BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PerspektifParadigma Kajian - Komunikasi Yang Efektif Antara Remaja Dengan Orangtua Yang Bertugas Jarak Jauh(Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Yang Efektif Antara Remaja Dengan Orangtua Yang Bertugas Jarak Jauh Di Kota Medan)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian

  Perspektif dalam bidang keilmuan sering juga disebut paradigma (paradigm), kadang-kadang disebut pula mazhab pemikiran (school of thought) atau teori. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton, paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang. Akan tetapi, menurut Patton, aspek paradigma inilah yang sekaligus merupakan kekuatan dan kelemahannya. Kekuatannya adalah hal itu memungkinkan tindakan, kelemahannya adalah bahwa alasan untuk melakukan tindakan tersebut tersembunyi dalam asumsi-asumsi paradigma yang dipersoalkan (Mulyana, 2011: 8-9).

  Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dimana pada dasarnya landasan teoritis dari penelitian kualitatif itu bertumpu secara mendasar pada fenomenologi. Pada penelitian kualitatif teori dibatasi pada pengertian: suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data dan diuji secara empiris. Dalam uraiantentang teori tersebut, Bognan dan Bikenmenggunakan istilah paradigma. Paradigma diartikan sebagai kumpulan longgar tentang asumsi secara logis dianut bersama konsep, atau preposisi yang mengarahkan cara berfikir dan cara penelitian (Moleong, 2010: 14).

  Paradigma penelitian kualitatif adalah pendekatan dengan sistematis dan subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris). Pendekatan kualitatif terus berkembang di bidang sains dan pendidikan. Proses penelitian ini dijalankan melalui pemahaman tentang pengalaman manusia dalam aneka bentuk. Penelitian kualitatif lebih berorientasi kepada upaya untuk memahami fenomena secara menyeluruh. Pendekatan semacam ini lebih konsisten dengan filosofi holistik di bidang sains sosial dan pendidikan. Penelitian kualitatif berangkat dari ilmu perilaku manusia dan ilmu sosial melalui penelaahannya terhadap interaksi orang-orang dengan situasi sosial dalam membangun pengetahuan melalui pemahaman dan penemuan (meaning and

  discovery ) (Iskandar, 2010:189).

  Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma Konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivisme. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua peran seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku dikalangan mereka sendiri.

  Paradigma konstuktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan bersifat relatif. Pertama, dilihat dari penjelasan ontologis, realitas yang dikonstruksi itu berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Kedua, paradigma konstruktivisme ditinjau dari konteks epistimologis, bahwa pemahaman tentang suatu realitas merupakan produk interaksi antara peneliti dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini paradigma konstuktivisme bersifat transaksional atau subjektif. Ketiga, dalam konteks aksiologi, yakni peneliti sebagai passionate

  participation , fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial.

  Kajian pokok dalam paradigma konstruktivisme menurut Weber,menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya tetapi dengan beberapa catatan, dimana tindakan sosial yang dilakukan oleh individu tersebut harus berhubungan dengan rasionalitas dan tindakan sosial harus dipelajari melalui penafsiran serta pemahaman (interpretive understanding). Kajian paradigma konstruktivisme ini menempatkan posisi peneliti setara dan sebisa mungkin masuk dengan subjeknya, dan berusaha memahami dan mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi pemahaman isi subjek yang akan diteliti. Implikasi dalam paradigma konstruktivisme menerangkan bahwa pengetahuan itu tidak lepas dari subjek yang sedang mencoba belajar untuk mengerti.

  Menurut Ardianto (2007: 154), konstruktivisme merupakan salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri. Menurut Ardianto (2007: 161), prinsip dasar konstruktivisme menerangkan bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh konstruk diri sekaligus juga konstruk lingkungan luar dari perspektif diri. Sehingga komunikasi itu dapatdirumuskan, dimana ditentukan oleh diri di tengah pengaruh lingkungan luar. Pada titik ini kita dapat mengemukakan teori Ron Herre mengenai perbedaan antara person dan self. Personadalah diri yang terlibat dalam lingkup publik, padadirinya terdapat atribut sosial budaya masyarakatnya, sedangkanself adalah diri yang ditentukan oleh pemikiran khasnya di tengah sejumlah pengaruh sosial budaya masyarakatnya.

  Ada tiga macam konstruktivisme, (1) konstruktivisme radikal; (2) konstruktivisme realisme hipotesis; (3) konstruktivisme biasa (Suparno, 1997: 25). Ketiga macam konstruktivisme diatas memiliki kesamaan, dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, yang oleh Piaget (Suparno, 1997: 30) disebut dengan skema/skemata.

  Kata kunci paradigma konstruktivisme adalah pendekatan antar pesona melalui komunikasi yang berbasis pada “konsep diri”. Paradigma ini dalam membangun (mengkonstruksi) pemahaman atau makna, secara bersama-sama melalui pemahaman berbasis pada subjek, dengan menggunakan elaborasi kode yang mana, menghargai perasaan, kepentingan, dan sudut padangan orang lain.

2.2 Uraian Teoritis

  Teori adalah himpunan konstruk (konsep). Definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut. Fungsi teori dalam penelitian adalah untuk membantu peneliti menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatian. Sebelum melakukan penelitian, peneliti memerlukan kejelasan berpikir mengenai teori sebagai landasan atau dasar dari penelitian. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan diteliti. Berdasarkan alasan itu, maka peneliti melaksanakan penelitian menggunakan teori–teori yang dianggap relevan adalah sebagai berikut:

2.2.1 Psikologi Komunikasi

2.2.1.1 Pengertian Psikologi Komunikasi

  Psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi.Perisitiwa mental adalah apa yang disebut Fisher “internal mediation

  

of stimuli” , sebagai akibat berlangsungnya komunikasi. Peristiwa behavioral

adalah apa yang nampak ketika orang berkomunikasi (Rakhmat: 9).

  Psikologi meneliti kesadaran dan pengalaman manusia. Psikologi terutama mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia dan mencoba menyimpulkan proses kesadaran yang menyebabkan terjadinya perilaku itu. Menurut Fisher (dalam Rakhmat: 8) menyebut empat ciri pendekatan psikologi pada komunikasi penerimaan stimuli secara indrawi (sensory reception of stimuli), proses yang mengantarai stimuli dan respons (internal mediation of stimuli), prediksi respons (prediction of response), dan peneguhan response (reinforcement of responses). Psikologi komunikasi juga melihat bagaimana respons yang terjadi pada masa lalu dapat meramalkan respons yang akan datang. Kita harus mengetahui sejarah respons sebelum meramalkan respons individu masa ini. Dari sinilah timbul perhatian pada gudang memori (memory storage) dan set (penghubung masa lalu dan masa sekarang).

2.2.1.2 Hubungan Komunikasi dengan Psikologi

  Dilihat dari perkembangannya, komunikasi memang dibesarkan oleh para peneliti psikologi. Tiga di antara empat orang bapak ilmu komunikasi yang disebut Wilbur Schramm adalah serjana psikologi. Paul Lazarsfeld, pendiri ilmu komunikasi lainnya, adalah psikolog yang banyak dipengaruhi Sigmund Freud, Bapak Psikoanalisis. Hovland, Janis, dan Kelly semuanya psikolog, mendefinisikan komunikasi dalam kerangka psikologi behaviorisme sebagai usaha “menimbulkan respons melalui lambang-lambang verbal”, ketika lambang- lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimuli. Kamus psikologi, dictionary of

  behavioral science , menyebutkan enam pengertian komunikasi: 1.

  Penyampaian perubahan energi dari satu tempat ke tempat lain seperti dalam sistem saraf atau penyampaian gelombang-gelombang suara.

  2. Penyampaian atau penerimaan signal atau pesam oleh organisme.

  3. Pesan yang disampaikan.

  4.

  (teori komunikasi) proses yang dilakukan satu sistem untuk mempengaruhi sistem yang lain melalui pengaturan signal-signal yang disampaikan.

  5.

  (K Lewin) Pengaruh satu wilayah persona pada wilayah persona yang lain sehingga perubahan dalam satu wilayah lain menimbulkan perubahan yang berkaitan pada wilayah lain.

  6. Pesan pasien kepada pemberi terapi dalam psikoterapi (Fajar, 2009: 3-4).

  Psikologi komunikasi mempunyai makna yang luas, meliputi segala penyampaian energi, gelombang suara, tanda di antara tempat, sistem atau organisme. Kata komunikasi sendiri dipergunakan sebagai proses, sebagai pesan, sebagai pengaruh atau secara khusus sebagai pesan pasien dalam psikoterapi. Jadi, psikologi menyebut komunikasi pada penyampaian energi dari alat-alat indera ke otak, pada peristiwa penerimaan dan pengelohan informasi, pada proses saling pengaruh di antara berbagai sistem dalam diri organisme dan di antara organisme.

  Psikologi mencoba menganalisa seluruh komponen yang terlibat dalam proses komunikasi. Pada diri komunikan, psikologi memberikan karakteristik manusia komunikan serta faktor-faktor internal yang mempengaruhi perilaku komunikasinya. Pada komunikator, psikologi melacak sifat-sifatnya dan bertanya: Apa yang menyebabkan satu sumber komunikasi berhasil dalam mempengaruhi orang lain, sementara sumber komunikasi yang lain tidak.

  Psikologi juga tertarik pada komunikasi di antara individu: bagaimana pesan dari seorang individu menjadi stimulus yang menimbulkan respons pada individu yang lain. Psikologi bahkan meneliti lambang-lambang yang disampaikan. Pada saat pesan sampai pada diri komunikator, psikologi melihat ke dalam proses penerimaan pesan, menganalisa faktor-faktor personal dan situasional yang mempengaruhinya dan menjelaskan berbagai corak komunikan ketika sendirian atau dalam kelompok (Fajar, 2009: 4-5).

2.2.2 Pengungkapan Diri (Self Disclosure)

2.2.2.1 Pengertian Pengungkapan Diri

  Self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi

  fokus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya (Sendjaja, 2005: 2.41). Self disclosure adalah salah satu tipe komunikasi dimana informasi mengenai diri (self) yang biasanya disembunyikan dari orang lain, kini dikomunikasikan kepada orang lain (Devito, 1997: 215).

  Pembukaan diri atau self disclosure adalah mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi, serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang berguna untuk memahami tanggapan kita di masa kini tersebut (Supraktiknya, 1995: 4).

  Self disclosure mengacu pada mengkomunikasikan informasi tentang diri

  kita kepada orang lain (Devito, 1997: 215). Membuka diri berarti membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap suatu yang telah dikatakan/dilakukannya, atau perasaan kita terhadap suatu kejadian yang baru saja kita saksikan. Mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang sebagai ukuran dari hubungan yang ideal.

  Teori self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi fokus penelitian dalam teori komunikasi. Pengertian pengungkapan diri adalah mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang berguna untuk memahami tanggapan kita di masa kini (Supratiknya, 1995: 8).

  Tanggapan terhadap orang lain atau kejadian tertentu berarti membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau dilaksanakan atau perasaan kita terhadap kejadian yang baru saja kita saksikan. Mengungkapkan hal yang sangat pribadi di masa lalu dapat menimbulkan perasaan intim untuk sesaat.

  Dalam suatu interaksi antara individu dengan orang lain, apakah yang lain akan menerima atau menolak kita, bagaimana kita ingin orang lain mengetahui tentang diri kita ditentukan oleh bagaimana individu mengungkapkan dirinya. Pengungkapan diri adalah proses menghadirkan diri yang diwujudkan dalam kegiatan membagi perasaan dan informasi pada orang lain (Wrightsman dalam Dayaksini, 2003: 87).

  Menurut Morton, pengungkapan diri merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi di dalam pengungkapan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui oleh orang lain. Sedangkan, evaluatif artinya individu mengemukakan pendapat atau perasaannya terhadap sesuatu.

  Joseph Luft mengemukakan teori Self Disclosure berdasarkan pada model interaksi manusia yang disebut Johari Window, dimana terdapat empat bidang didalamnya, yakni: terbuka, buta, tersembunyi, dan tidak diketahui.

  Diketahui oleh Tidak diketahui diri sendiri oleh diri sendiri Diketahui oleh orang lain

  1

  2 TERBUKA BUTA Tidak diketahui oleh orang lain

  3

  4 TERSEMBUNYI TIDAK DIKETAHUI Jika komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik, maka akan terjadi disclosure yang mendorong informasi mengenai diri masing-masing ke dalam kuadran “terbuka”. Kuadran 4 sulit untuk diketahui, tetapi mungkin dapat dicapai melalui kegiatan seperti refleksi diri dan mimpi. Meskipun self disclosure mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan itu sendiri ada batasnya. Artinya, perlu kita pertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu tentang diri kita kepada orang lain akan menghasilkan efek positif bagi hubungan kita dengan orang tersebut.

  Beberapa manfaat dan dampak pembukaan diri terhadap hubungan antar pribadi menurut Devito adalah sebagai berikut:

  1. Pembukaan diri merupakan dasar bagi hubungan yang sehat antara dua orang.

  2. Semakin kita bersikap terbuka kepada orang lain, maka orang tersebut akan menyukai kita, sehingga ia akan semakin membuka diri terhadap kita.

  3. Orang yang rela membuka diri kepada orang lain terbukti cenderung memiliki sifat-sifat, seperti: kompeten, terbuka, ekstrovert, fleksibel, adaptif, dan intelijen.

  4. Membuka diri kepada orang lain merupakan dasar reaksi yang memungkinkan komunikasi intim yang baik dengan diri kita sendiri ataupun orang lain.

5. Membuka diri berarti bersikap realistis sehingga harus jujur, tulus, dan autentik.

  Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi perilaku, keinginan, motivasi, dan ide yang sesuai yang terdapat di dalam diri orang yang bersangkutan. Kedalaman dari pengungkapan diri seseorang tergantung pada situasi dan orang yang diajak berinteraksi. Jika orang yang berinteraksi dengan kita menyenangkan dan membuat kita merasa aman serta dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi kita untuk lebih membuka diri sangat besar. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu kita dapat saja menutup diri karena kurang percaya.

  Dalam proses pengungkapan diri nampaknya individu-individu yang terlibat memiliki kecenderungan mengikuti norma resiprok (timbal balik). Jika seseorang menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi pada kita, kita akan cenderung memberikan reaksi yang sepadan. Pada umumnya kita mengharapkan orang lain memperlakukan kita sama seperti kita memperlakukan mereka (Dayaksini, 2003: 88). Seseorang yang mengungkapkan informasi yang bersifat pribadi lebih akrab daripada yang kita lakukan akan membuat kita merasa terancam dan membuat kita lebih senang untuk mengakhirinya. Bila sebaliknya kita yang mengungkapkan diri terlalu akrab dibandingkan orang lain, maka kita akan merasa tidak aman.

  Luft, 1969 (dalam Tubbs, 2005: 19) menggambarkan beberapa ciri pembukaan diri yang tepat. Lima ciri terpenting adalah sebagai berikut :

  1. Merupakan fungsi dari suatu hubungan sedang berlangsung.

  2. Dilakukan oleh kedua belah pihak.

  3. Disesuaikan dengan keadaan yang berlangsung.

  4. Berkaitan dengan apa yang terjadi saat ini pada dan antara orang-orang yang terlibat.

  5. Ada peningkatan dalam penyingkapan, sedikit demi sedikit.

  Selain konsep Johari Window, ada juga konsep diri yang diperkenalkan oleh Weaver (1978). Konsep ini terdiri atas empat macam yakni, self awareness,

  self acceptance , self actualization dan self disclose (Cangara, 2005:85).

  Self awareness ialah proses menyadari diri tentang siapakah aku, dimana

  aku berada dan bagaimana orang lain memandang diriku. Jika orang sadar pada dirinya, maka apa yang terjadi akan diterimanya sebagai kenyataan (self

  

aceeptance ). Dengan menerima kenyataan itu, orang baru dapat mengembangkan

  dirinya (self actualization) sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Jadi jika seseorang memiliki keinginan untuk maju (self actualization), maka keinginan itu perlu diungkapkan atau dikomunikasikan, apakah itu secara terang-terangan atau terselubung, agar orang lain dapat mengetahuinya (self disclose). Keinginan untuk Menampakkan self disclose merupakan jendela atau etalase yang dibuat untuk memperlihatkan diri.

2.2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Diri

  Pengungkapan diri terjadi lebih lancar dalam situasi-situasi tertentu, berikut beberapa faktor yang mempengaruhi pengungkapan diri:

  a. Besar Kelompok

  Pengungkapan diri lebih banyak terjadi dalam kelompok kecil daripada kelompok besar. Diad (kelompok yang terdiri atas dua orang) merupakan lingkungan yang paling cocok untuk pengungkapan diri. Dengan satu pendengar, pihak yang melakukan pengungkapan diri dapat meresapi tanggapan dengan cermat. Orang dapat memantau pengungkapan diri ini, meneruskannya apabila situasi mendukung atau menghentikannya jika situasi tidak mendukung. Bila ada lebih dari satu orang pendengar, pemantauan akan lebih sulit dilakukan karena tanggapan yang muncul pasti akan berbeda dari setiap orang.

  b. Perasaan Menyukai

  Kita membuka diri kepada orang-orang yang kita sukai atau cintai, dan kita tidak akan membuka diri kepada orang yang kita tidak sukai (Derlega dkk.,

  1987). Ini tidak mengherankan karena orang yang kita sukai (dan barangkali menyukai kita) akan bersikap mendukung dan positif. Kita juga membuka diri lebih banyak kepada orang yang kita percayai (Wheels dan Grotz, 1977).

  c. Efek Diadik

  Kita melakukan pengungkapan diri bila orang yang bersama kita juga melakukan pengungkapan diri. Efek diadik ini barangkali membuat kita merasa lebih aman dan nyatanya memperkuat perilaku pengungkapan diri kita sendiri.

  d. Kompetensi

  Orang yang kompeten lebih banyak melakukan pengungkapan diri daripada yang kurang kompeten. Orang yang kompeten barangkali memiliki lebih banyak hal positif tentang diri mereka sendiri untuk diungkapkan daripada orang yang tidak kompeten (James McCroskey dan Lawrence, 1976).

  e. Kepribadian

  Orang-orang yang pandai bergaul (sociable) dan ekstrovert melakukan pengungkapan diri lebih banyak daripada mereka yang kurang pandai bergaul. Perasaan gelisah juga mempengaruhi derajat pengungkapan diri. Rasa gelisah ada kalanya meningkatkan pengungkapan diri namun bisa juga menguranginya hingga batas minimum. Orang yang kurang berani berbicara pada umumnya juga kurang mengungkapkan diri dibandingkan mereka yang merasa lebih nyaman dalam berkomunikasi.

  f. Topik

  Kita lebih cenderung membuka diri tentang topik tertentu. Sebagai contoh, kita lebih mungkin mengungkapkan hal-hal yang baik dibandingkan hal yang kurang baik. Umumnya, makin pribadi dan negatif suatu topik, makin kecil kemungkinan kita untuk mengungkapkannya.

g. Jenis Kelamin

  Faktor terpenting yang mempengaruhi pengungkapan diri adalah jenis kelamin. Umumnya, pria lebih kurang terbuka ketimbang wanita. Judy Person (1980) berpendapat bahwa peran seks (sex role) dan bukan jenis kelamin dalam arti biologis yang menyebabkan perbedaan dalam hal pengungkapan diri.

2.2.2.3 Bahaya Pengungkapan Diri

  Banyaknya manfaat pengungkapan diri jangan sampai membuat kita buta terhadap resiko-resikonya (Bochner, 1984). Berikut ini adalah beberapa bahaya utamanya:

  a. Penolakan Pribadi dan Sosial

  Biasanya kita melakukan pengungkapan diri kepada orang yang kita percaya dan kita anggap akan mendukung kita. Namun mungkin saja orang tersebut melakukan penolakan terhadap beberapa hal, seperti misalnya orangtua akan menolak jika ternyata anaknya berniat untuk menikah dengan orang yang berbeda agama.

  b. Kerugian Material

  Adakalanya pengungkapan diri mengakibatkan kerugian material.Misalnya dalam dunia bisnis, pengungkapan diri mengenai ketergantungan terhadap alkohol seringkali diikuti dengan pemecatan.

  c. Kesulitan Intrapribadi

  Bila reaksi dari orang lain tidak seperti yang kita duga dan harapkan, seseorang akan mengalami kesulitan intrapribadi. Tidak seorang pun senang ditolak, mereka yang egonya rapuh perlu memikirkan kerusakan yang dapat disebabkan oleh penolakan semacam ini.

  Pengungkapan diri, seperti bentuk komunikasi yang lain bersifat tidak reversibel, artinya ketika kita telah mengkomunikasikan sesuatu maka hal itu tidak dapat ditarik kembali. Kita juga tidak dapat menghapus kesimpulan yang ditarik oleh pendengar berdasarkan pengungkapan diri kita.

2.2.2.4 Pedoman Untuk Pengungkapan Diri

  Dalam proses pengungkapan diri, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut:

  a. Motivasi Pengungkapan Diri

  Pengungkapan diri haruslah didorong oleh rasa berkepentingan terhadap hubungan, orang lain yang terlibat, juga diri sendiri. Pengungkapan diri tidak boleh digunakan untuk menyakiti orang lain dan menghukum diri sendiri. Pengungkapan diri hendaknya bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat.

  b. Kepatutan Pengungkapan Diri

  Pengungkapan diri harus sesuai dengan lingkungan dan hubungan antara pembicara dan pendengar. Umumnya semakin pribadi suatu pengungkapan diri, dibutuhkan hubungan yang semakin dekat. Barangkali sebaiknya kita tidak mengungkapkan sesuatu yang bersifat terlalu pribadi kepada orang yang tidak terlalu akrab dengan kita khususnya menyangkut pengungkapan diri yang bersifat negatif.

  c. Pengungkapan Diri Orang Lain

  Selama pengungkapan diri kita, berikan lawan bicara kesempatan untuk dapat juga melakukan pengungkapan dirinya sendiri. Apabila lawan bicara kita tidak melakukan pengungkapan diri seperti yang kita lakukan, mungkin hal ini merupakan isyarat bahwa orang tersebut tidak menyambut baik pengungkapan diri kita. Kita harus melakukan pengungkapan diri secara bertahap, karena apabila terlalu cepat biasanya tindakan timbal balik tidak terjadi.

d. Beban yang Mungkin Ditimbulkan Pengungkapan Diri

  Kita harus dapat mempertimbangkan dengan cermat resiko ataupun kesulitan yang mungkin akan terjadi setelah pengungkapan diri.

2.2.2.5 Tingkatan Dalam Pengungkapan Diri

  Dalam proses hubungan antarpribadi, terdapat tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam pengungkapan diri. Menurut Powell (dalam Dayaksini, 2003: 89) tingkatan-tingkatan pengungkapan diri dalam komunikasi yaitu: 1.

  Basa-basi: merupakan taraf pengungkapan diri yang paling lemah atau dangkal, walaupun terdapat keterbukaan di antara individu, tetapi tidak terjadi hubungan antarpribadi. Masing-masing individu berkomunikasi basa-basi sekedar kesopanan.

  2. Membicarakan orang lain: yang diungkapkan dalam komunikasi hanyalah tentang orang lain atau hal-hal di luar dirinya walaupun pada tingkat ini isi komunikasi lebih mendalam, tetapi individu tidak mengungkapkan diri.

  3. Menyatakan gagasan atau pendapat: setiap individu dapat memiliki gagasan atau pendapat yang sama, tetapi perasaan atau emosi yang menyertai gagasan setiap individu berbeda-beda. Setiap hubungan harus didasarkan atas kejujuran, keterbukaan, dan penyataan perasaan-perasaan yang mendalam.

  4. Hubungan puncak: pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam, individu yang menjalin hubungan antarpribadi dapat menghayati perasaan yang dialami oleh individu lain. Segala persahabatan yang mendalam dan sejati haruslah berdasarkan pada pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak.

2.2.2.6 Manfaat Pengungkapan Diri

  a. Pengetahuan Diri

  Salah satu manfaat pengungkapan diri adalah kita mendapatkan perspektif baru tentang diri sendiri dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai perilaku kita sendiri.

  b. Kemampuan Mengatasi Kesulitan

  Kita akan lebih mampu menanggulangi masalah atau kesulitan kita, khususnya perasaan bersalah. Salah satu perasaan takut yang besar yang ada pada diri banyak orang adalah bahwa mereka tidak diterima lingkungan karena suatu rahasia tertentu, sesuatu yang pernah mereka lakukan atau perasaan, dan sikap tertentu yang mereka miliki. Karena kita percaya bahwa hal-hal ini merupakan dasar penolakan, kita membangun rasa bersalah. Dengan mengungkapkan perasaan seperti itu dan menerima dukungan, kita menjadi lebih siap untuk mengatasi perasaan bersalah dan barangkali mengurangi atau menghilangkannya.

  Bahkan penerimaan diri menjadi sulit tanpa pengungkapan diri. Kita menerima diri kita sebagian besar melalui kacamata orang lain. Jika kita merasa orang lain menolak kita, kita cenderung menolak diri sendiri juga. Melalui pengungkapan diri dan dukungan yang datang, kita menemukan diri sendiri dalam posisi yang lebih baik untuk menangkap tanggapan positif kepada kita, dan kita akan lebih mungkin memberikan reaksi dengan mengembangkan konsep diri yang positif.

  c. Efisiensi Komunikasi

  Pengungkapan diri akan memperbaiki komunikasi karena kita akan berusaha memahami pesan-pesan dari orang lain sejauh kita memahami orang lain secara individual. Kita dapat lebih memahami apa yang dikatakan seseorang jika kita mengenal baik orang tersebut. Kita dapat mengenal apa makna nuansa-nuansa tertentu, bila orang itu sedang bersikap serius dan bila ia sedang bercanda dan bila ia menjadi sarkatis atau marah. Pengungkapan diri adalah kondisi yang penting untuk mengenal orang lain.

d. Kedalaman Hubungan

  Barangkali alasan utama pentingnya pengungkapan diri adalah bahwa ini perlu untuk membina hubungan yang bermakna di antara dua orang. Tanpa pengungkapan diri, hubungan yang bermakna dan mendalam tidak mungkin terjadi. Dengan pengungkapan diri berarti kita memberi tahu orang lain bahwa kita mempercayai, menghargai dan peduli terhadap mereka.

  Menurut Johnson, 1981 (dalam Supratiknya, 2009: 15-16), beberapa manfaat dan dampak pembukaan diri (self disclosure) terhadap hubungan antar pribadi adalah sebagai berikut: 1.

  Self disclosure merupakan dasar bagi hubungan yang sehat antara dua orang.

  2. Semakin kita bersikap terbuka kepada orang lain, semakin orang lain tersebut akan menyukai diri kita. Akibatnya ia akan membuka diri kepada kita.

  3. Orang yang rela membuka diri kepada orang lain terbukti cenderung memiliki sifat-sifat seperti, kompeten, ekstrovert, fleksibel, adaptif dan inteligen.

  4. Membuka diri kepada orang lain merupakan dasar relasi yangmemungkinkan komunikasi intim baik dengan diri kita sendiri maupundengan oranglain.

  5. Membuka diri berarti bersifat realistik. Selain membuka diri kepada orang lain, kita pun harus membuka diri bagi orang lain agar dapat menjalin relasi yang baik dengannya. Terbuka bagi orang lain berarti menunjukkan bahwa kita menaruh perhatian pada perasaannya terhadap kata-kata atau perbuatan kita. Artinya, kita menerima pembukaan dirinya. Kita rela atau mau mendengarkan reaksi atau tanggapannya terhadap situasi yang sedang dihadapinya kini maupun terhadap kata-kata dan perbuatan kita(Johnson, 1981 dalam Supratiknya, 2009:16).

  Meskipun self disclosure mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan itu sendiri ada batasnya. Artinya, perlu kita pertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu tentang diri kita kepada orang lain akan menghasilkan efek positif bagi hubungan kita dengan orang tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterbukaan yang ekstrim akan memberikan efek negatif terhadap hubungan. Seperti dikemukakan oleh Shirley Gilbert (dalam Sendjaja, 2005: 2.42) bahwa kepuasan dalam hubungan dan disclosure memiliki hubungan kurvalinier, yaitu tingkat kepuasan mencapai titik tertinggi pada tingkat

  disclosure yang sedang (moderate).

  Ada berbagai keuntungan dalam melakukan self disclosure(Devito, 2007:68), keuntungan dari self disclosure adalah:

  

1. Pemahaman tentang diri, salah satu keuntungan dari self disclosure

  adalah mendapatkan perspektif yang baru tentang diri, sebuah pemahaman yang dalam tentang diri.

  

2. Komunikasi dan Hubungan yang efektif, memahami pesan orang lain

  secara lebih luas dapat melebarkan pemahaman tentang orang lain, self disclosure adalah suatu keadaan untuk saling memahami.

  

3. Kesehatan Psikologi, dengan melakukan self disclosure berarti belajar

  bagaimana berbagi informasi dengan orang lain tentang berbagai permasalahan dan bagaimana untuk mengatasi masalah tersebut.

2.2.3 Komunikasi Keluarga

2.2.3.1 Pengertian Komunikasi Keluarga

  Dalam pengertian psikologis menurut Soleman (dalam Gunarsa, 2003: 10) keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama, dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, dan saling memperhatikan.

  Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia dimana ia belajar dan menyatakam diri sebagai manusia sosial dalam interaksi dengan kelompoknya. Dalam keluarga yang sesungguhnya, komunikasi merupakan sesuatu yang harus dibina sehingga anggota keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling membutuhkan. Keluarga juga merupakan kelompok primer yang paling penting dalam masyarakat, yang terbentuk dari hubungan laki-laki dan perempuan untuk menciptakan dan membesarkan anak- anak. Keluarga dalam bentuk yang murni merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak.

  Dilihat dari pengertian di atas bahwa kata-kata, sikap tubuh, intonasi suara dan tindakan, mengandung maksud mengajarkan, mempengaruhi dan memberikan pengertian. Sedangkan tujuan pokok dari komunikasi ini adalah memprakarsaidan memelihara interaksi antara satu anggota dengan anggota lainnya sehingga tercipta komunikasi yang efektif.

  Komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi dalam sebuah keluarga, yang merupakan cara seorang anggota keluarga untuk berinteraksi dengan anggota lainnya sekaligus sebagai wadah dalam membentuk dan mengembangkan nilai-nilai yang dibutuhkan sebagai pegangan hidup. Agar komunikasi dan hubungan timbal balik dapat terpelihara dengan baik, maka hubungan timbal balik dalam keluarga harus mengembangkan ikatan yang sangat kuat (dalam Gunarsa, 2002: 13) sebagai berikut: a.

  Hubungan suami-istri berdasarkan cinta kasih.

  b.

  Hubungan orangtua dengan anak didasarkan kasih sayang.

  c.

  Hubungan orangtua dengan anak remaja berdasarkan rasa sabar.

  d.

  Hubungan antara anak didasarkan atas kasih sesama.

  e.

  Komunikasi dalam keluarga akan memberikan rasa aman dan bahagia bila berlandaskan kasih sayang.

  Setiap individu dilahirkan, tumbuh dan berkembang di dalam keluarga. Peranan individu ditentukan adat istiadat, norma-norma dan nilai-nilai serta bahasa yang ada pada keluarga itu melalui proses sosialisasi dan internalisasi.

  Keluarga merupakan kelompok perantara pertama yang mengenalkan nilai-nilai budaya kepada si anak. Di sinilah anak mengalami hubungan sosial dan disiplin pertama yang dikenakan kepadanya dalam kehidupan sosial.

  Menurut Koentjaraningrat (dalam Posman, 1998: 61), fungsi pokok keluarga ada dua, yaitu: a.

  Sebagai kelompok dimana individu pada dasarnya dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidupnya.

  b.

  Sebagai kelompok dimana individu mendapat pengasuhan permulaan dari pendidikannya.

  Perlu disadari bahwa ada banyak jenis keluarga. Ada keluarga kecil dan besar, keluarga miskin dan kaya, keluarga di desa dan di kota, keluarga yang harmonis dan kurang harmonis, dan seterusnya. Banyak hal yang didapat seorang anak sebagai anggota keluarga, yaitu sebagai berikut: a.

  Keagamaan: keluarga harus mampu menjadi wahana yang pertama dan utama untuk membawa seluruh anggotanya melaksanakan Ketuhanan Yang Maha Esa.

  b.

  Kebudayaan: keluarga dikembangkan menjadi wahana untuk melestarikan budaya nasional yang luhur dan bermartabat.

  c.

  Kasih sayang: keluarga dikembangkan menjadi pertama dan utama untuk menumbuhkan rasa kasih sayang sesama anggotanya.

  d.

  Perlindungan: keluarga dikembangkan menjadi pelindung yang utama dan kokoh dalam memberikan kebenaran dan keteladanan kepada anak-anak.

  e.

  Reproduksi: keluarga menjadi pengatur dan pembina reproduksi keturunan secara sehat dan berencana, sehingga anak berkualitas prima.

  f.

  Pendidikan: keluarga sebagai tokoh dan guru yang pertama dan utama dalam mengantarkan anak-anak untuk mandiri dan menjadi panutan.

  g.

  Ekonomi: keluarga menyiapkan dirinya untuk menjadi suatu unit yang mandiri dan sanggup meningkatkan kesejahteraan baik lahir maupun batin.

  h.

  Pemeliharaan lingkungan: keluarga siap dan sanggup untuk memelihara kelestarian lingkungannya guna memberikan yang terbaik kepada generasi yang akan datang.

  Komunikasi dalam keluarga juga dapat diartikan sebagai kesiapan membicarakan dengan terbuka setiap hal dalam keluarga baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Juga siap menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga dengan pembicaraan yang dijalani dalam kesabaran, kejujuran serta keterbukaan. Dengan adanya komunikasi, permasalahan yang terjadi dalam keluarga dapat dibicarakan dan dicari solusi terbaiknya. Suasana kekeluargaan dan kelancaran berkomunikasi antara anggota keluarga dapat tercapai apabila setiap anggota keluarga menyadari dan menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing sambil menikmati haknya sebagai anggota keluarga (Gunarsa, 2002: 13).

  Terlihat dengan jelas bahwa dalam keluarga adalah pasti membicarakan hal-hal yang terjadi pada setiap individu, komunikasi yang dijalin merupakan komunikasiyang dapat memberikan suatu hal yang dapat diberikan kepada setiap anggota keluarga lainnya. Dengan adanya komunikasi, permasalahan yang terjadi diantara anggota keluarga dapat dibicarakan dengan mengambil solusi terbaik.

2.2.3.2 Pola Komunikasi Keluarga

  Banyak teori mengenai komunikasi keluarga yang menyatakan bahwa anggotakeluarga menjalankan pola interaksi yang sama secara terus menerus. Pola ini bisa negatif ataupun positif, tergantung dari sudut pandang dan akibat yang diterima anggota keluarga. Keluarga membuat persetujuan mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dikomunikasikan dan bagaimana isi dari komunikasi itu di interpretasikan. Keluarga juga menciptakan peraturan kapan bisa berkomunikasi, seperti tidak boleh bicara bila orang sedang mencoba tidur, dan sebagainya. Semua peraturan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikomunikasikan melalui cara yang sama secara terus menerus sehingga membentuk suatu pola komunikasi keluarga.

  Pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga bisa dinyatakan langsung ataupun hanya disimpulkan dari tingkah laku dan perlakuan yang terjadi dalam keluarga tersebut. Keluarga perlu mengembangkan kesadaran dari pola interaksi yang terjadi dalam keluarganya, apakah pola tersebut benar-benar diinginkan dan dapat diterima oleh seluruh anggota keluarga, apakah pola itu membantu dalam menjaga kesehatan dan fungsi dari keluarga itu sendiri, atau malah merusak keutuhan keluarga. Kesadaran akan pola itu dapat dibedakan antara keluarga yang sehat dan bahagiadengan keluarga yang dangkal dan bermasalah.

  Pola-pola komunikasi yang lebih kompleks berkembang pada waktu si anak mulai tumbuh dan menempatkan diri ke dalam peranan orang lain. “Menurut Hoselitz, dengan menempatkan pribadi ke dalam peranan orang lain maka si anak juga belajar menyesuaikan diri (conform) dengan harapan orang lain” (Liliweri, 1997: 45).

  Berdasarkan pandangan Klinger dan Gillin yang dikutip Soekanto, maka kita dapat mengetahui bahwa setiap proses komunikasi didorong oleh faktor- faktor tertentu. Misalnya pada waktu bayi menangis, tangisan itu mempengaruhi ibu sehingga sang ibu segera datang membawa botol susu. Sang bayi mulai belajar dari pengalamannya bahwa setiap tangisan merupakan tanda (sign) yang selalu dapat digunakan untuk menyatakan kebutuhan makan dan minum (Liliweri, 1997: 45).

  Hubungan dengan anggota keluarga, menjadi landasan sikap terhadap orang, benda, dan kehidupan secara umum. Mereka juga meletakkan landasan bagi pola penyesuaian dan belajar berpikir tentang diri mereka sebagaimana dilakukan anggota keluarga mereka. Akibatnya mereka belajar menyesuaikan pada kehidupan atas dasar landasan yang diletakkan ketika lingkungan untuk sebagian besar terbatas pada rumah.

  Dengan meluasnya lingkup sosial dan adanya kontak dengan teman sebaya dan orang dewasa di luar rumah, landasan awal ini, yang diletakkan di rumah, mungkin berubah dan dimodifikasi, namun tidak pernah akan hilang sama sekali. Sebaliknya, landasan ini mempengaruhi pola sikap dan perilaku di kemudian hari.

  C. H. Cooley (dalam Daryanto, 1984: 64) berpendapat bahwa keluarga sebagai kelompok primer, tiap anggotanya memiliki arti yang khas yang tak dapat digantikan oleh anggota lain tanpa mengganggu emosi dan relasi di dalam kelompok. Anggota-anggota sebuah keluarga, suami isteri dan anak-anaknya mempunyai status dan peranan masing-masing, sehingga interaksi dan inter-relasi mereka menunjukkan pola yang jelas dan tetap. Status anggota-anggota keluarga ini sedemikian pentingnya, sehingga bila salah seorang anggota keluarga keluar dari ikatan atau hubungan keluarga, maka anggota-anggota yang lain akan merasakan sesuatu yang kurang menyenangkan dalam hatinya, di samping itu pola relasi di dalam keluarga itu akan berubah. Tiap anggota keluarga merupakan kepribadian yang khas dan diperlukan sama oleh anggota-anggota yang lain.

  “Keluarga sebagai kelompok primer bersifat fundamental, karena di dalamkeluarga, individu diterima dalam pola-pola tertentu. Kelompok primer merupakan persemaian di mana manusia memperoleh norma-norma, nilai-nilai, dan kepercayaan. Kelompok primer adalah badan yang melengkapi manusia untuk kehidupan sosial” (Daryanto, 1984: 64). Selain itu, kelompok primer bersifat fundamental karena membentuk titik pusat utama untuk memenuhi kepuasan- kepuasan sosial, seperti mendapat kasih sayang atau afeksi, keamanan dan kesejahteraan, dan semuanya itudiwujudkan melalui komunikasi yang dilakukan terus menerus dan membentuk sebuah pola.

  Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (1986) mengungkapkan empat pola komunikasi keluarga pada umumnya, yaitu:

1. Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern)

  Dalam pola ini, tiap individu membagi kesempatan komunikasi secara merata dan seimbang, peran yang dimainkan tiap orang dalam keluarga adalah sama. Tiap orang dianggap sederajat dan setara kemampuannya, bebas mengemukakan ide-ide, opini, dan kepercayaan. Komunikasi yang terjadi berjalan dengan jujur, terbuka, langsung, dan bebas dari pemisahan kekuasaan yang terjadi pada hubungan interpersona lainnya. Dalam pola ini tidak ada pemimpin dan pengikut, pemberi pendapat dan pencari pendapat, tiap orang memainkan peran yang sama. Komunikasi memperdalam pengenalan satu sama lain, melalui intensitas, kedalaman dan frekuensi pengenalan diri masing-masing, serta tingkah laku nonverbal seperti sentuhan dan kontak mata yang seimbang jumlahnya. Tiap orang memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan, baik yang sederhana seperti film yang akan ditonton maupun yang penting seperti sekolah mana yang akan dimasuki anak-anak, membeli rumah, dan sebagainya. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman. Masalah diamati dan dianalisa. Perbedaan pendapat tidak dilihat sebagai salah satu kurang dari yang lain tetapi sebagai benturan yang tak terhindarkan dari ide-ide atau perbedaan nilai dan persepsi yang merupakan bagian dari hubungan jangka panjang. Bila model komunikasi dari pola ini digambarkan, anak panah yang menandakan pesan individual akan sama jumlahnya, yang berarti komunikasi berjalan secara timbal balik dan seimbang.

  2. Pola Komunikasi Seimbang Terpisah (Balance Split Pattern)

  Dalam pola ini, persamaan hubungan tetap terjaga, namun dalam pola ini tiap orang memegang kontrol atau kekuasaan dalam bidangnya masing-masing. Tiaporang dianggap sebagai ahli dalam wilayah yang berbeda. Sebagai contoh, dalamkeluarga biasa, suami dipercaya untuk bekerja/mencari nafkah untuk keluarga dan istri mengurus anak dan memasak. Dalam pola ini, bisa jadi semua anggotanya memiliki pengetahuan yang sama mengenai agama, kesehatan, seni, dan satu pihak tidak dianggap lebih dari yang lain. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman karena tiap orang memiliki wilayah sendiri-sendiri. Sehingga sebelum konflik terjadi, sudah ditentukan siapa yang menang atau kalah. Sebagai contoh, bila konflik terjadi dalam hal bisnis, suami lah yang menang, dan bila konflik terjadi dalam hal urusan anak, istri lah yang menang. Namun tidak ada pihak yang dirugikan oleh konflik tersebut karena masing-masing memiliki wilayahnya sendiri-sendiri.

  

3. Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern)

  Dalam pola ini satu orang mendominasi, satu orang dianggap sebagai ahli lebih dari setengah wilayah komunikasi timbal balik. Satu orang yang mendominasi ini sering memegang kontrol. Dalam beberapa kasus, orang yang mendominasi ini lebih cerdas atau berpengetahuan lebih, namun dalam kasus lain orang itu secara fisik lebih menarikatau berpenghasilan lebih besar. Pihak yang kurang menarik atau berpenghasilan lebih rendah berkompensasi dengan cara membiarkan pihak yang lebih itu memenangkan tiap perdebatan dan mengambil keputusan sendiri. Pihak yang mendominasi mengeluarkan pernyataan tegas, memberi tahu pihak lain apa yang harus dikerjakan, memberi opini dengan bebas, memainkan kekuasaan untuk menjaga kontrol, dan jarang meminta pendapat yang lain kecuali untuk mendapatkan rasa aman bagi egonya sendiri atau sekedar meyakinkan pihaklain akan kehebatanargumennya. Sebaliknya, pihak yang lain bertanya, meminta pendapat dan berpegang pada pihak yang mendominasi dalam mengambil keputusan.

4. Pola Komunikasi Monopoli (Monopoly Pattern)

  Satu orang dipandang sebagai kekuasaan. Orang ini lebih bersifat memerintah daripada berkomunikasi, memberi wejangan daripada mendengarkan umpan balik orang lain. Pemegang kekuasaan tidak pernah meminta pendapat, dan ia berhak atas keputusan akhir. Maka jarang terjadi perdebatan karena semua sudah mengetahui siapa yang akan menang. Dengan jarang terjadi perdebatan itulah maka bila ada konflik masing-masing tidak tahu bagaimana mencari solusi bersama secara baik-baik. Mereka tidak tahu bagaimana mengeluarkan pendapat atau mengungkapkan ketidaksetujuan secara benar, maka perdebatan akan menyakiti pihak yang dimonopoli. Pihak yang dimonopoli meminta ijin dan pendapat dari pemegang kuasa untuk mengambil keputusan, seperti halnya hubungan orang tua ke anak. Pemegang kekuasaan mendapat kepuasan dengan perannya tersebut dengan cara menyuruh,membimbing, dan menjaga pihak lain, sedangkan pihak lain itu mendapatkan kepuasan lewat pemenuhan kebutuhannya dan dengan tidak membuat keputusan sendiri sehingga ia tidak akan menanggung konsekuensi dari keputusan itu sama sekali.

2.2.3.3 Cara Efektif Berkomunikasi dengan Anak

  Dalam komunikasi keluarga, ibu dituntut untuk lebih sering berkomunikasi dengan anak. Hal ini dikarenakan ibu dan anak memiliki kedekatan yang lebih intim, bahkan ketika anak masih berada dalam kandungan. Kedekatan antara ibu dan anak tumbuh seiring dengan tumbuh dan berkembangnya janin di dalam rahim ibu. Untuk dapat menciptakan komunikasi yang efektif dan dapat membentuk keterbukaan diri anak, para ibu perlu memperhatikan beberapa cara. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:

  a. Seni mendengarkan Komunikasi sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam bentuk kata-kata.

  Komunikasi adalah ekspresi dari sebuah kesatuan yang sangat kompleks: bahasa tubuh, senyuman, peluk kasih, ciuman sayang, dan kata-kata. Seni mendengarkan, membutuhkan totalitas perhatian dan keinginan mendengarkan, hingga sang pendengar dapat memahami sepenuhnya kompleksitas emosi dan pikiran orang yang sedang berbicara. Bahkan, komunikasi yang sejati, sang pendengar mampu memahami apa yang terjadi atau yang dirasakan oleh lawan bicara meski dengan kata-kata yang sangat minimal.

  b. Fokuskan perhatian pada anak

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Bank - Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja Perbankan di Kota Medan

0 0 19

Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja Perbankan di Kota Medan

0 1 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit - Pengaruh Tekanan dan Waktu Perebusan terhadap Kehilangan Minyak (Losses) pada Air Kondensat di Stasiun Sterilizer dengan Sistem Tiga Puncak (Triple Peak) di Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV (Persero) Pulu Raja

0 1 24

PENGARUH TEKANAN DAN WAKTU PEREBUSAN TERHADAP KEHILANGAN MINYAK (LOSSES) PADA AIR KONDENSAT DI STASIUN STERILIZER DENGAN SISTEM TIGA PUNCAK (TRIPLE PEAK) DI PABRIK KELAPA SAWIT PTPN IV (Persero) PULU RAJA TUGAS AKHIR - Pengaruh Tekanan dan Waktu Perebusan

0 1 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak dan Lemak - Penentuan Stabilitas Panas (Heat Stability) dari FAH (Triple Pressed Stearic Acid) pada PT. Socimas Medan

0 1 18

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Upacara Adat Kematian Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo

0 1 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesimetrisan - Gambaran Kesimetrisan Lengkung Gigi Pada Mahasiswa Fkg Usu Berdasarkan Jenis Kelamin

0 2 20

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Gambaran Kesimetrisan Lengkung Gigi Pada Mahasiswa Fkg Usu Berdasarkan Jenis Kelamin

0 1 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Plak dental 2.1.1 Definisi - Efektivitas Ekstrak Daun Teratai (Nelumbo Nucifera) 2% Sebagai Obat Kumur Terhadap Akumulasi Plak Pada Mahasiswa Fkg Usu Angkatan 2011

0 2 14

Komunikasi Yang Efektif Antara Remaja Dengan Orangtua Yang Bertugas Jarak Jauh(Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Yang Efektif Antara Remaja Dengan Orangtua Yang Bertugas Jarak Jauh Di Kota Medan)

0 0 38