BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perbedaan Pengaruh Teknik Dry-Bonding, Water Wet-Bonding dan Ethanol Wet-Bonding Pada Restorasi Klas II Resin Komposit Nanohybrid Terhadap Celah Mikro (In Vitro)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Restorasi dengan menggunakan resin komposit dapat menghasilkan warna yang

  2,4

  menyerupai gigi asli. Tetapi kelemahan dari bahan ini adalah sering terjadinya

  shrinkage selama polimerisasi, sehingga dapat menyebabkan terjadinya kebocoran

3,5,6

  mikro antara restorasi dan dinding kavitas. Kebocoran mikro pada restorasi Klas II paling banyak terdapat pada tepi gingiva. Ini disebabkan preparasi kavitas pada dinding gingiva yang cenderung lebih lembab dan gagalnya proses bonding pada tepi

  2

  gingiva. Kegagalan ini dapat diatasi dengan menggunakan teknik bonding yang tepat untuk mencegah kolapsnya kolagen akibat pengeringan dentin yang terdemineralisasi

  7

  setelah pengetsaan. Selain itu, perkembangan resin komposit dalam bentuk

  nanohybrid dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan perlekatan antara

  5 restorasi dan struktur gigi.

2.1 Resin komposit

  Resin komposit merupakan bahan restorasi yang paling sering digunakan di dalam bidang kedokteran gigi untuk menggantikan struktur gigi yang hilang, memodifikasi warna dan kontur gigi dengan tujuan estetik. Resin komposit pertama sekali diperkenalkan oleh Knock dan Glenn (1951) dan terus mengalami

  13,26 perkembangan sampai sekarang.

2.1.1 Komponen Resin Komposit

  Pada tahun 1962, Bowen mengembangkan bahan dengan menambahkan monomer Bisphenol A dimethacrylate (Bis-GMA) untuk meningkatkan kekuatan

  

26

  kimia antara partikel filler resin komposit. Basis matriks resin terdiri dari polimerik mono-, di- atau tri- fungsional monomer seperti BIS-GMA atau UDMA. Bisphenol A

  

dimethacrylate (Bis-GMA) adalah dimetakrilat yang umum digunakan pada komposit

  gigi. Bis-GMA merupakan hasil reaksi antara bisfenol-A dan glisidil metakrilat. Bis- GMA memiliki viskositas yang tinggi sehingga membutuhkan tambahan dari

  

dimethacrylate lainnya yang memiliki viskositas rendah seperti triethylene glycol

dimethacrylate (TEGDMA), ethylene glycol dimethacrylate (EGMA) dan hydroxyl-

ethyl methacrylate (HEMA) untuk menghasilkan resin yang dapat digunakan secara

  maksimal (Gambar 1). Namun, monomer ini menyebabkan shrinkage polimerisasi yang lebih besar. Semakin besar proporsi dari monomer filler ini maka dapat menyebabkan semakin besarnya shrinkage polimerisasi dan resiko kebocoran pada

  1,13,15,26,27 celah marginal.

  Gambar 1. Struktur kimia matriks organik resin komposit, (a) bis-GMA

  27

  (b) TEGDMA, (c) UDMA, (d) bis-EMA Resin komposit mempunyai dua komponen utama yaitu matriks (material organik) dan filler (material anorganik) serta banyak komponen sekunder lainnya seperti polymerization initiator (bahan penghambat polimerisasi), pigmen warna agar dapat menyerupai sewarna gigi, UV Absorbers (penyerap ultraviolet) dan silane

  1,4 coupling agents (pengikat antara filler dan matriks).

  Matriks terdiri dari banyak monomer ikatan karbon rantai ganda (C=C) yang disebut grup fungsional. Monomer-monomer tersebut akan membentuk rantai

  4,28 polimer melalui proses polimerisasi.

  Filler dicampurkan kedalam matriks resin untuk mengurangi kontraksi

  polimerisasi, mengurangi koefisien muai termis komposit, meningkatkan sifat mekanis komposit antara lain kekuatan perlekatan dan kekerasan, mengurangi penyerapan air, kelunakan dan pewarnaan. Kualitas perlekatan mempengaruhi resistensi bahan restorasi terhadap abrasi. Bahan filler yang biasanya dipakai adalah

  1,4,15 silicon dioxide, boron silicates dan lithium aluminium silicate.

  Coupling Agent digunakan untuk membentuk ikatan antara matriks resin dan

  bahan pengisi. Kegunaan coupling agent tidak hanya untuk memperbaiki sifat khemis dari komposit tetapi juga meminimalisasi kehilangan awal dari partikel filler yang diakibatkan dari penetrasi oleh cairan diantara resin dan filler. Bahan pengikat yang sering digunakan adalah organosilane seperti

  γ-methacryloxypropyl 1,4 trimethoxysilane.

  Polymerization inhibitor (bahan penghambat polimerisasi) adalah penghambat

  terjadinya shrinkage polimerisasi dari komposit. Monomer dimethacrylate dapat berpolimerisasi selama penyimpanan maka dibutuhkan bahan penghambat

  1 (inhibitor).

  Untuk mengatasi kekurangan resin komposit yang diaktivasi secara kimiawi, maka dikembangkan aktivasi menggunakan sinar. Photointiator merupakan parameter dalam menentukan karakter polimerisasi resin komposit. Photointiator yang paling sering digunakan adalah camphorquinone (CQ). Camphorquinone akan

  1 menyerap sinar dengan puncak panjang gelombang 470 nm.

  Pigmen warna memiliki persentase kecil untuk menghasilkan warna yang berbeda dari komposit. Pigmen ini berfungsi untuk memberi warna menyerupai warna gigi asli. Titanium Oxide digunakan pada metal dan aluminium oxide

  1 ditambahkan untuk memberi warna opak pada resin komposit.

2.2 Resin Komposit Nanohybrid

2.2.1 Komposisi Resin Komposit Nanohybrid

  Perkembangan bahan pengisi dalam partikel yang berukuran nano bertujuan untuk meningkatkan sifat fisik resin komposit. Resin komposit nanohybrid memadukan partikel berukuran nano dengan partikel bahan pengisi yang lebih konvensional. Resin komposit nanohybrid memadukan sifat baik dari resin komposit bahan pengisi makro yang memiliki sifat fisik dan mekanis yang sangat baik dengan resin komposit bahan pengisi mikro yang memiliki kualitas finishing dan polishing yang memuaskan. Komposit ini juga terdiri dari matriks (material organik), filler (material anorganik) dan silane coupling agent. Komposit nanohybrid memiliki ukuran partikel 1-3 µ m dan persentase filler adalah sebesar 70-77% volume. Ukuran partikel yang lebih kecil akan menghasilkan kemungkinan terjadinya shrinkage

  1 menjadi lebih sedikit.

2.2.2 Keuntungan Resin Komposit Nanohybrid

  Beberapa keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan resin komposit

  30 nanohybrid adalah sebagai berikut : 1.

  Preparasi gigi yang dibutuhkan minimal, mengingat sifat adhesif yang mengijinkan adanya penambahan bahan pada area yang mengalami defek maka preparasi tambahan tidak diperlukan.

2. Bahan restorasi yang diproses di laboratorium berpotensi menghasilkan restorasi yang tahan lama.

  3. Restorasi gigi yang menggunakan resin komposit nanohybrid dapat diselesaikan dalam satu kali kunjungan. Hal ini dapat mempersingkat waktu dan mengurangi ketidaknyamanan pasien bila harus dilakukan penumpatan pada hari yang berbeda.

  4. Resin komposit nanohybrid dapat dipolis dengan baik sehingga dapat bertahan selama bertahun-tahun. Hal ini akan memberi nilai estetis yang optimum yang menyerupai gigi asli dengan akumulasi plak minimal.

  5. Penyesuaian warna mudah karena tampilan resin komposit nanohybrid yang alami memaksimalkan nilai estetis bahan. Komposit ini dapat menyatu dengan baik pada gigi yang direstorasi.

2.3 Sistem Adhesif

  Resin komposit tidak dapat berikatan secara kimiawi dengan permukaan gigi secara langsung sehingga diperlukan suatu bahan perekat atau yang disebut dengan bahan bonding (adhesive). Bonding merupakan suatu proses interaksi zat dari suatu

  2

  bahan (adhesive) dengan bahan lain (adherend). Sistem adhesif terus berkembang selama 40 tahun terakhir untuk meningkatkan ketahanan antara enamel dan/atau dentin dengan material bonding terhadap kebocoran mikro dan permasalahan yang

  13 ditimbulkannya.

  Keuntungan pengunaan bahan bonding adalah dapat merekatkan bahan restorasi pada enamel atau dentin, meminimalisir pembuangan jaringan gigi yang sehat, mencegah terjadinya kebocoran mikro dan menambah kekuatan struktur gigi. Maka, bahan bonding dapat digunakan untuk perawatan karies dan gigi fraktur; restorasi lesi abrasi dan erosi pada bagian servikal; memperbaiki bahan porselen yang rusak, amalgam dan resin komposit, pada pit dan fisur; dan juga melekatkan braket

  1 ortodontik.

2.3.1 Klasifikasi Sistem Adhesif

  Penggunaan bahan bonding seperti sistem adhesif total-etch dan self-etch sebagai bonding agent antara struktur gigi dengan bahan restorasi diharapkan dapat meminimalkan kebocoran mikro. Adapun yang membedakan kedua sistem adhesif adalah pada mekanisme adhesif dan jumlah tahapan klinis yang terlibat.

2.3.1.1 Sistem Adhesif Total-Etch

  Sistem adhesif generasi ke-4 diperkenalkan pada awal tahun 1990 menggunakan sistem adhesif total-etch dimana etsa asam terpisah dari primer dan

  1,8,13,16

  adhesifnya yang sering disebut sistem adhesif total-etch three-step. Pengetsaan asam terhadap email dan dentin dilakukan dengan menggunakan asam fosfat 40% selama 15-20 detik dengan tujuan menghilangkan smear layer sepenuhnya, membuka

  2,13

  tubulus dentin dan mencegah terjadinya kolaps. Smear layer adalah lapisan debris organik yang terdapat pada enamel atau dentin setelah preparasi dilakukan yang akan

  

6

  mempengaruhi perlekatan bahan bonding. Pada generasi ini diperkenalkan teknik

  13 wet-bonding dimana dentin dibiarkan dalam keadaan lembab (moist). Sistem adhesif generasi ke-5 diperkenalkan pada pertengahan tahun 1990 untuk menyederhanakan langkah prosedur klinis sistem adhesif yang sering disebut sistem adhesif total-etch two-step. Adhesif ini juga dikenal dengan one-bottle system karena bahan primer dan bahan adhesif berada dalam satu botol yang diaplikasikan setelah pengetsaan enamel dan dentin secara simultan dengan asam fosfat 35-37% selama 15-

  11,13,16 20 detik.

  Sistem adhesif total-etch mengandung bahan kondisioner (etchant), primer dan bahan adhesif. Bahan kondisioner (etchant) terdiri dari 37% asam fosfat, asam nitrit, asam maleat, asam oksalik/aluminium nitrat, asam hidrokoloid, asam sitrat dan EDTA. Bahan primer mengandung HEMA (2-Hydroxyethyl methacrylate) dan 4- META (4-Metha cryloxyethyl trimellitate anhydride) yang dapat digantikan dengan

  1 aseton atau etanol.

  Proses etsa asam dapat membuka pori-pori kecil dan membersihkan sisa smear

  layer dimana resin komposit akan ditempatkan dalam kavitas sehingga dapat

  menambah retensi mekanis pada restorasi dan mengurangi kemungkinan terdapatnya celah yang akan mengurangi perlekatan antara permukaan restorasi dan struktur

  1,16,17

  gigi. Selanjutnya bonding akan membentuk mechanical interlocking dengan struktur gigi yang teretsa dengan tujuan untuk membentuk resin tags dan membentuk lapisan hibrid sehingga terbentuk perlekatan yang kuat antara enamel dan dentin yang

  1 dietsa (Gambar 2).

  1 Gambar 2. Lapisan hybrid yang terbentuk pada sistem adhesif Keuntungan dari sistem adhesif total-etch adalah mempunyai perlekatan yang kuat terhadap enamel dan dentin, perlekatan terhadap dentin sebesar 17-25 MPa, dapat diaplikasikan pada dentin yang lembab, dan dapat digunakan pada substrat

  1 porselen dan alloy metal.

2.3.1.2 Sistem Adhesif Self-Etch

  Self-etch adalah sistem adhesif generasi ke-6 yang mengandung monomer asam

  yang dapat melakukan etsa asam dan primer secara bersamaan. Maka teknik etsa asam dan pembilasan dengan air dapat dihilangkan. Sehingga dapat mengurangi sensitivitas dan meningkatkan efisiensi dalam proses klinik terutama dalam menghemat waktu manipulasi karena jumlah tahapan sistem adhesif self-etch lebih singkat dibandingkan total-etch. Sistem self-etch lebih mudah digunakan dan aplikasinya tidak rumit, dengan demikian akan menghasilkan hasil yang memuaskan

  8,31 saat digunakan secara klinis.

  Sistem adhesif self-etch terbagi atas dua , yaitu two-step self-etch adhesive terdiri dari dua tahap aplikasi yaitu tahap aplikasi self-etch primer kemudian dilanjutkan dengan tahap aplikasi resin adhesif dan one-step self-etch adhesive dimana semua unsur bahan bonding dikombinasikan dalam satu kemasan sehingga

  10,13,16,32,33 hanya terdiri dari satu tahap aplikasi (Gambar 3).

  Keuntungan dari sistem adhesif self-etch adalah dapat mengurangi sensitivitas

  

postoperative karena etsa dan primer secara bersamaan, tidak terjadi pembuangan

smear layer maka tubulus dentin tetap tertutup yang akan mengurangi sensitivitas,

  tidak perlu adanya pencucian dan aplikasi yang cepat. Sedangkan kerugiannya adalah memiliki pH yang inadekuat untuk enamel sehingga perlekatan antara enamel dan dentin menjadi lemah, perlekatan terhadap dentin sebesar 18-23 MPa yaitu lebih kecil dibandingkan dengan total-etch, penyimpanannya membutuhkan suhu yang dingin, meningkatkan daya serap air, dan pemakaian klinis yang terbatas. Selain itu, kekuatan

  1 perlekatan jangka panjang juga masih belum diketahui.

  31 Gambar 3. Klasifikasi sistem adhesif

  2.3.2 Perlekatan Resin Komposit Terhadap Enamel Enamel tersusun atas mineral (86%), air (12%) dan lainnya (Gambar 4).

  Mineral enamel terdiri dari garam kalsium fosfat dalam bentuk nano kristal

  1

  hidroksiapatit. Salah satu upaya untuk meningkatkan perlekatan resin pada struktur gigi adalah penggunaan teknik etsa asam dan bahan bonding. Pada tahun 1955, Buonocore memperkenalkan bonding pada email dalam mempersiapkan permukaan

  10,13,14

  gigi yang baik untuk melekatkan bahan restorasi resin komposit. Penelitian yang dilakukan Buonocore, pengetsaan enamel dengan asam fosfat 85% selama 2 menit membuktikan bahwa asam dapat membersihkan permukaan, meningkatkan area permukaan dan memungkinkan untuk perlekatan terhadap struktur permukaan

  7 gigi.

  1 Gambar 4 . Komposisi enamel Enamel rod atau yang biasa disebut prisma email merupakan kesatuan dasar

  dari email. Pengaplikasian etsa akan menyebabkan demineralisasi enamel rods yang terpapar sehingga akan menghasilkan mikro porositas yang banyak dan diperoleh ikatan fisik antara resin komposit dan email yang membentuk retensi mikromekanis (Gambar 5). Sedangkan polimerisasi bonding dengan resin komposit menghasilkan ikatan kimia. Pengetsaan enamel menggunakan asam fosfat akan membuang smear

  7 layer, melarutkan lapisan enamel dan melarutkan tiap prisma email yang berbeda.

  Enamel yang dietsa dengan asam fosfat akan tampak frosty (lebih buram) yang

  7 menunjukkan keberhasilan pengetsaan pada enamel.

  Gambar 5. SEM A. Permukaan enamel yang tidak dietsa B. Permukaan

  7

  enamel yang teretsa

2.3.3 Perlekatan Resin Komposit Terhadap Dentin

  Perlekatan terhadap dentin lebih sulit dibandingkan perlekatan terhadap email. Hal ini dikarenakan dentin merupakan jaringan vital yang memiliki kandungan air yang tinggi dan berisi jaringan termineralisasi yang lebih sedikit dibandingkan

  1,13

  enamel. Hal ini disebabkan karena enamel mengandung 95% anorganik hidroksiapatit sedangkan pada dentin hanya 50% (Gambar 6), sehingga pembuangan

  

smear layer lebih sulit pada dentin yang cenderung lebih lembab dan cairan pada

  tubulus dentin juga secara konstan mengalir kearah luar yang akan mengurangi adhesi

  1 dari resin komposit terhadap perlekatan dentin.

  1 Gambar 6. Komposisi dentin Smear layer dapat dihilangkan melalui pengetsaan asam fosfat 37% yang

  menyebabkan terbukanya tubulus dentin. Pengetsaan terhadap intertubular dan peritubular dentin menghasilkan daerah hybrid zone dimana pada daerah ini akan terjadi penetrasi dan perlekatan bagi bahan bonding sehingga terbentuk lapisan

  

hybrid . Selain itu, apabila tidak terdapat cukup air akibat pengeringan, maka jaringan

  kolagen akan kolaps dan membentuk permukaan yang relatif tidak permeable sehingga mencegah infiltrasi resin dan hibridisasi selanjutnya. Namun, apabila terdapat telalu banyak air, infiltrasi resin tidak dapat terjadi dalam jaringan kolagen yang nantinya akan menyebabkan kebocoran mikro pada daerah tersebut. Oleh karena itu, penting untuk menjaga agar tidak terjadi kolapsnya jaringan kolagen.

2.3.4 Teknik Bonding

  Kolagen adalah salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan dentin bonding. Pengetsaan bertujuan membuang smear layer yang menutupi serabut

  1

  kolagen. Setelah dilakukan pengetsaan terdapat dua teknik yang dapat dilakukan dalam mempersiapkan permukaan dentin sebelum dilakukan bonding untuk mencegah kolapsnya serabut kolagen yang berguna untuk pembentukkan lapisan

  33 hibrid yang diharapkan yaitu: teknik dry-bonding dan wet-bonding.

2.3.4.1 Teknik Dry-bonding

  Teknik dry-bonding adalah teknik pengeringan permukaan gigi setelah dilakukan pengetsaan dengan menggunakan semprotan udara sampai benar-benar

  6

  kering sehingga menyebabkan dentin mengalami dehidrasi. Jaringan kolagen pada dentin yang mengalami dehidrasi akan kolaps bersamaan dengan hilangnya jarak

  33 interfibrillar antara serabut kolagen yang terpapar (Gambar 7).

  Gambar 7. A. Permukaan dentin setelah dilakukan pengetsaan B. Kolapsnya serabut kolagen akibat pengeringan dengan semprotan udara C.Membiarkan

  26

  dentin dalam keadaan lembab Sampai saat ini pada umumnya banyak praktisi yang mengeringkan permukaan gigi yang telah dietsa untuk memeriksa permukaan yang teretsa. Pengeringan dengan semprotan udara akan menyebabkan tertutupnya celah-celah dalam kolagen. Jika dilakukan pengeringan udara pada dentin yang mengalami demineralisasi maka dapat mengakibatkan kolapsnya kolagen, menghalangi pembentukan lapisan hybrid dan mengganggu infiltrasi dari resin komposit. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan ilmu maka teknik ini mulai jarang digunakan karena kolapsnya kolagen akan mempengaruhi perlekatan dan kekuatan dari restorasi yang

  1 mempengaruhi lamanya restorasi bertahan didalam rongga mulut.

2.3.4.2 Teknik Wet-bonding

  Teknik wet-bonding adalah sebuah teknik yang dapat digunakan untuk mencegah kolapsnya kolagen dentin yang mengalami demineralisasi dan membantu

  20

  infiltrasi dari resin. Bagaimanapun, tingkat kebasahan pemukaan gigi yang dibutuhkan untuk mempertahankan integritas kolagen tanpa mempengaruhi kekuatan

  7,14,18,33

  perlekatan sangat sulit dilakukan. Kapas atau kain kasa dapat digunakan untuk mengurangi kebasahan pada permukaan untuk mempersiapkan permukaan yang

  1,7

  lembab sebelum proses bonding dilakukan. Keadaan lembab (moist) adalah

  7 permukaan kavitas bebas dari air tetapi masih terdapat selapis tipis air pada kavitas.

  Kanca dan Gwinnett cit Jayaprakash et al. (2010) menyarankan bahwa setelah pengetsaan, dentin tidak boleh dikeringkan. Mempertahankan permukaan dentin dalam keadaan lembab (moist) setelah pengetsaan merupakan hal yang sangat penting. Keadaan lembab akan mencegah kolapsnya kolagen dan pembentukan

  14

  lapisan hybrid menjadi lebih banyak. Oleh karena itu, diperkenalkan alternatif pada permukaan dentin yang telah dietsa dengan menjaga kelembabannya yang dikenal dengan teknik wet-bonding. Hal ini dapat meningkatkan perlekatan resin dengan

  7 dentin dan mengurangi terjadinya sensitivitas pasca perawatan.

2.3.4.2.1 Teknik Water Wet-bonding (WWB)

  Water wet-bonding adalah pembilasan permukaan dentin setelah pengetsaan

  dengan menggunakan air dan membiarkannya dalam keadaan lembab untuk mencegah kolapsnya matriks kolagen. Keberadaan air diantara dentin yang mengalami demineralisasi dan bahan bonding dapat membantu infiltrasi monomer

  22 resin sepanjang lapisan hibrid yang terbentuk.

  Serat kolagen permeabel sangat dipengaruhi oleh permukaan sekitar dentin yang lembab. Kelembaban yang optimal adalah kolagen dalam keadaan sedikit basah (moist), bukan dalam keadaan basah atau kering. Apabila permukaan sekitar dentin basah maka resin tidak bisa melekat kuat dan sulit berpenetrasi ke dalam jaringan kolagen karena dihalangi oleh molekul-molekul air dan apabila terlalu kering maka

  2 serat kolagen akan kolaps dan dentin tidak bisa melekat kuat pada kolagen.

  Dentin yang masih vital memiliki sifat yang lembab. Air memegang peranan penting untuk menjaga kesatuan dari molekul kolagen. Pada penggunaan teknik

  

water wet-bonding , kolapsnya matriks kolagen dapat dicegah dimana air dapat

menghindari kontak langsung dari kolagen fibril dari ikatan interpeptida.

  Penambahan air dan membiarkannya tetap lembab terhadap permukaan dentin setelah

  26 pengetsaan diharapkan mampu menambah perlekatan restorasi.

  Jayaprakash et al. (2010) melaporkan bahwa permukaan dentin yang dikeringkan dapat mengurangi air dan kelembaban dari dentin. Penambahan air atau menjadikan dentin dalam keadaan lembab diharapkan mampu mengurangi tegangan

  14 permukaan dentin dan meningkatkan kekuatan perlekatan dari restorasi.

2.3.4.2.2 Teknik Ethanol Wet-bonding (EWB)

  Etanol adalah salah satu bahan yang dapat digunakan untuk pembilasan dentin dan mencegah dehidrasi matriks kolagen sehingga kolapsnya kolagen dapat

  19

  dicegah. Etanol memiliki tekanan permukaan yang rendah dan mudah menyebar

  18 pada permukaan sehingga dapat membantu filtrasi dari monomer resin.

  Penggunaan etanol dapat menghambat penguapan air selama penetrasi monomer sehingga monomer dapat masuk ke dalam dentin yang mengalami

  14,20,21

  demineralisasi. Selain itu, etanol dapat mengurangi diameter fibril dari matriks kolagen sehingga menambah perlekatan dengan membentuk lapisan hybrid yang

  22 lebih banyak dibandingkan dengan pengunaan air (Gambar 8). Gambar 8. SEM A. Permukaan dentin yang dilakukan water wet-bonding B.

  Permukaan dentin yang dilakukan ethanol wet-bonding. HL=hybrid

  22 layer

  Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ethanol wet-bonding mulai banyak diteliti. Biasanya pengunaannya pada total-etch three-step dan total-etch two-

  30

step . Penggunaan ethanol wet-bonding merupakan alternatif yang dapat digunakan

untuk mencegah kolapsnya matriks kolagen menggantikan teknik water wet-bonding.

  Beberapa penelitian melaporkan bahwa etanol dapat menjaga dan menutupi bagian dari serabut kolagen, menggantikan air yang hilang selama proses

  29,34,35

  demineralisasi. Penggunaan etanol dapat membantu infiltrasi resin komposit BisGMA/TEGDMA pada dentin yang menghasilkan kekuatan mekanik yang tinggi. Oleh karena itu, penggunaan resin hidropobik yang bersifat menyerap sedikit air

  18 dapat mempengaruhi dentin bonding pada ethanol wet-bonding.

  Hosaka et al. (2009) melaporkan terjadi peningkatan kekuatan perlekatan dan daya tahan pada ethanol wet-bonding yang dibandingkan dengan water wet-bonding. Sadek et al. (2009) pada penelitian in vitro melaporkan bahwa ethanol wet-bonding memiliki kekuatan perlekatan dan daya tahan yang lebih besar dibandingkan dengan

  23

water wet-bonding. Pada ethanol wet-bonding tampak penyusutan diameter serabut

  kolagen dan meningkatkan pembentukan lapisan hybrid sehingga menghasilkan ikatan yang lebih optimal. Maka, ikatan resin komposit dan dentin dapat bertahan

  21,22,24 lama.

  Kanca dan Gwinnett cit Jayaprakash et al. (2010) melaporkan bahwa penggunaan etanol dapat membantu menjaga kelembaban permukaan dentin sehingga permukaan yang lembab diharapkan dapat mencegah kolapsnya kolagen setelah

  14

  dilakukan pengetsaan. Studi terbaru dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknik ethanol wet-bonding dapat meningkatkan kekuatan ikatan dengan

  18 dentin sehingga menjadi lebih tahan lama dibandingkan dengan water-wet bonding.

  Guimaraes et al. (2012) melaporkan bahwa penggunaan ethanol wet-bonding menghasilkan diameter serabut kolagen yang lebih kecil daripada water wet-bonding dan memperbesar jarak antar serabut yang berhubungan dengan peningkatan

  19 kekuatan perlekatan.

  Li et al. (2012) melakukan penelitian tentang infiltrasi resin yang menggunakan

  water wet-bonding dan ethanol wet-bonding dan didapatkan hasil bahwa ethanol wet-

bonding dapat membantu infiltrasi resin kedalam zona terdalam dari kolagen dan

  membentuk lapisan hibrid yang optimal. Selain itu, nilai positif dari penggunaan

  

ethanol wet-bonding pada dentin bonding dapat mempengaruhi ikatan kimiawi

  22 komposit terhadap bahan bonding.

2.4 Permasalahan Pada Restorasi Klas II

  Kavitas Klas II adalah kavitas yang melibatkan permukaan proksimal gigi posterior yang mengenai bagian mesial dan distal atau hanya salah satu permukaan proksimal gigi. Gigi dengan kavitas klas II sulit dikontrol kelembabannya terutama pada dinding gingiva dan adanya tubulus dentin sehingga adaptasi marginal resin komposit dengan gigi sulit terjadi dan dapat menimbulkan kebocoran mikro pada

  36,37

  restorasi dan memicu terbentuknya karies sekunder. Selain itu, tingkat kebocoran mikro lebih tinggi pada tepi restorasi yang hanya terdiri dari dentin karena perlekatan

  1,8,13 terhadap dentin lebih sulit dibandingkan perlekatan terhadap email.

  Selain itu, sering juga terdapat kebocoran tepi restorasi pada tepi gingiva. Ini disebabkan preparasi kavitas melibatkan proksimal dan kegagalan proses bonding

  2,4 dinding gingiva sehingga sangat sulit memperoleh titik kontak kembali.

  Bonding

  akan membentuk mechanical interlocking dengan struktur gigi. Pada kavitas klas II sering terjadi kegagalan bonding yang akan membentuk celah antara resin komposit dan struktur gigi. Celah ini disebabkan karena kekuatan bonding yang kurang baik

  2

  sehingga tidak mampu menahan tekanan shrinkage pada saat polimerisasi. Untuk mendapatkan perlekatan yang maksimal antara bahan bonding dentin dan kolagen

  2 dentin maka serat kolagen harus dalam keadaan permeabel.

  Pada restorasi Klas II resin komposit, masalah yang cukup besar adalah sering terjadinya shrinkage akibat polimerisasi dan adaptasi yang kurang baik terutama pada tepi gingiva yang dapat menyebabkan berbagai hal, salah satunya adalah terjadinya kebocoran mikro. Pada saat terjadi shrinkage akan terjadi tegangan kontraksi yang dipengaruhi oleh C-factor yaitu perbandingan dari permukaan restorasi yang berikatan dengan yang tidak berikatan pada struktur gigi, dimana semakin tinggi nilai

  C-factor maka semakin besar kemungkinan terganggunya perlekatan resin komposit.

  Restorasi Klas II memiliki nilai c-factor sebesar 4:2 yang berarti bahwa terdapat 4 permukaan yang berikatan dan 2 permukaan yang tidak berikatan dengan struktur gigi

  1,4,6 (Gambar 9).

  Gambar 9. Hubungan C-factor dengan shrinkage polimerisasi

  1,6 pada berbagai klas restorasi gigi.

2.5 Kebocoran Mikro

  Perlekatan antara bahan restorasi dan struktur gigi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kemampuan operator, bahan yang digunakan, struktur gigi dan

  26

  efektivitas bahan perekat. Apabila perlekatan tidak terbentuk sempurna akan menyebabkan bakteri, cairan atau debris makanan dapat masuk ke dalam celah antara resin komposit dan dinding kavitas yang akan menyebabkan kebocoran mikro

  9,10-12

  (gap). Menurut Yavuz dan Aydin (2010), celah mikro dapat mengurangi kerapatan tepi restorasi sehingga restorasi tidak dapat bertahan lama, hipersensitivitas pada gigi yang direstorasi, terjadinya karies sekunder, perubahan warna pada margin

  3,9,10 kavitas dan restorasi, peradangan pulpa, dan kegagalan perawatan endodontik.

  Faktor yang mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya kebocoran mikro adalah koefisien ekspansi termal, penyusutan polimerisasi, dan adhesi dari restorasi. Koefisien ekspansi termal adalah perubahan volume per derajat perubahan temperatur. Setiap kali restorasi mengalami perubahan suhu dalam rongga mulut, restorasi juga akan mengalami perubahan volume. Perbedaan koefisien ekspansi termal antara struktur gigi dan bahan restorasi mengakibatkan terjadinya kebocoran mikro karena terbentuk ruang akibat kontraksi termal. Preparasi kavitas yang tidak baik, prosedur aplikasi yang kurang baik, isolasi yang tidak adekuat juga akan

  

11

menyebabkan terjadinya kebocoran mikro.

  Menurut Arias et al. (2004) tidak ada bahan bonding yang dapat menghilangkan kebocoran mikro. Kebocoran mikro biasanya disebabkan akibat polimerisasi, shrinkage, jenis resin komposit yang digunakan, beban kunyah yang di terima kavitas, lokasi dari margin yang dipersiapkan dan teknik insersi yang digunakan. Kebocoran mikro dapat diturunkan nilainya salah satunya adalah dengan menggunakan teknik insersi secara inkremental. Insersi resin komposit dengan teknik inkremental dapat mengurangi kebocoran mikro karena lapisan antar resin komposit dapat mendistribusikan penyusutan polimerisasi sehingga resultan tegangan internal tersebar. Penggunaan teknik penyinaran 3 sisi juga dapat mengurangi kebocoran mikro, karena kontraksi polimerisasi yang terjadi mengarah ke arah sinar. Penyinaran

  8 dilakukan dari arah bukal, lingual dan gingival.

  Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengamati kebocoran mikro secara in vivo dan in vitro yaitu material radioaktif isotop, , tes bakteri, scan electronic microscopy, artifisial karies, analisis

  chemically agent

  aktivasi neutron, dan tes penetrasi zat warna. Metode yang paling sering digunakan adalah tes penetrasi zat warna. Ini merupakan metode paling sering digunakan karena proses kerjanya yang mudah, sederhana, ekonomis, dan relatif cepat. Larutan yang dapat dipakai antara lain basic fuchsin, methylene blue, silver nitrate, crystal violet,

  

eritrosin dan Rodhamine B. Zat warna Methylene Blue 2% adalah zat warna yang

  paling sering digunakan yang merupakan zat pewarna yang dapat berpenetrasi lebih baik dibandingkan pewarna lainnya dan dapat berperan sebagai indikator yang adekuat karena memiliki berat molekul yang lebih kecil dari berat molekul toksin bakteri sehingga zat warna dapat masuk walaupun celah mikro yang terbentuk sangat

  2 kecil. Penetrasi zat pewarna dapat dilihat dengan bantuan stereomikroskop.

  Mikroskop ini memiliki pembesaran objek 7-30x yang menghasilkan lapangan

  11 pandang yang luas dan jarak kerja yang panjang.

KERANGKA TEORI

  Kavitas Klas II Perlekatan restorasi sulit di dapat  preparasi berhubungan dengan margin servikal yang dekat daerah sulkus gingiva dan struktur tubulus dentin

  Upaya Pencegahan

  Terbentuk celah mikro

  Teknik bonding Wet- bonding Dry- bonding

  Membiarkan dentin dalam keadaan Pembilasan dentin setelah pengetsaan  lembab (moist)  mencegah kolapsnya dentin disemprotkan udara sampai benar-

   matriks kolagen mencegah benar kering terbentuknya celah mikro Jaringan kolagen pada

  Water wet-bonding Ethanol wet-bonding

  dentin yang mengalami demineralisasi akan kolaps bersamaan dengan menghambat penguapan penambahan air untuk hilangnya jarak air  monomer dapat mencegah kolapsnya

  interfibrillar antara serabut

  berpenetrasi ke dalam matriks kolagen kolagen yang terpapar dentin yang mengalami demineralisasi

  Aplikasi Resin Komposit Nanohybrid

   Memiliki partikel yang sangat kecil Mencegah terbentuknya celah mikro

    Shrinkage lebih kecil

  Kebocoran Mikro ?