Hubungan Pengetahuan Gizi Dan Pola Makan Dengan Kejadian Anemia Pada Mahasiswi Fk Uisu Medan Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anemia
Anemia adalah keadaan dengan kadar hemoglobin, hematokrit dan sel darah
merah yang lebih rendah dari nilai normal, sebagai akibat dari defisiensi salah satu
atau beberapa unsur makanan esensial yang dapat memengaruhi timbulnya defisiensi
tersebut (Arisman, 2010).
Anemia adalah sebagai suatu kondisi tidak mencukupinya cadangan zat besi
sehingga berkurangnya penyaluran zat besi ke jaringan tubuh. Tingkat kekurangan zat
besi yang lebih parah dihubungkan dengan anemia yang secara klinis ditentukan
dengan turunnya kadar hemoglobin sampai kurang dari 11,5 gr/gl (Miller, 2008).
Anemia ditandai dengan rendahnya konsentrasi hemoglobin atau hematokrit
yang disebabkan rendahnya produksi sel darah merah dan hemoglobin, meningkatnya
kerusakan eritrosit atau hemolisis, atau kehilangan darah yang berlebihan. Defisiensi
Fe berperan besar dalam kejadian anemia (Fatmah, 2010).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Sudoyo , 2006).
Zat-zat gizi yang berperan dalam pembentukan sel darah merah adalah
protein, berbagai vitamin dan mineral. Vitamin tersebut antara lain asam folat,

vitamin C, sedangkan mineral ialah Fe. Yang paling menonjol dan berperan

menimbulkan hambatan pembentukan darah adalah asam folat, vitamin C, Fe dan
juga protein (Sediaoetama, 2000)
Anemia defisiensi besi merupakan penyakit darah yang paling sering pada
bayi dan anak, serta wanita hamil. Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa,
defisiensi besi dapat terjadi bila jumlah yang diserap untuk memenuhi kebutuhan
tubuh terlalu sedikit, ketidakcukupan besi ini dapat diakibatkan oleh kurangnya
pemasukan zat besi, berkurangnya zat besi dalam makanan, meningkatnya kebutuhan
akan zat besi. Bila hal tersebut berlangsung lama maka defisiensi zat besi akan
menimbulkan anemia (Permono B, 2005).
Menurut Indah Indriawati (2001), Anemia merupakan salah satu masalah gizi
di Indonesia yang harus ditanggulangi secara serius, terutama anemia defesiensi besi.
Penyebab anemia defesiensi besi ialah karena jumlah zat besi yang dikonsumsi tidak
sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Selain itu berbagai faktor juga dapat
mempengaruhi terjadinya anemia defesiensi besi, antara lain kebiasaan makan, pola
haid, pengetahuan tentang anemia status gizi. Akibat dari anemia defisiensi besi atau
zat besi adalah produktivitas darah rendah, perkembangan mental dan kecerdasan
terhambat, menurunnya kekebalan terhadap infeksi, morbiditas, dan lain-lain.
2.1.1. Etiologi

Defisiensi Besi Secara umum, ada tiga penyebab anemia defisiensi zat besi,
yaitu kehilangan darah secara kronis seperti pada penyakit ulkus peptikum,
hemorrhoid, infestasi parasit, dan proses keganasan; asupan zat besi tidak cukup dan
penyerapan tidak adekuat; dan peningkatan kebutuhan fisiologis akan zat besi untuk

pembentukan sel darah merah yang lazim berlangsung pada masa pertumbuhan bayi,
masa pubertas, masa kehamilan, dan menyusui.
Pada pria dewasa, sebagian besar kehilangan darah disebabkan oleh proses
perdarahan akibat penyakit (atau trauma), atau akibat pengobatan suatu penyakit.
Sementara pada wanita, terjadi kehilangan darah secara alamiah setiap bulan. Jika
darah yang keluar selama haid sangat banyak (banyak wanita yang tidak sadar kalau
darah haidnya terlalu banyak) akan terjadi anemia defisiensi besi. Sepanjang usia
reproduktif, wanita akan mengalami kehilangan darah akibat peristiwa haid. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa jumlah darah yang hilang selama satu periode
haid berkisar antara 20-25 cc. Jumlah ini menyiratkan kehilangan zat besi sebesar
12,5-15 mg/bulan, atau kira-kira sama dengan 0,4-0,5 mg sehari. Selain dari peristiwa
haid, kehilangan zat besi dapat pula diakibatkan oleh infestasi parasit, seperti cacing
tambang (ankilostoma dan nekator), schistosoma, dan mungkin pula Trichuris
trichiura. Kasus-kasus tersebut lazim terjadi di negara tropis (kebanyakan negara
tropis terklasifikasi sebagai negara belum dan sedang berkembang), lembab serta

keadaan sanitasi yang buruk (Arisman, 2010).
Hanya sekitar 25 persen wanita usia subur memenuhi kebutuhan Fe sesuai
Angka Kecukupan Gizi (25 mikrogram/hari). Secara rata-rata, wanita mengonsumsi
6,5 mikrogram Fe perhari melalui diet makanan. Kecukupan intake Fe tidak hanya
dipenuhi dari konsumsi makanan sumber Fe seperti daging sapi, ayam, ikan, telur dan
lain-lain tetapi juga dipengaruhi oleh variasi penyerapan Fe. Variasi ini disebabkan
oleh perubahan fisiologis tubuh seperti hamil dan menyusui sehingga meningkatkan

kebutuhan Fe bagi tubuh, tipe Fe yang dikonsumsi, dan faktor diet yang mempercepat
dan menghambat penyerapan Fe. Kebutuhan Fe meningkat selama hamil untuk
memenuhi kebutuhan Fe akibat peningkatan volume darah (Fatmah, 2010).
Kekurangan zat besi terjadi dalam tiga tahap yaitu tahap pertama terjadi bila
simpanan besi berkurang yang terlihat pada penurunan feritin dalam plasma hingga
12ug/L. Hal ini dikompensasi dengan peningkatan absorpsi besi yang terlihat dari
peningkatan kemampuan mengikat besi total (Total Iron Binding Capacity). Pada
tahap ini belum terlihat perubahan fungsional tubuh. Tahap kedua terlihat dengan
habisnya simpanan besi, menurunnya transferin hingga kurang dari 16% dan
meningkatnya protoporfirin yaitu bentuk pendahulu darah. Pada tahap ini nilai
hemoglobin di dalam darah masih berada pada 95% nilai normal. Hal ini dapat
mengganggu metabolisme energi, sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan

bekerja. Pada tahap ketiga terjadi anemia gizi besi, dimana kadar hemoglobin total
turun di bawah nilai normal (Almatsier, 2010).
Latham (1979) mengatakan bahwa ada 4 penyebab terjadinya anemia gizi besi
yaitu: Zat di tubuh kurang karena makanan yang dikomsumsi kurang mengandung
zat besi, atau adanya gangguan penyerapan sehingga absorpsi zat besi rendah.
Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa yang menjadi penyebab anemia gizi
besi adalah karena tidak cukupnya zat-zat terutama yang diserap dalam makanan
sehari-hari guna pembentukan sel darah merah, maka terjadi keseimbangan negatif
antara pemasukan dan pengeluaran besi dalam tubuh. Selain itu zat-zat penyerta yang
meningkatkan daya serap, seperti protein dan vitamin C juga tidak cukup. Kebutuhan

meningkat misalnya remaja yang sedang mengalami pertumbuhan fisik dan
perkembangan mental. Anemia kekurangan zat besi akan timbul bila kehilangan zat
besi atau kebutuhan yang begitu meningkat tidak diimbangi dengan konsumsi
makanan yang cukup dan penyerapan zat besi dari makanan yang maksimal. Dengan
demikian zat besi dari makanan tidak cukup untuk mempertahankan kadar Hb,
kehilangan zat besi oleh karena pendarahan atau sebab lain termasuk investasi cacing
tambang serta ketidakseimbangan antara kebutuhan (untuk pertumbuhan, kehilangan
darah, dan lain-lain), dan ketidakcukupan suplai zat besi dari diet. Jumlah zat besi
yang dibutuhkan setiap hari untuk mempertahankan kadar haemoglobin, kadar

simpanan zat besi yang cukup dan untuk keperluan pertumbuhan yang normal.
Meskipun zat besi yang hilang setiap hari relatif kecil namun harus digantikan.
Jumlah yang hilang melalui urine, keringat, dan desquamasi (hilang melalui
permukaan kulit, rambut dan kuku) sangat bervariasi dari 0,2-0,5 mg/hari. Hilang
melalui faeses sejumlah 0,7 mg/hari, sehingga total kehilangan antara 0,9-1.2
mg/hari. Jumlah tersebut diatas adalah kehilangan yang harus digantikan untuk
seorang pria. Sedangkan untuk seorang wanita harus menggantikan pula kehilangan
karena menstruasi. Jumlah kehilangan karena menstruasi sangat bervariasi di antara
para wanita tetapi cukup konsisten dari bulan ke bulan pada wanita yang sama yaitu
rata-rata kehilangan sejumlah 0,5-1,0 mg/hari. Oleh karena itu seorang wanita harus
mengabsorpsi 1,4 sampai 2,2 mg/hari untuk menggantikan kehilangan tersebut.
Kebutuhan wanita hampir dua kali lipat dari pada kebutuhan pria.

2.1.2. Patofisiologi Anemia
Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi
(Feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan
meningkatnya kapasitas pengikatan zat besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa
habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah
protoporpirin yang diubah menjadi darah dan akan diikuti dengan menurunnya kadar
feritin serum. Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya

kadar Hb (Sari, 2004).
Gejala anemia defisiensi besi dibagi menjadi dua, yaitu tanda dan gejala
anemia defisiensi besi tidak khas serta tanda dan gejala anemia defisiensi besi yang
khas. Tanda dan gejala anemia defisiensi besi tidak khas hampir sama dengan anemia
pada umumnya yaitu: cepat lelah atau kelelahan, hal ini terjadi karena simpanan
oksigen dalam jaringan otot kurang sehingga metabolisme otot terganggu; nyeri
kepala dan pusing merupakan kompensasi dimana otak kekurangan oksigen, karena
daya angkut hemoglobin berkurang; kesulitan bernapas, terkadang sesak napas
merupakan gejala, dimana tubuh memerlukan lebih banyak lagi oksigen dengan cara
kompensasi pernapasan lebih dipercepat; palpitasi, dimana jantung berdenyut lebih
cepat diikuti dengan peningkatan denyut nadi; dan pucat pada muka, telapak tangan,
kuku, membran mukosa mulut dan konjungtiva (Tarwoto, 2007).
Gejala anemia zat besi biasanya tidak khas dan sering tidak jelas, seperti
pucat, mudah lelah, berdebar, takikardia dan sesak nafas. Kepucatan bisa diperiksa
pada telapak tangan, kuku dan konjungtiva palpebra. Hasil penelitian Zucker (1997)

yang dikutip Arisman (2010) menyatatakan bahwa kepucatan pada kuku dan telapak
tangan lebih sensitif dan spesifik jika dibandingkan dengan konjungtiva palpebra
untuk mendeteksi gejala anemia.
Kekurangan besi pada umumnya menyebabkan pucat, rasa lemah, letih,

pusing, kurang nafsu makan, menurunnya kebugaran tubuh, menurunnya kemampuan
bekerja, menurunnya kekebalan tubuh dan gangguan penyembuhan luka. Di samping
itu kemampuan mengatur suhu tubuh juga menurun (Almatsier, 2010).
2.1.3. Penanggulangan Anemia Defisiensi Zat Besi
Menurut Miller (2008) pencegahan dan penanggulangan masalah anemia zat
besi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya adalah pemberian makanan
suplemen makanan mikronutrien, mendukung inisiatif dalam memberantas parasit,
mempromosikan kebersihan dasar dan memperbaiki pola makan.
Penatalaksanaan pada penderita anemia besi dapat dilakukan dengan cara
pemberian preparat tablet zat besi dalam bentuk fero dan preparat parenteral. Preparat
parenreral diberikan jika penderita tidak bisa mentoleransi preparat oral. Sedangkan
untuk pencegahan terjadinya anemia besi pada remaja putri yaitu dengan peningkatan
pengetahuan masyarakat yang tepat seperti tentang bahaya akibat anemia, modifikasi
makanan, pengawasan penyakit infeksi dengan cara peningkatan cakupan air bersih,
pelenyapan sumber infeksi, perbaikan sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan
dan fortifikasi makanan (Arisman, 2010).
Pencegahan dan penanggulangan anemia defisiensi besi dapat dilakukan
antara lain dengan cara berikut:

1. Meningkatkan Konsumsi Zat Besi dari Makanan

Mengkonsumsi pangan hewani, seperti daging, ikan, hati, atau telur dalam jumlah
yang cukup sebenarnya dapat mencegah anemia defisiensi besi. Namun bagi
masyarakat kita, harga pangan hewani tergolong cukup tinggi sehingga sulit
dijangkau. Untuk itu, diperlukan alternatif lain untuk mencegah anemia defisiensi
besi. Penelitian yang dilakukan oleh Farida (2006), terhadap remaja putri di
Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus didapatkan bahwa ada hubungan tingkat
konsumsi protein dengan kejadian anemia.
2. Suplementasi Zat Besi
Pemberian suplemen zat besi menguntungkan karena dapat memperbaiki status
hemoglobin dalam waktu yang relatif singkat. Sampai sekarang cara ini masih
merupakan satu-satunya cara yang cocok dilakukan pada ibu hamil dan kelompok
yang berisiko tinggi lainnya, seperti anak balita, anak sekolah, dan pekerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Hayatinur (2001), pada siswi SMUN 2 Kuningan
didapatkan bahwa ada hubungan antara tingkat konsumsi Fe dengan kejadian
anemia. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Adriani (2002), Farida
(2006) yang menunjukkan bahwa ada hubungan konsumsi zat besi dengan kadar
haemoglobin atau anemia.
3. Fortifikasi Zat besi
Fortifikasi adalah penambahan suatu jenis zat gizi kedalam bahan pangan untuk
meningkatkan kualitas pangan suatu kelompok masyarakat. Keuntungan fortifikasi

diantaranya dapat diterapkan pada populasi yang besar dan biayanya relatif murah.

4. Penanggulangan Penyakit Infeksi dan Parasit
Penyakit infeksi dan parasit merupakan salah satu penyebab anemia defisiensi
besi. Dengan menanggulangi penyakit infeksi dan memberantas parasit diharapkan
dapat meningkatkan status besi dalam tubuh.
5. Screening
Screening diperlukan untuk mengidentifikasi kelompok wanita yang harus diobati
dalam mengurangi morbiditas anemia. CDC menyarankan agar remaja putri dan
wanita dewasa yang tidak hamil harus di screening tiap 5-10 tahun melalui uji
kesehatan meskipun tidak ada resiko anemia seperti perdarahan, rendahnya intake
Fe dan sebagainya. Penderita anemia harus mengonsumsi 60-120 mg Fe per hari
dan meningkatkan asupan makanan sumber Fe.
2.1.4. Bahan Makanan Sumber Zat Besi
Sumber zat besi dari bahan makanan yang bernilai biologis tinggi
(bioavailability) adalah yang berasal dari bahan makanan hewani seperti daging sapi,
daging ayam telur dan ikan. Sumber lainnya yang juga mengandung zat besi yang
berkualitas adalah kacang-kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buah.sayuran
hijau mengandung asam oksalat yang dapat menghambat penyerapan zat besi, karena
itu untuk tetap mendapatkan sumber zat besi yang berkualitas dari makanan maka

perlu diperhatikan kombinasi makanan sehari-hari yang terdiri atas campuran sumber
zat besi dari hewan dan tumbuhan serta sumber lain yang dapat membantu absorpsi
(Almatsier, 2010).

Makanan yang banyak mengandung zat besi adalah bahan makanan yang
berasal dari daging hewan. Selain banyak mengandung zat besi, serapan zat besi dari
sumber makanan tersebut mempunyai angka keterserapan sebesar 20-30%.
Sayangnya sebagian besar penduduk di negara yang belum (sedang) berkembang
tidak mampu atau belum mampu menghadirkan makanan tersebut di meja makan.
Ditambah dengan kebiasaan mengonsumsi makanan yang dapat mengganggu
penyerapan zat besi seperti kopi dan teh secara bersamaan sewaktu makan
menyebabkan serapan zat besi semakin rendah.
Ada tiga alasan mengapa remaja dikategorikan rentan terhadap defisiensi gizi.
Pertama, percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan
zat gizi yang lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan pangan
menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan
dalam olahraga, kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan kebutuhan energi dan zat
gizi (Arisman, 2010). Menurut Soemantri (2001), pada wanita, zat besi yang
dikeluarkan dari tubuh lebih banyak dari laki-laki. Setiap bulan wanita mengalami
menstruasi secara teratur, setiap periode menstruasi dikeluarkan zat besi rata-rata

sebanyak 28 mg/ periode. Oleh karena menstruasi terjadi satu kali dalam satu bulan,
maka rata-rata zat besi yang dikeluarkan adalah 1 mg/ hari. Dengan demikian wanita
mengeluarkan zat besi dari tubuhnya hampir dua kali lebih banyak dari pada laki-laki
dewasa. Sekitar usia 13 tahun adalah awal dari masa remaja dari segi hematologi.
Pada masa ini terjadi perubahan sistem kelenjar gonado pituitari hipotalamik yang
semula belum masak menjadi masak sehingga terjadilah perbedaan hormonal antara

laki- laki dan wanita. Pada laki-laki produksi testosteron lebih meningkat, diduga
hormon ini berperan terhadap eritropoesis. Faktor lain yang turut memacu
eritropoesis adalah eritropoetin yang meningkat pada masa remaja, pada wanita
dewasa kadarnya 50% lebih rendah. Pada remaja puteri terutama yang telah
mengalami menstruasi membutuhkan zat besi relatif lebih tinggi, selain itu mereka
juga sedang dalam masa tumbuh kembang yang cepat serta adanya pengaruh
hormonal (Hayati, 2010).
Tabel 2.1. Nilai Fe Berbagai Bahan Makanan
Bahan Makanan
Tempe
Kacang Kedelai
Kacang Hijau
Kacang Merah
Kelapa
Udang segar
Hati sapi
Daging sapi
Telur bebek
Telur Ayam
Ikan segar
Daging ayam
Gula kelapa

Nilai Fe (mg)
10,0
8,0
6,7
5,0
2,0
8,0
6,6
2,8
2,8
2,7
2,0
1,5
2,8

Bahan Makanan
Biskuit
Jagung kuning
Roti putih
Beras merah
Kentang
Daun kcg panjang
Bayam
Sawi
Daun Katuk
Kangkung
Daun singkong
Pisang ambon
Keju

Nilai Fe (gr)
2,7
2,4
1,5
1,2
0,7
6,2
3,9
2,9
2,7
2,5
2,0
0,5
1,5

2.2. Pola Makan
Pola makan (dietary pattern) adalah cara yang ditempuh seseorang atau
sekelompok orang untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi
terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial (Sediaoetama, 2010).

Secara umum pola makan memiliki 3 komponen penting yaitu jenis, frekuensi
dan jumlah. Jenis yang ada dimasyarakat meliputi makanan pokok, lauk hewani, lauk
nabati sayur dan buah. Sedangkan frekuensi yang sangat tergantung pada kelompok
umur tetapi secara keseluruhan frekuensi yang berlaku adalah 3 kali makan menu
utama dan 2 kali makan makanan selingan (Manjilala, 2013)..
Secara umum bahwa pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh
seseorang atau sekelompok orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan
dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jenis makanan, jumlah makanan
dan frekuensi makan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial, budaya dimana
mereka hidup.
Batissini (2005) mengatakan bahwa pola makan adalah segala sesuatu
mengenai frekuensi konsumsi makanan, kebiasaan makan, konsumsi minuman,
ukuran porsi, dan kualitas makanan sehari-hari.
Pola makan dapat diartikan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang
untuk memilih makanan dan mengonsumsinya sebagai reaksi pengaruh–pengaruh
fisiologi, psikologi, budaya dan sosial (Sulistyoningsih, 2010). Pola makan adalah
tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan
makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Sikap orang
terhadap makanan dapat bersifat positif dan negatif. Sikap positif atau negatif
terhadap makanan bersumber pada nilai-nilai affective yang berasal dari lingkungan
(alam, budaya, sosial dan ekonomi) dimana manusia atau kelompok manusia itu
tumbuh. Demikian juga halnya dengan kepercayaan terhadap makanan yang

berkaitan dengan nilai-nilai cognitive yaitu kualitas baik atau buruk, menarik atau
tidak menarik. Pemilihan adalah proses psychomotor untuk memilih makanan sesuai
dengan sikap dan kepercayaannya (Khumaidi, 1994).
Pola makan mengandung aspek budaya, etnik, agama, sosial dan ekonomi.
Karena itu unsur kenikmatan, kesantaian, nilai-nilai tabu, dan sebagainya juga terkait
dalam keseimbangan pola makan (Soekirman, 2000). Meningkatnya aktivitas,
kehidupan sosial dan kesibukan para mahasiswa akan mempengaruhi kebiasaan
makan mereka. Pola konsumsi makanan sering tidak teratur, sering jajan, sering tidak
makan pagi dan sama sekali tidak makan siang.
Mahasiswa dengan aktivitas sosial tinggi, memperlihatkan peran teman
sebaya menjadi tampak jelas. Di kota besar sering kita lihat kelompok-kelompok
mahasiswa bersama-sama makan di rumah makan yang menyajikan makanan siap
saji/fastfood yang berasal dari negara-negara barat. Fastfood tersebut, pada umumnya
mengandung kadar lemak maupun kalori tinggi, sehingga apabila dikonsumsi setiap
hari dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan kegemukan dengan segala
dampaknya (Sayogo, 2006).
Keadaan gizi terutama ditentukan oleh tersedianya zat-zat makanan pada selsel tubuh dalam jumlah yang cukup, dalam komposisi zat-zat makanan diperlukan
oleh tubuh untuk pertumbuhan, berkembang dan berfungsi normal. Oleh karena itu,
keadaan gizi ditentukan oleh dua hal, yaitu asupan zat-zat makanan yang berasal dari
makanan yang diperlukan tubuh dan peran faktor yang menentukan besarnya
kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat-zat makanan tertentu. Hal yang terakhir

ini ditentukan oleh pola konsumsi makanan dan aktivitas sehari-hari. Pada dasarnya,
pola konsumsi makanan merupakan hasil budaya yang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan faktor mahasiswa itu sendiri, seperti kebiasaan makan, ekonomi
mahasiswa dan pengetahuan gizi.
Kebiasaan

makan

mahasiswa

sangat

penting

diperhatikan

karena

menunjukkan adanya hubungan antara makanan dan kesehatan. Kesukaan yang
berlebihan terhadap suatu jenis makanan yang akan mengakibatkan kurang
bervariasinya makanan dan akan menyebabkan tubuh tidak memperoleh semua zatzat makanan yang diperlukan. Kehidupan modern yang serba cepat, tersedianya
fasilitas pelayanan makanan baik berupa warung, cafetaria, atau tempat-tempat
penjualan makanan yang dapat dihidangkan dan dimakan secara praktis dan cepat.
Pola makan yang baik mengandung makanan sumber energi, sumber zat
pembangun dan sumber zat pengatur, karena semua zat gizi diperlukan untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta perkembangan otak dan produktifitas
kerja, serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan. Dengan pola
makan sehari-hari yang seimbang dan aman, berguna untuk mencapai dan
mempertahankan status gizi dan kesehatan yang optimal (Almatsier, 2009).
Pola Makan terdiri dari:
1. Frekuensi Makan
Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari baik kualitatif dan kuantitatif.
Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai
dari mulut sampai usus halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat dan

jenis makanan. Jika dirata-rata, umumnya lambung kosong antara 3-4 jam. Maka
jadwal makan ini pun menyesuaikan dengan kosongnya lambung.
2. Jenis Makanan
Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna, dan
serap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan seimbang.
Menyediakan variasi makanan merupakan salah satu cara unuk menghilangkan
rasa bosan, sehingga mengurangi selera makan. Menyusun hidangan sehat
memerlukan keterampilan dan pengetahuan gizi. Variasi menu yang tersusun oleh
kombinasi bahan makanan yang diperhitungkan dengan tepat akan memberikan
hidangan sehat baik secara kualitas maupun kuantitas. Teknik pengolahan
makanan adalah guna memperoleh intake yang baik dan bervariasi.
Asupan makanan merupakan faktor utama yang berperan terhadap status gizi
seseorang. Untuk menilai status gizi dapat dilakukan penilaian konsumsi makanan di
masyarakat. Beberapa cara untuk mendapatkan data konsumsi masyarakat adalah
sebagai berikut:
1. Food recall 24 jam
Metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah makanan serta minuman
yang telah dikonsumsi dalam 24 jam yang lalu (terhitung mulai saat terakhir
subjek mengonsumsi pangan). Untuk ini pewawancara menggunakan suatu alat
bantu yang dikenal sebagai formulir ingatan 24 jam, keberhasilan metode ingatan
24 jam ini tergantung pada daya ingat subjek, kemampuan responden memberikan

perkiraan ukuran/porsi yang akurat, tingkat motivasi responden, dan keuletan dan
kesabaran pewawancara.
2. Food Frequency Questionnaire (FFQ)
FFQ merupakan kuesioner yang menggambarkan frekuensi responden dalam
mengonsumsi beberapa jenis makanan dan

minuman. Frekuensi konsumsi

makanan dilihat dalam satu hari atau minggu, atau bulan, atau dalam satu tahun.
(Siagian A, 2010)
Pola makan disuatu daerah berubah-ubah sesuai dengan perubahan beberapa
faktor ataupun kondisi setempat yang dapat dibagi dalam tiga bagian :
1. Faktor yang berhubungan dengan persediaan atau pengadaan bahan pangan.
Dalam kelompok ini termasuk geografi, iklim kesuburan tanah yang dapat
mempengaruhi jenis tanaman dan jumlah produksinya disuatu daerah.
2. Faktor adat istiadat yang berhubungan dengan konsumen. Taraf sosio ekonomi dan
adat kebiasaan setempat memegang peranan penting dalam konsumsi pangan
penduduk. Jumlah penduduk adalah kunci utama yang menentukan tinggi
rendahnya jumlah konsumsi bahan pangan disuatu daerah.
3. Demikian juga dalam hal keluarga, jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi
pola konsumsi makan anggota keluarga. Apalagi dengan pengetahuan, pendapatan
yang rendah dan jumlah anak yang banyak cenderung pola konsumsi berkurang.
Hal yang dapat berpengaruh di sini adalah bantuan atau subsidi terhadap
bahan-bahan tertentu (Santoso dan Ranti, 2004)

Hasil penelitian yang dilakukan Retnaningsih menunjukkan mahasiswa yang
berjenis kelamin laki-laki memiliki peluang lebih tinggi untuk memiliki kebiasaan
makan tiga kali sehari. Hal ini dimungkinkan terjadi karena laki-laki dewasa memiliki
kebutuhan energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dewasa,
sedangkan mahasiswa berjenis kelamin perempuan memiliki peluang lebih rendah
untuk melakukan kebiasaan makan malam, tetapi memiliki peluang yang lebih tinggi
untuk melakukan kebiasaan makan camilan. Penelitian Przystawski et al. (2011) juga
menyatakan bahwa remaja putri sangat menyukai makanan camilan dan
mengonsumsinya setiap hari disamping mengonsumsi makanan utama. Ibu yang tidak
bekerja juga membuat peluang mahasiswa lebih besar untuk melakukan kebiasaan
makan malam daripada mahasiswa dengan ibu yang bekerja. Hal ini dimungkinkan
terjadi karena ibu yang tidak bekerja memiliki lebih banyak waktu di rumah sehingga
dapat lebih memperhatikan dan menyiapkan makanan untuk keluarganya.
Kelompok acuan teman juga mempengaruhi kebiasaan mahasiswa dalam
melakukan sarapan. Kebiasaan sarapan mahasiswa kemungkinan dapat dipengaruhi
oleh ketersediaan waktu di pagi hari sebelum memulai aktivitas. Menurut hasil
penelitian Retnoningsih (2010), sebagian besar mahasiswa yang tidak terbiasa
melakukan sarapan memiliki alasan karena tidak memiki cukup waktu sehingga tidak
sempat untuk sarapan.

2.2.1. Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan
Pola makan seseorang pada dasarnya tidak dapat dibentuk dengan
sendirinya. Menurut Dirjen Binkesmas Depkes RI (2007), berbagai macam faktor
yang mempengaruhi pola makan seseorang adalah sebagai berikut:
1.

Budaya
Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk
mempengaruhi seseorang dalam memilih dan mengolah pangan yang akan
dikosumsi. Kebudayaan menuntun orang dalam cara bertingkah laku dan
memenuhi kebutuhan dasar biologinya, termasuk kebutuhan terhadap pangan.
Budaya cukup menentukan jenis makanan yang sering dikonsumsi. Demikian
pula letak geografis mempengaruhi makanan yang diinginkannya. Sebagai
contoh, nasi untuk orang-orang Asia dan Orientalis, pasta untuk orang-orang
Italia, curry (kari) untuk orang-orang India merupakan makanan pokok, selain
makana-makanan lain yang mulai ditinggalkan. Makanan laut banyak disukai
oleh masyarakat sepanjang pesisir Amerika Utara. Sedangkan penduduk Amerika
bagian Selatan lebih menyukai makanan goreng-gorengan.

2.

Agama/Kepercayaan
Pantangan yang didasari agama, khususnya Islam disebut haram dan individu
yang melanggar hukumnya berdosa. Konsep halal dan haram sangat
mempengaruhi pemilihan bahan makanan yang akan dikosumsi. Agama /
kepercayaan juga mempengaruhi jenis makanan yang dikonsumsi. Sebagai
contoh, agama Islam dan Yahudi Orthodoks mengharamkan daging babi. Agama

Roma Katolik melarang makan daging setiap hari, dan beberapa aliran agama
(Protestan) melarang pemeluknya mengkonsumsi teh, kopi atau alcohol.
3.

Status Sosial Ekonomi
Variabel ekonomi yang cukup dominan dalam mempengaruhi kosumsi pangan
adalah pendapatan keluarga dan harga. Meningkatnya akan pendapatan akan
meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas
yang

lebih

baik,sebaliknya

penurunan

pendapatan

akan

menyebabkan

menurunnya daya beli pangan baik secara kulaitas maupun kuantitas.
Pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas makanan turut dipengaruhi oleh
status sosial dan ekonomi. Sebagai contoh, orang kelas menegah ke bawah atau
orang miskin di desa tidak sanggup membeli makanan jadi, daging, buah dan
sayuran

yang

mahal.

Pendapatan

akan

membatasi

seseorang

untuk

mengkonsumsi makanan yang mahal arganya. Kelompok sosial juga berpengaruh
terhadap kebiasaan makan, misalnya kerang dan siput disukai oleh beberapa
kelompok masyarakat, sedangkan kelompok masyarakat yang lain lebih
menyukai hamburger dan pizza.
4.

Personal Preference
Hal-hal yang disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap kebiasaan
makan seseorang. Orang seringkali memulai kebiasaan makannya sejak dari
masa kanak-kanak hingga dewasa. Misalnya, ayah tidak suka makan kari, begitu
pula dengan anak laki-lakinya. Ibu tidak suka makanan kerang, begitu pula anak
perempuannya. Perasaan suka dan tidak suka seseorang terhadap makanan

tergantung asosiasinya terhadap makanan tersebut. Anak-anak yang suka
mengunjungi kakek dan neneknya akan ikut menyukai acar karena mereka sering
dihidangkan acar.
5.

Rasa Lapar, Nafsu Makan, dan Rasa Kenyang
Rasa lapar umumnya merupakan sensasi yang kurang menyenangkan karena
berhubungan dengan kekurangan makanan. Sebaliknya, nafsu makan merupakan
sensasi yang menyenangkan berupa keinginan seseorang untuk makan.
Sedangkan rasa kenyang merupakan perasaan puas karena telah memenuhi
keinginannya untuk makan. Pusat pengaturan dan pengontrolan mekanisme
lapar, nafsu makan dan rasa kenyang dilakukan oleh sistem saraf pusat, yaitu
hipotalamus.

6.

Kesehatan
Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan makan. Sariawan
atau gigi yang sakit seringkali membuat individu memilih makanan yang lembut.
Tidak jarang orang yang kesulitan menelan, memilih menahan lapar dari pada
makan.
Hasil penelitian Nasution (2001) yang mengatakan terdapat hubungan antara

pola konsumsi makanan dengan sikap pemenuhan gizi. Pada penelitian Amran (2003)
didapat bahwa uang bulanan mahasiswa memiliki hubungan yang bermakna dengan
pola makan. Penelitian yang dilakukan Mahaffey at all (2009) didapat bahwa
perempuan Asia dengan pendapatan yang lebih tinggi memakan lebih banyak ikan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Radhitya (2009) diperoleh hasil
bahwa yang paling berpengaruh terhadap pola makan adalah biaya yang dikeluarkan
untuk makanan. hasil penelitian Ginting tahun 2002 pada mahasiswa USU didapatkan
bahwa ada hubungan antara pengetahuan gizi dengan frekuensi makan pada
mahasiswa.

2.3. Pengetahuan Mahasiswi tentang Gizi
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya untuk tahu, sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan
hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indera manusia (Notoatmodjo,
2005).
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi,
sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi sehingga
tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi
dalam makanan tidak hilang serta bagaimana hidup sehat (Notoatmodjo, 2005).
Pengetahuan gizi adalah sesuatu yang diketahui tentang makanan dalam
hubungannya dengan kesehatan optimal. Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan
tentang pemilihan dan konsumsi sehari-hari dengan baik dan memberikan semua zat
gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Pemilihan dan konsumsi bahan
makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi

optimal terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang dibutuhkan tubuh.
Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan tentang pemilihan dan konsumsi sehari – hari
dengan baik dan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal
tubuh. Pemilihan dan konsumsi bahan makanan berpengaruh terhadap status gizi
seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi apabila tubuh memperoleh
cukup zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Status gizi kurang terjadi apabila tubuh
mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi essential. Sedangkan status gizi lebih
terjadi apabila tubuh memperoleh zat gizi dalam jumlah yang berlebihan, sehingga
menimbulkan efek yang membahayakan (Almatsier, 2009).
Pengetahuan gizi sebaiknya telah ditanamkan sedini mungkin sehingga
apabila seseorang telah memasuki usia remaja atau dewasa mampu memenuhi
kebutuhan energi tubuhnya dengan perilaku makannya karena pengetahuan gizi
sangat bermanfaat dalam menentukan apa yang kita konsumsi setiap harinya. Dengan
adanya pengetahuan gizi pada seseorang, maka kita dapat menyesuaikan tingkat
kebutuhan zat gizi yang sesuai dengan banyak kalori yang kita perlukan setiap
harinya dalam melakukan aktivitas dan produktivitas kita sehari-hari sehingga dapat
dicapai kesehatan yang optimal.
Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pengalaman, media masa, pengaruh
kebudayaan, pendidikan baik formal atau informal (Suhardjo, 2003). Tingkat
pengetahuan gizi seseorang besar pengaruhnya bagi perubahan sikap dan perilaku di
dalam pemilihan bahan makanan, yang selanjutnya akan berpengaruh pula pada

keadaan gizi individu yang bersangkutan. Keadaan gizi yang rendah disuatu daerah
akan menentukan tingginya angka kurang gizi secara nasional (Suhardjo, 2003).
Semakin tinggi gizi seseorang akan semakin memperhitungkan jenis dan
makanan yang dipilih untuk dikonsumsi. Orang yang pengetahuan gizinya rendah
akan berperilaku memilih makanan yang menarik panca indra dan tidak mengadakan
pemilihan berdasarkan nilai gizi makanan. Sebaliknya mereka yang semakin tinggi
pengetahuannya, lebih banyak mempergunakan mempertimbangkan rasional dan
pengetahuan tentang nilai gizi makanan tersebut (Sediaoetama, 2000).
Pengetahuan gizi yang tidak memadai, menyebabkan kurangnya pengertian
tentang kebiasaan makan yang baik, serta pengertian yang kurang tentang kontribusi
gizi dari berbagai jenis makanan akan menimbulkan masalah kecerdasan dan
produktifitas. Peningkatan pengetahuan gizi bisa dilakukan dengan program
pendidikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah. Program pendidikan gizi dapat
memberikan pengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap kebiasaan
makannya (Soekirman, 2000).
Pengetahuan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, disamping pendidikan
yang pernah dijalani, faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak dengan media
masa juga mempengaruhi pengetahuan gizi. Salah satu penyebab terjadinya gangguan
gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk menerapkan
informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo, 2003).
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan
pada tiga kenyataan yaitu:

1. Status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.
2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal.
3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi. (Suhardjo, 2003)
Tingkat pengetahuan gizi seseorang besar pengaruhnya bagi perubahan sikap
dan perilaku di dalam pemilihan bahan makanan, yang selanjutnya akan berpengaruh
pula pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Keadaan gizi yang rendah
disuatu daerah akan menentukan tingginya angka kurang gizi secara nasional
(Suhardjo, 2003). Tingkat pengetahuan seseorang akan berpengaruh pada macam
bahan makanan yang dikonsumsinya. Adapun permasalahan mengenai pengetahuan
gizi pada seseorang adalah sebagai berikut :
1.

Ketidaktahuan akan hubungan makanan dan kesehatan.
Dalam kehidupan sehari-hari terlihat keluarga yang berpenghasilan cukup akan
tetapi makanan yang disajikan seadanya saja. Dengan demikian, kejadian
gangguan gizi tidak hanya ditemukan pada keluarga yang berpenghasilan kurang
akan tetapi juga pada keluarga yang berpenghasilan relatif baik (cukup). Keadaan
ini menunjukkan bahwa ketidaktahuan akan faedah makanan bagi kesehatan
tubuh merupakan sebab buruknya mutu gizi makanan keluarga (Moehji, 2003).

2.

Kebiasaan atau pantangan makanan yang merugikan.
Kebudayaan akan mempengaruhi orang dalam memilih makanan dan
kebudayaan suatu daerah akan menimbulkan adanya kebiasaan dalam memilih

makanan. Sehubungan dengan pangan yang biasanya dipandang pantas untuk
dimakan, dijumpai banyak pantangan, dan larangan pada beragam kebudayaan
dan daerah yang berlainan. Bila pola pantangan berlaku bagi seluruh penduduk
sepanjang hidupnya, kekurangan zat gizi cenderung tidak akan berkembang
seperti jika pantangan itu berlaku bagi sekelompok masyarakat tertentu selama
satu tahap dalam siklus hidupnya. Kalau pantangan itu hanya dilakukan oleh
sebagian penduduk tertentu, kemungkinan lebih besar kekurangan gizi akan
timbul (Moehji, 2003).
3.

Kesukaan terhadap jenis pangan tertentu.
Mengembangkan kebiasaan pangan, mempelajari cara berhubungan dengan
konsumsi pangan dan menerima atau menolak bentuk atau jenis pangan tertentu,
dimulai dari permulaan hidupnya dan menjadi bagian dari perilaku yang berakar
diantara kelompok penduduk. Dimulai sejak dilahirkan sampai beberapa tahun
makanan anak-anak tergantung pada orang lain (Moehji, 2003).
Dari kebiasaan makan inilah akan menyebabkan kesukaan terhadap makanan.

Tetapi kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu atau disebut
sebagai faddisme makanan akan mengakibatkan kurang bervariasinya makanan dan
akan mengakibatkan tubuh tidak memperoleh semua zat gizi yang diperlukan
(Moehji, 2003).

2.4. Landasan Teori

Gambar 2.1. Landasan Teori
Sumber : Dikembangkan dari Husaini 1989, Hoffbrand, Pettit dan Moss (2005),
Reksodiputro (2006), Wijanarko 2001(dalam Ernawati, 2003)

2.5. Kerangka Konsep
Pengetahuan
Gizi

Kejadian
Anemia

Pola Makan

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Penelitian ini akan menganalisis hubungan pengetahuan tentang gizi dan pola
makan mahasiswi dengan kejadian anemia.