Peran ASEAN Regional Forum ARF dalam Men

Arya Wirawan Maulana
1111113000091

Draft Proposal Penelitian
Metodologi Penelitian Hubungan Internasional

A. Topik Penelitian
“Peran ASEAN Regional Forum (ARF) dalam Menjaga Stabilitas Keamanan Kawasan Asia
Periode 2009-2013.”

B. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana peran ASEAN Regional Forum (ARF) dalam menjaga stabilitas keamanan terkait
peningkatan kekuatan militer di kawasan Asia?

C. Kerangka Pemikiran
Dalam menjawab pertanyaan penelitian, penulis menggunakan teori realisme, konsep
national interests, konsep security dilemma, konsep balance of power, dan konsep balance of
threat untuk menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi peningkatan kekuatan militer di
kawasan Asia pada periode 2009-2013. Sementara itu untuk menganalisa peran ASEAN
Regional Forum (ARF) dalam menjaga stabilitas keamanan kawasan Asia, penulis
menggunakan teori neo-liberalisme, konsep cooperative security, dan konsep preventive

diplomacy.

1) Realisme
Dalam pemikiran kaum realis, negara adalah aktor utama dalam hubungan
internasional. Hal tersebutlah yang menjadikan realisme bersifat state-sentric. Dalam tataran
negara, perbedaan pandangan politik domestik telah diselesaikan hingga menghasilkan satu
suara. Sedangkan negara dianggap rasional karena mampu mengkalkulasikan bagaimana cara
mencapai kepentingan agar mendapat hasil maksimal. Hubungan internasional dipahami oleh
kaum realis terutama sebagai perjuangan di antara negara-negara berkekuatan besar untuk
dominasi dan keamanan. Dasar normatif realisme adalah keamanan nasional dan kelangsungan
hidup negara (Jackson & Sorensen, 1999, p. 60). Setiap negara mempunyai kepentingan

nasional yang harus dipenuhinya, untuk memenuhi kepentingan nasionalnya negara harus
mempunyai kekuatan yang besar.
Realisme memiliki tiga elemen dasar yaitu statism, survival, dan self-help (Dunne &
Schmidt, 2001, pp. 155-156). Statism mengacu pada gagasan negara sebagai perwakilan yang
sah dari keinginan kolektif dari bangsa. Realis beranggapan bahwa di luar batas-batas negara,
terdapat kondisi anarki di mana politik internasional berlangsung di arena yang kurang
memiliki otoritas pusat di atas negara-negara bangsa. Dalam realis tujuan utama dari semua
negara adalah survival. Survival merupakan kepentingan nasional tertinggi yang harus

dipenuhi oleh seorang pemimpin negara. Self-help menganggap bahwa dalam sistem yang
anarki tidak ada pemerintah global. Masing-masing aktor negara bertanggungjawab untuk
menjamin kesejahteraan dan keberlangsungan hidup mereka sendiri. Realis tidak mempercayai
lembaga internasional dapat melindungi keamanan sebuah negara. Dengan demikian negara
pada akhirnya harus bergantung pada diri sendiri untuk keamanannya. Mekanisme balance of
power dianggap sebagai jalan keluar jika terdapat ancaman terhadap sebuah atau sejumlah
negara oleh sebuah negara hegemonis.
Dalam keadaan anarkis ini, tiap negara harus menolong dirinya sendiri atau self-help.
Negara tidak boleh percaya pada negara lain atau organisasi internasional, tapi harus mencari
cara sendiri, terutama meningkatkan kekuatan militernya. Struktur internasional tidak
mengizinkan adanya persahabatan, kepercayaan dan kehormatan, yang ada hanyalah kondisi
abadi ketidakpastian karena tiadanya pemerintahan global (Wohlforth, 2008, pp. 36-37).
Walaupun penting untuk menilai apakah negara lain merupakan negara revisionis yang ingin
mengubah balance of power atau pro-status quo yang tidak ingin mengubah keadaan itu secara
militer, namun adalah susah untuk memastikan intensi atau maksud suatu negara secara
empirik. Cara terbaik adalah memperkuat diri sehingga negara lain tidak berani menyerang.
Koeksistensi demikian bisa dicapai melalui keseimbangan kekuatan dan interaksi
terbatas, tetapi pendirian negara tetap lebih untuk keuntungan dirinya sendiri daripada negara
lain. Di sini terjadi security dilemma yang lebih sering terjadi pada negara-negara besar
daripada negara kecil karena peningkatan kekuatan militer mereka akan selalu mendorong

meningkatkan kekuatan negara besar yang lain. Keamanan bagi negara lain berarti
ketidakamanan bagi negara sendiri. Inilah tragedi politik negara-negara besar (Mearsheimer,
2007, p. 74).

State adalah aktor utama dalam hubungan internasional yang anarkis. Asumsi ini
berasal dari kenyataan bahwa untuk bisa survive dan mencapai level subsisten manusia perlu
hidup bersatu berdasarkan suatu solidaritas kelompok. Kohesi dalam grup ini juga berpotensi
untuk berkonflik dengan kelompok-kelompok lain. State merupakan pengelompokan manusia
(groupism) yang paling penting dewasa ini, dan sumber kohesi in-group yang paling kuat
adalah nasionalisme. (Wohlforth, 2008, p. 32)
Dalam konteks internasional yang anarkis, prioritas politik luar negeri negara-negara
dengan demikian adalah menjaga kelangsungan hidupnya atau survival dari ancaman negara
lain, yang juga merupakan inti dari kepentingan nasional. Sementara kepentingan lainnya,
seperti ekonomi, adalah kurang penting (low politics). Kode etik realis adalah sesuatu yang
harus dinilai dari hasilnya, bukan dari apakah tindakan individu itu benar atau salah. Realis
tidak percaya pada universalitas moral; kalaupun ada, itu hanya berlaku relatif untuk suatu
masyarakat tertentu saja. Dengan kata lain, dalam pandangan Wohlforth, negara seringkali
harus bertindak egois, terutama bila dihadapkan pada pilihan kepentingan diri dan kepentingan
kolektif. Ini juga merupakan sifat dasar manusia sebagaimana diungkapkan adagium klasik
realis: inhumanity is just humanity under pressure (kekejaman berarti kemanusian di bawah

tekanan) (Wohlforth, 2008, p. 32).
Menurut Morgenthau ada enam prinsip realisme dalam (Jackson & Sorensen, 1999, p.
70), antara lain: (1) realisme politik menganggap bahwa politik seperti masyarakat umunya,
dikendalikan oleh hukum-hukum objektif yang berakar pada hakikat manusia, (2) politik
internasional merupakan wadah suatu negara dalam memenuhi interest-nya sebagai tujuan
mendapatkan power, (3) bentuk dan sifat kekuasaan negara akan bermacam-macam
(kontekstual) tetapi kepentingan nasional akan tetap sama, (4) prinsip moral universal tidak
menuntut sikap negara, (5) tidak ada prinsip moral universal, (6) secara intelektual politik itu
otonom.
Holsti, yang juga digolongkan sebagai pengikut realisme klasik penerus Morgenthau,
mengejawantahkan lebih lanjut pandangan di atas dengan menyebutkan bahwa selain
dipengaruhi oleh struktur sistem internasional, strategi umum politik luar negeri suatu negara
juga dihubungkan dengan sifat dari keadaan domestik dan kebutuhan ekonomi (Holsti, 1967,
p. 34). Seperti Morgenthau, ia juga menyebutkan peranan pembuat keputusan dalam
mempersepsikan ancaman eksternal yang tetap terhadap nilai-nilai dan kepentingan mereka
akan sangat menentukan orientasi politik luar negeri negara itu. Juga faktor lokasi geografis,

ciri-ciri topografi, potensi alam, menurut Holsti, adalah variabel-variabel yang mempengaruhi
pilihan orientasi politik luar negeri.
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mempublikasikan data

temuannya terkait kenaikan impor senjata dunia pada kurun 2009-2013. Menurut data SIPRI,
jumlah impor senjata konvensional utama dunia mengalami kenaikan sebesar 14 persen pada
2009-2013 dibandingkan kurun waktu sebelumnya, 2004-2008. Dari 10 besar negara importir
senjata dunia, 5 berasal dari benua Asia, yaitu India, China, Pakistan, Korea Selatan, dan
Singapura (Wezeman & Wezeman, 2014, p. 4). Data terbaru SIPRI tersebut menunjukkan
adanya peningkatan kekuatan militer negara-negara di kawasan Asia, bahkan bisa kita
simpulkan telah terjadi “perlombaan senjata” di antara negara-negara kawasan Asia.
Keamanan nasional dalam teori realisme ini lah yang menurut penulis mendorong
negara-negara di kawasan Asia berlomba-lomba dalam meningkatkan kekuatan militernya
masing-masing. Hal ini juga merupakan bentuk perwujudan dari bagaimana suatu negara yang
dianggap sebagai aktor paling penting bagi para realis, mempertahankan keberadaannya
(survive). Karena negara akan melakukan apa saja dan akan mempertahankan mati-matian
demi mendapatkan rasa aman bagi negara itu sendiri. Disamping itu, negara juga tidak
memikirkan keadaan negara lain dan hanya mementingkan negaranya sendiri, inilah kondisi
yang dinamakan struggle of power.

2) Konsep National Interest
Kepentingan Nasional (National Interest) adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai
sehubungan dengan kebutuhan negara bangsa atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan.
Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama diantara semua negara/bangsa

adalah keamanan, (yang mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah)
serta kesejahteraan. Kedua hal pokok ini yaitu keamanan (Security) dan kesejahteraan
(Prosperity) merupakan kepentingan nasional yang utama. Kepentingan nasional diidentikkan
dengan dengan “tujuan nasional” (Rudy, 2002, p. 116). Contohnya kepentingan pembangunan
ekonomi, kepentingan pengembangan dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
atau kepentingan mengundang investasi asing untuk mempercepat laju industrialisasi.
Kepentingan nasional sering dijadikan tolok ukur atau kriteria pokok bagi para
pengambil keputusan (decision makers) masing-masing negara sebelum merumuskan dan
menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan setiap langkah kebijakan luar negeri (Foreign Policy)

perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta
melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai “Kepentingan Nasional”.
Sedangkan menurut Morgenthau, “Kepentingan nasional adalah kemampuan minimum negara
untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur dari gangguan
negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap
negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik” (Rudy, 2002, p. 116).

3) Konsep Security Dilemma
Secara konseptual, dalam situasi security dilemma suatu negara berupaya untuk
memelihara keamanannya sendiri dengan mengambil langkah-langkah yang berdampak

mengurangi keamanan negara lainnya yang pada gilirannya negara-negara tersebut akan
mengambil langkah-langkah tertentu yang telah diambil oleh negara pertama. Dalam situasi
dilema tersebut suatu negara dapat mengambil langkah defensif yang memungkin terjadinya
kerjasama dan mengurangi terjadinya kerugian maksimal, yaitu perang (Frazier & StewartIngersoll, 2010, p. 732).
Definisi security dilemma seperti yang di jelaskan oleh Robert Jervis bahwa The
security dilemma: “many of the means by which a state tries to increase its security decrease
the security of others” (ketika satu negara meningkatkan kapabilitas militer demi tujuan
keamanannya dengan mengurangi tingkat keamanan negara lainnya) (Jervis, 1978, p. 172).
Ketika suatu negara mengalami perasaan takut atau terancam, maka negara tersebut akan
meningkatkan kapabilitas militer untuk melindungi kepentingan nasional. Apabila suatu negara
tidak mampu meningkatkan kapabilitas militernya, dalam situasi security dilemma negara
dimungkinkan untuk melakukan kerjasama.
Menurut Jervis dalam situasi security dilemma suatu negara dapat membuat pilihan
dalam berinteraksi (Jervis, 1978, pp. 173-174), yaitu pertama, suatu negara yang merasa takut
atau terancam, maka akan menimbulkan tindakan aksi-reaksi antar negara, yang dapat
menghilangkan makna kerjasama yang tidak akan dapat ditopang oleh rasa percaya dan
pemahaman individu terhadap kepentingan bersama yang tidak dapat diakomodasi secara
bersama-sama. Kedua, situasi anarki memaksa negara untuk mencari kekuasaan di luar batas
nasional dan memaksakan nilai-nilai ideologi yang dianut untuk melalui tindakan intervensi
untuk menyebarkan pengaruhnya kepada negara lain. Ketiga, penyebaran pengaruh oleh

negara-negara yang memiliki kepentingan terhadap negara-negara yang lebih lemah lainnya

memaksa beberapa negara untuk saling berhadapan dalam perebutan pengaruh/menciptakan
daerah penyangga demi kepentingan geopolitik. Berdasarkan pilihan-pilihan tersebut, suatu
negara harus memperhatikan strategi yang akan digunakan dalam situasi security dilemma.
Dengan demikian konsep security dilemma cukup tepat dalam menjawab fenomena
peningkatan kekuatan militer pada negara-negara di kawasan Asia. Dengan naiknya anggaran
militer dan impor senjata salah satu negara di kawasan Asia seperti yang dilansir oleh
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada periode 2009-2013, maka
negara-negara lain di kawasan Asia mengalami security dilemma sehingga untuk
mempertahankan eksistensi dan kepentingan nasional mereka harus menaikan anggaran militer
dan impor senjata negaranya. Masih adanya sengketa perbatasan antar negara Asia ini juga
menjadi faktor lain terciptanya security dilemma di kawasan Asia.

4) Konsep Balance of Power
Balance of power menurut sudut pandang realis: memandang masyarakat internasional
sebagai aksi-reaksi yang tidak ekivalen (assymetris): power berhadapan dengan weakness.
Basis dasar asimetris antar-state tersebut dapat diseimbangkan, yakni dengan cara setiap state
bertindak saling mengawasi terhadap posisi masing-masing (check and balance). Karena
politik internasional yang anarkis berlawanan dengan keamanan dan stabilitas jangka panjang,

maka nation-states semestinya memotori terciptanya keseimbangan dalam sistem power,
sehingga dalam jangka absolut, keamanan, stabilitas, power, dan pengaruh dapat kemudian
lebih potensial ditingkatkan. Adalah tugas seorang negarawan untuk mendemonstrasikan dan
memprioritaskan kepentingan masing-masing berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi
dengan membuat kebijakan dan penyesuaian berdasarkan tujuan menciptakan stabilitas yang
kondusif. Maka dari itu, Morgenthau berpendapat bahwa balance of power dan politik luar
negeri yang diciptakan untuk diraih dan dipelihara bukanlah hal yang tidak mungkin, lebih dari
itu, merupakan mekanisme penting untuk menstabilkan komunitas internasional (Sheehan,
1996, p. 20).
Kenneth Waltz dalam (Waltz, 1979, p. 131) menyamakan power dengan kapabilitas.
Kapabilitas dapat dirangking menurut kekuatannya dalam ukuran penduduk dan wilayah,
sumber dana, kemampuan militer, stabilitas dan kompetisi politik. Berkaitan erat dengan
power, di dalam balance of power terdapat konsep national interest dan objectives antara lain
tujuan fundamentalnya adalah menolak adanya hegemoni secara regional maupun global, yang
pada intinya untuk mencegah terbitnya hegemoni dengan mengijinkan semua state untuk

memelihara identitas, kesatuan, dan independensinya, hingga pada level optimal mencegah
potensi agresi perang, dan lain sebagainya. Konsep balance of power maka dari itu erat
kaitannya dan kedudukannya selaras dengan pandangan tradisional realis mengenai hubungan
internasional. Secara tidak langsung dimaksudkan untuk menyediakan kondisi internasional

yang stabil dan damai, sekaligus sebagai faktor penstabil dalam masyarakat negara-negara
yang berdaulat (Emmers, 2003, p. 45).
Peningkatan kekuatan militer pada negara-negara di kawasan Asia periode 2009-2013
tidak lepas dari konsep balance of power. Hal ini dikarenakan pergeseran aktivitas militer AS
ke Asia, tampaknya juga telah memengaruhi negara-negara di kawasan untuk menyesuaikan
diri atas kemampuan militernya. Setidak-tidaknya, hal itu dilakukan untuk bisa sedikit
mengimbangi kehadian militer AS yang kini diproyeksikan ke wilayah Asia. Negara-negara di
kawasan, sebagai “tuan rumah”, tentunya tidak ingin hanya menjadi penonton dalam melihat
kehadiran militer AS di Asia. Mereka juga perlu menampilkan diri dengan “percaya diri” dalam
menghadapi kekuatan militer AS sebagai salah satu kekuatan militer terbesar di dunia. Untuk
itu, peningkatan kekuatan militer menjadi pilihan yang harus dilakukan oleh negara-negara
Asia sekaligus untuk membangun kemandirian dalam hal pengamanan wilayah kedaulatan
negara. Penulis melakukan analisa dengan melihat tampilnya China, sebagai negara besar di
kawasan dengan modernisasi militernya dan belanja militernya yang terus meningkat (kedua
tertinggi setelah AS), terus membangun kekuatan militer yang lebih modern guna menerapkan
konsep balance of power di kawasan Asia terhadap aktivitas militer AS yang bergeser ke Asia.

5) Konsep Balance of Threat
Konsep Perimbangan Ancaman (Balance of Threat) merupakan kritik terhadap konsep
perimbangan kekuasaan (Balance of Power). Menurut konsep ini, dalam sistem internasional

yang anarkis dan cenderung pada tidak adanya distribusi kekuatan yang berimbang, negara
akan menggalang aliansi dengan atau melawan kekuatan yang paling mengancam (Walt, 1985,
pp. 8-9). Aliansi adalah respon atas ketidakseimbangan ancaman (imbalances of “threat”),
bukan ketidakseimbangan kekuatan (imbalance of “power”) (Legro & Moravcsik, 1999, p.
36). Jadi, berbeda dengan Balance of Power yang melihat balancing sebagai kondisi alamiah
dalam sistem internasional yang terdiri dari unit-unit negara ketika terjadi ketidakmerataan
distribusi kekuatan terutama militer (lebih tepatnya, ini adalah konsepsi Balance of Power
menurut Neoralism/Structrual Realism). Konsep perimbangan ancaman berasumsi bahwa,
balancing adalah respon yang dilakukan oleh negara atau beberapa negara terhadap negara lain

yang memiliki power (militer, ekonomi, teknologi, dll) besar atau lebih besar dari yang dimiliki
negara tersebut. Berbeda dari konsep perimbangan kekuasaan yang melihat pengaruh power
itu sendiri terhadap sistem internasional, konsep perimbangan ancaman melihat akibat dari
kepemilikan power tersebut terhadap sistem.
Berangkat dari asumsi bahwa sistem internasional adalah anarkis, tidak ada
pemerintahan yang mengatur negara-negara sehingga setiap negara harus menjamin
keamananannya sendiri dalam pergaulan regional maupun global, dan setiap negara bertindak
untuk mencapai kepentingan nasionalnya baik ekomoni maupun keamanan, Walt memandang
bahwa kepemilikan power oleh sebuah negara, misalnya rudal balistik atau bahkan senjata
nuklir, akan mengancam keamanan dan kepentingan nasional negara-negara lain terutama yang
berada di sekitarnya. Walt lebih lanjut menjabarkan sumber-sumber ancaman bagi negara,
yaitu: (1) aggregate power, (2) proximity, (3) offensive power, dan (4) alliances and
bandwagoning (Legro & Moravcsik, 1999, pp. 9-13).

6) Neo-Liberalisme
Neoliberal institusionalis percaya bahwa institusi internasional sangat berperan dalam
mewujudkan kerjasama. Perspektif ini tidak melihat institusi pada sebatas organisasi formal
yang memiliki kantor utama dan staff terspesialisasi, tetapi lebih luas, seperti ungkapan Young
(Keohane, 1984, p. 39), sebagai “recognized patterns of practice around which expectations
converge.” Pola-pola praktek tersebut dianggap signifikan karena mampu memengaruhi
perilaku negara sehingga menginginkan adanya kerjasama. Ketika kepentingan yang sama
telah ditemukan dan syarat-syarat kondisional telah terpenuhi, kerjasama dapat terjalin. Namun
demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kerjasama yang dicita-citakan tidak selalu tercapai.
Kerjasama membutuhkan tindakan aktor-aktor yang terlibat dibawa menuju
konformitas terhadap satu sama lain melalui proses negosiasi. Kerjasama dapat terjadi ketika
aktor-aktor menyesuaikan perilakunya dengan preferensi aktor lain. Sebelum melangkah ke
penjelasan lebih lanjut, kerjasama patut dibedakan dengan harmoni. Pengertian harmoni yaitu
kondisi di mana kebijakan suatu negara secara otomatis memenuhi keinginan negara lain, tanpa
penyesuaian apapun. Sementara itu, dalam kerjasama memerlukan penyesuaian atau
pengubahan pola-pola perilaku, serta bersifat sangat politis. Bukan berarti kerjasama
mengindikasikan tidak adanya konflik. Kerjasama dapat mengandung unsur konflik dan
merefleksikan sebagian upaya-upaya untuk mengatasi atau mencegah konflik (Keohane, 1984,
pp. 45-47).

Institusi dapat memengaruhi konteks aktor dalam memilih alternatif pilihan yang ada
(Keohane, 1984, p. 48). Kondisi tersebut karena institusi memiliki prinsip, norma, peraturan,
dan prosedur, yang kemudian disebut sebagai rezim, yang menjadi pedoman bagi aktor dalam
bertindak.

Konstruksi dari rezim tersebutlah yang memfasilitasi terjalinnya kerjasama,

sehingga tiap-tiap aktor yang terikat dalam rezim tersebut diharapkan berperilaku tertentu
sesuai dengan apa yang disepakati bersama. Ada beberapa alasan yang mendasari kepatuhan
negara pada institusi, yaitu legal liability, transaction cost, dan problems of uncertainty.
Institusi internasional membantu negara-negara dalam menghadapi masalah-masalah
di atas. Prinsip dan aturan yang terkandung dalam suatu institusi mengurangi harapan perilaku,
meminimalkan ketidakpastian, serta informasi menjadi lebih terbuka, oleh karena itu
penyebaran informasi juga semakin merata. Dengan demikian, institusi internasional menjadi
berguna bagi pemerintah suatu negara karena membantu negara dalam memperoleh
objektifnya, yang tidak akan tercapai apabila tanpa melalui institusi.

7) Konsep Cooperative Security
Salah satu strategi balancing yang digunakan ASEAN yakni cooperative security yang
melibatkan aksi diplomasi melalui dialog dan forum regional misalnya ASEAN Regional
Forum, yang di dalamnya membahas berbagai permasalahan sosial dan ekonomi utamanya.
Sayangnya strategi cooperative security yang demikian memiliki kelemahan. Sebagaimana
yang diungkapkan terdahulu oleh Morgenthau dimana strategi balance of power menawarkan
solusi parsial semata dan mengandung ketidakpastian dan kurang efektif sebagaimana dikutip:
“Morgenthau refers to its main weaknesses as being ‘its uncertainy, its unreality, and its
inadequacy” (Emmers, 2003, p. 61). Emmers mengutarakan cooperative security tidak
memberikan aksi secara langsung dan tepat sasaran, disebabkan pertemuan dan diskusi melalui
forum yang terjadi hanya angin semata dan tidak lebih dari ucapan bibir dari diplomasi politik
guna merenggangkan tensi dan ketegangan akibat konflik regional karena salah paham maupun
saling curiga. “…cooperative security, unlike collective security, lacks of the vehicle of
economic or military sanctions…cooperative security focuses on confidence building and a
reventive dimension, albeit not through problem solving” (Emmers, 2003, p. 62).
Peningkatan kekuatan militer tentu saja menjadi hal yang sensitif sebab dapat
menyebabkan security dilemma bagi negara lain. Adagium security dilemma setidak-tidaknya
menegaskan dua hal. Pertama, upaya peningkatan kekuatan militer suatu negara
kecenderungannya selalu dimaknai sebagai sarana pengembangan kekuatan ofensif oleh

negara lain, dan kedua, sulit dibedakannya antara kekuatan defensif dengan kekuatan defensif.
Hal ini bisa mengakibatkan terjadinya salah kalkulasi (miscalculation), salah penilaian
(misjudgment) dan saling mencurigai (mistrust) (Tan, 2014). Untuk menghindari hal tersebut
maka negara-negara di kawasan perlu membangun rezim transparansi strategis dalam kerangka
keamanan bersama (common security) melalui forum dialog. Forum untuk itu sebenarnya
sudah ada di kawasan, terutama yang diinisiasi oleh ASEAN, yakni ASEAN Regional Forum
(ARF). ARF merupakan forum dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan
politik dan keamanan di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antara
negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan
kawasan. Dalam kaitan tersebut, ASEAN merupakan penggerak utama dalam ARF.
ARF merupakan satu-satunya forum di level pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh
negara-negara kuat di kawasan Asia Pasifik dan kawasan lain, seperti AS, Republik Rakyat
China, Jepang, Rusia dan Uni Eropa. Peserta ARF berjumlah 27 negara yang terdiri atas seluruh
negara anggota ASEAN, 10 negara Mitra Wicara, serta beberapa negara di kawasan.
Berdasarkan peserta ARF tersebut, sesungguhnya ARF dapat memainkan peran penting dalam
menciptakan dan menjaga stabilitas serta keharmonisan kawasan. ARF perlu meningkatkan
dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang menjadi
kepentingan dan perhatian bersama, dan memberikan kontribusi positif dalam berbagai upaya
untuk mewujudkan confidence building measures (CBMs), constructive engagement dan
preventif diplomacy di kawasan (Emmers, 2003, p. 66).
Langkah-langkah CBMs dan preventif diplomacy yang ditempuh oleh ARF, dalam
rangka menciptakan dialog keamanan, dilakukan melalui kerja sama militer yang didasarkan
atas dasar adanya komunikasi, transparansi, pembatasan (limitation) dan verifikasi (Tan, 2014).
Hal tersebut perlu diimplementasikan dalam program-program, antara lain kerja sama dalam
pengawasan senjata yang dipakai di lapangan dan kerja sama dalam perjanjian non-proliferasi;
transparansi terhadap kekuatan militer yang dimilikinya atau yang digunakannya dengan
mempublikasikan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pertahanan
dan keamanan; kegiatan-kegiatan bersama seperti latihan militer bersama, kursus-kursus
pelatihan, saling mengunjungi fasilitas-fasilitas militer dan observasi pelatihan-pelatihan di
antara mereka. Peran ini yang harus dilakukan oleh ARF dalam menyikapi isu peningkatan
kekuatan militer di kawasan (Tan, 2014, p. 19).

8) Konsep Preventive Diplomacy
Diplomasi preventif ada atau muncul setelah perang dingin atau diawal abad ke-20.
Diplomasi ini banyak dilakukan oleh negara-negara dunia ketiga yakni negara yang merdeka
dan diakui kedaulatannya setelah perang dingin, dan dilakukan untuk mencegah berbagai
konflik yang berpotensi perang senjata. Diplomasi preventif secara umum digunakan untuk
mencegah keterlibatan negara-negara super power atau negara-negara besar dalam sebuah
konflik lokal maupun regional, karena negara-negara yang sedang berkonflik ingin
menyeleseikan masalahnya secara mandiri.
Diplomasi preventif dipandang sebagai upaya-upaya pihak ketiga untuk meredam
sengketa sebelum menjadi kekerasan (Roskin & Berry, 1990). Selain itu diplomasi preventif
merujuk pada inisiatif diplomatik yang diambil untuk membujuk pihak-pihak yang memiliki
potensi untuk berperang agar tidak terlibat dalam permusuhan (Brown & Snow, 2000, pp. 5657). Dari pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengungkapkan bahwa definisi dari
diplomasi preventif ialah sebuah langkah metode resolusi perselisihan secara damai seperti
yang disebutkan dalam Artikel 33 piagam PBB yang diterapkan sebelum perselisihan melewati
ambang batas untuk memicu konflik. menurut PBB diplomasi preventif juga merupakan
tindakan mencegah sengketa agar tidak muncul, untuk mencegah sengketa yang ada dari
kemungkinan semakin meningkat menjadi konflik dan untuk membatasi penyebaran konflik
apabila telah terjadi.
Selanjutnya dalam diplomasi preventif terdapat 3 formula dalam menjaga perdamaian:
peacemaking merupakan tindakan penegakan kembali perdamaian pasca konflik yang meliputi
pembentukan perdamaian dengan cara penyeleseian sengketa melalui konsolidasi, mediasi dan
arbritasi. Peacekeeping, merupakan tindakan penjagaan perdamaian agar tidak pecah kembali
perang terbuka antara pihak yang bertikai dengan cara penempatan tentara untuk menjaga
perdamaian di daerah konflik. Yang terakhir ialah peacebulding, merupakan kegiatan
pembangunan kembali daerah-daerah yang mengalami kehancuran akibat terjadinya konflik
(United Nations, 1993).

Bibliography
Brown, E. & Snow, D. M., 2000. International relations: the changing contours of power. New Jersey:
Longman.
Dunne, T. & Schmidt, B. C., 2001. Realism. In: J. Baylis & S. Smith, eds. The Globalization of World
Politics: An introduction to international relations. New York: Oxford University Press, pp. 141-161.
Emmers, R., 2003. Cooperative security and the balance of power in ASEAN and ARF. London:
RoutledgeCurzon.
Frazier, D. & Stewart-Ingersoll, R., 2010. Regional powers and security: A framework for
understanding order within regional security complexes. European Journal of International Relations,
XVI(4), pp. 731-753.
Holsti, K. J., 1967. International Politics: A Framework for Analysis. Englewood Cliffs: Prentince-Hall.
Jackson, R. & Sorensen, G., 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford
University Press.
Jervis, R., 1978. Cooperation Under the Security Dillema. World Politics, XXX(2), pp. 167-214.
Keohane, R. O., 1984. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy. New
Jersey: Princeton University Press.
Legro, J. W. & Moravcsik, A., 1999. Is Anybody Still a Realist?. International Security, XXIV(2), pp. 555.
Mearsheimer, J. J., 2007. Structural Realism. In: T. Dunne, M. Kurki & S. Smith, eds. International
Relations Theories: Discipline and Diversity. New York: Oxford University Press, pp. 72-88.
Roskin, M. & Berry, N. O., 1990. IR: the new world of international relations. New Jersey: Prentice
Hall.
Rudy, T. M., 2002. Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin.
Bandung: Refika Aditama.
Sheehan, M., 1996. The Balance of Power: History and Theory. New York: Routledge Publishing.
Tan, A. T., 2014. The Arms Race in Asia: Trend, Causes and Implications. New York: Routledge.
United Nations, 1993. An agenda for peace: preventive diplomacy, peacemaking and peace, New
York: United Nations.
Walt, S. M., 1985. Alliance Formation and The Balance of World Power. International Security, IX(4),
pp. 3-43.
Waltz, K. N., 1979. Theory of International Politics. Michigan: McGraw-Hill.
Wezeman, S. T. & Wezeman, P. D., 2014. Trends in International Arms Transfer, 2013, Stockholm:
Stockholm International Peace Research Institute.
Wohlforth, W. C., 2008. Realism and Foreign Policy. In: S. Smith, A. Hadfield & T. Dunne, eds. Foreign
Policy: Theories, Actors, Cases. New York: Oxford University Press, pp. 30-47.