BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN MODAL VENTURA A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Pertanggungjawaban Perusahaan Pasangan Usaha Dalam Perjanjian Pembiayaan Pola Bagi Hasil Pada Perusahaan Modal Ventura (Studi Pada Pt. Sarana Sumut Ve

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN MODAL VENTURA A. Tinjauan Umum Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

  Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

  

overeenkomst . Dalam menerjemahkan kedua istilah tersebut dalam bahasa

   Indonesia, terdapat perbedaan antar para sarjana hukum Indonesia.

  Kata “overeenkomst” diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan. Mengenai kata perjanjian ini ada beberapa pendapat yang berbeda. Menurut Wiryono Projodikoro, mengartikan perjanjian dari kata “verbintenis”, sedangkan kata “overeenkomst” diartikan dengan kata

   persetujuan.

  Sedangkan menurut R. Subekti, “verbintenis” diartikan sebagai perutangan atau perikatan, sedangkan “overeenkomst” diartikan sebagai persetujuan atau

  

  perjanjian. R. Subekti memberikan pengertian perikatan sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban 22 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1976,

  (selanjutnya disingkat R. Subekti I) hal. 3 23 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Bandung, 1981,(selanjutnya disingkat Wirjono Prodjodikoro I) hal. 11 untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling

   berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

  Menurut Abdulkadir Muhammad, perikatan adalah hubungan hukum, hubungan hukum itu timbul karena adanya peristiwa hukum yang dapat berupa

   perbuatan, kejadian, keadaan dalam lingkup harta kekayaan.

  Mengenai pengertian perjanjian ini, J. Satrio mengemukakan pendapatnya bahwa, perjanjian adalah peristiwa yang menimbulkan dan berisi ketentuan- ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak atau dengan perkataan lain bahwa

   perjanjian berisi perikatan.

  Demikian pula Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal

   sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

  Perjanjian atau perikatan, menurut Mariam Darus, adalah suatu hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam bidang harta kekayaan, dengan mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya

   wajib memenuhi prestasi itu.

25 R. Subekti , Hukum Perjanjian , PT Intermasa , Jakarta, 1985 (selanjutnya disingkat R.

  Subekti II) hal. 1 26 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 199 27 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian., PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 5 28 29 Wirjono Prodjodikoro I, Op.Cit., hal. 7 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994,

  Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dari peristiwa ini, muncul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatanya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian, adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan. Perjanjian, adalah sumber

   perikatan.

  Menurut R. Setiawan, definisi tersebut belum lengkap, karena menyebutkan perjanjian sepihak saja dan juga sangat luas karena dengan dipergunakannya perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.

  Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Menambahkan perkataan “saling mengikatkan diri” dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Sehingga, perumusannya menurut beliau menjadi, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu

   orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

  Dengan memperhatikan beberapa pengertian perjanjian sebagaimana tertera di atas terlihat bahwa perjanjian selalu melahirkan hak dan kewajiban.

  Perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum yang menimbulkan akibat hukum. Hal tersebut tidak timbul dengan sendirinya, tetapi 30 R. Subekti II, Loc.Cit. karena adanya tindakan hukum dari subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban. Jadi, perjanjian lahir sebagai akibat dari suatu proses perbuatan atau tindakan para pihak yang terkait di dalamnya. Dengan didasarkan kepada suatu persetujuan, para pihak berjanji untuk saling mengikatkan diri untuk mewujudkan tujuan tertentu. Dalam hal demikian, perjanjian selalu disandarkan pada adanya persetujuan atau kesepakatan dari para pihak. Perjanjian yang lahir dari persetujuan terjadi apabila ada suatu penawaran dari salah satu pihak yang diikuti oleh suatu penerimaan dari pihak lain. Apa yang diterima, haruslah cocok dengan apa yang ditawarkan. Ini terutama mengenai tujuan dari suatu persetujuan. Tujuan ini dapat diucapkan secara tegas (uit drukkelijk) atau dapat juga secara diam-diam

   (stilzigend).

  Setiap mengadakan hubungan hukum harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Jika kesepakatan itu tidak tercapai, maka tidak akan tercapai suatu hubungan hukum. Dalam hal ini, menurut Subekti, yang mengadakan perjanjian harus setuju mengenai hal-hal yang pokok, apa yang dikehendaki oleh pihak yang

   satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain secara timbal balik.

  Perihal hukum perjanjian sebagai termuat dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang perikatan, yang keseluruhannya terdiri atas delapan belas bab (Bab I sampai dengan Bab XVIII). Bab I sampai dengan IV mengatur tentang: I : Perikatan pada umumnya

  II : Perikatan yang lahir dari perjanjian

  III : Perikatan yang lahir dari undang-undang 32 33 Wirjono Prodjodikoro I , Op.Cit., hal. 23 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermesa, Jakarta, 1979, (selanjutnya

  IV : Mengatur tentang hapusnya perikatan Sedangkan Bab V sampai dengan Bab XVIII mengatur tentang perjanjian- perjanjian khusus yang merupakan tipe-tipe dari perjanjian-perjanjian yang selalu terjadi dalam masyarakat dan lazim disebut perjanjian bernama.

  Kalau diperhatikan dari hal perikatan dalam Buku III antara yang diatur pada Bab I sampai dengan Bab IV adalah mengatur tentang pokok-pokok perikatan, sedangkan Bab V sampai dengan Bab XVIII memuat pembahasan lebih lanjut, kadang-kadang pengulangan dari bahagian umum. Jadi bahagian umum dari Buku III tersebut pada dasarnya berlaku terhadap semua perjanjian, baik perjanjian bernama maupun yang tidak bernama. Misalnya Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur syarat-syarat sahnya perikatan, haruslah diberlakukan pada semua perjanjian yang ada dalam Bab V sampai Bab XVIII.

2. Unsur-Unsur Perjanjian

  Jika suatu perjanjian diamati dan diuraikan lebih lanjut, maka di dalam suatu perjanjian terdapat unsur-unsur yang dapat diklasifikasikan sebagai

  

  berikut:

  a. Unsur Esensialia, yaitu unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, di mana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tak mungkin ada.

  b. Unsur Naturalia, adalah unsur perjanjian yang oleh Undang-undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Di sini, unsur tersebut oleh Undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur atau menambah (regelend atau aanvullend recht).

  c. Unsur Accidentalia, adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, Undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut. Di dalam suatu perjanjian jual-beli, benda-benda pelengkap tertentu bisa dikecualikan.

  Selain unsur-unsur tersebut, ada unsur-unsur lainnya dari beberapa

  

  rumusan pengertian perjanjian, yaitu: 1) Adanya pihak-pihak

  Pihak yang dimaksudkan, adalah paling sedikit harus ada dua orang, para pihak bertindak sebagai subyek perjanjian tersebut. Subyek bisa terdiri dari manusia atau badan hukum. Dalam hal para pihak terdiri dari manusia, maka orang tersebut harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum. 2) Adanya persetujuan para pihak

  Para pihak sebelum membuat perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian haruslah diberikan keduanya, hal ini dapat disebut dengan asas konsensualitas suatu perjanjian. Konsensus harus ada tanpa disertai paksaan, tipuan, dan keraguan. 3) Adanya tujuan yang akan dicapai

  Suatu perjanjian harus mempunyai satu atau beberapa tujuan yang hendak dicapai, dan dengan perjanjian itulah tujuan tersebut ingin dicapai atau dengan sarana perjanjian tersebut suatu tujuan ingin mereka capai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, yang dalam hal ini mereka selaku subyek dalam perjanjian tersebut. 4) Adanya prestasi yang dilaksanakan

  Para pihak dalam perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu dengan yang lain, hal tersebut adalah merupakan hak dan begitu pula sebaliknya. 5) Adanya syarat-syarat tertentu

  Isi perjanjian harus mengandung syarat-syarat tertentu, karena dalam perjanjian menurut ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan, bahwa persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

35 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Bandung, 1993

  6) Adanya bentuk tertentu Perjanjian menurut bentuknya dapat dibuat secara lisan maupun tertulis, dalam hal suatu perjanjian dibuat secara tertulis yang dibuat dalam bentuk akta otentik maupun di bawah tangan.

3. Asas-Asas Perjanjian

  Dalam hukum perjanjian berlaku beberapa asas. Asas-asas hukum perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata, yaitu : a. Asas kebebasan berkontrak

  Maksudnya, adalah bahwa setiap orang bebas mengadakan perjanjian. Hal ini dikarenakan hukum perjanjian menganut sistem terbuka, yaitu memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang berupa apa saja, baik itu bentuknya, isinya serta pada siapa perjanjian itu hendak ditujukan.

  Asas ini merupakan kesimpulan dari isi Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

  Tujuan dari pasal di atas, bahwa pada umumnya suatu perjanjian itu dapat dibuat secara bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuknya maupun syarat-syarat, dan bebas untuk menentukan bentuknya tertulis maupun tidak tertulis.

  Jadi, dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa undang. Kebebasan berkontrak dari para pihak untuk membuat perjanjian itu meliputi : 1) Perjanjian yang telah diatur oleh Undang-Undang; 2) Perjanjian-perjanjian baru atau campuran yang belum diatur dalam Undang- undang.

  Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting dalam hukum perjanjian, karena dari asas inilah tampak adanya pernyataan dan ungkapan hak asasi manusia dalam mengadakan perjanjian sekaligus memberikan peluang bagi perkembangan hukum perjanjian. Selain itu asas ini juga merupakan dasar dari hukum perjanjian. Asas kebebasan berkontrak tidak tertulis dengan kata-kata yang banyak dalam Undang-undang, tetapi seluruh hukum perdata kita

   didasarkan padanya.

  b. Asas konsensualisme Perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak- pihak yang membuat perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara

   para pihak yang membuat perjanjian tersebut.

  Menurut Subekti, arti dari Asas Konsensualisme (Konsensualitas) adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain,

  36 Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1986, hal. 4 37 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok

   dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.

  Dapat dikatakan bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya merupakan perjanjian konsensuil, dengan pengecualian terkait dengan sahnya suatu perjanjian, dimana perjanjian itu diharuskan dibuat secara tertulis (misalnya perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris (misalnya penghibahan barang tetap).

  Asas Konsensualisme adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanjian konsensuil. Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Asas Konsensualisme memperlihatkan bahwa :

  … pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat, dan arenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang- orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun

   kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.

  c. Asas kekuatan mengikat atau asas Pacta Sunt Servanda Dengan adanya janji timbul kemauan bagai para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak tersebut dengan segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas mempertemukan kehendak masing-masing.

  Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan berdasar kata sepakat. 38 39 R. Subekti II, hal. 15 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,

  Dengan adanya konsensus dari para pihak itu, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang- undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum

   yang pelaksanaannya wajib ditaati.

  4. Asas itikad baik

  Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Pengertian itikad baik menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata bersifat dinamis. Dinamis disini dapat diartikan bahwa perbuatan harus dilaksanakan dengan kejujuran yang berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. Manusia sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat yang merugikan pihak lain, atau mempergunakan kata-kata yang membingungkan pada saat kedua belah pihak membuat suatu perjanjian. Para pihak dalam suatu perjanjian tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi.

  Itikad baik yang dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata tidak harus diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik tersebut hanya muncul pada tahap pelaksanaan perjanjian saja. Itikad baik harus dilihat sebagai keseluruhan proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada keseluruhan tahap perjanjian. Dengan demikian fungsi itikad baik yang dimaksud disini bersifat dinamis karena melingkupi keseluruhan proses

   perjanjian tersebut.

  Arrest H.R. di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya itikad baik tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam

   menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik.

  Di Jerman, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa apabila ditetapkan syarat-syarat umum mengenai perjanjian, kebebasan berkontrak dianggap ada sejauh kebebasan ini mengenai isi perjanjian menurut ukurannya sendiri, yaitu berdasarkan itikad baik dengan kewajiban untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan pihak lawan dalam perjanjian pada awal penyusunan syarat-syarat perjanjian itu. Apabila satu pihak hanya mengajukan kepentingan- kepentingan sendiri, ia menyalahgunakan kebebasan dalam membuat perjanjian. 41 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

  Komersial , Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 139 42 Ahmadi Miru., Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, PT RajaGrafindo Persada,

  Kedua keputusan tersebut menunjukkan bahwa itikad baik menguasai para pihak pada periode praperjanjian, yaitu dengan memerhatikan kepentingan-

   kepentingan yang wajar dari pihak lain.

  Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh

   pihak lainnya.

4. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

  Dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 (empat) syarat untuk menentukan sahnya perjanjian, yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

  Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama “penawaran”. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih 43 Ibid., hal. 6 pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia akan menerima penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian konsensuil, dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat

   penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.

  Cara-cara untuk terjadinya penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas, yang penting dapat dipahami atau dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi penawaran atau penerimaan.

  Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, sebagai cara terjadinya kesepakatan/terjadinya penawaran dan penerimaan adalah: 1) dengan cara tertulis; 2) dengan cara lisan; 3) dengan simbol-simbol tertentu; bahkan 4) dengan berdiam diri.

  Berdasarkan berbagai cara terjadinya kesepakatan tersebut di atas, secara garis besar terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis atau tidak tertulis, yang mana kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan lisan, simbol-simbol tertentu, atau diam-diam.

  Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan

   baik dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik.

  Kesepakatan secara lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi dalam masyarakat, namun kesepakatan secara lisan ini kadang tidak disadari sebagai suatu perjanjian padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, misalnya seorang membeli keperluan sehari-hari di toko maka tidak perlu ada perjanjian tertulis, tetapi cukup dilakukan secara lisan antara para pihak.

  Kesepakatan yang terjadi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu macam jualan pokok, misalnya penjual soto, pembeli hanya mengacungkan jari telunjuknya saja. Maka, penjual soto akan mengantarkan satu mangkok soto.

  Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya berdiam diri, misalnya dalam hal perjanjian pengangkutan. Jika kita mengetahui jurusan mobil-mobil penumpang umum, kita biasanya tanpa bertanya mau ke mana tujuan mobil tersebut dan berapa biayanya, tetapi kita hanya langsung naik dan bila sampai di tujuan kita pun turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya sehingga kita tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun kepada sopir mobil tersebut, namun

   pada dasarnya sudah terjadi perjanjian pengangkutan.

  Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, khususnya syarat kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, tidak terjadi kontrak. Akan tetapi, walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.

  Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena terjadinya hal- hal diantaranya : 1) kekhilafan atau kesesatan; 2) paksaan; 3) penipuan; dan 4) penyalahgunaan keadaan.

  Tiga cacat kehendak yang pertama diatur dalam BW sedangkan cacat kehendak yang terakhir tidak diatur dalam BW, namun lahir kemudian dalam

  

  perkembangan hukum kontrak. Ketiga cacat kehendak tersebut diatur dalan Pasal 1321 dan Pasal 1449 KUH Perdata.

  Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru.

  Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan kesepakatannya karena ditekan (dipaksa secara psikologis), jadi yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan fisik karena jika yang terjadi adalah paksaan fisik pada dasarnya tidak ada kesepakatan.

  Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif memengaruhi pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu.

  Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat (posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan

   sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya.

  b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah :

  1) Anak yang belum dewasa; 2) Orang yang ditaruh dibawah pengampuan; 3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk

   membuat perjanjian tertentu. 48 Ibid., hal. 17 Orang yang belum dewasa (minderjarige) adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin (Pasal 330 ayat 1 KUH Perdata). Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa (Pasal 330 ayat 2 KUH Perdata). Orang- orang yang belum dewasa apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dapat mohon pendewasaan agar mereka dapat melakukan tindakan hukum.

  Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan adalah orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau gelap mata, meskipun kadang- kadang cakap mempergunakan pikirannya dan pemboros (Pasal 433 KUH Perdata). Apabila akan menggunakan kewenangan hukumnya, maka bagi orang- orang yang belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya, sedangkan bagi orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili Pengampu/Curatornya, bagi perempuan yang sudah kawin diwakili oleh suaminya. Namun dengan berlakunya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka Pasal 1330 KUH Perdata sub 3 ini (orang-orang perempuan yang sudah berkeluarga tidak cakap bertindak dalam hukum), tidak berlaku lagi. Karena menurut UU No. 1 Tahun 1974 tersebut masing-masing fihak (suami-istri) berhak melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974).

  Dari uraian di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa seseorang telah bertindak dalam hukum/cakap bertindak dalam hukum (handelingsbekwaam) apabila sudah dewasa dan tidak ditaruh di bawah pengampuan. Sedangkan kedewasaan (meerderjarige) dapat dicapai dengan: telah genap berumur 21 tahun, karena perkawinan, dan karena

   pendewasaan/handelichting.

  c. Suatu hal tertentu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum

  Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

  Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya” tampaknya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika kita perhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari

   suatu kebendaan yang tertentu.

  Hal tertentu adalah hal yang merupakan obyek dari suatu kontrak. Terdapat beberapa syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan terhadap obyek tertentu dari suatu kontrak, khususnya jika obyek kontrak tersebut 51 Komariah, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2010, hal. 25 berupa barang, yaitu : (1) merupakan barang yang dapat diperdagangkan, (2) pada saat kontrak dibuat, barang telah dapat ditentukan jenisnya, (3) jumlah barang tersebut tidak boleh tertentu, (4) boleh merupakan barang yang aka nada di kemudian hari, (5) bukan merupakan barang yang termasuk ke dalam warisan

   yang belum terbuka.

  d. Suatu sebab yang halal Istilah halal bukanlah lawan kata haram dalam dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak

   bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

  Sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 hingga Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”.

  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya saja dalam pasal 1335 Kitab Undan-Undang Hukum Perdata. Dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah :

  1) bukan tanpa sebab; 2) bukan sebab yang palsu; 3) bukan sebab yang terlarang; 53 Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti,

  Bandung, 2001, (selanjutnya disingkat Munir Fuady II) hal. 37

  Dalam Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum perdata dinyatakan lebih lanjut bahwa: “ Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah”.

  Dari rumusan Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jelas dapat kita lihat bahwa memang pada dasarnya undang-undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi alasan atau dasar dibentuknya perjanjian tertentu, yang ada di antara para pihak. Mungkin saja suatu perjanjian dibuat berdasarkan alasan yang tidak mutlak sama antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Dalam perjanjian pinjam uang yang diberikan oleh bank misalnya, alasan pihak yang memberikan pinjaman, dalam hal ini bank adalah untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk selisih suku bunga pinjaman dengan suku bunga tabungan (atau deposito) yang berlaku pada bank tersubut. Sedangkan pada sisi peminjam, pinjaman tersebut dapat dipergunakan untuk berbagai macam keperluan, dari modal kerja yang bersifat cepat dan berjangka waktu pendek hingga keperluan investasi yang berjangka waktu relatif lama (hingga dua puluh tahun). Demikianlah sesungguhnya undang-undang memang tidak memperdulikan apakah yang merupakan dan yang ada di dalam benak setiap manusia yang membuat dan mengadakan perjanjian, undang-undang hanya memperhatikan apakah prestasi yang disebutkan dalam perjanjian yang dibuat tersebut merupakan prestasi yang tidak dilarang oleh hukum, dan oleh karenanya maka dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.

  Jadi dalam perjanjian tersebut harus ada pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya agar perikatan yang terbentuk dari perjanjian tersebut dapat dilaksanakan.

  Dengan membatasi sendiri, rumusan mengenai sebab yang halal menjadi hanya sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”

  Dalam rumusan yang sedemikian pun sesungguhnya undang-undang tidak memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak terlarang. Melalui rumusan negatif mengenai sebab yang terlarang, undang-undang juga tidak menjelaskan bagaimana alasan atau sebab yang menjadi dasar pembentukan suatu perjanjian dapat digali atau ditetapkan hingga memang benar bahwa sebab itu

   adalah terlarang.

  Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam: 1) dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan 2) dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

  Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdpat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang

   lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

B. Tinjauan Umum Modal Ventura

1. Pengertian Modal Ventura

  Istilah modal ventura merupakan terjemahan dari terminologi bahasa Inggris yaitu Venture Capital. Venture sendiri berarti usaha mengandung risiko, sehingga modal ventura banyak yang mengartikan sebagai penanaman modal

  

  yang mengandung risiko pada suatu usaha atau perusahaan, atau dapat pula diartikan sebagai usaha. Secara sempit, modal ventura dapat diartikan sebagai modal yang ditanamkan pada usaha yang mengandung risiko dengan tujuan

   memperoleh pendapatan berupa bunga atau deviden.

  Modal Ventura, adalah suatu pembiayaan oleh perusahaan modal ventura (investor) dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang 56 57 Ibid., hal 93-94 Hasanuddin Rahman, Segi-Segi Hukum dan Manajemen Modal Ventura serta

  

Pemikiran Alternatif ke Arah Model Modal Ventura yang Sesuai dengan Kultur Bisnis di

Indonesia , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 11 58 Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta,

  menerima bantuan pembiayaan (perusahaan pasangan usaha) untuk jangka waktu tertentu, di mana setelah jangka waktu tersebut lewat, pihak investor akan

   melakukan divestasi atas saham-sahamnya itu.

  Dalam Dictionary of Business terms, disebutkan bahwa modal ventura adalah suatu sumber pembiayaan yang penting untuk memulai suatu perusahaan yang melibatkan risiko investasi tetapi juga menyimpan potensi keuntungan di atas keuntungan rata-rata dari investasi dalam bentuk lain. Karena itu, modal

  

ventura disebut juga sebagai risk capital”.

  Clinton Richardson mendefinisikan modal ventura sebagai sejumlah dana yang diinvestasikan ke dalam perusahaan pasangan usaha yang cukup beresiko tinggi bagi investor. Perusahaan pasangan usaha tersebut biasanya dalam kondisi tidak memungkinkan mendapatkan kredit bank, dan perusahaan modal ventura biasanya mengharapkan return yang tinggi, sehingga memerlukan perusahaan pasangan usaha yang benar-benar mempunyai prospek yang bagus. Perusahaan modal ventura biasanya memberikan juga bantuan management untuk

   memberikan nilai tambah terhadap investasinya.

  Menurut Neil Cross, dalam bukunya O. P. Simorangkir, yang dimaksud dengan modal ventura adalah suatu pembiayaan yang mengandung risiko, biasanya dilakukan dalam bentuk partisipasi modal terhadap perusahaan- perusahaan yang mempunyai potensi berkembang yang tinggi. Dan perusahaan modal ventura menyediakan beberapa nilai tambah dalam bentuk masukan 59 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, PT.

  Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002 (selanjutnya disingkat Munir Fuady III) hal. 125 60 Munir Fuady I, Op.Cit., hal. 109

  manajemen dan memberikan kontribusinya terhadap keseluruhan strategi perusahaan yang bersangkutan. Risiko yang relatif tinggi ini akan dikompensasikan dengan kemungkinan hasil yang tinggi pula, yang biasanya didapatkan melalui keuntungan yang didapat dari hasil penjualan dan penanaman

   modal yang bersifat jangka menengah.

  Kadarisman menyebutkan pengertian tentang modal ventura sebagai suatu usaha pembiayaan yang mengandung risiko kepada pembentukan suatu bisnis baru, untuk pelunasan ataupun refinancing. Sedangkan bisnis yang dibiayai dapat

   berupa pertanian, industri kecil dan bahkan jasa-jasa.

  Menurut Dipo, modal ventura adalah suatu dana usaha dalam bentuk saham atau pinjaman yang bisa dialihkan menjadi saham. Dana tersebut bersumber dari perusahaan modal ventura yang mengharapkan keuntungan dari

   investasinya tersebut.

  Suharsono Sagir memberikan pengertian modal ventura, yaitu sebagai suatu tindakan masyarakat atau individu pemilik dana yang berani mengambil resiko dalam bentuk investasi atau pemilikan saham dengan ikut serta dalam

   kegiatan operasional usaha.

  Kemudian ada yang menyebut modal ventura sebagai aktivitas pembiayaan yang bersifat risk capital kepada seorang individu atau suatu 62 O. P. Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Ghalia

  Indonesia, Bogor, 2004, hal. 170 63 KPHN Hoediono Kadarisman, Modal Ventura Alternatif Pembiayaan Usaha Masa Depan , IBEC, Jakarta, hal. 144 64 Handowo Dipo, Sukses Memperoleh Dana Usaha Dengan Tinjauan Khusus Modal Ventura , Graffiti, Jakarta, 1993, hal. 10 65 Ali Ridho, Hukum Dagang tentang Prinsip-Prinsip dan Fungsi Asuransi dalam Lembaga Keuangan, Pasar Modal, Lembaga Pembiayaan Modal Ventura dan Asuransi Haji ,

  perusahaan yang mempunyai gagasan, akan tetapi tanpa disertai jaminan seperti halnya pinjaman pada perbankan. Dasarnya terutama keyakinan pada kekuatan gagasan seorang wirausaha. Risiko investasi dipikul oleh perusahaan modal

   ventura.

  Di dalam Pasal 1 ayat (11) Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan menyatakan, bahwa perusahaan modal ventura adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan untuk jangka waktu tertentu. Definisi yang sama diulang kembali dalam Pasal 1 huruf (h) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

  Dari berbagai pengertian atau definisi tentang modal ventura tersebut di

  

  atas, lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa :

  a. Pembiayaan modal ventura terutama diberikan kepada perusahaaan yang baru mulai tumbuh dan biasanya belum mendapat kepercayaan oleh lembaga perbankan untuk memperoleh kredit bank.

  b. Pembiayaan modal ventura merupakan pembiayaan yang berisiko tinggi, tetapi juga merupakan pembiayaan yang memiliki potensi keuntungan yang tinggi pula yang biasanya didapatkan melalui keuntungan yang didapat dari hasil penjualan dan penanaman modal yang bersifat jangka menengah atau jangka panjang.

  c. Pembiayaan modal ventura merupakan investasi atau penanaman dana jangka panjang.

  d. Pembiayaan modal ventura biasanya dilakukan dalam bentuk penyertaan modal dan atau pinjaman yang bisa dialihkan menjadi saham kepada perusahaan-perusahaan yang berpotensi untuk berkembang. 66 Hasan dan Hasani Hamid, Pengembangan Kemitraan Usaha dengan Pola Perusahaan

  Modal Ventura , Bahan Seminar, PT. Sarana Jambi Ventura, Jambi, hal.5 e. Pembiayaan modal ventura biasanya dilakukan dalam bentuk paket pembiayaan, yaitu suntikan dana atau modal yang disertai dengan penempatan atau pembinaan manajemen pada perusahaan pasangan usaha.

  f. Pembiayaan modal ventura juga untuk mendukung bakat-bakat wirausaha dengan kemampuan finansial untuk memanfaatkan pasar dengan jalan alih manfaat yang diberikan dalam dampingan manajemen oleh perusahaan pemodal ventura.

2. Dasar Hukum Modal Ventura

  Modal ventura merupakan salah satu lembaga pembiayaan yang keberadaannya masih relatif baru. Secara institusional dan formal usaha modal ventura ini baru ada setelah keluarnya Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan (sekarang Perpres No. 9 Tahun 2009), dan Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kedua peraturan ini merupakan tonggak

   sejarah perkembangan hukum modal ventura.

  Sebagai suatu perbuatan hukum, modal ventura harus diback up oleh sektor yuridis, agar dapat berlaku dalam lalu lintas pergaulan bisnis. Untuk itu kegiatan modal ventura dari segi hukum telah diback up oleh 3 (tiga) kelompok

  

  dasar hukum, yaitu :

  a. Prinsip Kebebasan Berkontrak Seperti juga dengan lembaga financial lainnya seperti leasing, factoring, customer finance, atau kartu kredit, maka modal ventura juga mempunyai dasar berupa prinsip kebebasan berkontrak vide Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata. Sebab,

68 Sunaryo, Op.Cit., hal. 20

  dalam peluncuran dana lewat modal ventura ini juga dimulai dari penandatangan berbagai kontrak terlebih dahulu, termasuk kontrak modal ventura itu sendiri.

  b. Dasar Hukum Perseroan Di samping prinsip kebebasan berkontrak sebagai dasar hukum, maka berbeda dengan jenis lembaga finansial lainnya, modal ventura juga mempunyai dasar hukum berupa hukum perseroan. Satu dan lain hal mengingat lembaga modal ventura selaku equity finance sangat terkait dengan hukum perseroan, yang bersumber utama dari UU Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995, dan berbagai peraturan lainnya, praktek perseroan maupun yurisprudensi yang relevan.

  Oleh sebab itu, hukum perseroan, incasu yang berkaitan dengan saham dan permodalan, kepengurusan, rapat umum pemegang saham, dan sebagainya berlaku dan haruslah diperhatikan oleh pemodal ventura. Sehingga, membilah- bilah anggaran dasar perseroan pasangan usaha sebelum modal diluncurkan merupakan hal yang krusial bagi pemodal.

  c. Dasar Hukum Administratif Seperti juga terhadap lembaga financial lainnya, maka lembaga modal ventura juga diatur oleh berbagai peraturan yang bersifat administratif. Antara lain

  

  dapat disebutkan sebagai berikut :

  1. Keppres No. 61 Tahun 1998 yang telah diubah menjadi Perpres No. 9 Tahun 2009. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa modal ventura diakui sebagai salah satu model penyaluran pembiayaan.

  2. Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1998 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Peraturan ini merupakan pelaksanaan lebih lanjut mengenai lembaga pembiayaan.

  3. UU Perbankan No. 7 Tahun 1992. Pada prinsipnya kegiatan modal ventura tidak termasuk ke dalam bisnis bank. Tetapi secara insidentil dan dalam hal tertentu, yakni dalam hal adanya kredit macet, bank dibenarkan untuk menyertakan modalnya ke dalam perusahaan debitur, dengan ketentuan bahwa sampai masanya bank tersebut harus menarik kembali penyertaan modalnya itu. Jadi memang mirip-mirip kegiatan modal ventura.

  4. Ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan, yang juga menyinggung pajak untuk kegiatan modal ventura ini.

  5. PP No. 18 Tahun 1973. PP ini merupakan dasar berdirinya perusahaan modal ventura pertama di Indonesia, yaitu PT. (persero) Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BAHANA), yang saham-sahamnya dipegang oleh Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Dengan demikian, PP No. 18/1973 tersebut merupakan juga alas hukum sekaligus sejarah tentang eksistensi modal ventura di Indonesia.

  Menurut Munir Fuady, peraturan yang menjadi landasan hukum adalah : 1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 469/KMK.017/1995 Tanggal 3 Oktober 1995 tentang Pendirian dan Pembinaan Perusahaan Modal Ventura. 2) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995 tentang Pajak Penghasilan bagi Perusahaan Modal Ventura. 3) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 227/KMK.01/1994 Tanggal 9 Juni 1994 tentang Sektor-sektor Usaha Perusahaan Pasangan Usaha dari Perusahaan

  Modal Ventura. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1992 tentang Sektor-Sektor Usaha Perusahaan Pasangan Usaha (PPU) Perusahaan Modal Ventura.

  5) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1998 Tanggal 20 Desember 1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

  

  6) Keppres Nomor 61 Tahun 1998 tentang Lembaga Pembiayaan (telah direvisi menjadi Perpres No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan)

3. Karakteristik Modal ventura

  Konsep dasar modal ventura adalah pembiayaan dalam bentuk pernyataan modal equity ke dalam perusahaan pasangan usaha. Pernyertaan modal oleh perusahaan modal ventura ini tidak dapat disamakan dengan penyertaan biasa, dan tidak juga semua penyertaan modal pada perusahaan lain dapat digolongkan sebagai pembiayaan modal ventura. Pembiayaan modal ventura mempunyai ciri- ciri atau karakteristik tertentu yang membedakan dengan usaha lain sekalipun usaha tersebut sejenis. Beberapa karakteristik yang melekat pada usaha modal ventura tersebut adalah sebagai berikut :

   Karakteristik modal ventura menurut Munir Fuady, merupakan :

  

  e. Investasi tersebut bukan bersifat pembiayaan dalam bentuk pinjaman, tetapi dalam bentuk partisipasi equity, atau setidak-tidaknya loan yang dapat dialihkan ke equity (convertible).

  d. Investasi dengan bentuk modal ventura yang dilakukan ke dalam perusahaan pasangan usaha bukanlah investasi jangka pendek.

  c. Motif dari modal ventura yang murni tetap motif bisnis, yakni untuk mendapat keuntungan yang relatif tinggi, walaupun dengan resiko yang relatif tinggi pula.

  b. Investasi yang dilakukannya tidaklah bersifat permanen, tetapi hanyalah bersifat sementara, untuk kemudian selesai masanya dilakukan divestasi.

  a. Pemberian bantuan financial dalam bentuk modal ventura ini tidak hanya menginvestasi modalnya saja, tetapi juga ikut terlibat dalam manajemen perusahaan yang dibantunya.

  72 Sunaryo, Op.Cit. hal. 26 73 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

  h. Umumnya ditujukan pada perusahaan kecil atau perusahaan baru, tetapi memiliki potensi besar untuk berkembang. i. Pemodal ventura merupakan personifikasi manusia unggul yang mampu mencari dan melihat peluang bisnis, professional, kreatif, inovatif dan dinamis, serta memiliki jiwa entrepreneurship.

  a. Bantuan pembiayaan pada perusahaan pasangan usaha dalam bentuk pinjaman

  g. Investasi modal biasanya dilakukan terhadap perusahaan yang tidak punya akses untuk memperoleh kredit dari bank.

  f. Perusahaan modal ventura terlibat dalam manajemen (hand on management) pada perusahaan pasangan usaha.

Dokumen yang terkait

KATA PENGANTAR - Pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah(Studi Kasus Pada Seluruh Skpd Di Provinsi Sumatera Utara)

0 0 13

Intervensi Profitabilitas dalam Pengaruh Investment Opportunity Set (IOS) dan Struktur Modal terhadap Nilai Perusahaan Publik Sektor Industri Manufaktur di Indonesia Tahun 2011-2013

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori - Intervensi Profitabilitas dalam Pengaruh Investment Opportunity Set (IOS) dan Struktur Modal terhadap Nilai Perusahaan Publik Sektor Industri Manufaktur di Indonesia Tahun 2011-2013

0 0 27

Intervensi Profitabilitas dalam Pengaruh Investment Opportunity Set (IOS) dan Struktur Modal terhadap Nilai Perusahaan Publik Sektor Industri Manufaktur di Indonesia Tahun 2011-2013

0 0 19

Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Financial Leverage, dan Kebijakan Dividen terhadap Praktik Perataan Laba pada Perusahaan Property & Real Estate yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2013

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Laporan Keuangan - Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Financial Leverage, dan Kebijakan Dividen terhadap Praktik Perataan Laba pada Perusahaan Property & Real Estate yang Terdaftar di B

0 0 24

Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Financial Leverage, dan Kebijakan Dividen terhadap Praktik Perataan Laba pada Perusahaan Property & Real Estate yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2013

0 0 15

LAMPIRAN B DATA FIRM SIZE No Kode Nama Perusahaan Tahun Penelitian Sampel 2011 2012 2013

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Investasi - Pengaruh Firm Size, Earning Per Share Dan Book To Market Ratio Terhadap Return Saham Dengan Kebijakan Deviden Sebagai Moderating Variabel Pada Perusahaan Pertambangan Batubara Yang Terdaftar

0 0 22

KATA PENGANTAR - Pengaruh Firm Size, Earning Per Share Dan Book To Market Ratio Terhadap Return Saham Dengan Kebijakan Deviden Sebagai Moderating Variabel Pada Perusahaan Pertambangan Batubara Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 23