ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL PEMERINTAH K

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL
PEMERINTAH KOTA LUBUKLINGGAU
DALAM MENUNJANG PENGUATAN OTONOMI DAERAH
( M. Fadhillah Harnawansyah, S.IP, M.Si )
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otonomi Daerah telah dilaksanakan secara luas dan nyata di Indonesia
sejak disahkannya Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Otonomi Daerah dinilai sebagai
salah satu solusi nyata menuju tatanan pengelolaan pemerintahan yang lebih
baik, karena pada dasarnya substansi dari Otonomi Daerah adalah untuk
mengedepankan prinsip-prinsip desentralisasi dan pemberdayaan daerah,
yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian sistem manajemen daerah
dan pelayanan publik (public service).
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai
suatu strategi yang memiliki tujuan ganda. Pertama, pemberian otonomi
daerah merupakan strategi untuk merespon tuntutan masyarakat daerah
terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power, distribution of
income dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, daerah

dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah
dalam rangka memperkokoh perekonomian nas ional untuk
menghadapi era globalisasi (Mardiasmo, 2002:25).
Selanjutnya Suparmoko mengemukakan bahwa untuk mengatasi
kelemahan sistem desentralisasi tersebut maka, muncullah ide desentralisasi/
otonomi daerah, tujuan kebijakan desentralisasi tersebut adalah :
a Mewujudkan keadilan antara kemampuan dan hak daerah,
b. Peningkatan PAD dan pengurangan subsidi dari Pemerintah Pusat.
c. Mendorong pembangunan daerah sesuai dengan aspirasi masing- ma
sing-masing daerah.
Daerah otonom di Indonesia diberikan kewenangan yang luas,
kewenangan yang dimaksud adalah merencanakan dan mengalokasikan dana
yang diperoleh untuk penyelenggaraan pembangunan sesuai kebutuhan
dengan memanfaatkan sumber daya daerah. Artinya Pemerintah Daerah harus
m em p r i or it as ka n
k eb ut uh a n
ya n g
p en t i n g
u nt uk
m em a cu

perekonomian sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Kota Lubuklinggau telah memenuhi syarat sebagaimana yang telah
disebutkan untuk pemekaran daerah. Maka, berdasarkan UndangUndang Nomor. 7 Tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001 tentang
Pembentukan Kota Lubuklinggau, maka statusnya telah ditingkatkan menjadi
Pemerintah Kota Lubuklinggau dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia pada tanggal 17 Oktober 2001 di Jakarta,
sebelumnya adalah Kota Administratif Lubuklinggau berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1982 yang
merupakan bagian dari Kabupaten Musi Rawas.
Pemerintah Kota Lubuklinggau sebagai daerah otonom
mempunyai kewenangan dan tanggung jawab memberdayakan potensi
daerah menurut sendiri berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi
masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam rangka
menciptakan pemerintahan yang baik (good governance).
Selanjutnya infrormasi mengenai perbandingan jumlah PAD dengan Dana
Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam Kota Lubuklinggau dapat dilihat pada

tabel berikut:

No


Tabel 1
Perbandingan Jumlah PAD dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan
Sumber Daya Alam Kota Lubuklinggau Tahun 2007-2011
Dana Bagi Hasil
Prosentase PAD thd
Dana
Bagi Hasil (%)
Tahun
PAD
Pajak
22,23

1

2007

15.779.358.543

70.979.496.765


2

2008

20.362.156.000

88.585.232.368

3

2009

21.334.268.112

110.535.229.827

19,30

4.


2010

29.495.736.203

158.796.042.964

18,57

5.

2011

38.883.972.119

167.310.042.788

23,24

22,99


Sumber : Sekretariat Daerah Bagian Keuangan Kota Lubuklinggau

Tabel 1 menunjukkan bahwa sumber penerimaan dari bagi hasil lebih
besar dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Artinya, Pemerintah
Pusat masih mendominasi sumber-sumber penerimaan kepada daerah,
dimana kemampuan PAD selama 5 tahun masih dibawah 25%. Dengan
demikian sumbangan PAD yang bersumber dari semua pemanfaatan potensi
yang ada di kota Lubuklinggau terhadap APBD hanya sekititar 10,87%
Selanjutnya informasi mengenai perbandingan jumlah DAU dan DAK
dapat dilihat pada tabel berikut:

NTahun

Tabel 2
Perbandingan Jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) dengan
Dana Alokasi Khusus (DAK) Kota Lubuklinggau Tahun 2007-2011
Total Dana Transfer
DAU
DAK


o
1
2007

192.905.890.800

15.328.000.000

208.233.890.800

2 2008

210.989.638.000

25.045.000.000

236.034.638.000

3 2009


207.016.530.000

39.355.000.000

246.371.530.000

4 2010

209.945.644.000

19.317.300.000

229.262.944.000

5 2011

267.774.782.000

26.693.100.000


294.467.882.000

Sumber : Sekretariat Daerah Bagian Keuangan Kota Lubuklinggau

Tabel 2 menunjukkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAU) lebih besar
setiap tahunnya dibandingkan dengan Dana Alokasi Khusus (DAK). Hal ini
menunjukkan Pemerintah Pusat mendesentralisasikan kewenangan terhadap
Pemerintah Daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri, sehingga daerah
dapat menentukan sendiri kebutuhan yang harus diprioritaskan terlebih
dahulu.
Berdasarkan informasi tersebut, penulis tertarik untuk meneliti
kemandirian keuangan daerah Kota Lubuklinggau dengan judul penelitian
adalah "Analisis Kemandirian Keuangan Daerah di Kota Lubuklinggau.Dalam
Menunjang Penguatan Otonomi Daerah"
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Masalah yang berhasil diidentifikasi oleh peneliti yaitu :
a.
Kota Lubuklinggau mempunyai potensi dibidang

pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, perindustrian,
perdagangan dan jasa namun kontribusinya terhadap PAD masih

sangat rendah.
Sumber penerimaan dari bagi hasil jauh lebih besar
dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah. Hal ini menunjukkan
bahwa Pemerintah pusat lebih dominan dalam mengelola sumber
penerimaan sehingga daerah belum mandiri dalam mengurus rumah
tangganya sendiri.
c.
Sebagian besar dana yang diterima oleh Pemeritah Kota
Lubuk Linggau sangat tergantung dari block grant yang berasal dari
pusat.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah diidentifikasi, maka
masalah penelitian adalah:
1. Bagaimanakah Kemandirian fiskal Kota Lubuklinggau ditinjau dari
aspek desentralisasi fiskal?
2. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kemandirian
tersebut?

b.

1.3 . Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk :
1. Mengetahui tingkat Kemandirian Keuangan Daerah di Kota
Lubuklinggau dan
2. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kemandirian
tersebut.
Secara khusus penelitan ini bertujuan untuk mengetahui:
a. Apakah pembentukan kota Lubuklinggau sebagai daerah otonom
yang terpisah dari Kabupaten Musi Rawas telah dikaji dari aspek
fiskal?
b. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kemandirian fiskal
pemerintah kota Lubuklinggau?
1.4 . Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dan
kontribusi yang nyata bagi perkembangan Ilmu Pemerintahan terutama yang
berkaitan dengan Keuangan Daerah/ Negara dan kebijakan publik.
2. Secara Praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi
bagi Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kota Lubuklinggau dan Dinas
Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kota Lubuklinggau
pelaksana desentralisasi fiskal dalam mengelola keuangan daerah untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan secara mandiri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Pemerintahan Indonesia
2.1.1 Pemisahan Kekuasaan.
Keinginan untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan Indonesia menuju
Indonesia yang lebih baik, telah membawa bangsa Indonesia pada keinginan
untuk mengamandemen UUD 1945. Secara akademis gagasan agar UUD 1945
diamandemen sebenarnya telah lama muncul yang dapat dijumpai dalam
berbagai publikasi. Namun sebagai bagian dari agenda politik gagasan ini baru
memperoleh momentumnya setelah jatuhnya rezim orde baru pada bulan Mei
1998.
Demikian pula dengan perubahan yang berkaitan dengan kekuasan

Presiden dan DPR, perubahan pertama UUD 1945 terhadap Pasal 5 dan Pasal
20 dipandang sebagai permulaan terjadinya ”pergeseran” executive heavy ke
arah legislative heavy. Perubahan pasal-pasal ini memindahkan titik berat
kekuasaan legeslatif Nasional yang semula berada di tangan Presiden, beralih
ketangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Perubahan lain mengenai fungsi dan hak lembaga DPR serta hak
anggota DPR yang diatur dalam pasal 20A, berbunyi antara lain sebagai berikut:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislatif, fungsi angaran, dan
fungsi pengawasan. (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur
dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak nengajukan pertanyaan, menyampaikan usul
dan pendapat, serta hak imunitas. Ketentuan ini dimasudkan untuk menjadikan
DPR berfungsi secara optimal sebagai lembaga perwakilan rakyat sekaligus
memperkokoh pelaksanaan checks and balances oleh DPR.
2. 2.2 Sistem Pemerintahan di Indonesia.
Selain itu terdapat pula ketentuan-ketentuan lain yang tidak mungkin
terlepas dari Presiden, seperti ketentuan tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, ketentuan yang mengatur wewenang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, undangundang organik, dan lain sebagainya.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945
(sebelum perubahan), yaitu disatu pihak Presiden sebagai penyelenggara
pemerintahan (presidensil) dan dipihak lain Presiden bertanggungjawab kepada
MPR (badan perwakilan). Sri Soemantri menyatakan bahwa sistem
pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 memperlihatkan
sekaligus segi-segi sistem pemerintahan presidensil dan sistem pemerintahan
parlementer atau sistem campuran.
2.2 Keuangan Daerah
Keuangan daerah merupakan bagian integral dari keuangan negara dalam pengalokasian sumber-sumber ekonomi, pemerataan hasil-hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi guna stabilitas sosial politik. Peranan
keuangan daerah menjadi semakin penting karena adanya keterbatasan dana
yang dapat dialihkan ke daerah berupa subsidi dan bantuan. Peranan keuangan
daerah akan dapat meningkatkan kesiapan daerah untuk mendorong
terwujudnya otonomi daerah yang lebih nyata dan bertanggungjawab.
Selanjutnya ada empat kriteria untuk menjamin sistem keuangan pusat
dan daerah yang baik. Adapun keempat kriteria tersebut adalah Pertama, harus
memberikan pembagian kewenangan yang rasional dari berbagai tingkat
pemerintahan mengenai penggalian sumber dana pemerintah dan kewenangan
penggunaannya. Kedua, menyajikan suatu bagian yang memadai dari sumbersumber dana masyarakat secara keseluruhan untuk membiayai pelaksanaan
fungsi-fungsi penyediaan pelayanan dan pembangunan yang diselenggarakan
pemerintah daerah. Ketiga, sejauh mungkin membagi pengeluaran pemerintah
secara adil antar daerah-daerah, atau sekurang-kurangnya memberikan prioritas
pada pemerataan pelayanan kebutuhan dasar tertentu. Keempat, pajak dan
retribusi yang dikenakan pemerintah daerah harus sejalan dengan retribusi yang
adil atas beban keseluruhan dan pengeluaran pemerintah dalam masyarakat
(Hamid dalam Saragih, 2008: 16).
2. 3 Desentralisasi Fiskal
Analisis keuangan adalah suatu teknik pembahasan yang mengutamakan
pengkajian / penela’ahan secara mendalam dengan cara menguraikan aspekaspek penerimaan daerah baik yang berasal dari pendapatan a s l i
d a e r a h ( PA D ) m a u p u n b a n t u a n d a r i P e m e r i n t a h P u s a t d a n

Provinsi untuk mengetahui peranannya masing-masing terhadap kemandirian
keuangan daerah. Terdapat banyak Pengertian desentralisasi fiskal menurut para
ahli, antara lain menurut Kadjatmiko (dalam Halim, 2007:193) mengemukakan
Desentralisasi fiskal mengandung makna bahwa untuk mendukung
penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada
daerah.
2. 4

Kemandirian
Kemandirian
menurut
Barnadib
(1982),
meliputi
"Perilaku
mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai
rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan
orang lain." Kesimpulannya bahwa kemandirian adalah suatu sikap untuk
mandiri dalam menghadapi situasi dan kondisi di Iingkungan tanpa
melepaskan diri dari ketergantungan dengan orang lain, pada akhirnya
akan mampu berpikir dan bertindak sendiri.
2.5

Kemandirian fiskal Daerah
Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tidak dapat dipisahkan dari
cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang finansial, kemampuan
keuangan ini salah satu indikator guna mengukur kemandirian fiskal daerah
otonom. “Faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat
kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya." (Kaho, 2006:138).
Menurut Hersey dan Blanchard dalam Halim (2004:189) Sebagai
pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemampuan daerah (dari sisi
keuangan). Mengklasifikasikan tingkat kemandirian tersebut sebagai berikut:
Ta b e l 4
Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah
Kemampuan Daerah

Kemandirian

Pola Hubungan

Rendah Sekali

0%-25%

Instruktif

Rendah

25%-50%

Konsultatif

Sedang

50%-75%

Partisipatif

Tinggi

75%-100%

Delegatif

Sumber : Hersey dan Blanchard dalam Halim 2004:189

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Perspektif Pendekatan Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara dari sekian cara yang pernah
ditempuh, dilakukan dalam mencapai kebenaran. mendapatkan kebenaran itu
melalui metode ilmiah (Subana,2005:10). Penelitian ini menggunakan
pendekatan deskriptif kuantitatif, dimana peneliti bermaksud menggambarkan
dan menganalisis kemandirian fiskal pemerintah Kota Lubuklinggau. Untuk
mempertajam analisis, maka digali data-data kualitatif melalui tehknik wawancara
mendalam.
3.2 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian pada dasarnya untuk memberi batasan pada
penelitian. Sehubungan dengan itu maka, ruang lingkup penelitian ini adalah
organisasi, yaitu Pemerintah Kota Lubuklinggau itu sendiri dalam hal ini Dinas
Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah dan Bagian Keuangan
Sekretariat Daerah Kota Lubuklinggau.
3.3 Variabel Penelitian

3.3.1 Klasifikasi variabel
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, tanpa
menghubungkan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain. Penelitian
ini hanya memiliki satu variabel mandiri yaitu Kemandirian fiskal Daerah di Kota
Lubuklinggau. Sedangkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lebih didasarkan
pada analisa-analisa yang berupa justifikasi.
3.4 Defenisi Konseptual
Defenisi konseptual adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang
m enjadi pusat perhat ian ilm u atau abstr aksi dari sejum lah
karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu
(Singarimbun, 2006: 17).
Berdasarkan pengertian defenisi konsep tersebut, maka defenisi
konsep ini sebagai berikut :
a. Kemandirian adalah suatu sikap untuk mandiri dalam menghadapi
situasi dan kondisi di lingkungan tanpa melepaskan diri dari
ketergantungan dengan orang lain, pada akhirnya akan mampu
berpikir dan bertindak sendiri dalam mengelola keuangannya.
b. Keuangan daerah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan yang dapat dinilai dengan uang
termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
c. Kemandirian fiskal Daerah adalah kemampuan Pemerintah Daerah
dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat.
d. Analisis Kemandirian fiskal Daerah di Kota Lubuklinggau adalah
pengkajian/penelahaan secara mendalam dengan cara menguraikan
aspek-aspek penerimaan daerah untuk mengetahui peranannya
masing-masing terhadap kemandirian fiskal daerah dalam konteks
tidak melepaskan diri seutuhnya dari tanggung jawab Pemerintah
Pusat
dalam
membiayai
sendiri
kegiatan
pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
3.5 Defenisi Operasional
Singarimbun dalam bukunya metode penelitian survei (1995: 46),
mengartikan defenisi operasional sebagai semacam petunjuk pelaksanaan
bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Analisis Kemandirian fiskal Daerah
di Kota Lubuklinggau ini diukur dengan menggunakan indikator-indikator yang
dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD.
Indikator tersebut menurut Halim (2004:128 – 135) antara lain sebagai
berikut,:
1. Rasio Kemandirian fiskal Daerah
Rasio kemandirian menunjukkan tingkat kemampuan Pemerintah Daerah
untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat.
Selanjutnya dikatakan oleh Halim rasio kemandirian dapat
diformulasikan sebagai berikut:
a. Rasio kemandirian fiskal Daerah
PAD
Rasio Kemandirian =
Bantuan Pemerintah Pusat/propinsi dan pinjaman
b. Rasio Efisiensi
Biaya yang digunakan untuk memungut PAD

Rasio Efisiensi =
Realisasi Penerimaan PAD
c. Rasio Belanja Rutin terhadap APBD
Total Belanja Rutin
R.Belanja Rutin terhadap APBD =
Total APBD
d. Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD
Total Belanja Pembangunan
R.Belanja Pembangunan terhadap APBD =
Total APBD

Rasio ini menggambarkan tingkat ketergantungan daerah
terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian berarti tingkat
ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama Pemerintah
Pusat Dan Propinsi) semakin rendah. Rasio kemandirian juga menunjukkan
tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Artinya, semakin
tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi pula partisipasi masyarakat dalam
membayar pajak dan retribusi daerah.
2. Kontribusi Pendapatan Asli daerah terhadap Kemandirian fiskal
Daerah yang dapat diukur dengan :
1) Jenis Penerimaan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah.
2) Realisasi penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah.
3) Jumlah atau persentase dari pendapatan Asli Daerah terhadap total
penerimaan daerah.
3. Kontribusi Bantuan Pemerintah terhadap Kemandirian fiskal Daerah
dapat diukur dengan :
1) Jenis penerimaan dari Bantuan Pemerintah Propinsi dan Bantuan
Pemerintah Pusat.
2) Realisasi Penerimaan dari Bantuan Pemerintah.
3) Jumlah atau persentase dari Bantuan Pemerintah terhadap
total penerimaan daerah.
4. Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur seberapa besar
kemampuan Pemerintah Daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan
keberhasilannya yang telah dicapai dari satu periode ke periode berikutnya.
Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen
penerimaan (PAD dan total pendapatan) dan pengeluaran (belanja rutin
dan belanja pembangunan).
3.6 Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan sumber datanya penelitian ini memiliki dua sumber data,
antara lain:
A . Data Primer berupa hasil kegiatan wawancara dengan key informan.
B . Data Sekunder yaitu yang didapat dari dokumen dan studi kepustakaan..
3.7 Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari key informants. Ari Kunto
(2002: 122) menjelaskan bahwa Informan dapat disamakan dengan partisipan
penelitian, yaitu merupakan subyek penelitian dimana dari mereka data
penelitian diperoleh.
Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini peneliti mengambil
data melalui kegiatan wawancara dengan empat orang narasumber yaitu Kepala
Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah dan Bagian Keuangan
Sekretariat Daerah Kota Lubuklinggau, Kasubbag Perencanaan dan Bendahara
Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah dan Ketua Komisi

Bidang Anggaran dan pembangunan DPRD Kota Lubuklinggau.
3.7.1 Tehnik wawancara mendalam (indepth interview).
Gulo (2002 : 119) menjelaskan bahwa tehnik wawancara yang dimaksud
pada penelitian ini adalah tehnik yang digunakan untuk memperoleh data dengan
melakukan kegiatan tanya jawab atas sejumlah pertanyaan baik secara lisan dan
dijawab secara lisan pula. Kegiatan ini merupakan bentuk komunikasi atau dapat
dikatakan sebagai dialog langsung antara peneliti dengan narasumber untuk
memperoleh data dan informasi yang berkenaan masalah yang akan diteliti.
3.7.2. Dokumentasi
Metode dokumentasi yang asal katanya dari dokumen yang berarti
barang-barang tertulis dan didalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti
menyelidiki benda-benda tertulis atau dengan kata lain merupakan catatan
tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa pada waktu yang lalu. Bendabenda tertulis tersebut dapat berupa buku-buku, majalah, dokumen, peraturanperaturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya (Gulo, 2002: 123,
Arikunto, 2002: 135).
BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

4.1

GAMBARAN UMUM KOTA LUBUKLINGGAU
Tahun 1929 status Lubuklinggau adalah sebagai Ibu Kota Marga Sindang
Kelingi Ilir, dibawah Onder District Musi Ulu. Onder District Musi Ulu sendiri ibu
kotanya adalah Muara Beliti. Tahun 1933 Ibukota Onder District Musi Ulu
dipindah dari Muara Beliti ke Lubuklinggau. Tahun 1942-1945 Lubuklinggau
menjadi Ibukota Kewedanaan Musi Ulu dan dilanjutkan setelah kemerdekaan.
Pada waktu Clash I tahun 1947, Lubuklinggau dijadikan Ibukota Pemerintahan
Propinsi Sumatera Bagian Selatan. Tahun 1948 Lubuklinggau menjadi Ibukota
Kabupaten Musi Ulu Rawas dan tetap sebagai Ibukota Keresidenan Palembang.
Pada tahun 1956 Lubuklinggau menjadi Ibukota Daerah Swatantra Tingkat II
Musi Rawas. Tahun 1981 dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 38 tanggal 30 Oktober 1981 Lubuklinggau ditetapkan statusnya sebagai
Kota Administratif. Tahun 2001 dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001 Lubuklinggau statusnya ditingkatkan
menjadi Kota. Pada tanggal 17 Oktober 2001 Kota Lubuklinggau diresmikan
menjadi Daerah Otonom.
Untuk menyusun dan menentukan arah pembangunan tahunan kota
Lubuklinggau terlebih dahulu dilakukan identifikasi permasalahan-permasalahan
maupun isu-isu strategis yang berkembang di masyarakat luas. Tentunya
permasalahan tersebut sangatlah kompleks dan menuntut instansi pemerintah
untuk berpikir, menyusun, merumuskan serta melaksanakan program kerja untuk
menyelesaikan serta mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Adapun
permasalahan/ isu-isu strategis yang berkembang saat ini adalah :
a.
Masih relatif rendahnya kualitas SDM
b.
Masih terbatasnya pusat bisnis, perdagangan, industri dan jasa secara
terpadu.
c.
Masih terjadinya kesenjangan antar wilayah dalam kota, terbatasnya
kapasitas infrastruktur dasar perkotaan dan belum optimalnya pelaksanaan
pembangunan yang berwawasan lingkungan
d. Masih tingginya angka kemiskinan, pengangguran,adanya kesenjangan
sosial ekonomi masyarakat dan masih
relatif rendahnya partisipasi
masyarakat dalam pembangunan.

e.

Masih relatif lemahnya manajemen dan kualitas pelayanan publik karena
lemahnya kapasitas SDM dalam menerapkan prinsip good governance dan
terbatasnya penggunaan teknologi informasi komunikasi dalam memberikan
pelayanan publik.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Bab ini akan menjelaskan hasil penelitian dan analisis hasil penelitian
yang diperoleh peneliti dari lapangan mengenai Kemandirian Fiskal Daerah di
Kota Lubuklinggau. Data yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti melalui
kegiatan wawancara serta dengan mengamati langsung pada obyek penelitian.
Kegiatan wawancara dilaksanakan pada tanggal 31 Mei sampai dengan 3 Juni
2012 dengan informan yang telah ditetapkan. Informan yang berhasil ditemui
oleh peneliti.
Berdasarkan hasil penelitian penulis seperti yang telah diuraikan pada
Bab sebelumnya, terdapat permasalahan pokok Kemandirian Fiskal Daerah di
Kota Lubuklinggau yaitu:
a. Kemandirian Fiskal Daerah
b. Kontribusi Pendapatan Asli daerah terhadap Kemandirian Fiskal Daerah
c. Kontribusi Bantuan Pemerintah terhadap Kemandirian Fiskal Daerah
d. Rasio Pertumbuhan.
e. Usa ha yan g dil akukan Pem er int ah Kot a Lubuk ling gau dalam
meningkatkan Kemandirian Fiskal Daerah.
5.1 Hasil Penelitian
Penelitian tentang Kemandirian Fiskal Daerah di Kota Lubuklinggau ini
dianalisa oleh penulis dengan menggunakan indikator-indikator :
5.1.1 Kemandirian Fiskal Daerah
Selanjutnya kemampuan keuangan daerah dalam melaksanakan otonomi
daerah dapat dilihat dari rasio kemandirian Fiskal daerah.
Kepala DPPKAD Kota Linggau menjelaskan bahwa
“Rasio kemandirian menggambarkan tingkat kemampuan pemerintah daerah
untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
kepada masyarakat. Pembiayaan secara sendiri penyelenggaraan Pemerintah
Daerah dengan meningkatkan PAD dan mengurangi ketergantungan atas
bantuan pemerintah. Rasio kemandirian Fiskal daerah dapat dianalisis dengan
membandingkan rasio PAD terhadap penerimaan daerah yang berasal dari
sumber lain. Kemandirian Fiskal ditinjau dari sudut formula atau perhitungan
DAU dari tahun ke tahun terus menurun maka daerah tersebut dianggap sudah
semakin menuju kemandirian dalam kemampuan Fiskalnya. Sedangkan untuk
kota Lubuklinggau dalam 4 tahun terakhir cenderung meningkat, maka hal ini
menunjukkan kemampuan Fiskal pemerintah kota Lubuklinggau dapat dikatakan
belum mampu atau belum mandiri:. (wawancara dengan Bapak Drs. Zulkifliy
Idris, S.Sos, MM, tanggal 31 Mei 2012)

Berdasarkaan kutipan wawancara tersebut maka dapat diketahui bahwa
rasio kemandirian menggambarkan tingkat kemampuan pemerintah daerah untuk
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat. Pembiayaan secara sendiri penyelenggaraan pemerintah daerah
dengan meningkatkan PAD dan mengurangi ketergantungan atas bantuan
pemerintah.
Rasio kemandirian Fiskal daerah dapat dianalisis dengan
membandingkan rasio PAD terhadap Penerimaan daerah yang berasal dari
sumber lain. Sehingga rasio kemandirian dapat diformulasikan sebagai berikut:
PAD
RKFD =

X 100%
(Total Penerimaan Daerah - PAD )

15.779.358.543
RKFD Tahun 2007 =

X 100% = 4,77%
330.542.508.510
20.362.155.825

RKFD Tahun 2008 =

X 100%

= 5,55%

X 100%

= 4,30%

X 100%

=3,50 %

X 100%

= 5,56%

367.004.209.444
16.038.425.224
RKFD Tahun 2009 =
372.659.150.101
16.386.209.989
RKFD Tahun 2010 =
468.149.444.180
34.858.506.706
RKFD Tahun 2011 =
592.481.820.845

S et el a h m en gh i t u ng Ra s io K em an d ir ia n Fi sk a l D a er ah Kota
Lubuklinggau Tahun 2007-2011, maka dapat diketahui rata-rata Rasio
Kemandirian Fiskal Daerah Kota Lubuklinggau dari Tahun 2007-2011. Untuk
melihat lebih jelas, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 14
Kemandirian Fiskal Daerah Kota Lubuklinggau Tahun 2007-2011
Tahun
PAD (Rp)
Penerimaan di
RKFD (%)
Pola Hub.
Luar PAD (Rp)
2007
15.779.358.543
330.542.508.509,38
4,77
Instruktif
2008
20.362.155.825
367.004.209.444,00
5,55
Instruktif
2009
16.038.425.224
361.665.897.800,81
4,30
Instruktif
2010
16.386.209.989
467.125.169.180,00
3,50
Instruktif
2011
34.858.506.707
565.836.006.713,00
5,56
Instruktif
Rata-rata
4,74
Instruktif
Sumber Diolah dari Bagian Keuangan Setda Kota Lubuklinggau Tahun 2011

Tabel 14 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari Tahun 2007 2008 yaitu kemandiriannya dari 4,49% menjadi 5.55 %. Hal ini disebabkan
peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang berasal dari Pajak
Daerah. Peningkatan PAD dari Tahun 2007-2008 cukup besar, yaitu sebesar
4.582.797.282,00
Selanjutnya pada Tahun 2009 Kemandirian Fiskal Daerah Kota
Lubuklinggau mengalami penurunan. Sekda Kota Linggau menjelaskan bahwa:
” kemandirian Fiskal dilihat dari sudut pandang PAD, dimana peningkatan PAD
merupakan tolok ukur kemandirian Fiskal, namun kendalanya masih ada
kewenangan Fiskal yang masih belum diserahkan sepenuhnya oleh pemerintah
pusat dan pemerintah propinsi sehingga peningkatan PAD masih sulit
meningkat sesuai amanat otonomi daerah yang tercermin di dalam APBD.
Secara jujur memang PAD kita masih belum mampu menyumbang APBD yang
sehat dan mandiri, kaitannya dengan otonomi daerah memang pemekaran
wilayah masih kuat didorong/didasarkan pada pertimbangan politis semata
terhadap daerah, namun walaupun kota Lubuklinggau tidak didukung oleh
Sumber Daya Alam namun prioritas pembangunan dibidang Jasa,
Perdagangan dan Perindustrian menjadi harapan dapat meningkatkan
perekonomian daerah dan PAD kedepan dalam menigkatkan kemandirian
Fiskal kota Lubuklinggau” (Wawancara dengan Bapak Drs. H. Akisropi Ayub,
MSi. Tanggal 2 Juni 2012)

Berdasarkan kutipan wawancara tersebut maka dapat diketahui
bahwa pemerintah Kota Lubuklinggau mengacu pada Undang-undang No. 33

Tahun 2004. Didalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 yang
menyatakan bahwa, Pasal (7) dalam mengupayakan PAD daerah, daerah
dilarang:
a) menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi; dan
b) menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang
menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa
antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor.
Sehingga perlu upaya yang lebih konsisten dan tidak membebani
masyarakat serta Negara tidak dirugikan dalam melihat potensi pendapatan
daerah yang berasal dari pajak daerah.
Sektor retribusi daerah ini sebenarnya potensial sekali sebagai sumber
keuangan daerah, apabila daerah mengupayakan secara maksimal jasa
yang diperlukan oleh masyarakat. Sekda Kota Lubuklinggau juga
menjelaskan bahwa pembatas utama bagi sektor retribusi adalah terletak pada
ada atau tidaknya jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Saat ini
sumber retribusi yang terbesar disumbang oleh Badan Layanan Umum Daerah,
yang terdiri dari RS Aisyah, Bandiklat, Dishub dan Dinas Pasar.
Setelah kita memperhatikan dari tabel tersebut maka dapat diketahui
bahwa Bantuan Pemerintah masih memberikan kontribusi yang sangat besar
Bagi Keuangan Daerah Kota Lubuklinggau. Bahkan dari tahun 2007-2011 ratarata penerimaan bantuan dari Pemerintah baik Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Propinsi berada di kisaran 90% atau nyaris mencapai
angka 100%. I n t e n s i f i k a s i P e n d a p a t a n A s l i D a e r a h s u a t u t i n d a k a n
u n t u k meningkatkan penerimaan daerah yang telah ada dengan cara
pemungutan secara intensif, profesional dan bertanggung jawab. Dalam upaya
intensifikasi akan mencakup aspek kelembagaan, ketatalaksanaan dan
aspek personalianya.
a.

Pembahasan Hasil Penelitian
Analisis Kemandirian Fiskal Daerah di Kota Lubuklinggau ini diukur
dengan menggunakan indikator sebagai berikut:
1. Rasio Kemandirian Fiskal Daerah
Berdasarkan hasil temuan penelitian maka dapat diketahui bahwa rasio
Kemandirian Fiskal Daerah rata-rata sebesar 4,74%. Hal ini berarti rasio
Kemandirian Fiskal Daerah di Kota Lubuklinggau selama periode 20072011 sangat rendah sekali atau bersifat instruktif. Pola hubungan
instruktif artinya peranan Pemerintah Pusat lebih dominan daripada
kemandirian Pemerintah Daerah (daerah belum mampu sepenuhnya
melaksanakan otonomi daerah secara finansial). Sumber keuangan
yang dominan pada Kota Lubuklinggau ini masih berasal dari Pemerintah
Pusat.
2.Kontribusi Pendapatan Asli daerah terhadap Kemandirian Fiskal
Daerah
Kontribusi Pendapatan Asli daerah terhadap Kemandirian Fiskal
Daerah berdasarkan hasil temuan penelitian maka dapat diketahui bahwa
besarnya jumlah perolehan Pendapatan Asli Daerah dapat dipengaruhi oleh
beberapa hal, salah satunya adalah tegasnya penegakan pelaksanaan
peraturan-peraturan yang berlaku mengenai penarikan Pendapatan Asli
Daerah tersebut, baik itu penarikan Pajak Daerah, Retribusi Daerah atau
penerimaan pendapatan Asli daerah yang syah lainnya.
3. Kontribusi Bantuan Pemerintah terhadap Kemandirian Fiskal Daerah
Selanjutnya mengenai Kontribusi Bantuan Pemerintah terhadap
Kemandirian Fiskal Daerah diperoleh yaitu bahwa bantuan Pemerintah dalam

Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang ada di Kota Lubuklinggau terdiri
dari Bantuan Pemerintah Pusat dan Bantuan Pemerintah Propinsi. Adapun jenis
Bantuan Pemerintah yang ada di kota Lubuklinggau yaitu Bantuan
Pemerintahan Pusat terdiri dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sedangkan
Bantuan Pemerintah Propinsi yaitu berasal dari Bagi Hasil Pajak Propinsi
dan Bantuan Keuangan dari Propinsi dalam hal ini adalah Propinsi Sumatera
Selatan.
Berdasakan hasil temuan penelitian maka dapat diketahui bahwa bantuan
Pemerintah masih memberikan kontribusi yang sangat besar Bagi Keuangan
Daerah Kota Lubuklinggau. Bahkan dari tahun 2007-2011 rata-rata penerimaan
bantuan dari Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Propinsi berada di kisaran 88,82% atau nyaris mencapai angka 100%. Baik
itu dilihat dari segi jumlah ataupun dan segi persentase Pendapatan
Bantuan
Pemerintah
Kota
Lubuklinggau
selalu
mengalami
peningkat an. Artinya makin jelas ter lihat bah wa masih besam ya
bantuan/sumbangan dari pemerintah pusat ataupun propinsi di dalam
struktur penerimaan pemerintah daerah Kota Lubuklinggau.
4. Rasio Pertumbuhan
Berdasarkan hasil temuan penelitian dapat diketahui bahwa
pertumbuhan APBD Kota Lubuklinggau pada Tahun Anggaran 2007-2011
menunjukkan pertumbuhan yang positif meskipun masih bersifat fluktuatif.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Lubuklinggau Tahun 2007-2011
mengalami peningkatan baik dari sisi pendapatan maupun sisi belanja.
Peningkatan dari sisi pendapatan berasal dari Pendapatan As li Daerah
(PAD) dengan rata-rata 78%, Dana Perimbangan dengan rata-rata 102%
serta Lain-lain Pendapatan yang syah.
5. Usaha Pemerintah Kota Lubuklinggau dalam meningkatkan kemandirian
Fiskal daerah
Usaha Pemerintah Kota Lubuklinggau dalam meningkatkan kemandirian
Fiskal daerah dilakukan dengan dua pola utama. Dua pola utama yang perlu
dilakukan Dinas Pendapatan dan Pengelola Aset Daerah dalam
meningkatkan PAD nya, yaitu : melalui intensifikasi PAD dan ekstensifikasi
PAD.
Jika teori tersebut dikaitkan dengan hasil penelitiaan maka dapat
diketahui bahwa rasio Kemandirian Fiskal Daerah rata-rata sebesar 4,74%. Hal
ini berarti rasio Kemandirian Fiskal Daerah di Kota Lubuklinggau selama
periode 2007-2011 sangat rendah sekali atau bersifat instruktif.
Pola hubungan instruktif artinya peranan Pemerintah Pusat lebih dominan
daripada kemandirian Pemerintah Daerah (daerah belum mampu
sepenuhnya melaksanakan otonomi daerah secara finansial). Sumber
keuangan yang dominan pada Kota Lubuklinggau ini masih berasal dari
Pemerintah Pusat.
Pemerintah Kota Lubuklinggau diharapkan mengupayakan
meningkatkan PAD secara intensif baik itu dengan sosialisasi mekanisme
pembayaran pajak daerah atau retribusi daerah, penegasan penarikan sumbersumber penerimaan daerah yang berasal dari daerah sendiri dan bagi
pelanggar yang tidak membayar Pajak Daerah atau Retribusi Daerah
dikenakan sanksi yang cukup tegas. Selain itu Pemerintah Daerah diharapkan
dapat mencari potensi kekayaan daerah lainnya yang dapat dijadikan sebagai
penerimaan daerah sehingga dapat meningkatkan kontribusi penerimaan PAD
bagi Kemandirian Fiskal Daerah dimasa yang akan datang.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil
kesimpulan bahwa kemandirian keuangan daerah Kota Lubuklinggau tahun
2007-2011masih rendah dan bantuan Pemerintah Pusat memegang peran
yang dominan dalam Keuangan Daerah Kota Lubuklinggau. Rincian
kesimpulan penelitian ini sebagai berikut :
1. Analisa Rasio Keuangan merupakan parameter yang digunakan untuk
mengukur kinerja pemerintah Kota Lubuklinggau dalam pengelolaan
keuangan daerah.
2. Kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Keuangan Pemerintah
Kota Lubuklinggau relatif sangat kecil dari tahun 2007 hingga tahun 2011.
Kontribusi PAD terhadap total Penerimaan Daerah berturut-turut sebesar
4,56%, 5,26%, 4,13%, 3,38%, 5,56%, atau rata-rata sebesar 4,58%. Hal ini
menggambarkan bahwa kontribusi PAD masih rendah dalam menunjang
kemandirian fiskal pemerintah kota Lubuklinggau.
3. Dilihat dari rata-rata Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kota
Lubuklinggau Tahun 2007-2011 yaitu 4,74%. Pemerintah Daerah Kota
Lubuklinggau cenderung memiliki ketergantungan finansial yang sangat
tinggi terhadap Pemerintah Pusat atau berpola Instruktif.
4. Kontribusi Bantuan Pemerintah terhadap total Pendapatan Daerah di
Kota Lubuklinggau relatif sangat besar sekali bahkan cenderung berkisar
di atas 80%. dari tahun 2007 sampai ke tahun 2009. Hal ini menunjukkan
bahwa Bantuan Pemerintah memberikan sumbangan/kontribusi yang masih
sangat besar terhadap total penerimaan daerah.
5. Pertumbuhan APBD Kota Lubuklinggau pada Tahun Anggaran 2007-2011
menunjukkan pertumbuhan yang positif meskipun masih bersifat
fluktuatif.
6. Usaha yang yang dilakukan untuk meningkatkan kemandirian keuangan
daerah Kota Lubuklinggau dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
a. Intensifikasi PAD dengan suatu tindakan untuk memaksimalkan
penerimaan daerah yang telah ada dengan cara pemungutan yang
lebih intensif, professional dan bertanggung jawab.
b. Ekst ensif ikasi PAD dengan car a m engga li sum ber - sum ber
pendapatan ash daerah yang baru baik dari sektor pajak
daerah/retribusi daerah maupun sektor riil selain pajak
daerah/retribusi daerah.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah diperoleh maka saran yang
dapat diberikan antara lain:
1. Secara prosedur dan program yang ada di Dinas Pendapatan, Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Lubuklinggau sudah baik.
Akan tetapi, dibutuhkan sikap yang Iebih profesional, tanggung jawab
kepada hukum dan peraturan yang berlaku dalam hal pajak dan retribusi
maupun sektor riil lainya serta kemampuan dalam memberikan pelayanan
prima kepada masyarakat untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
2.
Perlu dilakukan studi lebih lanjut berkaitan dengan usaha
ekstensifikasi Pendapatan Asli Daerah sehingga kemandirian keuangan
daerah Kota Lubuklinggau dapat lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian, ; PT. Rineka Cipta, Jakarta
Bachrul Elmi, 1999. Keuangan Pemerintah Daerah Otonomi di Indonesia, UI Press.
Jakarta
Barnadib, Sutari Imam. 1982. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis..Biro Ilmiah Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Ampel. Malang.
Bungin, Burhan. 2003.Metode Penelitian Kualitatif, PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Budiarjo, Mirriam.1992. Pengantar Ilmu Politik. Ghalia Indonesia.Jakarta
Effedi, Sofian (1999), Implementaso dan Evaluasi Kebijakan Publik. Materi Kuliah MAPUGM
Mardiasmo. 2005. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi Offset, Yogyakarta.
Dunn William, N, 1990, Analisi Kebijakan, YogyakartaL Gajah Mada University
Press,
Halim, Abdul (ed). 2004, Bunga Rampai Keuangan Daerah. UPP AMP YKPN, Yogyakarta
------------------------ 2007, Bunga Rampai Pengelolaan Keuangan Daerah, UPP AMP
YKPN Yogyakarta.
Islamy, Irfan, 2003, Prinsip Prinsip Umum Perumusan Kebijakan Negera: Jakarta: PT
Bumi aksara
Kartini,Kartono, Dali, Gulo. 1987, Kamus Lengkap Psikologi. PT Rajawali Press
Kaho,.Josep Riwu. 2006. Prospek Otonomi di Negara Indonesia, Rajawali Grafindo.
Jalarta
Keban, Jeremias. T. 1995. "Indikator Kinerja Pemerintah Daerah : Pendekatan
Manajemen dan Kebijakan”. Makalah, Seminar Sehari, Fisipol, UGM,
Yogyakarta.
Mamesah.D.J.1995, Sistem Adiministrasi Keuangan Daerah. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Manan, Bagir 2003. Lembaga Kepresidenan, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia PRESS, Yogyakarta
Marihot.P. Siahaan.2005, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, : Divisi Buku Perguruan
Tinggi PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Mu’tadin, Z. 2002. Kemandirian pada remaja.www.e-psikologi.com/remajaJakarta
Patilima, Hamid, 2005. Metode Penelitian, Teknik Pengumpulan Data dan Teknik Analisa
Data , Alfabeta, Bandung,
Samego, Indria ,Perubahan Politik dan Amandemen UUD 1945, Makalah dalam
Seminar dan Lokakarya Nasional ”Evaluasi Kritis Atas Proses dan Hasil
Amandemen UUD 1945” yang diselenggarkan Keluarga Alumni Universitas
Gajah Mada Yogyakarta, 8-10 Juli 2002).
Santoso, Amir.1992, Analisa Kebijakan PublikL Suatu Pengantar, Jurnal Ilmu Politik Vol 3.
PT Gramedia, Jakarta
Saragih,J.P.2003, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi . Penerbit
Ghalia Indonesia. Jakarta
Suparmoko, 2002, Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Penerbit
Andi, Yogyakarta
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo. Yogyakarta
Wahab, Solichin, Abdul, 2008, Analisa Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijakan Negara, PT. Bumi Aksara, Bandung
Yusuf, Slamet Effedy, Baslim, Umar. 2000. Reformasi Konstitusi Indonesia Perubahan
Pertama UUD 1945: Pustakan Satu, Jakarta.
Pertaturan-Peraturan:
Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan dan
Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 14
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.