Analisis Yuridis Tndak Pidana Narkotika Yang dilakukan oleh Anak

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harhat dan martabat sebagai manusia seutuh nya yang juga sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan.

Berkembangnya kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi semakin lama semakin bertambah pesat, maka hal ini akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan tingkat kriminalitas apabila kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut menyimpan dalam penggunaan dan pelaksanaannya dalam kehidupan bangsa dan Negara. Salah satunya anak adalah sebagai objek dampak negatif dari perkembangan kemajuan di bidang ilmu dan teknologi tersebut.

Pembangunan Nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, sejahtera dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus usaha-usaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk kesediaan narkotika sebai obat.1

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,


(2)

2

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan

kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang.2

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan III” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1:

Huruf a

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Huruf b

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Huruf c

3

2 Undang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1 ayat 1 3

Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

Narkotika pada awalnya hanya digunakan sebagai alat bagi upacara-upacara ritual keagamaan dan disamping itu juga dipergunakan untuk pengobatan. Dalam upaya peningkatan dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, narkotika cukup diperlukan ketersediaannya, namun apabila disalahgunakan akan menimbulkan dampak yang berbahaya bagi penggunaannya karena pengguna akan mengalami ketergantungan yang sangat merugika, sehinnga harus dilakukan pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.


(3)

3

Saat ini perkembangan pengguna narkotika semakin meningkat dengan pesat dan tidak untuk tujuan pengobatan atau tujuan pengembangn ilmu pengetahuan, melainkan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar, yaitu dengan melakukan perdagangan narkotika secara illegal ke berbagai Negara.

Hal tersebut menimbulkan keprihatinan bagi masyarakat internasional, mengingat dampak yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika yang sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan

Negara khususnya bagi keberlangsungan pertumbuhan dan perkembangan generasi muda.4

Dalam pemberitaan dimedia massa, seringkali terdengar bagaimana orang yang menggunakan narkotika ditemukan sudah merenggang nyawa dalam penggunaan dosis yang berlebihan/ over dosis. Terdengar pula bagaimana seorang anak tega menghabisi nyawa orang tua nya hanya karena tidak tidak diberi uang padahal sang orang tua mungkin tidak menyadari kalau si anak adalah pecandu narkotika. Sungguh sebuah pengaruh luar biasa dari bahaya pengguna narkotika yang perlu untuk ditanggulangi

lebih komprehensif.5

Untuk mencegah dan memberantas penyalahguna dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugika dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, maka pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Undang-Undang tersebut mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melaui ancaman pidana denda,

pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati.6

Pembentukan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi masalah narkotika, namun terhadap anak yang melakukannya tindak pidana secara teoritis dan secara yuridis penggunaan sanksi pidana bagi anak tetap dimungkinkan, walaupun

4 Prof. Dr. Koesno Adi, SH.,MS., Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Semarang, Setara Pres, 2014, hal 4 5

AR. Sujono, S.H.,M.H & Bony Daniel, S.H., Komentar & Pembahasan UU No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hal 2.


(4)

4

ditentukan persyaratan-persyaratan yang sangat ketat. Artinya, penjatuhannya harus sangat selektif dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kondisi kejiwaaan si anak.

Pengguaan sanksi pidana bagi anak tidak dapat disamakan dengan penggunaan sanksi pidana bagi orang dewasa. Oleh karenanya juga sangat ironis dan tidak dapat dibenarkan, apabila ada anak yang menjalani pidana bersamaan dengan orang dewasa.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah memberikan landasan hukum yang kuat untuk membedakan perlakuan terhadap anak yang terlibat suatu tindak kejahatn. Landasan hukum yang kuat tersebut dilator belakangi oleh penjelasan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menyatakan sebagai berikut :

“ Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan dan bangsa di masa depan. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu terdapat pula anak yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian, baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja. sering juga anak melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau

masyarakat”. 7

7 Ibid, hal 131.

Adapaun untuk ketentuan mengenai sanksi pidana yang diterapkan menurut batasan usia anak yang melakukan tindak pidana tersebut diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Dalam penelitian ini penulis akan mencoba meneliti tentang sanksi pidana yang dapat diterapkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika.


(5)

5

Berdasarkan alasan tersebut diatas, penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian yang berjudul : ANALISIS YURIDIS PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI PUTUSAN NO. 23/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN).

B. PERMASALAHAN

1. Bagaiman faktor – faktor penyebab tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak ?

2. Bagaimanakah pengaturan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan

narkotika?

3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika

Studi putusan No.23/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn ? C. Tujuan dan Manfaat Penulis

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui faktor penyebab anak melakukan tindak narkotika.

b. Untuk mengetahui sanksi hukuman yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika yang

dilakukan oleh anak.

c. Untuk mengetahui pertanggung jawaban pidana tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh

anak. 2. Manfaat

a. Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi usaha pembaharuan hukum pidana khususnya memberikan sumbangan pemikiran untuk pengenmbangan pertanggung jawaban pidana penyalahgunaan narkotika golongan I bentuk bukam tanaman yang dilakukan oleh anak dibawah umur.

b. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat bagi para pembuat kebijakan dan penegak hukum dalam kerangka penegan hukum pidana.


(6)

6

D. Keaslian Penulis

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU), penelitian skripsi mengenai “Analisis Yuridis Tindak Pidana Narkotika Golongan I Bentuk Bukan Tanaman Oleh Anak Dibawah Umur” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Objek kajian dalam penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum mendapatkan kajian komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan dan kritik yang kontruktif terkait dengan data dan analisis dalam penelitian ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

(A)Pengertian Tentang Tindak Pidana menurut UU No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika

1. Pokok-Pokok Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Untuk mempermudah pemahaman atas pengertian tindak pidana narkotika, maka terlebih dahulu akan dijelaskan perbedaan istilah hukuman dan pidana.

Dalam sistem hukum, bahwa hukuman atau pidana yang dijatuhkan adalah menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, haruslah terlebih dahulu telah tercantum dalam undang-undang pidana, artinya jika tidak ada undang-undang-undang-undang yang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan.

Di dalam Bab I Pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut “nullum delictum nulla poena sina pravea lege poenale”, yang pada intinya menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya. Jadi disinilah letak perbedaan istilah


(7)

7

hukum dan pidana. Artinya adalah bahwa pidana harus berdasarkan ketentuan undang-undang,

sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya.8

1. Prof. Sudarto, SH., menyatakan tentang pidana :

Ada banyak definisi yang dikemukakan para ahli hokum mengenai pidana, hukum, dan hukum pidana, diantaranya :

Pidana ialah penderita yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu itu.9

2. Sedangkan tentang hukum, Simongkir dalam bukunya Pelajaran Hukum Indonesia menyebutkan:

Merumuskan hukum sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan,

yaitu dengan hukuman yang tertentu.10

3. Definisi hukum pidana yaitu sebagai berikut :

a. Hukum pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri yang melekat

pada hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum lain.

b. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan

yang dapat di hukum.

c. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan mengenai (i) perbuatan yang dilarang yang disertai

ancaman berupa pidana bagi pelanggarnya, (ii) dalam keadaan apa terhadap pelanggarnya

dapat dijatuhi hukuman, dan (iii) bagaimana cara penerapan pidana terhadap pelakunya.11

Dari pendapat atau definisi diatas, bahwa hukum pidana dapat dilihat melalui pendekatan dua unsur, yaitu norma dan sanksi, selain itu, bahwa antara hukum dan pidana juga mempunyai persamaan,

8 Moh. Taufik Makarao,S.H.,M.H.,Tindak Pidana Narkotika, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003, hal 36 9

Sudarto, Hukum Pidana, Jilid I A, 1975, hal 7

10

Simongkir, Pelajaran Hukum Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, cet XI, 1962, halaman 6.


(8)

8

keduanya berlatar belakang tata nilai (value) seperti ketentuan yang membolehkan dan larangan berbuat sesuatu dan seterusnya.

Dengan demikian, bahwa norma dan sanksi sama-sama merujuk kepada tata nilai, seperti norma dalam kehidupan kelompok manusia ada ketentuan yang harus diataati dalam pergaulan yang menjamin ketertiban hukum dalam masyarakat. Sedangkan sanksi mengandung arti suatu ancaman pidana agar norma yang dianggap suatu nilai dapat ditaati.

Jadi pidana itu berkaitan erat dengan hukum pidana. Dan hukum pidana merupakan suatu bagian dari tata hukum, karena sifatnya yang mengandung sanksi. Oleh karena itu, seorang yang dijatuhi pidana ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana atau melakukan tindak kejahatan.

Guna mencari alasan pembenaran terhadap penjatuhan sanksi pidana atau hukuman kepada pelaku kejahatan, ada 3 (tiga) teori dalam hukum pidana., yaitu :

1. Teori Absolut/teori pembalasan

2. Teori Relatif/teori tujuan

3. Teori Gabungan

Jadi, Tindak Pidana Narkotika dapat diartikan dengan suatu pebuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.12

2. Pengertian Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,


(9)

9

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan

kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang.13

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun bukan sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan. 14Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ”Narkotika adalah

zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam

golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini” .15

Narkotika golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya, karena daya aditifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya adalah ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain. Narkotika golongan II adalah narkotika yang memiliki daya aditif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin, dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain. Sedangkan narkotika golongan III adalah narkotika yang memiliki daya aditif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengbatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein, dan turunannya.

Narkotika memiliki daya adikasi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika ini yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari cengkeramannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jenis jenis narkotika dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.

16

13 Undang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1 ayat 1. 14

Ibid

15

Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


(10)

10

(B) Batasan Usia Anak Menurut Undang-Undang

1. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak : Dalam Ketentuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana dikenal terminology Anak yang berhadapan dengan hukum dalah Anak yang berkonflik dengan hukum, Anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi sanksi tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum atau dalam UU SPPA dipergunakan terminology anak adalah anak yang telah berusia 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berusia 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.17

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

Dalam pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) undang-undang ini menyebutkan bahwa batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

Berdasarkan ketentuan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka anak adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.

4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :

KUHP tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kategori anak, akan tetapi dapat dijumpai dalam pasal 45 dan dan 72 yang memakai batasan umur 16 tahun dan pasal 283 yang member batasan 17 tahun.

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana :

Undang-Undang ini tak secara eksplisit mengatur mengenai batas usia anak. Akan tetapi bila dilihat dalam pasal 171 KUHAP menyebutkan bahwa batasan umur anak di siding pengadilan yang boleh diperiksa tanpa sumpah dipergunakan batasan umur dibawah 15 (lima belas) tahun.

17

Dr. Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Bandung, PT.Alumni, 2014, hal 4


(11)

11

Selanjutnya dalam pasal 153 menyebutkan bahwa dalam hal-hal tertentu hakim dapat menentukan anak yang belum mencapi umur 17 tahun tak diperkenankan mengahdiri sidang. 6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia :

Dalam pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah tiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya

7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan :

Dalam Pasal 1 angka 8 huruf a, b dan c Undang-Undang ini menyebutkan bahwa anak didik pemasyarakatan baik anak pidana, anak Negara dan anak sipil untuk dapat dididik di Lapas Anak adalah paling lama sampai berusia 18 (delapan belas) tahun dan untuk anak sipil guna dapat ditempatkan di Lapas Anak maka perpanjangan penempatannyahanya boleh paling lama sampai

berumur (delapan belas) tahun.18

8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

9. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan :

Pada ketentuan pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.

10. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan Raya dan Angkutan Jalan Raya :

Dalam ketentuan pasal 77 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2009 ditegaskan bahwa, “setiap orang

18

Angger Sigit Pramukti,S.H. & Fuady Primaharsya,S.H., Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2015,hal 8


(12)

12

yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikannya” kemudian pasal 81 ayat (1) huruf a ditentukan,”syarat usia untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi adalah usia 17 tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi B dan Surat Izin Mengemudi C.

11. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi :

Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 disebutkan Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

12. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang :

Ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 21 tahun 2007 disebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada UU ini tidak ditentukan tentang batasan minimal untuk menentukan seorang anak, tidak seperti UU Nomor 11 Tahun 2012 yang menentukan batas minimalnya adalah 12 (dua belas) tahun sebagaimana ketentuan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RepublikIndonesia Nomor 1/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2012.

13. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia : Ketentuan Pasal 4 huruf h UU Nomor 12 Tahun 2006 menentukan bahwa, “Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga Negara Indonesia sebagai Anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum Anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin”.

14. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris :

Ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 jo UU Nomor 2 Tahun 2014 menentukan bahwa seseorang yang dapat melakukan perbuatan hukum baik sebagai penghadap maupun sebagai saksi paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah.


(13)

13

15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak :

Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1979 Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

16. Kompilasi Hukum Islam :

Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa,”batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun

mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.19

Berdasarkan uraian diatas, dapat disiimpulkan bahwa menurut

perundang-undangan Negara Indonesia, anak adalah manusia yang belum mencapai usia 18 tahun

termasuk anak yang msih dalam kandungan dan belum menikah. Oleh karena itu, anak

tidak dapat diperkenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena seorang anak

masih mempunyai keterbatasan kemampuan berfikir dan berada dalam pengawasan orang

tua atau walinya.

20

F. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari

ilmu pengetahuan yang bersangkutan.21 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang

bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.22 Penelitian

hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara

menganalisisnya.23

19 Dr. Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Op.Cit, hal 14 20 Dr. Marlina, S.H., M.Hum., Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Tahun 2009, hlm. 36. 21

Soerjono Soekanto., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

22 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo

Persada, 2001), hal. 1.

23 Bambang Waluyo., Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996),

hal. 6.

Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha


(14)

14

semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan atau mencari data yang terdapat dalam praktik, metode-metode pengumpulan bahan ini anatara lain:

1.

Jenis Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto menyatakan 2 (dua) jenis penelitian hukum adalah

a. Penelitian hukum normatif (normative legal research) yaitu penelitian atas pasal pasal

aturan hukum untuk menentukan asas-asas hukum,

mengetahuisinkronisasi vertical,

horizontal, mengetahui aspek sejarah hukum dan mengetahui perbandingan antara sistem

hukum

b.Penelitian hukum empiris (empirical legal research) yaitu penelitianhukum dilapangan

yang ingin mengetahui efektifitas

aturan hukum, ketaatan masyarakat akan hukum,

persepsi masyarakat akan hukum dan

ingin mengetahui faktor-faktor non-hukum yang

mempengaruhi pembuatan dan penerapan hukum.

24

a.

Penelitian terhadap asas-asas hukum.

b.

Penelitian terhadap sistematika hukum.

c.

Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.

d.

Penelitian perbandingan hukum.

e.

Penelitian sejarah hukum.

Soetandyo Wignyosoebroto menyebutkan, penelitian hukum normatif dengan istilah

“Penelitian Hukum Doktrinal” (Doctrinal Legal Research), sementara penelitian hukum empiris

disebutnya dengan istilah “Penelitian Hukum Non Doktrinal” (Non Doctrinal Research).

Penelitian hukum normatif meliputi 5 (lima) jenis penelitian yaitu:

25

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian hukum normative (normative legal

24

Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Rajawali, Jakarta, hlm. 40.

25

Soetandyo Soekanto, 1989, Penelitian Hukum Sebuah Tipologi Masyarakat Indonesia, Penerbit Unair, Surabaya. Selanjutnya disebut Soetandyo Wignyosoebroto I, hlm.. 98.


(15)

15

research) yaitu menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan,

keputusan pengadilan, teori hukum, buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis yang

dimuat di media massa yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan

berupa pendapat para sarjana.

2.

Data dan Sumber Data

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:

a.

Bahan hukum primer, yaitu KUHP,Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak.

b.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, seperti hasil-hasil penelitian atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau

pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini;26

c.

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, majalah dan jurnal ilmiah

Surat kabar dan majalah mingguan juga menjadi tambahan bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

3.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi studi kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

4.

Analisis Data

Data sekunder yang diperoleh kemudian dianalisis. Data yang dianalisis secara kualitatif akan

26

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 14-15.


(16)

16

dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

G.Sistematika Penulisan

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang. Pokok Permasahan, Tujuan dan Manfaat Penulis, Keaslian Penulis, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas tentang faktor penyebab anak menyalahgunakan Narkotika, yang isinya memuat antara lain tentang faktor penyebab terdakwa melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan dampak bagi anak dalam menyalahgunakan Narkotika.

BAB III : Bab ini akan membahas tentang ketentuan pidana yang berkaitan dengan tindak pidanaPenyalahgunaan Narkotika yang dilakukan Oleh Anak , yang isinya antara lain memuat tentang penyalahgunaan Narkotika Golongan I Bentuk Bukan Tanaman dalam prespektif Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, perbuatan tindak pidana dalam prespektif pasal 55 KUHP dan sitem peladilan anak dalam prespektif Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012

BAB IV : Bab ini akan membahas tentang pertanggung jawaban pidana penyalahgunaan Narkotika oleh anak dibawah umur dalam kasus perkara No.23/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn, yang memuat tentang deskripsi dan analisis kasus.

BAB V : Bab ini merupakan Bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan dan saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(1)

11

Selanjutnya dalam pasal 153 menyebutkan bahwa dalam hal-hal tertentu hakim dapat menentukan anak yang belum mencapi umur 17 tahun tak diperkenankan mengahdiri sidang. 6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia :

Dalam pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah tiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya

7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan :

Dalam Pasal 1 angka 8 huruf a, b dan c Undang-Undang ini menyebutkan bahwa anak didik pemasyarakatan baik anak pidana, anak Negara dan anak sipil untuk dapat dididik di Lapas Anak adalah paling lama sampai berusia 18 (delapan belas) tahun dan untuk anak sipil guna dapat ditempatkan di Lapas Anak maka perpanjangan penempatannyahanya boleh paling lama sampai berumur (delapan belas) tahun.18

8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

9. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan :

Pada ketentuan pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.

10. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan Raya dan Angkutan Jalan Raya :

Dalam ketentuan pasal 77 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2009 ditegaskan bahwa, “setiap orang

18

Angger Sigit Pramukti,S.H. & Fuady Primaharsya,S.H., Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2015,hal 8


(2)

12

yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikannya” kemudian pasal 81 ayat (1) huruf a ditentukan,”syarat usia untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi adalah usia 17 tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi B dan Surat Izin Mengemudi C.

11. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi :

Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 disebutkan Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

12. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang :

Ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 21 tahun 2007 disebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada UU ini tidak ditentukan tentang batasan minimal untuk menentukan seorang anak, tidak seperti UU Nomor 11 Tahun 2012 yang menentukan batas minimalnya adalah 12 (dua belas) tahun sebagaimana ketentuan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RepublikIndonesia Nomor 1/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2012.

13. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia : Ketentuan Pasal 4 huruf h UU Nomor 12 Tahun 2006 menentukan bahwa, “Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga Negara Indonesia sebagai Anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum Anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin”.

14. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris :

Ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 jo UU Nomor 2 Tahun 2014 menentukan bahwa seseorang yang dapat melakukan perbuatan hukum baik sebagai penghadap maupun sebagai saksi paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah.


(3)

13

15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak :

Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1979 Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

16. Kompilasi Hukum Islam :

Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa,”batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.19

Berdasarkan uraian diatas, dapat disiimpulkan bahwa menurut

perundang-undangan Negara Indonesia, anak adalah manusia yang belum mencapai usia 18 tahun

termasuk anak yang msih dalam kandungan dan belum menikah. Oleh karena itu, anak

tidak dapat diperkenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena seorang anak

masih mempunyai keterbatasan kemampuan berfikir dan berada dalam pengawasan orang

tua atau walinya.

20

F. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.21 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.22 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.23

19 Dr. Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Op.Cit, hal 14 20 Dr. Marlina, S.H., M.Hum., Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Tahun 2009, hlm. 36. 21

Soerjono Soekanto., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

22 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo

Persada, 2001), hal. 1.

23 Bambang Waluyo., Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.

Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha


(4)

14

semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan atau mencari data yang terdapat dalam praktik, metode-metode pengumpulan bahan ini anatara lain:

1.

Jenis Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto menyatakan 2 (dua) jenis penelitian hukum adalah

a. Penelitian hukum normatif (normative legal research) yaitu penelitian atas pasal pasal

aturan hukum untuk menentukan asas-asas hukum,

mengetahuisinkronisasi vertical,

horizontal, mengetahui aspek sejarah hukum dan mengetahui perbandingan antara sistem

hukum

b.Penelitian hukum empiris (empirical legal research) yaitu penelitianhukum dilapangan

yang ingin mengetahui efektifitas

aturan hukum, ketaatan masyarakat akan hukum,

persepsi masyarakat akan hukum dan

ingin mengetahui faktor-faktor non-hukum yang

mempengaruhi pembuatan dan penerapan hukum.

24

a.

Penelitian terhadap asas-asas hukum.

b.

Penelitian terhadap sistematika hukum.

c.

Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.

d.

Penelitian perbandingan hukum.

e.

Penelitian sejarah hukum.

Soetandyo Wignyosoebroto menyebutkan, penelitian hukum normatif dengan istilah

“Penelitian Hukum Doktrinal” (Doctrinal Legal Research), sementara penelitian hukum empiris

disebutnya dengan istilah “Penelitian Hukum Non Doktrinal” (Non Doctrinal Research).

Penelitian hukum normatif meliputi 5 (lima) jenis penelitian yaitu:

25

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian hukum normative (normative legal

24

Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Rajawali, Jakarta, hlm. 40.

25

Soetandyo Soekanto, 1989, Penelitian Hukum Sebuah Tipologi Masyarakat Indonesia, Penerbit Unair, Surabaya. Selanjutnya disebut Soetandyo Wignyosoebroto I, hlm.. 98.


(5)

15

research) yaitu menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan,

keputusan pengadilan, teori hukum, buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis yang

dimuat di media massa yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan

berupa pendapat para sarjana.

2.

Data dan Sumber Data

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:

a.

Bahan hukum primer, yaitu KUHP,Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak.

b.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini;26

c.

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, majalah dan jurnal ilmiah

Surat kabar dan majalah mingguan juga menjadi tambahan bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

3.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi studi kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

4.

Analisis Data

Data sekunder yang diperoleh kemudian dianalisis. Data yang dianalisis secara kualitatif akan

26

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 14-15.


(6)

16

dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang. Pokok Permasahan, Tujuan dan Manfaat Penulis, Keaslian Penulis, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas tentang faktor penyebab anak menyalahgunakan Narkotika, yang isinya memuat antara lain tentang faktor penyebab terdakwa melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan dampak bagi anak dalam menyalahgunakan Narkotika.

BAB III : Bab ini akan membahas tentang ketentuan pidana yang berkaitan dengan tindak pidanaPenyalahgunaan Narkotika yang dilakukan Oleh Anak , yang isinya antara lain memuat tentang penyalahgunaan Narkotika Golongan I Bentuk Bukan Tanaman dalam prespektif Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, perbuatan tindak pidana dalam prespektif pasal 55 KUHP dan sitem peladilan anak dalam prespektif Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012

BAB IV : Bab ini akan membahas tentang pertanggung jawaban pidana penyalahgunaan Narkotika oleh anak dibawah umur dalam kasus perkara No.23/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn, yang memuat tentang deskripsi dan analisis kasus.

BAB V : Bab ini merupakan Bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan dan saran mengenai permasalahan yang dibahas.