Bahasa Sebagai Cermin Kebudayaan.doc (1)

kompasiana
Bahasa Sebagai Cermin Kebudayaan
Bangsa
Shindy Nilasari
OPINI | 31 October 2013 | 09:48

Dibaca: 285

Komentar: 3

0

Sudahkah kita bangga berbahasa Indonesia? Sudahkah kita merasa bangga
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bagian dari budaya kita? Sudahkah kita santun
dalam berbahasa?
Pertanyaan inilah yang tiba-tiba muncul di kepala saat kuliah Bahasa Indonesia
kemarin. Bahasa Indonesia yang bila kita telaah lebih dalam asal-usul sejarahnya,
seharusnya dapat membuat kita sebagai warga negara Indonesia bangga untuk
menggunakannya dan menjadikannya bagian dari budaya kita. Namun, kenyataannya
tidak demikian.
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang berasal dari bahasa Melayu tinggi yang hanya

digunakan oleh kaum bangsawan atau kaum intelektual dan hanya digunakan serta
diajarkan di sekolah-sekolah saja. Bahasa Melayu tinggi pertama kali digunakan di
Riau. Zaman dahulu, bahasa Melayu tinggi cenderung digunakan oleh masyarakat
atas, sedangkan masyarakat menengah ke bawah menggunakan bahasa Melayu
pasar.
Terbayangkah oleh kita bagaimana dulu bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa
persatuan, padahal Indonesia memiliki banyak sekali bahasa daerah. Salah satu
cuplikan Sumpah Pemuda mengingatkan kita, “Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
Perjuangan dan ikrar pemuda-pemuda nusantara waktu itu seharusnya dapat kita
jadikan pedoman untuk saat ini. Namun, entah kenapa dengan alasan globalisasi
bahasa Indonesia seakan menjadi semakin tersingkirkan. Sekolah-sekolah mulai
menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar (lingua franca) dalam
kegiatan pembelajaran. Anak muda lebih sering menggunakan istilah-istilah asing,
karena mungkin dianggap lebih keren atau apalah. Fakultas Bahasa Indonesia
kurang diminati oleh warga Indonesia sendiri, mahasiswanya justru kebanyakan
adalah orang asing yang memiliki ketertarikan terhadap budaya Indonesia.
Bahasa adalah kunci segala-galanya. Suatu negara yang ingin melakukan penjajahan,
maka harus mengerti bahasa yang digunakan di tanah jajahannya tersebut. Sadar
atau tidak, perlahan kita sudah mulai terjajah kembali. Sadarkah kita betapa banyak

orang asing yang sangat tertarik untuk mempelajari kebudayaan dan bahasa negeri
kita? Negeri kita masih sangat kaya. Tak bisa dipungkiri kalau banyak negara
tertarik dengan tanah negeri kita ini. Orang-orang asing sudah banyak yang menetap
di Indonesia. Pengusaha-pengusaha asing pun banyak yang berinvestasi di Indonesia.
Disini kemampuan berbahasa sangat memegang kendali.
Kemampuan dan kesantunan berbahasa rakyat Indonesia juga tidak terlepas dari tata
cara berbahasa public figure negeri ini. Jangan harapkan rakyat akan menjadi santun
jika para pemimpinnya saja bersikap tidak santun. Media sebagai sumber informasi
rakyat yang sangat berpengaruh dalam pembentukan opini masyarakat terkadang
menampilkan tontonan yang tidak pantas untuk dilihat. Misalnya saja, kelakuan para
pejabat negara yang berkelahi di tengah rapat yang seharusnya menjadi forum
terhormat, umpatan-umpatan yang tidak pantas dikeluarkan dari orang yang
berpendidikan.

Mungkin kita sudah terlambat beberapa tahun, namun sekali lagi tidak ada kata
terlambat untuk berubah. Jadilah generasi muda yang sadar berbahasa. Bangga
menggunakan bahasa Indonesia dan jadikan bahasa Indonesia sebagai bagian dari
kebudayaan kita.
Salam :)


Kamis, 29/10/2009 17:55 WIB

Karena Bahasa Cermin Budaya
Bangsa
Mukhamad Najib - detikNews

Halaman 1 dari 2

Jakarta - Presiden telah mengumumkan kabinetnya untuk periode
pemerintahannya yang kedua. Salah satu nama yang tetap bertahan di
posnya adalah Jero Wacik.
Sudah sejak lama kementerian kebudayaan selalu dipegang oleh
orang Bali. Mungkin alasannya karena Bali dianggap sebagai daerah
yang paling merepresentasikan budaya. Dalam iklan-iklan pariwisata
Indonesia Bali juga menjadi ikon dominan. Seakan hanya Bali daerah
yang
paling berkebudayaan. Kalau kita datang ke kounter-kounter Garuda
di Jepang atribut budaya yang ditampilkan juga candi-candi dan corak bangunan di Bali.
Tentu sangat naif jika kita menjadikan Bali sebagai satu-satunya representasi budaya
Indonesia karena pada kenyataannya budaya Indonesia begitu beragam. Ada yang

bercorak Hindu seperti di Bali. Tapi, tidak sedikit simbol-simbol kebudayaan Indonesia
yang bercorak Islam seperti pakaian adat di wilayah Sumatra, masjid-masjid bersejarah
dan istana yang memiliki konstruksi bercorak Islam, dan lain sebagainya.
Semoga saja pada kepemimpinannya yang kedua di kementerian budaya, Bapak Jero
Wacik mampu melihat elemen budaya pembentuk budaya nasional secara komprehensif.
Sehingga, beliau tidak hanya ribut ketika Tari Pendet yang berasal dari Bali di klaim
Malaysia namun diam ketika lagu Rasa Sayange yang dari Maluku diklaim Malaysia.
Selain pengembangan budaya nasional yang komprehensif salah satu representasi
budaya yang penting yang tidak boleh dilupakan juga adalah bahasa. Para ahli budaya
menilai bahasa sebagai cermin budaya dan identitas diri penuturnya. Bahkan, bahasa
memberi pengaruh yang signifikan pada kemajuan sebuah bangsa.
Sebagai contoh kita bisa melihat dalam sejarah bangsa Eropa pada masa pencerahan
telah melakukan "penterjemahan" besar-besaran atas karya agung orang-orang Islam di
dunia Timur yang dengan itu mereka mencapai kemajuan. Jepang mungkin negara
pertama di dunia yang mampu menterjemahkan kembali bahasa Barat tanpa
meninggalkan budaya dan bahasanya sehingga kini Jepang dapat sejajar dengan
negara-negara Barat.
Bagaimana dengan Indonesia. Kita memiliki banyak sekali bahasa daerah, namun satu
per satu bahasa itu mulai punah. Prof Dr Arief Rahman dalam penelitiannya
menyebutkan, di Kalimantan, misalnya, satu dari 50 bahasa tak lagi digunakan. Di

Sumatera, dari 13 bahasa dua di antaranya kritis dan satu punah. Di Sulawesi, satu dari
110 bahasa telah lenyap, dan 36 dalam kondisi terancam. Di Timor, Flores Bima dan

Sumba, tercatat 50 bahasa masih bertahan, tapi delapan di antaranya terancam. Di
Papua dan Halmahera, dari 271 bahasa daerah, 56 di antaranya hampir punah. N

Kamis, 29/10/2009 17:55 WIB

Karena Bahasa Cermin Budaya Bangsa
Mukhamad Najib - detikNews

Halaman 2 dari 2

Kalau saat ini bahasa daerah yang mulai punah tidak mustahil suatu hari nanti Bahasa
Indonesia yang punah jika tidak ada upaya yang serius dalam menjaga dan
mengembangkannya. Meski UUD 1945 jelas menyebutkan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional yang harus digunakan sebagai bahasa pengantar resmi. Namun, saat
ini banyak sekolah yang justru mengembangkan Bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar.
Bahasa asing tentu saja harus kita pelajari untuk memudahkan kita menyerap

pengetahuan dari bangsa-bangsa lain di dunia. Namun, bukan berarti kita membiarkan
bahasa kita sendiri terlantar dan hanya menjadi bahasa pinggiran yang seolah tidak layak
menjadi bahasa ilmu pengetahuan.
Saat saya ke Malaysia saya sempat berkunjung ke University Kebangsaan Malaysia.
University ini termasuk salah satu university yang dijadikan sebagai cagar budaya oleh
pemerintah Malaysia. Mahasiswa, dari mana pun datangnya, harus menggunakan
Bahasa Malaysia dalam perkuliahan maupun aktivitas sehari-hari. Bahkan, mahasiswa
Indonesia yang kuliah di kampus ini diwajibkan mengikuti pelajaran Bahasa Malaysia
meski Bahasa Indonesia dan Malaysia relatif sama.
Yang menarik adalah ketika Dekan memutarkan film tentang profil kampus ini. Di bagian
akhir film ini ada kalimat yang kira-kira isinya begini "pernahkah anda membayangkan
suatu hari nanti Bahasa Malaysia digunakan dalam ilmu kedokteran? Pernahkan anda
membayangkan suatu hari nanti Bahasa Malaysia digunakan oleh ahli-ahli teknik di
seluruh dunia? Pernahkan anda membayangkan suatu hari nanti Bahasa Malaysia
menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang digunakan di seluruh dunia? Dari sinilah, dari
kampus inilah semua akan bermula!"
Boleh jadi kita tertawa dengan pernyataan ini. Tapi, kalimat-kalimat ini menunjukkan
obsesi dan keseriusan Bangsa Malaysia untuk menjaga, mengembangkan, dan
mempromosikan budayanya. Mereka memiliki cita-cita yang jelas akan pengembangan
kebudayaan yang mereka inginkan dan mereka telah melakukannya. Pernahkah kita

memiliki keinginan Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pergaulan
internasional? Rasanya menteri kebudayaan sekali pun tidak pernah terfikir akan hal ini.
Tahun depan akan diselenggarakan konferensi internasional mengenai ekonomi
pertanian. Konferensi akan dilaksanakan di University of Parma, Italy. Yang menarik
adalah meski konferensi ini adalah konferensi internasional, beberapa Negara Eropa
menolak menggunakan Bahasa Inggris sebagai satu-satunya bahasa dalam konferensi
ini. Spanyol dan Prancis tetap berkeras menggunakan bahasa mereka masing-masing
dalam konferensi ini. Konferensi ini pun akhirnya akan dilaksanakan dalam tiga bahasa,
Inggris, Prancis, dan Spanyol.

Beranikah kita meminta menggunakan Bahasa Indonesia jika ada pertemuan-pertemuan
internasional di Indonesia? Tentu tidak, karena kita tidak percaya diri dengan bahasa kita
sendiri atau karena kita selalu rela Bahasa Indonesia menjadi bahasa nomor dua.
Sebagaimana juga kita rela Bangsa Indonesia menjadi bangsa nomor 2.
Semoga hal ini tidak berlanjut di generasi yang akan datang.
Mukhamad Najib
The University of Tokyo 4-6-41 Shirokanedai Minato-Ku
mnajib23@yahoo.com
+81-90-982-10-982


Bahasa, Cermin Cara Berpikir Bangsa
cwpel | Kamis, 24 April 2014 | 12:20 WIB | Dibaca: 3227 | Komentar: 0
PENGGUNAAN bahasa Indonesia makin memprihatinkan. Hal itu tidak
hanya terjadi pada urutan kata dalam kalimat, tapi juga dalam menuliskan
kata yang tidak mengikuti kaedah. Penulisan dalam pesan-pesan pendek,
media

jejaring

mencerminkan

sosial

dan

penggunaan

pembicaraan
bahasa


keseharian

Indonesia

yang

semakin

baik

dan

tidak
benar.

Anehnya, meskipun urutan kata dalam kalimat tidak mengikuti aturan, orang
tetap dapat memahaminya. Semakin banyak orang mengungkapkan kata-kata
tanpa memperhatikan urutan yang sepantasnya. "Dia ada dimana sekarang?"
atau "Sedih jadinya saya pak" adalah contoh ungkapan yang tidak benar
tetapi tetap dimengerti. Dalam media jejaring sosial, penggunaan bahasa

Indonesia lebih memprihatinkan lagi. Kita bisa melihat banyak contoh yang
menunjukkan semakin besarnya kesalahan pemakaian bahasa Indonesia saat
ini.

Misalnya

"Selamat

pagii..please

add

fb

MB

yaa..

Terima


kasih

and have a nice day :)" atau "Senam, kupat tahu pedes, dilanjutkan pingpong
ala kadarnya, menghasilkan aroma yang ruar biasa" atau "Jumat berkah..12
pcs terjual sudah.." dan sebagainya.
Pemaknaan peran sebuah kata juga semakin tidak sesuai lagi. Contoh, kata
yang seharusnya berperan sebagai kata keterangan sekarang juga digunakan
sebagai kata sifat. Saat orang mengatakan "itu sesuatu banget." Kata banget
yang sebetulnya kata keterangan dalam bahasa Jawa, digunakan dalam
bahasa Indonesia sebagai kata sifat. Bahkan menurut seorang penyiar radio,
dia harus menggunakan kata "di-play-kan," disadarkan, dan sebagainya,
padahal padanan kata bahasa Indonesianya sudah ada. Penggunaan bahasa
campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris juga semakin sering
terjadi dan menjadikan budaya berbahasa kita semakin tidak mencerminkan
keaslian bahasa dan budaya bangsa. Pertumbuhan bahasa menjadi semakin
tidak terkendali saat ini. Apalagi pendidikan bahasa Indonesia di sekolah
lebih bersifat formatif, berbasis tata bahasa, dan tidak menjadikan siswa
tertarik untuk belajar dan mempraktikkannya dengan benar. Dalam kaitannya

dengan bahasa etnis, banyak anak sekarang yang sudah mulai tidak lagi
mampu menggunakannya secara benar.
Bahasa Jawa adalah salah satu contoh bahasa etnis yang semakin rusak.
Kemampuan orang Jawa dalam menggunakan bahasa Jawa krama dan krama
inggil makin jauh berkurang karena budaya berbahasa di dalam keluarga
Jawa yang sudah tidak lagi memperhatikan penggunaan bahasa etnis
tersebut. Banyak orang Jawa yang memasukkan bahasa Indonesia pada saat
berbicara

dalam

bahasa

Jawa,

karena

ketidakmampuannya

dalam

menyampaikan secara benar dalam bahasa yang digunakan. Menurut Lera
Boroditsky bahasa mempengaruhi apa yang kita ingat dan struktur bahasa
dapat menyebabkan kita semakin mudah atau semakin sulit mempelajari halhal baru. Bahasa Indonesia semakin dicampuradukkan dengan bahasa lain,
bahkan di waktu yang akan datang bisa jadi semakin banyak kosa kata asing
digunakan dalam keseharian meskipun padanan dalam bahasa Indonesia
sudah ada. Perubahan cara menggunakan bahasa ketika orang sedang
berbicara dapat mengubah cara berpikir. Mengikuti pola-pola bahasa lisan
maupun tulis yang digunakan dalam keseharian sekarang ini akan membuat
kita menirukan dan kemudian mengubah cara kita berpikir.
Bahasa ada di dalam mental manusia. Semakin kacau penggunaan bahasa,
makin tak jelas mental bangsa. Penggunaan bahasa asing yang makin
menjadi-jadi merupakan cerminan bangsa kita yang sudah dimiliki bangsa
lain dan disuapi berbagai produk bangsa lain. Secara tak sadar, kita terbang
dengan Lion, Tiger, dan Airasia; minuman kita shake, makanan kita steak,
dan belanja di supermarket asing, bahkan banyak nama anak sekarang tak
lagi

cerminan

bangsa

Indonesia.

Gary

Witherspoon

menggambarkan

penggunaan bahasa seperti hubungan antara kuda dan manusia. Kalau kuda
menyepak manusia, itu bukan salah si kuda, namun karena manusianya
mengganggu

kuda

dengan

menggelitik

kaki

atau

perutnya.

Bahasa

merupakan alat untuk berkomunikasi antara satu orang dengan orang lain
dan

alat

untuk

mempersatukan

bangsa.

Bahasa kita tidak salah, namun karena bangsa dalam menggunakan bahasa,
dengan mencampuradukkan dengan bahasa asing, dengan memenggal
ungkapan, dengan menggunakannya secara tidak benar, menjadikan bahasa
kita sem akin tidak memiliki jati diri. Perkembangan bahasa terkait dengan
kondisi fisik dan sosial. Penggunaan bahasa Indonesia yang tidak benar dan
penggunaan bahasa asing dalam berbagai hal adalah awal kekacauan. Hal itu

menjadikan jati diri bahasa kita semakin tidak jelas, seperti halnya jati diri
bangsa.

Bahasa

mencerminkan

bangsa. (*)

Ida F Priyanto,
Department of Information Science, School of Information, University
of
North Texas, USA.
Idafp75@gmail.com

Bahasa Cermin Identitas dan Karakter
Bangsa
131 ViewsNovember 29, 2012

Oleh :Elly Delfia, S.S.,M.Hum*
Bahasa adalah cermin identitas sebuah bangsa. Identitas berkaitan dengan karakter
(sikap atau kepribadian) bangsa, seperti yang diungkapkan Widjono bahwa salah satu
fungsi bahasa adalah sebagai alat untuk membangun karakter. Karakter berkaitan
dengan sikap cerdas, lamban, bodoh, malas, atau rajin (Widjono, 2001:16). Dalam tulisan
ini, karakter yang dimaksud adalah berkaitan dengan kecerdasan berbahasa (kecerdasan
linguistik). Kecerdasan berbahasa meliputi kemampuan untuk memilah-milah kata-kata
baik untuk digunakan dalam berkomunikasi dan berinteraksi.
Dari cara berbahasa dan cara memilih kata untuk diucapkan, dapat dipahami seperti apa
karakter dan kepribadian seorang individu, sekelompok masyarakat, dan sebuah bangsa.
Apakah mempunyai karakter keras, mudah emosi, lemah-lembut, santun atau
penyayang? Topik mengenai bahasa cermin identitas dan karakter bangsa erat
hubungannya dengan bulan Oktober. Sepintas memang tidak banyak yang bisa diingat
dari Oktober selain hujan yang turun tak henti-henti, khususnya di kampus hijau Limau
Manih. Kesibukan pun masih berjalan seperti biasa. Mahasiswa, dosen, tenaga
kependidikan, dan seluruh civitas akademika kampus masih tetap menjalani rutinitas
seperti biasa. Namun 84 tahun silam, Oktober menjadi bulan bersejarah bagi bangsa ini.
Pada Oktober, tepatnya 28 Oktober 1928 setengah dari kedaulatan bangsa ini
menyumbulkan tunasnya.
Para pemuda dari seluruh nusantara berkumpul untuk menyamakan visi dan menyatukan
diri dalam sebuah sumpah yang dikenal dengan Sumpah Pemuda masa itu. Kemudian
salah satu butir Sumpah Pemuda yang berbunyi, “Kami Putra-Putri Indonesia menjunjung
tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.“ mengabadikan Oktober sebagai bulan
bahasa.
Meskipun bulan bahasa sudah ditetapkan, hari ini, bahasa Indonesia tetap saja
menghadapi berbagai persoalan. Mulai dari perkembangan teknologi yang membuat
perkembangan bahasa Indonesia tidak menentu sampai ke persoalan munculnya
beragam bentuk bahasa di kalangan anak muda, seperti jargon, slank hingga
bahasa alay. Persoalan tersebut cukup menjadi ujian bagi eksistensi bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan yang dikukuhkan oleh para pemuda 84 tahun silam. Bagi
generasi 1928 maupun generasi 1945, bahasa Indonesia adalah bahasa perjuangan dan
persatuan untuk merebut kemerdekaan bangsa ini dari kolonialisme. Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928 menjadi simbol luar biasa ajaib yang menyatukan para pemuda dari

seluruh pelosok negeri ini di bawah naungan bangsa yang bernama Indonesia. Kemudian
muncul pertanyaan, bagaimana generasi muda sekarang memaknai bahasa Indonesia
yang menjadi penanda identitas diri dan karakter bangsanya.
Dari hasil penelitian sebelumnya yang berjudul, “Afiksasi Bahasa Indonesia pada Istilah
Berbahasa Asing pada Media Massa di Sumbar” (Delfia, 2010) diperoleh kesimpulan
bahwa kecenderungan generasi muda sekarang merasa rendah diri menggunakan
bahasa Indonesia dan mereka menganggap bahasa Aing (bahasa Inggris) lebih hebat,
lebih gaul, gaya, dan intelektual. Orang yang berbicara dalam bahasa Inggris dianggap
lebih hebat dan lebih pintar daripada yang menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian
dalam berkomunikasi sehari-hari pun, tidak sedikit generasi muda yang mencampur
bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris(bahasakompasiana.com).
Kenyataan ini cukup memiriskan hati dan jadi petanda makin memudarnya rasa
nasionalisme generasi muda. Nasionalisme yang tergerus globalisasi, perkembangan
ilmu pengetahuan, dan teknologi. Teknologi terkadang tidak hanya memberikan efek
positif, tetapi juga negatif. Segala kebaruan yang tercipta dari teknologi telah
mengalienasi manusia dari kehidupan dan identitas dirinya, seperti yang ramalkan ahli
sosial, Karl Max bahwa teknologi yang diciptakan manusia akan mengalienasi
(mengasingkan dan mengendalikan) manusia dari dirinya (Lauer, 2001).
Penggunaan bahasa Indonesia yang mencerminkan ketidakdisiplinan dalam berbahasa
marak digunakan di kalangan anak muda, khususnya mahasiswa dan pelajar, misalnya
peristiwa mencampurkodekan beberapa bahasa dalam sebuah kalimat. Peristiwa campur
kode beberapa bahasa yang sering dituturkan mahasiswa dapat dilihat pada contoh
tuturan berikut: Ndak tau gue doh. Jangan malu-maluin gua donk. Aden lagi
download lagu di net, nih. Mo browsing dulu ah.
Maraknya peristiwa campur kode yang digunakan oleh mahasiswa dalam berkomunikasi
baik dengan sesamanya, maupun di kelas, di seminar-seminar, dan di ruang-ruang ilmiah
cukup membingungkan dalam hal penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Dengan peristiwa campur kode di atas, kalimat-kalimat yang dituturkan mahasiswa
ataupun pelajar sulit untuk diidentifikasi dan dikenali. Bahasa yang mereka gunakan tidak
jelas karena dalam satu kalimat mengandung lebih dari satu unsur bahasa. Dalam
kalimat, Aden lagi download lagu di net nih terkandung empat unsur bahasa, yaitu
bahasa Minangkabau, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia baku dan tidak baku. Unsur
bahasa Minangkabau terdapat pada kataAden, unsur bahasa Inggris ada pada
kata download dan net, unsur bahasa Indonesia baku terdapat pada kata di dan
kata lagu, sedangkan unsur bahasa Indonesia tidak baku terdapat pada kata lagi dan nih.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak disertai dengan kearifan
dalam bersikap dan bertindak akan menjauhkan manusia dari dirinya sendiri. Hal
demikianlah yang terjadi pada bahasa Indonesia, seperti contoh di atas. Dari peristiwa
campur kode di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Indonesia jadi asing di mata anak
bangsa sendiri disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memunculkan istilah-istilah terbaru yang belum ada

padanannya dalam bahasa Indonesia, minimnya pendidikan yang berisi kesadaran akan
arti penting penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang menjadi
identitas bangsa, kurangnya kepedulian terhadap penggunaan istilah-istilah yang berasal
dari luar bahasa Indonesia, dan sungguh tidak disiplinnya anak bangsa ini dalam
berbahasa yang berarti juga mencerminkan ketidakdisiplinan bangsa untuk berbagai hal
dalam kehidupannya, termasuk dalam berbahasa.
Pada akhirnya, semoga persoalan ini dapat jadi buah perenungan bersama agar bangsa
ini tidak kehilangan identitas dan karakter yang jadi membedakan bangsa ini dari bangsa
lain di dunia.
Padang, 28 Oktober 2012
*Penulis merupakan dosen Sastra Indonesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Bahasa Cermin Budaya Bangsa
Diupload oleh tamburian pada 8 Jun 2009 05:19

Bahasa adalah cermin budaya bangsa. Iklan Pemda DKI ini tidak memberikan contoh
yang baik dalam penggunaan bahasa Indonesia. Awal kalimat yang begitu persuasif
diakhiri dengan penggunaan bahasa Inggris sehingga bisa membingungkan orang yang
membacanya.

Bah

Kamis, 24 Mei 2012, 13:34 – Pendis & Madrasah

PERAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI
CERMINAN PEMBENTUK KARAKTER
BANGSA
Pagaralam – Bahasa memang memiliki andil paling besar dalam
suatu komunikasi karena, bahasa merupakan syarat utama untuk
terjadinya komunikasi. Kemampuan berbahasa tidak hanya sekedar
menulis (writing) dan berbicara (speaking) saja, tapi juga harus
didukung dengan kemampuan menyimak (listening) dan membaca
(reading). Ketika seseorang menghadiri suatu acara seperti seminar, symposium dan
sebagainya, tentunya secara langsung ia akan melakukan tahapan kemampuan dalam
berbahasa yang dimulai dari menyimak, menulis, membaca, dan berbicara. Di sini
disebutkan bahwa tahapan terakhir dalam berbahasa adalah berbicara. Yang
mengesankan orang ketika berbicara adalah karakternya.
Menurut Tesaurus Bahasa Indonesia (2006), pengertian bahasa adalah
dialek,logat,ragam,tutur dan ucapan. Dari pengertian tersebut, Penulis menyimpulkan
bahwa cara berbicara sudah menunjukkan adanya bahasa, karena berkaitan langsung
dengan dialek atau tutur kata yang diucapkan, sedangkan untuk cara berbahasa sendiri
dapat diungkapkan secara lisan maupun tulis. Berarti berbicara di sini termasuk dalam
bahasa yang diungkapkan secara lisan.
Berbicara mengenai bahasa, lantas bagaimanakah peran bahasa Indonesia sebagai
cerminan pembentuk karakter bangsa?Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terpenting
di wilayah Indonesia. Seperti yang telah disebutkan dalam UUD 1945 pasal 36 yang
berbunyi “bahasa Negara adalah bahasa Indonesia” serta dalam pasal 36C pun
disebutkan ”ketentuan lebih lanjut mengenai bendera,bahasa dan lambang negara,serta
lagu kebangsaan diatur dengan undang-undang”. Artinya bahasa Indonesia telah diakui
keberadaannya sebagai bahasa Negara dan telah dilindungi oleh aturan hukum. Yang
menjadi pertanyaan bagi Penulis adalah sudahkah Bahasa Indonesia itu diterapkan
secara baik dan benar? Sangat ironis sekali jika dalam ikrar Sumpah Pemuda yang salah
satunya berbunyi “ Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,
Bahasa Indonesia” , namun dalam kenyataannya. hal tersebut sangatlah bertolak
belakang.
Anton Moeliono mengemukakan penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari
patokan sebagai berikut: (1) jumlah penuturnya (2) luas penyebarannya (3) peranannya
sebagai sarana ilmu,susastra dan ungkapan budaya lain yang dianggap bernilai.
(TBBBI,1992:1). Berdasarkan jumlah penuturnya, jumlah penutur bahasa Indonesia dari
tahun ke tahun semakin meningkat. Pertambahan tersebut di antaranya disebabkan oleh
adanya arus perpindahan penduduk dari desa ke kota terutama Jakarta yang sangat

memungkinkan penggunaan bahasa Indonesia, adanya perkawinan dari antar suku atau
antar daerah yang memungkinkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai pemersatu
bahasa daerah mereka , adanya anggapan bahwa mereka tidak perlu lagi menggunakan
bahasa daerahnya, orang-orang, dewasa ini cenderung lebih suka bertutur kata
menggunakan bahasa Indonesia dari pada bahasa daerahnya. Dari hal tersebut dapat
kita simpulkan bahwa salah satu fungsi dari bahasa Indonesia adalah sebagai alat
pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan ragam bahasa
daerah.
Para ahli berpendapat bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Kunardi
berpendapat alasan mengapa bahasa Melayu diterima sebagai dasar bahasa persatuan,
yaitu (1) kedudukannya yang telah berabad-abad sebagai bahasa penghubung antar
pulau, lingua franca (2) bentuk bahasanya yang luwes dan mudah dipelajari (3) bahasa
Melayu tidak mengenal tingkatan-tingkatan seperti yang terdapat dalam bahasa Jawa,
Sunda dan Madura. Jadi ada suasana yang demokratis. (Kunardi,2005:6). Pada tahun
1928, dalam kongres pemuda yang dihadiri oleh aktivis oleh berbagai daerah,
menetapkan bahasa Melayu diubah namanya menjadi bahasa Indonesia dan diikrarkan
dalam Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional. Bahasa
Indonesia yang kita gunakan sebagai bahasa pengantar dan bahasa persatuan.
merupakan salah satu dialek bahasa Melayu yang digunakan sebagian masyarakat di
sekitar pesisir pantai Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, masyarakat melayu di Singapura,
Malaysia dan Brunei. Bangsa asing yang datang ke Indonesia menggunakan bahasa
Melayu sebagai bahasa pengantar kepada penduduk setempat. Misalnya pada saat
penjajahan Belanda, hal ini sangat menguntungkan karena penyebaran bahasa Melayu
yang tak lain adalah bahasa Indonesia menjadi menyebar atau berkembang lebih
luas.Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia di dalam Negara ini menurut Depdiknas
dalam Pelatihan Nasional Dosen Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi
berpendapat sebagai berikut:(a). Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional (b).Bahasa
Indonesia sebagai Lambang Kebanggaan Nasional©. Bahasa Indonesia sebagai
Lambang Identitas Nasional (d).Bahasa Indonesia sebagai Alat Pemersatu Berbagai
Suku Bangsa (e).Bahasa Indonesia sebagai Alat Perhubungan Antar daerah dan Antar
budaya (f).Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara (g).Bahasa Indonesia sebagai
Bahasa Kenegaraan (h).Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pengantar Dalam Dunia
Pendidikan (i).Bahasa Indonesia sebagai Alat Perhubungan di Tingkat Nasional untuk
Kepentingan Pembangunan dan Pemerintahan (j).Bahasa Indonesia sebagai Alat
Pengembangan Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan
nasional, lambang identitas nasional, alat pemersatu berbagai suku bangsa serta alat
perhubungan antar daerah dan antar budaya. Adanya sebuah bahasa yang dapat
menyatukan berbagai suku bangsa yang berbeda merupakan suatu kebanggaan
Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sanggup mengatasi perbedaan
dan kemungkinan perpecahan yang terjadi. Untuk membangun kepercayan diri yang
kuat,sebuah bangsa memerlukan identitas. Identitas sebuah bangsa dapat diwujudkan di
antaranya melalui bahasanya. Seperti yang tersebut dalam salah satu bait
gurindam XII Raja Ali Haji yang menyebutkan “ Jika hendak mengenal orang berbangsa,
lihatlah kepada budi bahasanya”. Dengan adanya sebuah bahasa yang mengatasi

berbagai bahasa dan suku yang berbeda dapat digunakan untuk mengidentikkan diri
sebagai satu bangsa dilihat dari bahasa yang ia gunakan.
Sebagai bahasa Negara bahasa Indonesia dipakai dalam kegiatan kenegaraan. Dalam
hal ini, pidato-pidato resmi, dokumen dan surat resmi harus ditulis dalam bahasa
Indonesia. Pemakaian bahasa dalam acara-acara kenegaraan sesuai dengan UUD 1945
mutlak diharuskan. Tidak dipakainya bahasa Indonesia dalam hal ini dapat mengurangi
kewibawaan
Negara
karena
merupakan
pelanggaran
terhadap UUD 1945.Perkembangan jaman cukup memberi pengaruh terhadap
penggunaan bahasa di Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa
nasional (persatuan) sudah sepantasnya diterapkan secara baik dan benar berdasarkan
konteks dan kedudukannya, karena Bahasa Indonesia juga memiliki unggah-ungguh
seperti halnya Bahasa Jawa. Bedanya dalam bahasa Indonesia tidak ada tingkatantingkatan yang mengharuskan penggunaan perubahan kata-kata tertentu. Dewasa
ini,umumnya anak-anak maupun remaja menggunakan bahasa Indonesia tidak
memenuhi aturan ejaan yang disempurnakan, dengan cara menyerap kata-kata asing
semaunya sendiri, mengkombinasi kata-kata dari bahasa daerah dengan bahasa
Indonesia bahkan menciptakan kosakata sendiri atau sering juga disebut dalam bahasa
“gaul”.Bahasa Indonesia mengenal adanya ragam bahasa. Ragam bahasa standar atau
bahasa keilmuan memiliki sifat kemantapan yang dinamis, yang berupa kaidah dan
aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat diubah setiap saat. Adanya
penyeragaman kaidah baku penyamaan ragam bahasa aatau penyeragaman variasi
bahasa merupakan cirri bahasa baku yang ketiga setelah kecendekiaan. Kegunaan dari
penyeragaman ini adalah untuk menyamakan persepsi atas suatu bahasa ke dalam
bahasa Indonesia.(Moeliono,2002:13). Fungsi dari bahasa baku menurut Anton M.
Moeliono yaitu sebagai pemersatu,pemberi kekhasan,pembawa kewibawaan dan
kerangka acuan. Bahasa baku memperhubungkan semua penutur berbagai dialek
bahasa, dengan adanya kata-kata yang dibakukan penutur memiiki pegangan ketika
ingin mengungkapkan sesuatu dalam bahsa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki
keunggulan dengan bahasa daerah yang lain, jumlah penuturnya lebih banyak, bahasa
Indonesia ditetapkan sebagai bahasa negara sekaligus digunakan sebagai bahasa
nasional (persatuan) merupakan ciri khas yang dimiliki bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia akan mampu berdiri sebanding, berkedudukan sama (sejajar) dengan
bahasa-bahasa lain di dunia, jika kita sebagai bangsa Indonesia mau menghormati,
menghargai serta mampu menggunakannya dengan baik dan benar berdasarkan konteks
dan kedudukannya. Jika bahasa sudah memiliki kebakuan atau standar, baik yang
ditetapkan, secara resmi lewat surat keputusan pejabat pemerintahan atau maklumat
maupun diterima berdasarkan kesepakatan umum hendaknya kita terapkan, untuk
menunjukkan bahwa memang keberadaan penggunaan bahasa Indonesia secara baik
dan benar, betul-betul dijunjung tinggi dan dihormati. Anjuran menggunakan bahasa yang
baik dan benar artinya pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya di
samping itu juga mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang benar.Ungkapan bahasa dalam
tulisan, hendaknya perlu diperhatikan, karena kadang orang menjadi salah pengertian
dengan bahasa yang diungkapkan secara tertulis. Penulisan tanda baca tertentu sangat
mempengaruhi intonasi baca orang yang menerima pesan. Kesalahan teknis dalam
mengungkapkan bahasa secara tertulis dapat berakibat merugikan diri sendiri maupun

orang lain. Contoh bila kita hendak menulis pesan, ekspresi yang kita berikan dalam
pesan itu biasa-biasa saja,tidak dengan nada marah dan sebagainya, tetapi dalam pesan
tersebut kita sisipi banyak sekali tanda seru. Apakah ekspresi Si penerima pesan juga
akan tetap biasa-biasa saja? Belum tentu, Si penerima pesan bisa saja salah
mengartikan maksud dari isi pesan tersebut dan menganggap bahwa kita sedang marah
kepadanya. Yang mana nanti pada akhirnya, antara pihak satu dan dua akan terjadi
ketidak saling pengertian. Hanya gara-gara tanda baca pada pesan yang dikirim secara
tertulis itu. Jadi, jelaslah bahwa raut muka atau mimik wajah sesorang pun juga dapat
digambarkan dan diterjemahkan melalui bahasa tulis. Namun, ketidak jelasan dalam
mengungkapkan bahasa secara tertulis,dapat mengakibatkan salah penerjemahan
maksud pesan.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa “ Mulutmu,Harimaumu”. Segala sesuatu, tutur
kata yang kita ucapkan sangat berpengaruh terhadap perasaan seseorang. Karena pada
saat kita berbicara pada orang lain, kita secara langsung juga mengolah perasaannya
menjadi sebuah ekspresi. Memang mungkin secara tidak kita sadari, terkadang apa yang
kita katakan pada orang lain, niatnya hanya bercanda, tetapi justru itu sangat
menyakitkan bagi orang yang kita ajak bicara, apa yang kita katakan malah membuat
orang tersebut tersinggung.
Bahasa mencerminkan karakter bangsa. Berdasarkan Tesaurus Bahasa Indonesia
(2006), menyebutkan bahwa karakter adalah ciri, karakteristik, keunikan,sosok,pribadi
serta sifat. Jadi, karakter adalah suatu ciri yang mendasari atau menggambarkan
kepribadian diri secara keseluruhan. Kita dapat menunjukkan kebangsaan kita sendiri
dengan cara menguatkan bahasa Negara kita yaitu Bahasa Indonesia.Keunikan ragam
budaya bangsa Indonesia di antaranya adanya beratus-ratus bahasa yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Keanekaragaman tersebut dipersatukan oleh bahasa
Indonesia sebagai bahasa penghubung antar daerah dan antar budaya. Sifat saling
mempengaruhi antara bahasa nusantara dan bahasa Indonesia merupakan hal yang
sangat wajar.Bahasa dapat berkembang karena adanya kontak dengan bahasa dan
budaya lain sehingga perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dapat terikuti. Satu
hal yang perlu dijaga adalah dalam mengembangkan bahasa nasional ini kita harus
bersifat terbuka tetapi di sisi lain kita juga harus waspada. Jangan sampai Negara kita
dicap oleh dunia buruk hanya karena mereka melihat dari segi bahasanya. Oleh karena
itu, kita perlu bangga memiliki bahasa Indonesia, dengan kita memiliki rasa bangga kita
akan cenderung lebih menyayangi dan berusaha untuk bisa melestarikan serta dapat
menciptakan suatu kesan yang baik ketika orang melihat kita berbahasa Indonesia.
Dengan adanya ketertarikan tersebut, orang mungkin ingin mempelajari bahasa kita yaitu
bahasa Indonesia dan siapa tahu buku-buku yang ditulis menggunakan bahasa
Indonesia akan diterjemahkan menggunakan bahasa mereka (bahasa asing).
Jadi, peran bahasa Indonesia sebagai cerminan pembentuk karakter bangsa adalah di
mana bahasa Indonesia digunakan sesuai konteks dan kedudukannya, secara baik dan
benar keberadaannya sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh bangsanya. Tentunya,
orang akan menilai bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat menjujung
tinggi bahasa negaranya. Dengan penggunaan bahasa Indonesia sesuai unggah-ungguh
serta baik dan benar, orang di sekitar kita termasuk orang asing akan melihat dan menilai

bahwa karakter orang Indonesia itu sopan-santun. Bahasa Indonesia pun akan lebih
dihormati lagi di dunia Internasional. Karena bangsanya sendiri sangat menjujung tinggi
hal itu. Tapi, berbeda jika bangsanya sendiri saja tidak menghormati bahasa negaranya
apa kata orang yang melihat, orang akan menilai bahwa karakter kita adalah orang acuh
tak acuh tak peduli, bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak menghargai negaranya
sendiri apalagi bahasa negaranya. Besar harapan penulis,semoga tulisan ini bisa
menjadi cambuk bagi kita,bangsa Indonesia untuk lebih menghormati bahasa Indonesia
dan menggunakannya dengan baik dan benar.(Nop)

SUMPAH PEMUDA, BAHASA SEBAGAI CERMINAN BUDAYA
By Lintas Gayo on October 28, 2012
Zuliana Ibrahim*
HARUS kita akui, bahwa saat ini masyarakat Indonesia kurang menghargai dan berminat
terhadap bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Modernisasi yang banyak
memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, tanpa terkecuali
pada perkembangan bahasa. Kini kian hari, kemerosotan masyarakat dalam
kebanggaannya menggunakan bahasa persatuan bangsa Indonesia pun ikut memudar.
Menelisik perjuangan para pemuda yang dengan bangga merumuskan sumpah pada
tanggal 28 oktober 1928 lalu, seharusnya menjadi kobar semangat bagi kita salah
satunya agar mampu memelihara dan melestarikan dan menjunjung tinggi bahasa
persatuan bangsa Indonesia yaitu bahasa Indonesia. Namun justru sebaliknya, kini
bangsa Indonesia seperti kehilangan identitas bahasanya. Identitas bahasa “ternodai”
oleh bahasa yang lahir pada zaman kekinian. Mengapa demikian? Ajip Rosidi dalam
bukunya Bus Bis Bas (berbagai masalah bahasa Indonesia) menyatakan bahwa
kemajuan atau perkembangan bahasa nasional kita, tergantung kepada seberapa besar
perhatian dan keterlibatan kita sekalian memeliharanya. Tentu ia tak hanya sekadar
berpendapat demikian, karena nyatanya masyarakat kita yang cenderung terlalu bangga
dengan modernisasi memilih lebih menggunakan bahasa asing, pun dalam kehidupan
sehari-harinya. Mungkin yang menjadi dasar pemikiran masyarakat kita karena merasa
lebih populer bahkan bergengsi jika menggunakan bahasa asing dalam berkomunikasi.
Memang benar penggunaan bahasa adalah kebebasan individual, bagi masyarakat yang
hidup di lingkup satu daerah dengan satu suku yang sama, mereka bisa saja
menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi atau di kalangan pemuda yang
sekarang trend dengan bahasa gaulnya. Namun bukanlah sesederhana ini masalah yang
kita temui, fenomena maraknya penggunaan bahasa gaul oleh pemuda kita, bukan hanya
mempengaruhi dalam konteks berbahasa namun juga berbudaya. Masyarakat Indonesia
yang berbudaya timur pun mulai tampak meluntur.
Perubahan gaya hidup, ruang lingkup sosialisasi adalah di antara faktor yang menjadi
landasan keengganan pemuda masa kini dalam berbahasa nasional. Padahal negara
Indonesia yang terdiri dari berbagai ragam suku, kaya akan adat istiadat dan budaya ini.
Sudah seharusnya mengabadikan bahasa persatuan menjadi tonggak bersatunya
masyarakat Indonesia, di bawah payung kemerdekaan bangsa Indonesia.
Menurut saya menempatkan penggunaan bahasa asing atau pun bahasa gaul, itu perlu
disosialisasikan. Tak heran sekarang banyak sekolah-sekolah yang bertaraf internasional

yang menempatkan bahasa asing dalam pembelajaran, bukan hanya di pelajaran bahasa
asing itu sendiri namun juga pelajaran umum lainnya. Haruskah kita membanggakan hal
ini? Sesuai dengan pasal 33 Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional, bahwa bahasa pengantar pendidikan nasional ialah bahasa
Indonesia. Ini menjadi pertimbangan bagi kita untuk mampu memposisikan bahasa asing
di masyarakat kita terutama dalam segi pendidikan. Begitu pun bahasa gaul yang
sebenarnya berasal dari bahasa Jakarta, sekarang bahkan merambat sampai daerah
perdesaan di Indonesia. Anak-anak muda dari desa justru merasa bangga ketika mereka
pergi merantau dan kembali pulang dengan berbahasa gaul. Mungkin mereka merasa tak
ketinggalan dengan modernisasi.
Tetapi benar saja, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan modernisasi, sebab
modernisasi pun sangat memberikan perkembangan yang begitu baik bagi bangsa kita
dari berbagai segi seperti pendidikan, pertanian, teknologi dan sebagainya. Oleh karena
itu kewajiban kita adalah untuk mampu menyaring segala apa yang masuk ke
masyarakat kita terutama para pemuda yang seharusnya mampu mempertahankan
kearifan dari sumpah pemuda yang tegas menyatakan untuk menjunjung tinggi bahasa
persatuan yaitu bahasa Indonesia.
*Redaktur Budaya di Media Online Lintas Gayo

KOMBASASIN
http://kombasasin.blogspot.com/
Komunitas Bahasa & Sastra Indonesia
Kamis, 20 Januari 2011

Kesantunan Berbahasa Para Tokoh Politik : Cermin
Budaya Bangsa
oleh Siti Nurjanah

1. Pendahuluan
Masih ingatkah kita peristiwa berlangsungnya sidang Pansus Hak Angket DPR
mengenai Bank Century? Ketika itu sesama anggota dari fraksi yang berbeda saling
mengejek dengan keras. Kata-kata makian seperti “bangsat” pun keluar dari mulut para
anggota DPR yang terhormat itu. Begitupun ketika mengajukan pertanyaan kepada
pejabat atau mantan pejabat pemerintah, mereka berbicara dengan keras tanpa
kesantunan sedikitpun, persis seperti polisi kolonial dulu memeriksa penjahat kelas teri.
Di luar gedung DPR suasananya tidak berbeda ricuhnya dengan keadaan di
dalam gedung. Para pendemo yang nampaknya terdiri dari dua kubu yang
berseberangan saling mengejek. Kata-kata seperti “Maling, Rampok, Bandit,” yang keluar
dari satu kubu direspon dengan kemarahan dari kubu yang lain. terlebih lagi ketika kubu
tersebut dengan seenaknya menginjak-injak dan membakar gambar foto pejabat yang
masih aktif. Kemarahan kubu yang lain semakin menjadi-jadi sehingga semakin sukarlah
petugas keamanan melerai kedua kubu itu.
Bagaimana tanggapan umum mengenai kericuhan di Senayan tersebut?
Kericuhan yang terjadi di luar gedung DPR memang diberitakan, tetapi tidak banyak
dikomentari masyarakat. Justru tingkah polah anggota DPR saat sidang ricuh tersebutlah
yang mendapat banyak komentar dari masyarakat. Ada yang mengatakan kericuhan itu
adalah wajar-wajar saja karena mereka anggota DPR yang datang dari berbagai daerah
dan budaya yang tidak sama. Ada juga yang mengatakan hal itu adalah wajar karena kita
baru belajar berdemokrasi atau hal itu menunjukkan kedinamisan dalam proses
berdemokrasi, dan sebagainya.
Terlepas dari komentar-komentar itu, bila dilihat dari kajian pragmatik, para
anggota DPR yang terhormat itu telah melanggar dua hal, yakni : pertamamelanggar
kesantunan berbahasa, dan kedua melanggar etika berbahasa. Kesantunan berbahasa
diperoleh dari belajar berbahasa, sedangkan etika berbahasa bersumber dari “budi
pekerti” dan bertingkah laku.
Tingkah polah sebagian besar anggota DPR yang membuat kericuhan tersebut
membenarkan pendapat Prof. Dr. Pranowo M.Pd., dalam pidato pengukuhan guru
besarnya pada 15 Agustus 2009 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang
menyatakan, antara lain: pertama, banyak orang yang secara sosial tergolong level
menengah atau atas (seperti para anggota DPR yang terhormat itu) tetapi secara kultural
masih tergolong level dhipak bujang (kelas bawah). Kedua, kemampuan berbahasa
secara santun tidak ditentukan oleh pangkat dan kedudukan atau jabatan, tetapi
ditentukan oleh level budaya seseorang (Pranowo 2009: 33).

Pendapat Profesor Pranowo tersebut mengusik batin saya, apakah
ketidaksantunan berbahasa para anggota DPR tersebut mencerminkan budaya bangsa
kita bahwasanya bangsa ini adalah bangsa urakan yang lebih mengandalkan otot
daripada otak? Kemana sikap ramah tamah yang dulu kita banggakan? Dimana
tenggang rasa yang dulu kita cita-citakan?
2. Kesantunan Berbahasa dan Etika Berbahasa
Pada hakikatnya, bahasa yang dimiliki dan digunakan oleh manusia tidak ada
yang lebih baik atau lebih buruk. Seandainya ada bahasa yang sudah mampu
mengungkapkan sebagian besar pikiran dan perasaan lebih dari bahasa yang lain, bukan
karena bahasa itu lebih baik tetapi karena pemilik dan pemakai bahasa sudah mampu
menggali potensi bahasa itu lebih dari yang lain. Jadi yang lebih baik bukan bahasanya
tetapi kemampuan manusianya. Semua bahasa hakikatnya sama, yaitu sebagai alat
komunikasi. Oleh karena itu, ungkapan bahwa bahasa menunjukkan bangsa tidak
dimaksudkan untuk menyatakan bahwa bahasa satu lebih baik dari bahasa yang lain.
Maksud dari ungkapan itu adalah bahwa ketika seseorang sedang berkomunukasi
dengan bahasanya mampu menggali potensi bahasanya dan mampu menggunakannya
secara baik, benar, dan santun merpakan cermin dari sifat dan kepribadian pemakainya.
Pendapat Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995) menyatakan bahwa bahasa
menentukan perilaku budaya manusia memang ada benarnya. Orang yang ketika
berbicara menggunakan pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik
menandakan bahwa kepribadian orang itu memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang
sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha berbahasa secara baik,
benar, dan santun di hadapan orang lain; pada suatu saat tidak mampu menutup-nutupi
kepribadian buruknya sehingga muncul pilihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang
tidak baik dan tidak santun.
Beberapa pakar yang membahas kesantunan berbahasa antara lain, Lakoff
(1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Lecch (1983). Secara singkat
dan umum menurut para pakar tersebut ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan
kita terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita. Ketiga kaidah itu adalah (1)
formalitas, (2) ketidaktegasan, dan (3) kesamaan atau kesekawanan.
Menurut Brown dan Levinson (1978) teori tentang kesantunan berbahasa itu
berkisar atas nosi muka atau wajah, yakni “citra diri” yang bersifat umum dan selalu ingin
dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Muka ini meliputi dua aspek yang saling
berkaitan, yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif itu mengacu pada citra diri
setiap orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas
melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan
sesuatu. Sedangkan muka positif mengacu pada citra diri setiap orang yang
berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang
merupakan nilai-nilai yanh ia yakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang
menyenangkan, dan patut dihargai. Karena ada dua sisi muka yaitu muka positif dan
muka negatif, maka kesantunan pun dibagi menjadi dua, yaitu kesantunan negatif untuk
menjaga muka negatif dan kesantunan positif untuk menjaga muka positif. Kesantunan
ini dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menghindari konflik antara penutur dan lawan
tuturnya di dalam proses komunikasi.
Kesantunan sangat kontekstual, artinya berlaku dalam masyarakat,
tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau
situasi lain. Kesantunan selalu memiliki dua kutub, seperti antara anak dan orang tua,

antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, antara
mahasiswa dan dosen,dan sebagainya (Muslich, 2006:1).
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda
verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma
budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa
harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan
dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi.
Tata cara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komuniksi demi
kelancaran komunikasi. Tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma
budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa
kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola
berbahasanya. Itulah sebabnya kita mempelajari atau memahami norma-norma budaya
sebelum atau disamping mempelajari bahasa. Sebab, tata cara berbahasa yang
mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa (Muslich,
2006:2).
Berdasar kajian berbagai teori kesantunan di atas, teori kesantunan yang
digunakan dalam kajian ini adalah teori kesantunan Brown dan Levinson karena teori
tersebut beranjak dari teori sosiologis Goffman (1959) tentang sosiologi kehidupan
sehari-hari, terutama dari bukunya The Presentation of Self in Everyday Life. Hal itu amat
berguna untuk menjelaskan fenomena “topeng” dalam panggung politik, terutama
peristiwa komunikasi politik. Salah satu topeng yang digunakan dalam pementasan diri
adalah strategi kesantunan.
Bila kesantunan berbahasa lebih berkenaan dengan subtansi bahasanya, maka
etika berbahasa lebih berkenaan dengan perilaku atau tingkah laku dalam bertutur.
Dalam hal ini Masinambouw (1984) menagtakan bahwa sistem bahasa mempunyai
fungsi sebagai sarana berlangsungnya suatu interaksi manusia di dalam masyarakat. Ini
berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di
dalam budaya itu. Oleh Geertz (1976) sistem tindak laku berbahasa menurut normanorma budaya itu disebut etika berbahasa atautata cara berbahasa.
Etika berbahasa ini berkaitan erat dengan norma-norma sosial dan sistem budaya
yang berlaku dalam suatu masyarakat. Sehingga etika berbahasa ini akan “mengatur”
kita dalam hal (a) apa yang harus dikatakan kepada seorang lawan tutur pada waktu dan
keadaan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu; (b)
ragam bahasa yang paling wajar digunakan dalam waktu dan budaya tertentu; (c) kapan
dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dan menyela atau menginterupsi
pembicaraan orang lain; (d) kapan kita harus diam, mendengar tuturan orang; (e)
bagaimana kualitas suara kita apakah keras, pelan, meninggi, dan bagaimana sikap fisik
kita di dalam berbicara itu. Seseorang baru dapat dikatakan pandai berbahasa apabila
dia menguasai tata cara atau etika berbahasa itu. Butir-butir “aturan” dalam etika
berbahasa yang disebut di atas bukanlah merupakan hal yang terpisah satu sama lain,
melainkan merupakan hal yang menyatu di dalam tindak laku berbahasa.
3. Bahasa dan Politik
Graber (1976) telah menemukan paling tidak ada lima fungsi bahasa politik.Pertama,
fungsi informasional, yaitu pemberian fakta dan pemunculan konotasi dengan menggunakan
kata-kata indah seperti “negeri yang makmur” atau “bapak pendiri bangsa”. Kata-kata dan
frasa dalam dunia politik bisa membawa inferensi dan makna simbolik yang membantu

pencapaian tujuan komunikator. Kedua,agenda-setting, yaitu sebuah proses di mana
komunikator mencoba mengidentifikasikan dirinya dengan isu yang berkembang. Ketiga,
interpretasi dan penghubungan, yang mengacu pada konstruksi dan penstrukturan pola
makna dan asosiasi yang lebih luas. Keempat, proyeksi masa lalu dan masa depan (tradisi
dan kontinuitas). Kelima, stimulasi tindakan ( fungsi “mobilisasi” dan “pengaktifan” bahasa).
Studi bahasa politik juga menjadi persoalan sentral dalam tradisi lain dalam studi
komunikasi politik, yang ditunjukkan oleh teori dan penelitian kritis atau Neo-Marxis. Salah
satunya adalah adanya analisis yang luas mengenai isi media massa, khususnya berita.
Pemberitaan dalam media, apakah itu bersifat pribadi atau publik, muncul untuk membawa
pesan konsensus sosial yang sedang berkuasa dan juga mendukung peraturan sosial dan
politik yang sudah terwujud dan mapan dengan beragam cara, yaitu dengan memberi
legitimasi dan perhatian untuk mewujudkan kekuasaan; dengan mendiamkan masalah dan
mencari solusi alternatif; dengan mengarahkan perhatian kepada “kambing hitam”, dengan
memberi label pada lawan politik sebagai ekstrimis yang mencoba menantang aturan yang
sudah mapan dan semuanya di dalam sistem yang demokratis.

4.

Bahasa sebagai Cermin Budaya Bangsa
Banyak ahli dan peneliti sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang

tidak dapat