani 2/3 masa pidananya dan paling sedikit 9 bulan seseorang narapidana dapt diusulkan/ diberikan lepas bersyarat atau voorwaardelijke invrijheidsteling yang disingkat VI . Disini narapidana sudah sepenuhnya berada ditengah-tengah masyarakat/ keluarganya, hanya nanti apabila sudah habis masanya VI nya, ia kembali ke Lembaga Pemasyarakatan terdekat untuk mengurus/menyelesaikan surat bebas/surat lepasnya. Dengan mendapat surat lepas dari Lembaga

  76 Pemasyarakatan ini maka habis / hilanglah statusnya sebagai narapidana. 76 Bachtiar Agus Salim, Op.Cit, hal.96-97

  38 Pola pembinaan baik narapidana pria maupun narapidana wanita dilakukan dengan ketentuan yang sama, namun pembinaan narapidana wanita dilakukan pada Lapas khusus wanita, dan dibimbing oleh petugas-petugas wanita yang membimbingnya, sehingga tidak jarang pembinaan dilakukan dengan pendekat-pendekatan yang berbeda. Semakin berkualitas petugas yang melakukan pembinaan, maka efek pembinaan pun juga akan semakin efektif.

  Pembinaan narapidana dapat dilakukan dengan cara pemindahan narapidana dari satu Lapas ke Lapas lain dalam hal adanya kepentingan tertentu.

  Pemindahan narapidana dalam Undang-Undang Pemasyarakatan sudah diatur pada Pasal 16. Pemindahan narapidana tersebut kemudian diperjelas dalam PP Nomor 31 Tahun 1999. Pasal 46 ayat (1) PP Nomor 31 Tahun 1999 mengatakan bahwa pemindahan narapidana dan anak didik pemasyarakatan dapat dipindahkan dari satu Lapas ke Lapas lain oleh kepala Lapas apabila telah memenuhi syarat- syarat pemindahan. Ayat (2) pasal tersebut lalu mengatakan bahwa yang menjadi syarat pemindahan narapidana adalah adanya izin pemindahan tertulis dari pejabat yang berwenang, dilengkapi dengan berkas-berkas pembinaan, dan hasil pertimbangan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Berkas-berkas pembinaan yang dimaksud adalah file narapidana yang memuat penelitian pemasyarakatan, kartu pembinaan, medical record, dan laporan atau akses pemindahan narapidana dan keterangan lain yang berkaitan dengan proses pembinaan yang

  39

  77

  bersangkutan. Proses pemindahan narapidana tersebut harus dilakukan melalui tahapan yang telah ditentukan. Selanjutnya Pasal 51 PP Nomor 31 Tahun 1999 menentukan bahwa pemindahan narapidana dapat dilakukan dengan yang membutuhkan waktu bermalam dalam perjalanan bermalam harus menginap di Lapas atau Rutan terdekat. Pemindahan narapidana tersebut harus dengan menggunakan kendaraan khusus dan alat keamanan lain yang telah memenuhi persyaratan kemanan. Pemindahan narapidana selanjutnya diatur dalam Pasal 52 dan Pasal 53 PP Nomor 31 Tahun 1999 dimana harus mendapat pengawalan paling sedikit dua orang petugas pemasyarakatan dan dapat dalam hal tertentu dapat meminta bantuan pihak kepolisian. Pengawalan terhadap narapidana wanita dilakukan oleh petugas pemasyarakatan wanita. Pengawalan yang dilakukan kepada narapidana yang dipindahkan harus tetap memperhatikan faktor kemanusiaan. Kepala Lapas wajib memberitahukan kepada keluarga narapidana yang dipindahkan satu hari sebelum pemindahan. Segala pembiayaan yang keluar selama proses pemindahan narapidana tersebut merupakan tanggungan dari pemerintah.

  Usaha untuk mewujudkan pemantapan peran pembinaan dalam proses pembinaan pemasyarakatan kemudian satu tim yang dibentuk dan sangat berperan, yaitu Tim Pengamatan Pemasyarakatan (TPP). Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02.PR.08.03 Tahun 1999 Tentang Pembentukan

77 Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

  40

Bab III bagian pertama, pasal 12 ditentukan bahwa: 1. TPP pusat berada di Direktorat Jendral Pemasyarakatan dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. TPP wilayah berada di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Perundang-undangan dan bertanggung jawab kepada Kantor Wilayah.

  41 Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan, dalam

  3. TPP daerah berada di Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan dan bertanggung jawab kepada masing-masing kepala Unit Pelaksana Teknis Unit.

  78 TPP tersebut kemudian memiliki tugas pokok yang dipertegas pada Pasal 13

  Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.02.PR.08.03 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan, yaitu: 1.

  Memberikan saran mengenai bentuk dan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan.

  2. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan,pengamanan dan pembimbingan

  79 Proses pembinaan narapidana dan warga binaan lainnya sebagaimana yang

3. Menerima keluhan dan pengaduan dari warga binaan pemasyarakatan.

  ditentukan 53 PP Nomor 31 Tahun 1999 harus dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan terhadap narapidana dan anak didik . Seluruhnya terdapat dalam sepuluh prinsip pokok sebagai berikut

  80

  : 78 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor

  M.02.PR.08.03 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Balai Pertimbangan dan Tim pengamat Pemasyarakatan. 79 Ibid , Pasal 13 . 80 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M. 02-PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Bab IV.

  1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peran sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

  2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh negara. Ini berarti bahwa tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik, baik yang berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita yang dialami oleh kemerdekaannya unutk bergerak dalam masyarakat bebas.

  3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.

  Berikan pada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan dan sertakan mereka dalam kegiatan

  • – kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya.

  4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat dari pada sebelum dijatuhi pidana, misalnya dengan mencampurbaurkan narapidana dan anak didik, yang melakukan tindakan berat dengan yang ringan, dan sebagainya.

  5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus diperkenalkan degan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Antara lain, kontak dengan masyarakatdapat terjelma dalam bentuk kunjungan hiburan kedalam Lapas dari anggota-anggota masyarakat bebas, dan kesempatan yang lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarga.

  6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat mengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi keperluan jabatan atau kepentingan negara pada waktu tertentu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan yang terdapat didalam masyarakat, dan yang menunjang pembangunan, umpamanya menunjang usaha meningkatkan produksi pangan.

  7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila. Antara lain ini berarti bahwa kepada mereka harus ditanamkan jiwa kegotong royongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, disamping pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah agar memperoleh kekuatan spiritual.

  8. Narapidana dan anak anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.

  Martabat dan perasaannya sebagai manusia harus dihormati.

  9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satusatunya derita yang dialaminya.

  10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitasi, korektif dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.

  42 Kesepuluh prinsip yang tertera tersebut diharapkan dapat menunjukakan tujuan ataupun sasaran dar suatu pembinaan yang dilakukan dalam Lapas. Sesuai dengan tuntutan. waktu yang ditentukan dapat di lepas kembali ke masyarakat. PP Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 55 menerangkan bahwa pembinaan narapidana berakhir apabila narapidana yang bersangkutan telah habis masa pidananya, memperoleh pembebasan bersyarat, memperoleh cuti menjelang bebas, atau meniggal dunia. Selanjutnya pada Pasal 56 PP Nomor 31 Tahun 1999 menerangkan bahwa narapidana yang telah selesai menjalani masa pidananya, diberi biaya pemulangan ke tempat asalnya. Narapidana yang bebas dari Lapas diberikan surat pembebasan. Penyerahan surat pembebasan narapidana dilakukan dengan membuar berita acara serah terima yang tembusannya disampaikan kepada hakim

  81 pengawas dan pengamat setempat.

  Persoalan pembinan dalam Lapas adalah kembali lagi karena masih banyaknya kelemahan yang dimiliki. Masih banyak ditemukan pembinaan yang tidak dilakukan sesuai dengan penggolongan yang ditetapkan. Tingkat keamanan dalam Lapas pun tidak sepenuhnya berjalan baik, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya narapidan-narapidana yang berhasil melarikan diri dari Lapas . Untuk mengoptimalkan suatu pembinaan dalam Lapas dibutuhkan juga peran serta masyarakat, baik dalam mengadakan kerjasama dalam pembinaan maupun dengan

  81 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakata, Pasal 57 ayat (2).

  43 sikap bersedia menerima kembali warga binaan pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya.

C. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua

  

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Dan Peraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

  Pelaksanaan pembinaan pada narapidana merupakan inti sekaligus ujung dari proses pemidanaan. Merupakan suatu inti pembinaan disebab pembinaan adalah suatu sarana yang dilakukan dalam hal mengganti kesalahan atau kerugian yang di timbulkan sipelaku sekaligus sebagai pembinaan terhadap dirinya agar menjadi pribadi yang lebih baik. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut dengan PP Nomor 28 Atas Perubahan PP Nomor 32 Tahun 1999) tersebut memberikan stadart pada Lapas yang ada diseluruh Indonesia akan tata cara pemberian hak narapidana dalam proses pembinaan warga binaan di Lapas. Narapidana adalah seorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana, namun meski begitu pembinaan tetap dilakukan dengan batas-batas kewajaran dan tidak merendahkan harkat dan martabat narapidana tersebut sebagai seorang manusia. PP Nomor 28 Atas Perubahan PP Nomor 32 Tahun 1999, kemudian menentukan tata cara pelaksanaan hak tersebut yang harus dihargai dan diperhatikan selama proses pembinaan di dalam Lapas.

  Setiap narapidana berhak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Baik Rutan ataupun Lapas diwajibkan untuk membuat

  44 jadwal khusus dan tempat untuk narapidana dalam melakukan ibadah. Pasal 3 PP Nomor 28 Atas Perubahan PP Nomor 32 Tahun 1999 menyatakan Lapas wajib menyediakan petugas untuk memberikan pendidikan dan bimbingan keagamaan Lapas. Pihak Lapas dalam melaksanakan pendidikan dan bimbingan agama tersebut dapat bekerjasama dengan mengadakan instansi terkait, badan pemasyarakatan dan atau perorangan. Seluruh kegiatan pendidikan dan bimbingan agama dapat dilakukan di dalam Lapas dan di luar Lapas. Pelaksanaan ibadah

  82 narapidana diluar Lapas dilakukan sesuai dengan tahapan proses pembinaan.

  Setiap narapidana dan anak didik yang ada di dalam Lapas tersebut diwajibkan untuk mengikuti program ini, sebab program ini merupakan salah satu hal yang terpenting dari bagian pembinaan.

  Setiap narapidana berhak mendapat perawatan jasmani dan rohani. Perawatan rohani pada narapidana diperoleh melalui bimbingan rohani dan pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti yang dimaksud adalah meliputi

  83

  sopan santun atau tata krama dalam pergaulan hidup sehari-hari. Perawatan jasmani narapidana dapat dilakukan berupa pemberian kesempatan untuk berolah raga dan rekreasi, pemberian perlengkapan pakaian,pemberian perlengkapan mandi dan tidur. Beberapa Lapas di Indonesia memberikan perawatan jasmani kepada para narapidana dengan bermain voli, senam bersama, tenis meja atau olahraga lainnya. Perawatan jasmani tersebut mulai disediakan segera setelah 82 Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 2 ayat (2). 83 Ibid, Pasal 6 ayat (1).

  45 terpidana ataupun narapidana tersebut telah terdaftar dalam Lapas. Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini menegaskan dalam menjalankan perawatan rohani dan perawatan jasmani ini, setiap narapidana diwajibkan menggunakan seragam yang

  Setiap narapidana berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran.Setiap Lapas diwajibkan melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran bagi narapidana beserta dengan anak didik Pemasyarakatan. Kegiatan pendidikan dan pengajaran bagi narapidana ini dilakukan didalam Lapas dimana pihak Lapas wajib menyediakan petugas pendidik dan pengajar. Pasal 10 ayat (2) PP Nomor

  28 Atas Perubahan PP Nomor 32 Tahun 1999 menentukan Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran pada narapidana tersebut dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan instansi pemerintah yang ruang lingkup tugasnya meliputi bidang pendidikan dan kebudayaan, dan atau badan kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan dan pengajaran. Pendidikan dan pengajaran yang dilakukan pada narapidana pada dasarnya dilakukan didalan Lapas, namun dalam hal narapidana membutuhkan pendidikan dan pengajaran yang tidak tersedia didalam Lapas, maka atas seizin Kepala Lapas dapat dilakukan diluar Lapas.

  Pendidikan diluar Lapas dapat dilakukan berupa belajar ditempat latihan kerja yang dikelola oleh pemerintah atau tempat latihan kerja yang dikelola Lapas yang letaknya terpisah dari Lapas. Wujud pendidikan yang pelaksanaannya diluar

84 Lapas berupa: a.

  Belajar di sekolah luar negeri 84 Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1995 Tentang

  Perubahan Atas Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Pasal 11 ayat (2).

  46 b.

  Belajar ditempat kerja yang dikelola oleh Lapas (pertanian, peternakan, dan perikanan dan sebagainya); atau c.

  Belajar ditempat latihan kerja milik instansi pemerintah lainnya. Pendidikan dan pengajaran pada narapidana tetap mengikuti kurikulum lembaga pendidikan sederajat. Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum yang berlaku

  85

  di pendidikan dasar dan pendidikan menengah negeri. Beberapa narapidana juga ada yang melakukan kuliah S2 didalam Lapas, tetapi tidak berapa lama ini, pemerintah mengeluarkan suatu keputusan dimana pengajaran dan pendidikan pada narapidana khususnya yang mengambil starata 2 didalam Lapas sudah tidak dapat dilakukan lagi. Setiap kegiatan pendidikan dan pengajaran dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dan pengajaran didalam Lapas diadakan oleh Kepala Lapas sebagaimana yang tertuang dalam pasal 12 . Setiap narapidana yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan dan pengajarannya berhak untuk mendapat surat keterangan lulus dari pihak yang terkait layaknya dan diakui keabsahannya seperti pendidikan pada masyarakat pada umumnya. Pengadaan pendidikan dan pengajaran ini merupakan salah satu wujud dari perubahan paradigma pemidanaan dari pemberian balasan yang setimpal ke arah pemidanaan pemidanaan pembinaan bagi para pelaku kejahatan yang telah terbukti melakukan kejahatan berdasarkan keputusan pengadilan. Meskipun kemerdekaan seorang narapidana diambil tetapi hak dia sebagai seorang warga negara utuk memperoleh pendidikan dan pengajaran sebagai mana yang diamanatkan dalam UUDRI 1945 terwujud. 85 Ibid ., Pasal 11 ayat (3).

  47 Setiap narapidana berhak untuk mendapat pelayanan kesehatan yang layak. Pasal 14 ayat (2) mengatur bahwa untuk setiap Lapas disediakan Poliklinik beserta fasilitas pendukung dan disediakan sekurang-kurangnya satu orang dokter terhadap kesehatan, maka dokter atau tenaga kesehatan lainnya wajib untuk melakukan pemeriksaan. Untuk menjaga kondisi narapidana, Pasal 16 PP Nomor

  28 Atas Perubahan PP Nomor 32 Tahun 1999 menentukan pemeriksaan dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam satu bulan dan dicatat dalam kartu kesehatan.

  Pasal 17 PP Nomor 28 Atas Perubahan PP Nomor 32 Tahun 1999 selanjutnya menentukan bahwa terhadap narapidana yang memiliki penyakit yang membahayakan atau menular maka narapidana tersebut harus di rawat secara khusus. Perawatan penyakit membahayakan dan menular tersebut dapat dilakukan dirumah sakit umum atas adanya rekomendasi dari dokter Lapas ke Kepala Lapas.

  Pasal 17 PP Nomor 28 Atas Perubahan PP Nomor 32 Tahun 1999 selanjutnya menyebutkan biaya yang timbul atas perawatan narapidana dirumah sakit dibebankan pada negara. Narapidana atau warga binaan yang meninggal selama menjalani masa pembinan di Lapas wajib memberitahukan kepada keluarga yang di tinggalkan. Narapidana yang meninggal secara tidak wajar, maka kepala Lapas harus memberitahukan kepada kepolisian untuk dilakukan investigasi. Berikutnya Pasal 19 PP Nomor 28 Atas Perubahan PP Nomor 32 Tahun 1999 menentukan narapidana berhak untuk mendapatkan makanan dan minuman sesuai dengan kalori yang dibutuhkan. Jumlah kalori sekurang-kurangnya 2250 (dua ribu dua

  48

  86

  ratus lima puluh) kalori untuk setiap orang per hari. Khusus untuk narapidana asing dapat yang bukan penduduk Indonesia dapat diberikan jenis makanan lain sesuai dengan negaranya atas petunjuk dokter Lapas. PP Nomor 28 Atas narapidana yang sakit, hamil dan menyusui berhak untuk mendapat makanan sesuai dengan petunjuk dokter. Bagi narapidana yang yang melakukan pekerjaan tertentu juga dapat diberikan makanan tambahan. Terhadap masalah mekanan ini Pasal 21 menyebutkan bahwa yang Kepala Pemasyarakatan bertanggung jawab atas pengelolaan makanan yag meliputi: a. Pengadaan, penyimpanan, dan penyiapan makanan; b.

  Kebersihan makanan dan dipenuhinya syarat-syarat kesehatan dan gizi; dan c.

  Pemeliharaan peralatan masak, makanan dan minum. Narapidana dan warga binaan pemasyarakatan lainnya juga dapat menerima makanan yang dibawa dari luar keluarga atau kerabat narapidana. Untuk makanan yang dibawa dari luar pada Pasal 22 ayat (2) PP Nomor 28 Atas Perubahan PP Nomor 32 Tahun 1999 menentukan makanan tersebut harus diperiksa petuga Lapas terlebih dahulu.

  Setiap narapidana berhak menyampaikan keluhan. Pasal 26 PP Nomor 28 Atas Perubahan PP Nomor 32 Tahun 1999 menyatakan bahwa Keluhan narapidana disampaikan kepada Kepala Lapas atas perlakuan sesama penghuni 86 Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1995 Tentang

  Perubahan Atas Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan PemasyarakatanPasal 19 ayat (1).

  49 terhadap dirinya. Keluhan narapidana ini dapat disampaikan secara lisan maupun tulisan dengan tetap memperhatikan tata tertib Lapas.

  Setiap narapidana berhak mendapat bahan bacaan dan mengikuti siaran dengan Pasal 28 PP Nomor 28 Atas Perubahan PP Nomor 32 Tahun 1999. Setiap Lapas dalam proses pembinaan narapidana harus menyediakan bahan bacaan, media massa yang berupa media cetak dan media elektronik. Bahan bacaan dan media massa tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Lapas menyediakan setidaknya satu buah pesawat televisi, satu buah radio penerima dan media eletronik lainnya yang tidak bertentangan dengan Perundang- undangan yang berlaku. setiap narapidana dilarang untuk membawa pesa wat telepon dan radio atau alat elektronik yang lain kedalam Lapas.

  Setiap narapidana berhak mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan. Premi adalah imbalan jasa yang diberikan kepada narapidana yang

  87

  mengikuti latihan kerja sambil berproduksi. Upah adalah imbalan jasa yang diberikan kepada narapidana yang bekerja menghasilkan barang atau jasa untuk

  88

  memperoleh keuntungan. Upah atau premi hasil pekerjaan narapidana harus dititipkan dan dicatat di Lapas dan diberikan apabila diperlukan untuk memenuhi keperluan yang mendasar selama berada di Lapas atau biaya pulang setelah menjalan setelah selesai masa pidana. Narapidana yang dipindahkan ke Lapas lain, maka upah atau premi ikut dipindahkan. 87 Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1995 Tentang

  Perubahan Atas Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Pasal 29 ayat (1). 88 Ibid.

  50 Setiap narapidana menerima kunjungan keluarga penasehat hukum atau orang tertentu lainnya. Kunjungan kepada narapidana dilakukan diruangan khusus dan dicatat dalam buku tamu. Petugas Pemasyarakatan yang bertugas wajib pengunjung dan memeriksa barang bawaannya. Bagi terpidana mati yang grasinya ditolak dimungkinkan untuk menerima kunjungan orang-orang tertentu.

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Yuridis Para Pihak Dalam Pengiriman Tebu dari Kebun ke Pabrik (Studi pada Kebun Sei Semayang PTPN II)

0 0 9

Perlindungan Hukum terhadap Penumpang sebagai Pengguna Jasa Angkutan Umum pada Pengangkutan Darat (Studi pada CV. PAS Transport)

0 0 11

BAB II TINJAUAN SECARA UMUM TENTANG PERJANJIAN - Perlindungan Hukum terhadap Penumpang sebagai Pengguna Jasa Angkutan Umum pada Pengangkutan Darat (Studi pada CV. PAS Transport)

0 0 40

1 BAB I PENDAHULUAN - Perlindungan Hukum terhadap Penumpang sebagai Pengguna Jasa Angkutan Umum pada Pengangkutan Darat (Studi pada CV. PAS Transport)

0 1 15

Perlindungan Hukum terhadap Penumpang sebagai Pengguna Jasa Angkutan Umum pada Pengangkutan Darat (Studi pada CV. PAS Transport)

0 0 10

BAB II ASURANSI DAN USAHA PERASURANSIAN A. Pengertian dan Pengaturan Asuransi dan Usaha Perasuransian - Pengaruh Keterlambatan Pembayaran Premi Terhadap Pengajuan Klaim Asuransi Pada PT. Sun Life Financial Indonesia Jakarta (Studi pada PT. Sun Life Financ

0 1 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Keterlambatan Pembayaran Premi Terhadap Pengajuan Klaim Asuransi Pada PT. Sun Life Financial Indonesia Jakarta (Studi pada PT. Sun Life Financial Indonesia Kantor Pusat Jakarta)

0 1 18

Pengaruh Keterlambatan Pembayaran Premi Terhadap Pengajuan Klaim Asuransi Pada PT. Sun Life Financial Indonesia Jakarta (Studi pada PT. Sun Life Financial Indonesia Kantor Pusat Jakarta)

1 1 10

BAB II PENGATURAN DAN PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP SEKTOR JASA KEUANGAN A. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan - Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat dari Kepailitan

0 3 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat dari Kepailitan

0 1 18